"Apa kamu benar-benar rela mengorbankan harga diri hanya gara-gara Jefri?" Hengky semakin erat mencengkeram lengan Winda, tatapan marah meluap dari matanya. "Winda, kenapa kamu bisa berubah jadi kayak gini, sih?"Winda terkejut dan bingung dengan pertanyaan Hengky. Dengan raut wajah yang penuh kebingungan, dia menjawab, "Apanya yang gara-gara Jefri? Aku melakukan ini demi kamu, bukan demi Jefri!"Kemarahan Hengky malah semakin menjadi, dia menghela nafas dingin dan berkata, "Aku sudah sabar banget sama kamu. Jangan coba-coba nguji kesabaranku lagi. Jangan juga maksa turun tangan sama Jefri."Seandainya bukan karena Hengky sendiri yang mendengar percakapan Jefri di telepon, mungkin saja Winda akan terus bermain-main dengan kebohongannya.Demi Hengky? Hah! Bercanda!“Tunggu,” Winda seperti menyadari sesuatu, kemudian bertanya, “Hengky, kamu nggak lagi cemburu, ‘kan?”Hengky menatap Winda dingin, tatapannya penuh dengan ketidakpedulian.“Apa kamu lagi salah paham? Barusan aku cium kamu, y
Hengky lagi-lagi menunjukkan ekspresi dinginnya. Giginya bergemeretak sambil mengerang dingin, “Kamu nggak lagi bohong sama aku? Kalau gitu, kenapa kamu masih rayain ulang tahun Jefri, hah? Dia nggak mungkin nyulik kamu, bawa kamu ke sana, ‘kan?”Winda menangkap sindiran dalam kalimat Hengky. Hatinya perih serasa tertusuk duri. Sambil menahan sakit di hatinya, Winda melanjutkan penjelasannya. “Waktu itu Luna ngajak aku ngerayain ulang tahun Jefri. Aku nggak mau. Terus dia nelpon aku, bilang dia lagi mabuk. Orang-orang di sana maksa Luna buat terus minum, nggak bolehin dia pergi. Luna minta aku buat jemput dia di telpon. Suara Luna kedengarannya nggak bagus di telpon, aku khawatir, jadi aku ke sana.” “Tadinya aku mau jemput Luna terus langsung pergi. Tapi mereka malah maksa Luna minum dua gelas terakhir. Luna sudah nggak bisa jalan tegak lagi kelihatannya, jadinya aku bantu dia minum kedua gelas minuman itu. Tapi setelah minum, aku nggak sadar. Pas sudah sadar, aku malah sudah dibawa
Di dekat telinga Winda, dengan gerakan yang menggoda, Hengky menyusun rambut Winda yang terurai di sekitar telinga menjadi rapi di belakang telinga. Suara rendah dan seksinya terdengar bersamaan dengan pertanyaan, "Kamu mau nggak?"Winda terhanyut dalam perasaan kebahagiaan yang memabukkan. Pertanyaan Hengky ini kemudian membuat Winda sejenak tersadar. Pipinya memerah karena malu saat dia mengangguk perlahan, bibir merahnya sedikit terbuka dan berkata, "Aku mau ...."Kalimatnya kemudian menghilang di antara ciuman mereka. Hengky kembali mencium bibir Winda. Di dalam hati mereka seperti ada bara yang berkobar.Hengky merentangkan jemarinya di antara jari-jari Winda, matanya memancarkan hasrat yang begitu kuat, hampir menyeramkan. Mata itu seakan berkata ingin menguasai sepenuhnya wanita di hadapannya. Dengan gerakan lembut, Hengky mengangkat Winda, menukar posisi mereka sehingga Winda kini terdorong ke dinding.Saat ini, semua ketenangan dan kontrol diri Hengky lenyap seketika. Yang ter
Winda menarik napas panjang, kemudian bertanya, “Di mana Pak Jefri?”Perawat itu tercengang sejenak, kemudian menjawab, “Di lobi bawah, Bu.”Tadinya perawat itu ingin mengantarkan Pak Jefri langsung ke kamar Winda, tapi Jefri tidak bersedia. Aneh sekali. “Terima kasih,” ujar Winda yang kemudian berjalan menuju lift. Malam itu, lobi rumah sakit sepi. Winda hampir seketika melihat sosok yang dikenal di area tunggu.Jefri mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans, dengan topi lebar menutupi kepalanya. Dia duduk di bangku area tunggu, sibuk dengan ponselnya. Wajahnya tampak tidak sabar.Setelah berpikir sejenak, Winda mendekati Jefri.Ketika Jefri mendengar suara langkah kaki, ia segera meletakkan ponsel dan mengangkat kepala. Jefri melihat sebuah wajah cantik bening seperti mutiara. Sesaat, Jefri terkejut. Dia tidak mengenali bahwa orang itu adalah Winda.Wajar saja. Dulu karena suruhan salah Luna, Winda mengira bahwa Jefri suka wanita yang lebih nakal dan menarik, sehingga Winda se
