Hati Winda terasa sangat sakit. Dia berusaha menutupi tubuhnya dengan pakaian lalu berbalik dan pergi meninggalkan kamar Hengky dengan raut wajah yang dipenuhi dengan rasa malu. Kemudian dia masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu. Dia duduk di atas lantai sambil memeluk lututnya erat-erat dalam gelap. Winda memang sengaja tidak menyalakan lampu di kamarnya. Semua yang terjadi di kamar Hengky terus berulang di benaknya dan mencabik hatinya sedikit demi sedikit. Hengky tidak menyukainya sama sekali. Laki-laki itu hanya ingin mempermalukan Winda agar Winda setuju untuk menceraikannya. Winda tahu semua itu, makanya dia merasa sangat sedih. Ternyata mereka berdua tidak memiliki perasaan yang sama. Winda terus berusaha untuk mempertahankan hubungan mereka, sedangkan Hengky justru terus memaksanya untuk menyerah. Hal ini terasa lebih menyakitkan dan sulit diterima daripada tidak dicintai oleh Hengky. Entah berapa lama Winda terduduk di dalam kegelapan kamar sampai akhirnya ada se
Namun, tanpa sadar Winda menjulurkan tangannya keluar dari selimut dan menarik ujung pakaian Hengky. Hengky tidak menyangka Winda akan melakukan hal seperti ini dalam keadaan tidak sadar. Dia mengira kalau Winda pasti salah menganggapnya sebagai Jefri karena demam tinggi yang sedang Winda derita. Hengky buru-buru mengembalikan tangan Winda ke dalam selimut dengan tatapannya yang berubah gelap. Kemudian dia bangkit dan mencari kompres instan untuk menurunkan panas di tubuh Winda lalu menempelkannya ke dahi Winda. Mata Hengky memancarkan kekesalan yang tidak terlukiskan ketika melihat perilaku Winda yang sangat ceroboh. Dia tidak menyangka perempuan kecil seperti Winda akan melakukan hal bodoh yang bisa menyakiti dirinya sendiri hanya karena masalah seperti itu. Bahkan laki-laki dewasa saja tidak akan sanggup menahan dingin ketika duduk di atas lantai hanya dengan mengenakan pakaian setipis itu berjam-jam, sekalipun suhu malam ini masih belum terlalu dingin. Mata Hengky dipenuhi denga
Bi Citra mengangguk seraya berkata, “Baik, Pak Hengky.”Kemudian Hengky berbalik dan hendak pergi setelah mendengar jawaban Bi Citra. Namun, dia menghentikan langkahnya seakan teringat akan sesuatu.Dia pun berbalik lalu berkata kepada Bi Citra, “Jangan lupa telepon aku juga kalau dia sudah bangun.”Bi Citra sempat tertegun setelah melihat Hengky yang hendak pergi keluar. “Pak Hengky, Bapak belum tidur sepanjang malam. Kenapa Bapak tidak kembali ke kamar dan beristirahat dulu saja sebelum pergi?” tanya Bi Citra cemas. “Nggak perlu, Bi,” jawab Hengky tenang. Kemudian dia kembali berbalik lalu naik ke lantai atas untuk mandi dan berganti pakaian. Dia sempat masuk ke dalam kamar Winda untuk melihat keadaan istrinya sebelum dia pergi menuju kantor. Bi Citra sempat memeriksa keadaan Winda beberapa kali. Winda memang belum bangun, tapi untung saja demamnya sudah hilang. Bi Citra merasa sedikit khawatir ketika Winda belum juga bangun sampai tengah hari. Akhirnya dia memutuskan untuk turun
Apa yang tidak dikatakan oleh Yolanda adalah tentang persentase keberhasilan yang tidak tinggi dalam hal ini. Sekarang mereka hanya memiliki satu kesempatan tanpa memiliki kesempatan lainnya karena jadwal Master Moka yang telah berubah. Padahal sebelum jadwal Moka diubah, mereka masih memiliki beberapa kesempatan kalau saja di hari pertama mereka tidak berhasil meyakinkan Moka. Winda tidak menyangka semua ini akan terjadi hari ini. Namun, Winda tidak bisa terpikir terlalu lama. Akhirnya dia berkata dengan tegas, “Aku akan bersiap dan pergi denganmu secepatnya. Apa pun hasilnya, aku harus tetap berjuang sampai akhir.”“Aku tahu kamu akan bilang ini. Aku sudah siapkan undangannya. Aku akan jemput kamu sekarang,” balas Yolanda.“Oke, sampai ketemu nanti,” pungkas Winda lalu menutup teleponnya. Kemudian Winda meminum obat yang telah disiapkan Hengky dengan air putih yang tersisa di gelasnya. Dia bangkit dari tempat tidurnya lalu masuk ke kamar mandi karena merasa badannya lengket. Mung
