Suasana hati Jefri sangat buruk sebenarnya. Namun, saat melihat wajah serius Budi, Jefri pun terpaksa mendekat, kemudian duduk. “Memangnya kenapa kalau dia dengar? Siapa pula yang tidak tahu James sama sekali tak menyukai anak perempuan tertuanya itu,” dengus Marina sambil berjalan dan duduk di sebelah Jefri. “Naif sekali komentarmu,” tanggap Budi dengan sangat tak puas, “James hanya punya satu putri kandung, sekalipun nggak suka, dia juga nggak mungkin tidak menghiraukan.”"Siapa bilang James hanya punya satu putri? ‘Kan masih ada Luna?”Budi tertawa sinis, “Anak angkat mana bisa dibandingkan sama anak kandung, sih?”Marina tersenyum misterius, kemudian dia berkata, "Kamu tahu apa, Luna adalah anak luar nikah James dan Clara!"Budi mengerutkan keningnya, wajahnya berubah. Dia berteriak dengan suara tinggi, "Apa katamu? Anak luar nikah?"Marina terkejut. Dia menepuk-nepuk dadanya, “Ngapain sih teriak-teriak gitu? Luna anak kandung James, bukannya itu berita bagus? Kalau Jefri menikah
“Hah? Kenapa?” Jefri menghentakkan tangan Budi, kemudian berdiri. Dia menatap Budi dengan mata merah dan berteriak, “Kenapa aku harus minta maaf? Aku nggak akan pernah melakukan itu seumur hidupku!"Hengky baru saja merendahkan Jefri, dan sekarang ia diminta untuk meminta maaf kepada Hengky? Tidak mungkin!"Aku nggak peduli, aku nggak mau. Papa juga nggak boleh minta maaf sama Hengky. Memangnya siapa Hengky?"Sebelum Jefri selesai bicara, Budi tiba-tiba bangkit dan memberikan tamparan di wajah Jefri kemudian berteriak, "Diam kamu! Biasanya kamu nggak berguna, Papa sudah nggak berharap apa-apa. Sekarang kamu sudah menimbulkan masalah besar bagi keluarga kita, masih berani bersikap semaunya dan sembrono seperti ini. Kenapa Papa bisa punya anak kayak kamu, sih?”Melihat putranya dipukul, Marina tidak terima. Dia berdiri melindungi Jefri, kemudian berteriak kepada Budi, “Apa sih Pa? Perusahaan ada masalah, apa hubungannya sama Jefri, hah?Kamunya yang nggak berguna. Lagipula, kalau mau meny
Jefri menggelengkan kepala, berkata lemah, “Bukan. Aku cuma khawatir Luna nggak mau.”Marina mendengus dingin sambil menggenggam tangan Jefri, "Dia anak haram, masih milih-milih gimana sih memangnya? Anak Mama hebat banget begini, masak iya nggak pantas buat dia?”Jefri menundukkan kepala tanpa berkata-kata. Dia juga tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Mungkin dulu, dia akan dengan bersemangat menelepon Luna dan memberitahunya tentang hal ini, tetapi sekarang Jefri tiba-tiba merasa ragu.Budi merenung sejenak, lalu berkata, "Begini saja, ajak dia makan malam di rumah kita dulu. Nanti Mamamu yang akan tanya sama dia. Kalau dia mau, bagus. Kalau nggak mau, ya Papa harus cari cara lain."Meski Budi berkata demikian, tapi sebenarnya Budi sangat membutuhkan uang untuk menyelesaikan masalah perusahaan sekarang. Di kota Jenela, tidak banyak yang bisa memberikan uang sebanyak itu dan berani melawan Hengky, hanya beberapa saja.Jefri mengangguk tanpa banyak bicara, dia bangkit dari tempat
"Aku hanya nggak tahu harus berbuat apa," Winda tersenyum pahit, tatapan matanya agak kabur, "Seakan-akan dia benar-benar cinta sama aku ...."Dulu Winda berpikir, sikap Hengky yang selalu sabar dengannya dan bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkannya, itu karena ada tempat bagi Winda di hati Hengky. Namun sekarang, Winda tidak yakin seperti itu. Bi Citra berpikir sejenak, kemudian mendesah perlahan, “Non, Bi Citra mau ngomong sesuatu yang mungkin nggak seharusnya Bibi omongin, Non Winda jangan marah, ya.”“Bi Citra bilang saja, aku nggak akan marah, kok.”“Non Winda pasti paham kenapa Non Winda dan Den Hengky bisa berjalan sejauh ini. Non Winda jangan cuma ngelihat luaran Den Hengky yang dingin, nggak peduli. Tapi hati manusia itu terbuat dari daging, ‘kan, Non? Siapa orang yang nggak bisa sakit hati?” ujar Bi Citra. Hengky adalah orang yang ditemani Bi Citra dalam tumbuh kembangnya, Bi Citra sangat memahami dan sayang kepada Hengky. “Bi Citra tahu Non Winda nggak suka
