Winda seperti mengerti tentang semua yang terjadi. Sebenarnya dalam hati dia sudah curiga. Sekarang, kecurigaannya semakin nyata. Meskipun sebelumnya tidak ada bukti yang menghubungkan Luna dengan insiden ini, tetapi kejadian pagi tadi dan kata-kata Jefri tadi seakan membawa suatu fakta yang sekarang hampir terungkap.Setidaknya, kecelakaan ini pasti ada kaitannya dengan Luna. Luna pasti merasa bersalah sehingga dia mengirim Jefri untuk memata-matai Winda.“Nggak usah pura-pura bodoh, deh. Kamu sudah pasti tahu ‘kan bagaimana asal muasal kejadian ini?” ejek Winda dengan senyum sinis, “kamu juga pasti sudah ngerti Luna itu manusia macam apa.”Jefri marah, “Jangan sekali-kali kamu ngatain Luna!”Memang tidak akan pernah bisa membangunkan orang yang pura-pura tidur. Apalagi Jefri, otak pun tidak punya. “Aku tiba-tiba merasa, kamu dan Luna memang sangat serasi,” sindir Winda, bibir merahnya terangkat sinis, “Yang satu, buta, bodoh. Yang satu lagi murahan. Ya sudah deh, aku doain kalian la
Ketakutan menjalar di hati Jefri. Keringat dingin menetes di balik punggungnya. Dia sama sekali tak berani menatap langsung mata Hengky. Namun, jika Jefri harus menyerah begitu saja dan pergi, Jefri merasa tak rela. Jefri memantapkan hati, menekan ketakutannya. Dia menunjuk Hengky dan berkata, “Pak Hengky nggak salah? Jelas-jelas istrimu yang centil sama say ….”Belum saja kata terakhir di kalimat Jefri selesai diucapkan, tendangan Hengky terlebih dahulu mendarat di pahanya, membuat Jefri terjerembab ke lantai. Kemudian, sepatu kulit hitam Hengky menginjak punggung tangan Jefri, membuat Jefri mengerang kesakitan. Kulit putih Jefri memucat, keringat dingin mengalir di dahinya. “Hengky, kamu ….”“Saya nggak suka ada orang nunjuk-nunjuk di depan muka saya, ngerti?” suara Hengky terdengar jernih dan datar, tapi ekspresinya justru sebaliknya, “ini kali pertama, dan juga terakhir kalinya,” tambah Hengky. Tatapan mata penuh amarah itu membuat Jefri gemetar ketakutan. Jika sampai ada yang
Hengky berdiri membelakangi cahaya. Ekspresi wajahnya tidak terlihat begitu jelas. Dia bertanya dengan nada bicara yang sulit ditebak, “Aku nggak seharusnya datang? Jadi ganggu kamu?”Winda tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Dia ingin merasakan sedikit aroma cemburu dari Hengky. Akan tetapi, Hengky terlalu pandai menyembunyikan perasaannya, Winda tak begitu jelas melihatnya. Mata jernih Winda menatap Hengky, kemudian dengan sedikit tawa, dia bertanya, “Kamu cemburu?”Jemari Hengky memainkan rambut panjang Winda, kemudian menjawab datar, “Nggak.”Masih saja tidak mengaku.“Kalau nggak cemburu, ngapain kamu ikut ke sini?”Hengky sedikit memicingkan matanya, kemudian berkata, “Nggak usah mikir macem-macem. Sekarang kamu adalah istri sahku. Kalau sampai ada orang yang memfoto kamu lagi bareng sama laki-laki lain, repot urusannya.”Mendengar kalimat tersebut, senyum di wajah Winda seketika mengeras. Dia memandang Hengky dengan tatapan tak percaya. Rasa bahagianya yang membara baru sa
Hengky memandang wajah pucat Winda sejenak, tampaknya ada getaran emosi tak terduga dalam matanya. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi dengan lembut ia menarik tangannya kembali dan berkata dengan suara rendah, "Aku masih ada urusan, kamu istirahat dulu saja."Winda menahan erat bibirnya, cahaya matanya yang awalnya cerah seketika memudar. Dia tidak mengatakan apa pun, dan tanpa melihat kembali ke arah Hengky, Winda berjalan menjauh.Hengky berbalik, dia memandangi Winda pergi. Matanya penuh dengan emosi yang samar dan sulit diartikan. Setelah Winda masuk, Willy muncul dari balik semak-semak. "Hengky, kamu tadi agak berlebihan, loh, ya," katanya serius saat mendekati Hengky, ekspresi tidak setuju tergambar di wajah WIlly. "Kayaknya dia sedih banget, deh. Jangan berlebihan, nanti malah susah beresinnya."“Memangnya kamu percaya yang dia bilang benar?” ujar Hengky tak percaya. Willy tidak langsung mengungkapkan sikapnya, malah bertanya, “Tadi aku lihat langsung sendiri loh semuanya. Dia b
