Suara Luna terdengar kecewa dan membuat Jefri tidak tega untuk menolak.“Baiklah, kamu kirim alamatnya saja.”Mendengar Jefri menyetujuinya membuat Luna tersenyum puas. Setelah sambungan telepon terputus, dia buru-buru mengirimkan alamat rumah sakit Winda pada lelaki itu.Saat Winda kembali ke kamar inap, dia melihat Hengky yang bersiap untuk rapat melalui sambungan video. Melihat dirinya masuk, lelaki itu mendongak dan berkata, “Kamu pulang saja dan jangan datang lagi.”Winda kaku sejenak dan tanpa bersuara dia melangkah ke arah meja untuk membereskan termos sop yang dia bawa. Winda memaksakan seulas senyuman dan bertanya, “Malam mau makan apa? Biar aku buatkan.”“Nggak perlu,” jawab Hengky tanpa melihatnya. Dia lanjut bekerja sambil berkata dengan suara dingin, “Willy akan aturkan semuanya, kamu nggak perlu-““Sudahlah, biar aku saja yang menentukan mau masak apa. Kamu lanjut kerja dulu, aku mau balik,” potong Winda sambil menahan rasa perih di hatinya di balik senyumannya.Tanpa men
Lumayan?Kening Winda berkerut. Dia mengambil setengah mangkok bubur dan mencicipinya. Sepertinya rasanya sedikit keasinan. Karena tangannya sedang terluka, Winda kesulitan melakukan sesuatu. Tangannya bahkan terkena panasnya panci ketika memasak tadi.“Tangan kamu kenapa?” tanya Hengky yang melihat bekas luka di pergelangan tangan perempuan itu.Winda meletakkan kembali sendoknya dan menyembunyikan tangannya sambil menggelengkan kepalanya dan berkata, “Nggak apa-apa. Kamu cepat habiskan mumpung masih panas, kalau sudah din-“Tanpa menunggu perempuan itu menyelesaikan kalimatnya, Hengky menarik tangan Winda dan memperhatikannya lebih saksama. Keningnya berlipat lumayan dalam. Bagian dalam pergelangan tangan perempuan itu terdapat jejak berwarna merah sebesar kepalan tangan. Di bagian tengahnya ada benjolan air sebesar jari kuku. Terlihat sangat kontras sekali di kulit putih mulus milik Winda.“Kok bisa kena?” tanya Hengky dengan suara berat. Dia melihat Winda dengan sorot tajam.Teling
Bulu mata Hengky bergetar. Tangan yang ada di atas meja terkepal erat dengan sebersit emosi yang berkilat di matanya. Suasana di ruangan itu menjadi sunyi dan hanya bisa terdengar suara detakan jantung dari mereka masing-masing.Hengky tidak menjawab, sedangkan Winda terus menatapnya. Sebersit harapan yang tersisa sudah menghilang dalam keheningan Hengky. Setengah menit kemudian, kepalan tangan Hengky terbuka dan dia tertawa miring sambil menatap Winda.“Winda, kepercayaan diri dari mana yang kamu dapatkan? Kamu pikir aku bisa suka dengan perempuan seperti kamu?”Sisa titik binar paling terakhir di bola mata Winda meredup. Dia menunduk dan menatap jari kakinya dengan perih di hatinya yang membuatnya sulit untuk bernapas. Sebuah suara dari dasar hatinya membisikkan dirinya untuk menyerah saja. Semua hanya mimpi bagi Winda karena orang yang disukai oleh Hengky adalah Yuna.Akan tetapi akal sehatnya tidak bisa melawan jantungnya yang berdegup demi Hengky. Saat awal-awal dia hidup kembali,
"Apa kamu benar-benar rela mengorbankan harga diri hanya gara-gara Jefri?" Hengky semakin erat mencengkeram lengan Winda, tatapan marah meluap dari matanya. "Winda, kenapa kamu bisa berubah jadi kayak gini, sih?"Winda terkejut dan bingung dengan pertanyaan Hengky. Dengan raut wajah yang penuh kebingungan, dia menjawab, "Apanya yang gara-gara Jefri? Aku melakukan ini demi kamu, bukan demi Jefri!"Kemarahan Hengky malah semakin menjadi, dia menghela nafas dingin dan berkata, "Aku sudah sabar banget sama kamu. Jangan coba-coba nguji kesabaranku lagi. Jangan juga maksa turun tangan sama Jefri."Seandainya bukan karena Hengky sendiri yang mendengar percakapan Jefri di telepon, mungkin saja Winda akan terus bermain-main dengan kebohongannya.Demi Hengky? Hah! Bercanda!“Tunggu,” Winda seperti menyadari sesuatu, kemudian bertanya, “Hengky, kamu nggak lagi cemburu, ‘kan?”Hengky menatap Winda dingin, tatapannya penuh dengan ketidakpedulian.“Apa kamu lagi salah paham? Barusan aku cium kamu, y