“Nggak usah basa-basi, lah. Kamu ke sini mau ngapain?” Winda menunjukkan rasa tidak sabarnya.Jefri, yang mendengar nada tidak sabar dalam suaranya, hampir saja meledak. Namun, tiba-tiba matanya tertuju pada bibir merah Winda yang terluka. Jefri kemudian menyadari sesuatu sehingga wajahnya memucat."Bibirmu ...." Jefri berkata dengan gigi terkatup erat, tangannya yang sedang memegang bunga terlipat, ekspresinya seolah-olah sedang dikhianati.Tiba-tiba Jefri teringat pada saat dia menelepon Winda malam itu, dan Hengky yang menjawab teleponnya. Bagaimana bisa mereka berdua berada di satu kamar pada malam hari, dan Winda sedang mandi ....Jefri menggigit giginya dengan marah. Ada perasaan cemas tanpa alasan di hatinya. Jefri semakin tidak sabar. Jefri kemudian mengatakan kata-kata yang lebih sinis dan tajam.“Winda, kamu sebegitunya nggak punya malu? Kamu haus belaian pria banget memangnya, hah? Kamu bilang kamu suka sama aku, maksudnya apa?” Jefri menunjuk ke arah bibir Winda, sambil ber
Winda mencoba untuk tetap tenang. Dia mundur beberapa langkah, menjaga jarak dengan Jefri. Winda berusaha mencari tahu, bertanya, “Katamu Luna yang nyuruh kamu? Dia nyuruh kamu ngapain?”Jefri masih emosional, pandangan matanya dingin. Dengan amarah yang masih membara, Jefri menjawab, “Iya. Luna kasihan sama kamu, makanya dia minta aku ke sini jengukin kamu! Cewek jahat kayak kamu, entah sudah ngapain di kehidupan yang lalu, kok bisa-bisa dapat adik sebaik Luna. Coba saja kamu sedikit saja punya sifat kayak Luna, aku pasti nggak akan sejijik ini sama kamu!”Baik? Luna? Bukan karena Winda melakukan kebaikan di kehidupan lalu, tetapi mungkin karena Winda telah melakukan kesalahan di kehidupan lalu, itu lah sebabnya dia punya adik seperti Luna!“Dia ngomong gimana sama kamu?” Winda menahan rasa kesal di hatinya, terus bertanya pada Jefri. Karena Winda terlihat tenang, Jefri pun mulai mereda. Akan tetapi, matanya masih dipenuhi dengan kemarahan. “Aku tanya sama kamu, deh. Kamu ngerebut p
Winda seperti mengerti tentang semua yang terjadi. Sebenarnya dalam hati dia sudah curiga. Sekarang, kecurigaannya semakin nyata. Meskipun sebelumnya tidak ada bukti yang menghubungkan Luna dengan insiden ini, tetapi kejadian pagi tadi dan kata-kata Jefri tadi seakan membawa suatu fakta yang sekarang hampir terungkap.Setidaknya, kecelakaan ini pasti ada kaitannya dengan Luna. Luna pasti merasa bersalah sehingga dia mengirim Jefri untuk memata-matai Winda.“Nggak usah pura-pura bodoh, deh. Kamu sudah pasti tahu ‘kan bagaimana asal muasal kejadian ini?” ejek Winda dengan senyum sinis, “kamu juga pasti sudah ngerti Luna itu manusia macam apa.”Jefri marah, “Jangan sekali-kali kamu ngatain Luna!”Memang tidak akan pernah bisa membangunkan orang yang pura-pura tidur. Apalagi Jefri, otak pun tidak punya. “Aku tiba-tiba merasa, kamu dan Luna memang sangat serasi,” sindir Winda, bibir merahnya terangkat sinis, “Yang satu, buta, bodoh. Yang satu lagi murahan. Ya sudah deh, aku doain kalian la
Ketakutan menjalar di hati Jefri. Keringat dingin menetes di balik punggungnya. Dia sama sekali tak berani menatap langsung mata Hengky. Namun, jika Jefri harus menyerah begitu saja dan pergi, Jefri merasa tak rela. Jefri memantapkan hati, menekan ketakutannya. Dia menunjuk Hengky dan berkata, “Pak Hengky nggak salah? Jelas-jelas istrimu yang centil sama say ….”Belum saja kata terakhir di kalimat Jefri selesai diucapkan, tendangan Hengky terlebih dahulu mendarat di pahanya, membuat Jefri terjerembab ke lantai. Kemudian, sepatu kulit hitam Hengky menginjak punggung tangan Jefri, membuat Jefri mengerang kesakitan. Kulit putih Jefri memucat, keringat dingin mengalir di dahinya. “Hengky, kamu ….”“Saya nggak suka ada orang nunjuk-nunjuk di depan muka saya, ngerti?” suara Hengky terdengar jernih dan datar, tapi ekspresinya justru sebaliknya, “ini kali pertama, dan juga terakhir kalinya,” tambah Hengky. Tatapan mata penuh amarah itu membuat Jefri gemetar ketakutan. Jika sampai ada yang