Jefri menggelengkan kepala, berkata lemah, “Bukan. Aku cuma khawatir Luna nggak mau.”Marina mendengus dingin sambil menggenggam tangan Jefri, "Dia anak haram, masih milih-milih gimana sih memangnya? Anak Mama hebat banget begini, masak iya nggak pantas buat dia?”Jefri menundukkan kepala tanpa berkata-kata. Dia juga tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Mungkin dulu, dia akan dengan bersemangat menelepon Luna dan memberitahunya tentang hal ini, tetapi sekarang Jefri tiba-tiba merasa ragu.Budi merenung sejenak, lalu berkata, "Begini saja, ajak dia makan malam di rumah kita dulu. Nanti Mamamu yang akan tanya sama dia. Kalau dia mau, bagus. Kalau nggak mau, ya Papa harus cari cara lain."Meski Budi berkata demikian, tapi sebenarnya Budi sangat membutuhkan uang untuk menyelesaikan masalah perusahaan sekarang. Di kota Jenela, tidak banyak yang bisa memberikan uang sebanyak itu dan berani melawan Hengky, hanya beberapa saja.Jefri mengangguk tanpa banyak bicara, dia bangkit dari tempat
"Aku hanya nggak tahu harus berbuat apa," Winda tersenyum pahit, tatapan matanya agak kabur, "Seakan-akan dia benar-benar cinta sama aku ...."Dulu Winda berpikir, sikap Hengky yang selalu sabar dengannya dan bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkannya, itu karena ada tempat bagi Winda di hati Hengky. Namun sekarang, Winda tidak yakin seperti itu. Bi Citra berpikir sejenak, kemudian mendesah perlahan, “Non, Bi Citra mau ngomong sesuatu yang mungkin nggak seharusnya Bibi omongin, Non Winda jangan marah, ya.”“Bi Citra bilang saja, aku nggak akan marah, kok.”“Non Winda pasti paham kenapa Non Winda dan Den Hengky bisa berjalan sejauh ini. Non Winda jangan cuma ngelihat luaran Den Hengky yang dingin, nggak peduli. Tapi hati manusia itu terbuat dari daging, ‘kan, Non? Siapa orang yang nggak bisa sakit hati?” ujar Bi Citra. Hengky adalah orang yang ditemani Bi Citra dalam tumbuh kembangnya, Bi Citra sangat memahami dan sayang kepada Hengky. “Bi Citra tahu Non Winda nggak suka
Winda tidak menyadari dirinya sedang diawasi. Dia hampir mengacaukan seluruh ruang kerja, tapi tidak juga berhasil menemukan apa yang dicari. Dengan kecewa, Winda menghela nafas sambil melihat meja kerja yang kacau karena ulahnya. Winda segera merapikan ruangan itu kembali ke kondisi semula.Saat dia sedang merapihkan dokumen, tanpa sengaja, Winda menjatuhkan sebuah bingkai foto yang ada di sudut kiri meja dengan tangan kirinya. Bingkai itu jatuh ke lantai.Winda terkejut, dengan cepat menaruh dokumen yang dipegangnya dan membungkuk mengambil bingkai foto yang terjatuh itu.Dia mengambil tisu dan membersihkan debu yang menempel di kaca bingkai foto. Setelah Winda melihat foto dengan jelas, dia terpaku.Itu adalah foto dua orang. Foto itu sedikit menguning, tetapi tetap terawat dengan baik. Menunjukkan betapa berharganya foto itu bagi pemiliknya.Di dalam foto, seorang anak laki-laki yang berpakaian rapi berusia delapan atau sembilan tahun berdiri di tangga, menatap seorang gadis kecil
Pegawai mengenakan sarung tangan kemudian dengan hati-hati membuka kotak cincin dan memeriksa cincin di dalamnya. Mereka terjekut melihat cincin itu, lalu melihat ke arah Winda. Pegawai itu lantas memanggil salah satu rekannya yang lain. Mereka berdua kembali memeriksa cincin itu dengan seksama. Setelah beberapa saat, mereka berdua saling mengangguk satu sama lain. “Betul, Bu. Cincin ini memang dipesan khusus di brand kami. Hanya ada satu pasang di seluruh dunia. Kami juga baru pertama kali melihatnya langsung. Sungguh cantik sekali,” puji pegawai itu tulus. Pegawai itu lantas mengembalikan cincin itu kepada Winda dengan dua tangan. "Terima kasih," kata Winda sambil menerima kotak cincin itu, dia tersenyum dan bertanya, "Saya ingin memesan sepasang cincin yang sama, kapan bisa diambil kira-kira?"Kedua pegawai itu terkejut dan melihat Winda dengan tatapan aneh.Winda khawatir ada salah paham, dia segera menjelaskan, "Ini adalah cincin pernikahan saya dan suami saya. Cincin saya ...
