Winda menarik napas panjang, kemudian bertanya, “Di mana Pak Jefri?”Perawat itu tercengang sejenak, kemudian menjawab, “Di lobi bawah, Bu.”Tadinya perawat itu ingin mengantarkan Pak Jefri langsung ke kamar Winda, tapi Jefri tidak bersedia. Aneh sekali. “Terima kasih,” ujar Winda yang kemudian berjalan menuju lift. Malam itu, lobi rumah sakit sepi. Winda hampir seketika melihat sosok yang dikenal di area tunggu.Jefri mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans, dengan topi lebar menutupi kepalanya. Dia duduk di bangku area tunggu, sibuk dengan ponselnya. Wajahnya tampak tidak sabar.Setelah berpikir sejenak, Winda mendekati Jefri.Ketika Jefri mendengar suara langkah kaki, ia segera meletakkan ponsel dan mengangkat kepala. Jefri melihat sebuah wajah cantik bening seperti mutiara. Sesaat, Jefri terkejut. Dia tidak mengenali bahwa orang itu adalah Winda.Wajar saja. Dulu karena suruhan salah Luna, Winda mengira bahwa Jefri suka wanita yang lebih nakal dan menarik, sehingga Winda se
“Nggak usah basa-basi, lah. Kamu ke sini mau ngapain?” Winda menunjukkan rasa tidak sabarnya.Jefri, yang mendengar nada tidak sabar dalam suaranya, hampir saja meledak. Namun, tiba-tiba matanya tertuju pada bibir merah Winda yang terluka. Jefri kemudian menyadari sesuatu sehingga wajahnya memucat."Bibirmu ...." Jefri berkata dengan gigi terkatup erat, tangannya yang sedang memegang bunga terlipat, ekspresinya seolah-olah sedang dikhianati.Tiba-tiba Jefri teringat pada saat dia menelepon Winda malam itu, dan Hengky yang menjawab teleponnya. Bagaimana bisa mereka berdua berada di satu kamar pada malam hari, dan Winda sedang mandi ....Jefri menggigit giginya dengan marah. Ada perasaan cemas tanpa alasan di hatinya. Jefri semakin tidak sabar. Jefri kemudian mengatakan kata-kata yang lebih sinis dan tajam.“Winda, kamu sebegitunya nggak punya malu? Kamu haus belaian pria banget memangnya, hah? Kamu bilang kamu suka sama aku, maksudnya apa?” Jefri menunjuk ke arah bibir Winda, sambil ber
Winda mencoba untuk tetap tenang. Dia mundur beberapa langkah, menjaga jarak dengan Jefri. Winda berusaha mencari tahu, bertanya, “Katamu Luna yang nyuruh kamu? Dia nyuruh kamu ngapain?”Jefri masih emosional, pandangan matanya dingin. Dengan amarah yang masih membara, Jefri menjawab, “Iya. Luna kasihan sama kamu, makanya dia minta aku ke sini jengukin kamu! Cewek jahat kayak kamu, entah sudah ngapain di kehidupan yang lalu, kok bisa-bisa dapat adik sebaik Luna. Coba saja kamu sedikit saja punya sifat kayak Luna, aku pasti nggak akan sejijik ini sama kamu!”Baik? Luna? Bukan karena Winda melakukan kebaikan di kehidupan lalu, tetapi mungkin karena Winda telah melakukan kesalahan di kehidupan lalu, itu lah sebabnya dia punya adik seperti Luna!“Dia ngomong gimana sama kamu?” Winda menahan rasa kesal di hatinya, terus bertanya pada Jefri. Karena Winda terlihat tenang, Jefri pun mulai mereda. Akan tetapi, matanya masih dipenuhi dengan kemarahan. “Aku tanya sama kamu, deh. Kamu ngerebut p
Winda seperti mengerti tentang semua yang terjadi. Sebenarnya dalam hati dia sudah curiga. Sekarang, kecurigaannya semakin nyata. Meskipun sebelumnya tidak ada bukti yang menghubungkan Luna dengan insiden ini, tetapi kejadian pagi tadi dan kata-kata Jefri tadi seakan membawa suatu fakta yang sekarang hampir terungkap.Setidaknya, kecelakaan ini pasti ada kaitannya dengan Luna. Luna pasti merasa bersalah sehingga dia mengirim Jefri untuk memata-matai Winda.“Nggak usah pura-pura bodoh, deh. Kamu sudah pasti tahu ‘kan bagaimana asal muasal kejadian ini?” ejek Winda dengan senyum sinis, “kamu juga pasti sudah ngerti Luna itu manusia macam apa.”Jefri marah, “Jangan sekali-kali kamu ngatain Luna!”Memang tidak akan pernah bisa membangunkan orang yang pura-pura tidur. Apalagi Jefri, otak pun tidak punya. “Aku tiba-tiba merasa, kamu dan Luna memang sangat serasi,” sindir Winda, bibir merahnya terangkat sinis, “Yang satu, buta, bodoh. Yang satu lagi murahan. Ya sudah deh, aku doain kalian la