Hengky lagi-lagi menunjukkan ekspresi dinginnya. Giginya bergemeretak sambil mengerang dingin, “Kamu nggak lagi bohong sama aku? Kalau gitu, kenapa kamu masih rayain ulang tahun Jefri, hah? Dia nggak mungkin nyulik kamu, bawa kamu ke sana, ‘kan?”Winda menangkap sindiran dalam kalimat Hengky. Hatinya perih serasa tertusuk duri. Sambil menahan sakit di hatinya, Winda melanjutkan penjelasannya. “Waktu itu Luna ngajak aku ngerayain ulang tahun Jefri. Aku nggak mau. Terus dia nelpon aku, bilang dia lagi mabuk. Orang-orang di sana maksa Luna buat terus minum, nggak bolehin dia pergi. Luna minta aku buat jemput dia di telpon. Suara Luna kedengarannya nggak bagus di telpon, aku khawatir, jadi aku ke sana.” “Tadinya aku mau jemput Luna terus langsung pergi. Tapi mereka malah maksa Luna minum dua gelas terakhir. Luna sudah nggak bisa jalan tegak lagi kelihatannya, jadinya aku bantu dia minum kedua gelas minuman itu. Tapi setelah minum, aku nggak sadar. Pas sudah sadar, aku malah sudah dibawa
Di dekat telinga Winda, dengan gerakan yang menggoda, Hengky menyusun rambut Winda yang terurai di sekitar telinga menjadi rapi di belakang telinga. Suara rendah dan seksinya terdengar bersamaan dengan pertanyaan, "Kamu mau nggak?"Winda terhanyut dalam perasaan kebahagiaan yang memabukkan. Pertanyaan Hengky ini kemudian membuat Winda sejenak tersadar. Pipinya memerah karena malu saat dia mengangguk perlahan, bibir merahnya sedikit terbuka dan berkata, "Aku mau ...."Kalimatnya kemudian menghilang di antara ciuman mereka. Hengky kembali mencium bibir Winda. Di dalam hati mereka seperti ada bara yang berkobar.Hengky merentangkan jemarinya di antara jari-jari Winda, matanya memancarkan hasrat yang begitu kuat, hampir menyeramkan. Mata itu seakan berkata ingin menguasai sepenuhnya wanita di hadapannya. Dengan gerakan lembut, Hengky mengangkat Winda, menukar posisi mereka sehingga Winda kini terdorong ke dinding.Saat ini, semua ketenangan dan kontrol diri Hengky lenyap seketika. Yang ter
Winda menarik napas panjang, kemudian bertanya, “Di mana Pak Jefri?”Perawat itu tercengang sejenak, kemudian menjawab, “Di lobi bawah, Bu.”Tadinya perawat itu ingin mengantarkan Pak Jefri langsung ke kamar Winda, tapi Jefri tidak bersedia. Aneh sekali. “Terima kasih,” ujar Winda yang kemudian berjalan menuju lift. Malam itu, lobi rumah sakit sepi. Winda hampir seketika melihat sosok yang dikenal di area tunggu.Jefri mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans, dengan topi lebar menutupi kepalanya. Dia duduk di bangku area tunggu, sibuk dengan ponselnya. Wajahnya tampak tidak sabar.Setelah berpikir sejenak, Winda mendekati Jefri.Ketika Jefri mendengar suara langkah kaki, ia segera meletakkan ponsel dan mengangkat kepala. Jefri melihat sebuah wajah cantik bening seperti mutiara. Sesaat, Jefri terkejut. Dia tidak mengenali bahwa orang itu adalah Winda.Wajar saja. Dulu karena suruhan salah Luna, Winda mengira bahwa Jefri suka wanita yang lebih nakal dan menarik, sehingga Winda se
“Nggak usah basa-basi, lah. Kamu ke sini mau ngapain?” Winda menunjukkan rasa tidak sabarnya.Jefri, yang mendengar nada tidak sabar dalam suaranya, hampir saja meledak. Namun, tiba-tiba matanya tertuju pada bibir merah Winda yang terluka. Jefri kemudian menyadari sesuatu sehingga wajahnya memucat."Bibirmu ...." Jefri berkata dengan gigi terkatup erat, tangannya yang sedang memegang bunga terlipat, ekspresinya seolah-olah sedang dikhianati.Tiba-tiba Jefri teringat pada saat dia menelepon Winda malam itu, dan Hengky yang menjawab teleponnya. Bagaimana bisa mereka berdua berada di satu kamar pada malam hari, dan Winda sedang mandi ....Jefri menggigit giginya dengan marah. Ada perasaan cemas tanpa alasan di hatinya. Jefri semakin tidak sabar. Jefri kemudian mengatakan kata-kata yang lebih sinis dan tajam.“Winda, kamu sebegitunya nggak punya malu? Kamu haus belaian pria banget memangnya, hah? Kamu bilang kamu suka sama aku, maksudnya apa?” Jefri menunjuk ke arah bibir Winda, sambil ber