Winda meminta maaf sambil membungkukkan badan, sambil meraih kotak cincin yang jatuh ke lantai. Namun, dia terkejut ketika melihat tangan kurus meraih kotak cincin terlebih dahulu."Terima kasih," Winda mengucapkan terima kasih sambil meraih kotak cincin, berusaha mengambilnya kembali dari tangan orang itu. Namun, tangan itu tiba-tiba meraih erat kotak cincin dan dengan cepat menyembunyikannya di dalam saku jaket."Kamu …." Winda mengangkat kepala, tatapan matanya tajam saat dia melihat orang itu. Winda mengerutkan kening, "Ngapain kamu di sini?"Jefri mengangkat kepala, mata hitamnya menatap Winda dengan tajam, "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan sama kamu.""Aku nggak punya waktu ngobrol sama kamu. Balikin!" Winda dengan tidak sabar mengulurkan tangannya.Melihat reaksi Winda, Jefri memasukkan kotak cincin itu ke dalam saku kaosnya dan berbicara dengan tegas, "Setelah aku bicara, aku balikin."Winda merasa kesal dengan sikap Jefri yang keras kepala. Jefri memberi isyarat pada Winda t
Begitu kotak cincin dimasukkan ke dalam tas, Winda dengan dingin meninggalkan kafe. Jefri melihat Winda pergi kemudian menghantamkan kepalan tangannya di atas meja. Tatapan matanya penuh dengan kilatan dingin.Pandangan Jefri kini beralih ke seorang pria paruh baya yang duduk tidak jauh dari tempatnya, dia bangkit dan berjalan ke arah pria itu."Sudah dapet gambarnya?" tanya Jefri.Pria yang memakai kacamata hitam itu melirik Jefri sejenak, kemudian memberikan kameranya, "Tentu saja.""Bagus …." Jefri mengencangkan kepalan tangannya. Jefri melihat dua sosok dalam gambar itu dengan dingin, kemudian tersenyum sinis.“Pak Jefri, upahku gimana?”Jefri mengeluarkan amplop tebal dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja, dia memberikan instruksi, "Kalau ada yang tanya, kamu tahu harus bilang apa."Pria itu mengambil amplop itu dan melihat isinya, wajahnya tersenyum puas, ia mengangguk, "Dimengerti, saya kerja demi uang, kok. Pak Jefri tenang saja.""Bagus ...." Jefri tidak banyak bi
Winda merasakan keanehan dalam hatinya, tapi dia tidak memikirkannya terlalu lama. Dia tertawa manja, sambil berkata, “Lain di mulut, lain di hati.”Winda mengecup pipi Hengky, berkata sambil mencari tahu, “Kamu nggak rela pisah sama sama aku? Hari ini aku datang telat, kamu ngambek?”Mata Hengky bergerak sedikit, mengisyaratkan “iya”, kemudian dia berkata, “Sudah jam setengah sebelas.”Ekspresi Winda seketika mengeras. Dia melepaskan Hengky, kemudian menuangkan segelas air untuknya, dan berkata, “Hari ini aku bangun kesiangan ….”Rona wajah Hengky seketika berubah, nada bicaranya pun ikut berubah, “Oh ya?”Mendengar suara berat Hengky, hati Winda tiba-tiba tidak tenang, tetapi dia tetap menjawab dengan gigih, "Ya ...."Hengky menatap wajah Winda yang terlihat penuh rasa bersalah, tiba-tiba tertawa dingin.Dia sedang berbohong!Bi Citra menelepon, bilang bahwa Winda pergi dari rumah sebelum pukul delapan pagi. Sedangkan sekarang sudah jam setengah sebelas. Selama dua jam lebih ini, apa
Bohong.Sepasang mata Hengky menyipit, aura berbahaya keluar dari sorot mata pria itu.Dari Winda masuk ke dalam ruang kerjanya hingga keluar, perempuan itu tidak mengambil benda apa pun selain bingkai foto. Sekarang perempuan itu tiba-tiba saja mengatakan bahwa dia sudah menemukan benda yang dicarinya, kalau bukan sedang menutupi sesuatu, apalagi?“Oh iya, kemarin aku nggak hati-hati menjatuhkan bingkai foto yang di atas meja, kacanya jadi pecah. Nanti sore aku keluar sebentar untuk menggantikan bingkai foto yang baru untukmu,” ucap Winda sambil tersenyum terhadap Hengky, sepasang matanya berbinar terkena sorot lampu. “Kamu kenapa masih menyimpan foto kita berdua waktu kecil? Apa jangan-jangan kamu sudah menyukai aku dari kecil?” tanya perempuan itu tanpa rasa menyerah.Kematian Sinta membuat jiwa Winda sangat terpukul, setelahnya perempuan itu masih harus mendapatkan bantuan psikiater dalam waktu yang sangat lama. Hal ini menyebabkan Winda kehilangan ingatan akan banyak hal pada masa
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a