Winda tidak menyadari dirinya sedang diawasi. Dia hampir mengacaukan seluruh ruang kerja, tapi tidak juga berhasil menemukan apa yang dicari. Dengan kecewa, Winda menghela nafas sambil melihat meja kerja yang kacau karena ulahnya. Winda segera merapikan ruangan itu kembali ke kondisi semula.Saat dia sedang merapihkan dokumen, tanpa sengaja, Winda menjatuhkan sebuah bingkai foto yang ada di sudut kiri meja dengan tangan kirinya. Bingkai itu jatuh ke lantai.Winda terkejut, dengan cepat menaruh dokumen yang dipegangnya dan membungkuk mengambil bingkai foto yang terjatuh itu.Dia mengambil tisu dan membersihkan debu yang menempel di kaca bingkai foto. Setelah Winda melihat foto dengan jelas, dia terpaku.Itu adalah foto dua orang. Foto itu sedikit menguning, tetapi tetap terawat dengan baik. Menunjukkan betapa berharganya foto itu bagi pemiliknya.Di dalam foto, seorang anak laki-laki yang berpakaian rapi berusia delapan atau sembilan tahun berdiri di tangga, menatap seorang gadis kecil
Pegawai mengenakan sarung tangan kemudian dengan hati-hati membuka kotak cincin dan memeriksa cincin di dalamnya. Mereka terjekut melihat cincin itu, lalu melihat ke arah Winda. Pegawai itu lantas memanggil salah satu rekannya yang lain. Mereka berdua kembali memeriksa cincin itu dengan seksama. Setelah beberapa saat, mereka berdua saling mengangguk satu sama lain. “Betul, Bu. Cincin ini memang dipesan khusus di brand kami. Hanya ada satu pasang di seluruh dunia. Kami juga baru pertama kali melihatnya langsung. Sungguh cantik sekali,” puji pegawai itu tulus. Pegawai itu lantas mengembalikan cincin itu kepada Winda dengan dua tangan. "Terima kasih," kata Winda sambil menerima kotak cincin itu, dia tersenyum dan bertanya, "Saya ingin memesan sepasang cincin yang sama, kapan bisa diambil kira-kira?"Kedua pegawai itu terkejut dan melihat Winda dengan tatapan aneh.Winda khawatir ada salah paham, dia segera menjelaskan, "Ini adalah cincin pernikahan saya dan suami saya. Cincin saya ...
Winda meminta maaf sambil membungkukkan badan, sambil meraih kotak cincin yang jatuh ke lantai. Namun, dia terkejut ketika melihat tangan kurus meraih kotak cincin terlebih dahulu."Terima kasih," Winda mengucapkan terima kasih sambil meraih kotak cincin, berusaha mengambilnya kembali dari tangan orang itu. Namun, tangan itu tiba-tiba meraih erat kotak cincin dan dengan cepat menyembunyikannya di dalam saku jaket."Kamu …." Winda mengangkat kepala, tatapan matanya tajam saat dia melihat orang itu. Winda mengerutkan kening, "Ngapain kamu di sini?"Jefri mengangkat kepala, mata hitamnya menatap Winda dengan tajam, "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan sama kamu.""Aku nggak punya waktu ngobrol sama kamu. Balikin!" Winda dengan tidak sabar mengulurkan tangannya.Melihat reaksi Winda, Jefri memasukkan kotak cincin itu ke dalam saku kaosnya dan berbicara dengan tegas, "Setelah aku bicara, aku balikin."Winda merasa kesal dengan sikap Jefri yang keras kepala. Jefri memberi isyarat pada Winda t
Begitu kotak cincin dimasukkan ke dalam tas, Winda dengan dingin meninggalkan kafe. Jefri melihat Winda pergi kemudian menghantamkan kepalan tangannya di atas meja. Tatapan matanya penuh dengan kilatan dingin.Pandangan Jefri kini beralih ke seorang pria paruh baya yang duduk tidak jauh dari tempatnya, dia bangkit dan berjalan ke arah pria itu."Sudah dapet gambarnya?" tanya Jefri.Pria yang memakai kacamata hitam itu melirik Jefri sejenak, kemudian memberikan kameranya, "Tentu saja.""Bagus …." Jefri mengencangkan kepalan tangannya. Jefri melihat dua sosok dalam gambar itu dengan dingin, kemudian tersenyum sinis.“Pak Jefri, upahku gimana?”Jefri mengeluarkan amplop tebal dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja, dia memberikan instruksi, "Kalau ada yang tanya, kamu tahu harus bilang apa."Pria itu mengambil amplop itu dan melihat isinya, wajahnya tersenyum puas, ia mengangguk, "Dimengerti, saya kerja demi uang, kok. Pak Jefri tenang saja.""Bagus ...." Jefri tidak banyak bi