Ketakutan menjalar di hati Jefri. Keringat dingin menetes di balik punggungnya. Dia sama sekali tak berani menatap langsung mata Hengky. Namun, jika Jefri harus menyerah begitu saja dan pergi, Jefri merasa tak rela. Jefri memantapkan hati, menekan ketakutannya. Dia menunjuk Hengky dan berkata, “Pak Hengky nggak salah? Jelas-jelas istrimu yang centil sama say ….”Belum saja kata terakhir di kalimat Jefri selesai diucapkan, tendangan Hengky terlebih dahulu mendarat di pahanya, membuat Jefri terjerembab ke lantai. Kemudian, sepatu kulit hitam Hengky menginjak punggung tangan Jefri, membuat Jefri mengerang kesakitan. Kulit putih Jefri memucat, keringat dingin mengalir di dahinya. “Hengky, kamu ….”“Saya nggak suka ada orang nunjuk-nunjuk di depan muka saya, ngerti?” suara Hengky terdengar jernih dan datar, tapi ekspresinya justru sebaliknya, “ini kali pertama, dan juga terakhir kalinya,” tambah Hengky. Tatapan mata penuh amarah itu membuat Jefri gemetar ketakutan. Jika sampai ada yang
Hengky berdiri membelakangi cahaya. Ekspresi wajahnya tidak terlihat begitu jelas. Dia bertanya dengan nada bicara yang sulit ditebak, “Aku nggak seharusnya datang? Jadi ganggu kamu?”Winda tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Dia ingin merasakan sedikit aroma cemburu dari Hengky. Akan tetapi, Hengky terlalu pandai menyembunyikan perasaannya, Winda tak begitu jelas melihatnya. Mata jernih Winda menatap Hengky, kemudian dengan sedikit tawa, dia bertanya, “Kamu cemburu?”Jemari Hengky memainkan rambut panjang Winda, kemudian menjawab datar, “Nggak.”Masih saja tidak mengaku.“Kalau nggak cemburu, ngapain kamu ikut ke sini?”Hengky sedikit memicingkan matanya, kemudian berkata, “Nggak usah mikir macem-macem. Sekarang kamu adalah istri sahku. Kalau sampai ada orang yang memfoto kamu lagi bareng sama laki-laki lain, repot urusannya.”Mendengar kalimat tersebut, senyum di wajah Winda seketika mengeras. Dia memandang Hengky dengan tatapan tak percaya. Rasa bahagianya yang membara baru sa
Hengky memandang wajah pucat Winda sejenak, tampaknya ada getaran emosi tak terduga dalam matanya. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi dengan lembut ia menarik tangannya kembali dan berkata dengan suara rendah, "Aku masih ada urusan, kamu istirahat dulu saja."Winda menahan erat bibirnya, cahaya matanya yang awalnya cerah seketika memudar. Dia tidak mengatakan apa pun, dan tanpa melihat kembali ke arah Hengky, Winda berjalan menjauh.Hengky berbalik, dia memandangi Winda pergi. Matanya penuh dengan emosi yang samar dan sulit diartikan. Setelah Winda masuk, Willy muncul dari balik semak-semak. "Hengky, kamu tadi agak berlebihan, loh, ya," katanya serius saat mendekati Hengky, ekspresi tidak setuju tergambar di wajah WIlly. "Kayaknya dia sedih banget, deh. Jangan berlebihan, nanti malah susah beresinnya."“Memangnya kamu percaya yang dia bilang benar?” ujar Hengky tak percaya. Willy tidak langsung mengungkapkan sikapnya, malah bertanya, “Tadi aku lihat langsung sendiri loh semuanya. Dia b
Saat konsentrasinya sedikit terpecah, Jefri hampir menabrak pagar jalan. Dia terkejut. Keringat dingin mengucur di badannya. Jefri segera menekan rem untuk mengurangi kecepatan mobilnya. Kejutan itu membuatnya sedikit lebih tenang. Jefri kemudian berbalik di persimpangan berikutnya dan pulang ke rumah keluarga Gunawan.Saat masuk, Jefri merasakan suasana rumah tidak biasa. Ayahnya, Budi, dan ibunya, Marina, duduk di sofa dengan ekspresi serius. Mereka sedang mengobrol. Ketika Jefri masuk, mereka saling bertukar pandangan.Marina bangkit dari sofa, tersenyum mendekati Jefri. "Sudah pulang?""Halo, Ma," Jefri menyapa lesu, ekspresinya sangat buruk.Marina tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan Jefri. Dia mengerutkan kening khawatir dan bertanya, "Ada apa? Kamu berantem sama Luna? Apa lagi nggak enak badan?"Jefri menggelengkan kepala dengan perasaan kesal. Dia menepis tangan Marina yang hendak mencoba meraba kepalanya, kemudian menjawab dengan kasar, "Aku baik-baik saja, Ma. Aku ke kam