Lumayan?Kening Winda berkerut. Dia mengambil setengah mangkok bubur dan mencicipinya. Sepertinya rasanya sedikit keasinan. Karena tangannya sedang terluka, Winda kesulitan melakukan sesuatu. Tangannya bahkan terkena panasnya panci ketika memasak tadi.“Tangan kamu kenapa?” tanya Hengky yang melihat bekas luka di pergelangan tangan perempuan itu.Winda meletakkan kembali sendoknya dan menyembunyikan tangannya sambil menggelengkan kepalanya dan berkata, “Nggak apa-apa. Kamu cepat habiskan mumpung masih panas, kalau sudah din-“Tanpa menunggu perempuan itu menyelesaikan kalimatnya, Hengky menarik tangan Winda dan memperhatikannya lebih saksama. Keningnya berlipat lumayan dalam. Bagian dalam pergelangan tangan perempuan itu terdapat jejak berwarna merah sebesar kepalan tangan. Di bagian tengahnya ada benjolan air sebesar jari kuku. Terlihat sangat kontras sekali di kulit putih mulus milik Winda.“Kok bisa kena?” tanya Hengky dengan suara berat. Dia melihat Winda dengan sorot tajam.Teling
Bulu mata Hengky bergetar. Tangan yang ada di atas meja terkepal erat dengan sebersit emosi yang berkilat di matanya. Suasana di ruangan itu menjadi sunyi dan hanya bisa terdengar suara detakan jantung dari mereka masing-masing.Hengky tidak menjawab, sedangkan Winda terus menatapnya. Sebersit harapan yang tersisa sudah menghilang dalam keheningan Hengky. Setengah menit kemudian, kepalan tangan Hengky terbuka dan dia tertawa miring sambil menatap Winda.“Winda, kepercayaan diri dari mana yang kamu dapatkan? Kamu pikir aku bisa suka dengan perempuan seperti kamu?”Sisa titik binar paling terakhir di bola mata Winda meredup. Dia menunduk dan menatap jari kakinya dengan perih di hatinya yang membuatnya sulit untuk bernapas. Sebuah suara dari dasar hatinya membisikkan dirinya untuk menyerah saja. Semua hanya mimpi bagi Winda karena orang yang disukai oleh Hengky adalah Yuna.Akan tetapi akal sehatnya tidak bisa melawan jantungnya yang berdegup demi Hengky. Saat awal-awal dia hidup kembali,
"Apa kamu benar-benar rela mengorbankan harga diri hanya gara-gara Jefri?" Hengky semakin erat mencengkeram lengan Winda, tatapan marah meluap dari matanya. "Winda, kenapa kamu bisa berubah jadi kayak gini, sih?"Winda terkejut dan bingung dengan pertanyaan Hengky. Dengan raut wajah yang penuh kebingungan, dia menjawab, "Apanya yang gara-gara Jefri? Aku melakukan ini demi kamu, bukan demi Jefri!"Kemarahan Hengky malah semakin menjadi, dia menghela nafas dingin dan berkata, "Aku sudah sabar banget sama kamu. Jangan coba-coba nguji kesabaranku lagi. Jangan juga maksa turun tangan sama Jefri."Seandainya bukan karena Hengky sendiri yang mendengar percakapan Jefri di telepon, mungkin saja Winda akan terus bermain-main dengan kebohongannya.Demi Hengky? Hah! Bercanda!“Tunggu,” Winda seperti menyadari sesuatu, kemudian bertanya, “Hengky, kamu nggak lagi cemburu, ‘kan?”Hengky menatap Winda dingin, tatapannya penuh dengan ketidakpedulian.“Apa kamu lagi salah paham? Barusan aku cium kamu, y
Hengky lagi-lagi menunjukkan ekspresi dinginnya. Giginya bergemeretak sambil mengerang dingin, “Kamu nggak lagi bohong sama aku? Kalau gitu, kenapa kamu masih rayain ulang tahun Jefri, hah? Dia nggak mungkin nyulik kamu, bawa kamu ke sana, ‘kan?”Winda menangkap sindiran dalam kalimat Hengky. Hatinya perih serasa tertusuk duri. Sambil menahan sakit di hatinya, Winda melanjutkan penjelasannya. “Waktu itu Luna ngajak aku ngerayain ulang tahun Jefri. Aku nggak mau. Terus dia nelpon aku, bilang dia lagi mabuk. Orang-orang di sana maksa Luna buat terus minum, nggak bolehin dia pergi. Luna minta aku buat jemput dia di telpon. Suara Luna kedengarannya nggak bagus di telpon, aku khawatir, jadi aku ke sana.” “Tadinya aku mau jemput Luna terus langsung pergi. Tapi mereka malah maksa Luna minum dua gelas terakhir. Luna sudah nggak bisa jalan tegak lagi kelihatannya, jadinya aku bantu dia minum kedua gelas minuman itu. Tapi setelah minum, aku nggak sadar. Pas sudah sadar, aku malah sudah dibawa