Bi Citra dam-diam mendengarkan lalu berkata dengan hati-hati, “Pak, gimana kalau Bapak menelepon Ibu dan berusaha membujuknya. Ibu pasti mau dengar Bapak ....”“Biar saja kalau dia memang benar-benar mau mati. Dia nggak perlu ngasih tahu aku,” balas Hengky sambil mencibir lalu memutus panggilan teleponnya.Kemudian dia membanting ponselnya ke atas meja kerja dengan ekspresi wajah mengerikan. Hengky benar-benar tidak habis pikir bagaimana mungkin hal pertama yang dipikirkan perempuan itu ketika dia bangun adalah laki-laki lain. Sia-sia saja selama ini Hengky sudah mengkhawatirkan keadaannya.Hengky menarik dasinya dan berusaha untuk menenangkan diri selama beberapa saat. Namun, tetap saja dia tidak bisa merasa tenang. Kemudian dia mengambil ponselnya yang ada di atas meja dan bergegas menghubungi ponsel Winda sambil menggertakkan giginya. Di sisi lain, ponsel Winda tiba-tiba berdering di saat dia belum sempat menelan bubur yang baru saja dimakannya. Winda langsung tampak ragu ketika m
Winda melangkah maju untuk menyapa. Namun, tiba-tiba saja pihak penyelenggara meminta Moka untuk pergi sebelum Winda sempat berbicara dengannya. Bahkan sampai akhir pameran Winda masih saja belum sempat untuk berbicara dengan Moka. Winda akhirnya merasa cukup mengantuk dan lelah setelah sepanjang sore menunggu kesempatan untuk berbincang dengan Moka. Apa mungkin dia mengantuk karena minum obat tadi siang?Yolanda terlihat cemas ketika melihat Winda yang terlihat kurang baik. Akhirnya, dia pun berkata, “Aku bawa kamu ke ruang istirahat saja, ya. Biar kamu bisa istirahat di sana. Lagi pula, acara ini nggak mungkin cepat selesainya.”Pihak penyelenggara Vlamira meminta Moka pergi setelah pameran selesai dan mungkin tidak akan kembali untuk sementara waktu. Namun, Moka pastinya akan kembali ke ruang istirahat setelah pameran ini selesai. Jadi, hanya saat itulah satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk bisa berbicara dengan Moka."Oke,” jawab Winda lalu bergegas berdiri dari kursinya.Na
Carol langsung mencibir dan menatap Winda dengan tatapan merendahkan lalu berkata, “Memangnya dia pikir siapa dia? Apa dia pikirnya bisa seenaknya saja bertemu sama Master Moka ketika dia mau? Dasar nggak tahu diri!”Carol tidak lupa memberikan tatapan sinis dan penuh permusuhan ketika melontarkan kalimat terakhirnya.Winda langsung mengernyitkan dahinya seraya menatap jijik ke arah Carol. Yolanda akhirnya melangkah maju dan mencoba berbicara kepada Lucy, “Halo, Lucy! Namaku Yolanda dan kita juga pernah bertemu sebelumnya. Apa kamu masih ingat?”Lucy memperhatikan Yolanda dari atas sampai bawah lalu tatapannya langsung tampak berubah. Dia jelas mengenali sosok Yolanda yang ada hadapannya saat ini. “Halo, Bu Yolanda.”“Sebelumnya aku sempat meneleponmu dan ini adalah teman yang aku ceritakan melalui telepon sama kamu. Dia benar-benar ingin bertemu Master Moka. Bisa tidak kamu tolong kami untuk tanyakan kepada Master Moka tentang kedatangan kami?” tanya Yolanda dengan nada sedikit memo
Namun, Carol justru menghempaskan tangan Luna lalu berkata, “Kamu ngapain sih narik-narik tanganku? Nggak apa-apa kok kalau kamu nggak mau bantuin aku. Pokoknya hari ini aku nggak akan pergi dari sini sebelum bisa menemui Master Moka.”Bahkan perempuan kurang ajar seperti Winda saja bisa bertemu dengan Master Moka. Jadi, bagaimana mungkin seorang Carol Gunawan tidak bisa menemuinya? Bagaimana mungkin dirinya bisa kalah dari seorang perempuan kurang ajar seperti Winda?Carol benar-benar merasa iri dan marah dengan kejadian ini. Semua emosinya terpancar jelas dari wajahnya. Di sisi lain, Luna terlihat kesal dan jijik dengan sikap Carol. Akhirnya, dia menyingkir dan tidak lagi berusaha menghentikan Carol. Yolanda menatap Carol dengan tatapan penuh permusuhan. Kemudian dia menarik tangan Winda dan berjalan masuk ke dalam ruangan. Carol juga melangkah maju berniat untuk ikut masuk ke dalam ruangan setelah melihat Lucy yang hendak berjalan masuk. Namun, Lucy langsung menghentikannya. “Sil