Saat konsentrasinya sedikit terpecah, Jefri hampir menabrak pagar jalan. Dia terkejut. Keringat dingin mengucur di badannya. Jefri segera menekan rem untuk mengurangi kecepatan mobilnya. Kejutan itu membuatnya sedikit lebih tenang. Jefri kemudian berbalik di persimpangan berikutnya dan pulang ke rumah keluarga Gunawan.Saat masuk, Jefri merasakan suasana rumah tidak biasa. Ayahnya, Budi, dan ibunya, Marina, duduk di sofa dengan ekspresi serius. Mereka sedang mengobrol. Ketika Jefri masuk, mereka saling bertukar pandangan.Marina bangkit dari sofa, tersenyum mendekati Jefri. "Sudah pulang?""Halo, Ma," Jefri menyapa lesu, ekspresinya sangat buruk.Marina tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan Jefri. Dia mengerutkan kening khawatir dan bertanya, "Ada apa? Kamu berantem sama Luna? Apa lagi nggak enak badan?"Jefri menggelengkan kepala dengan perasaan kesal. Dia menepis tangan Marina yang hendak mencoba meraba kepalanya, kemudian menjawab dengan kasar, "Aku baik-baik saja, Ma. Aku ke kam
Suasana hati Jefri sangat buruk sebenarnya. Namun, saat melihat wajah serius Budi, Jefri pun terpaksa mendekat, kemudian duduk. “Memangnya kenapa kalau dia dengar? Siapa pula yang tidak tahu James sama sekali tak menyukai anak perempuan tertuanya itu,” dengus Marina sambil berjalan dan duduk di sebelah Jefri. “Naif sekali komentarmu,” tanggap Budi dengan sangat tak puas, “James hanya punya satu putri kandung, sekalipun nggak suka, dia juga nggak mungkin tidak menghiraukan.”"Siapa bilang James hanya punya satu putri? ‘Kan masih ada Luna?”Budi tertawa sinis, “Anak angkat mana bisa dibandingkan sama anak kandung, sih?”Marina tersenyum misterius, kemudian dia berkata, "Kamu tahu apa, Luna adalah anak luar nikah James dan Clara!"Budi mengerutkan keningnya, wajahnya berubah. Dia berteriak dengan suara tinggi, "Apa katamu? Anak luar nikah?"Marina terkejut. Dia menepuk-nepuk dadanya, “Ngapain sih teriak-teriak gitu? Luna anak kandung James, bukannya itu berita bagus? Kalau Jefri menikah
“Hah? Kenapa?” Jefri menghentakkan tangan Budi, kemudian berdiri. Dia menatap Budi dengan mata merah dan berteriak, “Kenapa aku harus minta maaf? Aku nggak akan pernah melakukan itu seumur hidupku!"Hengky baru saja merendahkan Jefri, dan sekarang ia diminta untuk meminta maaf kepada Hengky? Tidak mungkin!"Aku nggak peduli, aku nggak mau. Papa juga nggak boleh minta maaf sama Hengky. Memangnya siapa Hengky?"Sebelum Jefri selesai bicara, Budi tiba-tiba bangkit dan memberikan tamparan di wajah Jefri kemudian berteriak, "Diam kamu! Biasanya kamu nggak berguna, Papa sudah nggak berharap apa-apa. Sekarang kamu sudah menimbulkan masalah besar bagi keluarga kita, masih berani bersikap semaunya dan sembrono seperti ini. Kenapa Papa bisa punya anak kayak kamu, sih?”Melihat putranya dipukul, Marina tidak terima. Dia berdiri melindungi Jefri, kemudian berteriak kepada Budi, “Apa sih Pa? Perusahaan ada masalah, apa hubungannya sama Jefri, hah?Kamunya yang nggak berguna. Lagipula, kalau mau meny
Jefri menggelengkan kepala, berkata lemah, “Bukan. Aku cuma khawatir Luna nggak mau.”Marina mendengus dingin sambil menggenggam tangan Jefri, "Dia anak haram, masih milih-milih gimana sih memangnya? Anak Mama hebat banget begini, masak iya nggak pantas buat dia?”Jefri menundukkan kepala tanpa berkata-kata. Dia juga tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Mungkin dulu, dia akan dengan bersemangat menelepon Luna dan memberitahunya tentang hal ini, tetapi sekarang Jefri tiba-tiba merasa ragu.Budi merenung sejenak, lalu berkata, "Begini saja, ajak dia makan malam di rumah kita dulu. Nanti Mamamu yang akan tanya sama dia. Kalau dia mau, bagus. Kalau nggak mau, ya Papa harus cari cara lain."Meski Budi berkata demikian, tapi sebenarnya Budi sangat membutuhkan uang untuk menyelesaikan masalah perusahaan sekarang. Di kota Jenela, tidak banyak yang bisa memberikan uang sebanyak itu dan berani melawan Hengky, hanya beberapa saja.Jefri mengangguk tanpa banyak bicara, dia bangkit dari tempat