Di dekat telinga Winda, dengan gerakan yang menggoda, Hengky menyusun rambut Winda yang terurai di sekitar telinga menjadi rapi di belakang telinga. Suara rendah dan seksinya terdengar bersamaan dengan pertanyaan, "Kamu mau nggak?"Winda terhanyut dalam perasaan kebahagiaan yang memabukkan. Pertanyaan Hengky ini kemudian membuat Winda sejenak tersadar. Pipinya memerah karena malu saat dia mengangguk perlahan, bibir merahnya sedikit terbuka dan berkata, "Aku mau ...."Kalimatnya kemudian menghilang di antara ciuman mereka. Hengky kembali mencium bibir Winda. Di dalam hati mereka seperti ada bara yang berkobar.Hengky merentangkan jemarinya di antara jari-jari Winda, matanya memancarkan hasrat yang begitu kuat, hampir menyeramkan. Mata itu seakan berkata ingin menguasai sepenuhnya wanita di hadapannya. Dengan gerakan lembut, Hengky mengangkat Winda, menukar posisi mereka sehingga Winda kini terdorong ke dinding.Saat ini, semua ketenangan dan kontrol diri Hengky lenyap seketika. Yang ter
Winda menarik napas panjang, kemudian bertanya, “Di mana Pak Jefri?”Perawat itu tercengang sejenak, kemudian menjawab, “Di lobi bawah, Bu.”Tadinya perawat itu ingin mengantarkan Pak Jefri langsung ke kamar Winda, tapi Jefri tidak bersedia. Aneh sekali. “Terima kasih,” ujar Winda yang kemudian berjalan menuju lift. Malam itu, lobi rumah sakit sepi. Winda hampir seketika melihat sosok yang dikenal di area tunggu.Jefri mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans, dengan topi lebar menutupi kepalanya. Dia duduk di bangku area tunggu, sibuk dengan ponselnya. Wajahnya tampak tidak sabar.Setelah berpikir sejenak, Winda mendekati Jefri.Ketika Jefri mendengar suara langkah kaki, ia segera meletakkan ponsel dan mengangkat kepala. Jefri melihat sebuah wajah cantik bening seperti mutiara. Sesaat, Jefri terkejut. Dia tidak mengenali bahwa orang itu adalah Winda.Wajar saja. Dulu karena suruhan salah Luna, Winda mengira bahwa Jefri suka wanita yang lebih nakal dan menarik, sehingga Winda se
“Nggak usah basa-basi, lah. Kamu ke sini mau ngapain?” Winda menunjukkan rasa tidak sabarnya.Jefri, yang mendengar nada tidak sabar dalam suaranya, hampir saja meledak. Namun, tiba-tiba matanya tertuju pada bibir merah Winda yang terluka. Jefri kemudian menyadari sesuatu sehingga wajahnya memucat."Bibirmu ...." Jefri berkata dengan gigi terkatup erat, tangannya yang sedang memegang bunga terlipat, ekspresinya seolah-olah sedang dikhianati.Tiba-tiba Jefri teringat pada saat dia menelepon Winda malam itu, dan Hengky yang menjawab teleponnya. Bagaimana bisa mereka berdua berada di satu kamar pada malam hari, dan Winda sedang mandi ....Jefri menggigit giginya dengan marah. Ada perasaan cemas tanpa alasan di hatinya. Jefri semakin tidak sabar. Jefri kemudian mengatakan kata-kata yang lebih sinis dan tajam.“Winda, kamu sebegitunya nggak punya malu? Kamu haus belaian pria banget memangnya, hah? Kamu bilang kamu suka sama aku, maksudnya apa?” Jefri menunjuk ke arah bibir Winda, sambil ber
Winda mencoba untuk tetap tenang. Dia mundur beberapa langkah, menjaga jarak dengan Jefri. Winda berusaha mencari tahu, bertanya, “Katamu Luna yang nyuruh kamu? Dia nyuruh kamu ngapain?”Jefri masih emosional, pandangan matanya dingin. Dengan amarah yang masih membara, Jefri menjawab, “Iya. Luna kasihan sama kamu, makanya dia minta aku ke sini jengukin kamu! Cewek jahat kayak kamu, entah sudah ngapain di kehidupan yang lalu, kok bisa-bisa dapat adik sebaik Luna. Coba saja kamu sedikit saja punya sifat kayak Luna, aku pasti nggak akan sejijik ini sama kamu!”Baik? Luna? Bukan karena Winda melakukan kebaikan di kehidupan lalu, tetapi mungkin karena Winda telah melakukan kesalahan di kehidupan lalu, itu lah sebabnya dia punya adik seperti Luna!“Dia ngomong gimana sama kamu?” Winda menahan rasa kesal di hatinya, terus bertanya pada Jefri. Karena Winda terlihat tenang, Jefri pun mulai mereda. Akan tetapi, matanya masih dipenuhi dengan kemarahan. “Aku tanya sama kamu, deh. Kamu ngerebut p
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a