Bi Citra mengangguk seraya berkata, “Baik, Pak Hengky.”Kemudian Hengky berbalik dan hendak pergi setelah mendengar jawaban Bi Citra. Namun, dia menghentikan langkahnya seakan teringat akan sesuatu.Dia pun berbalik lalu berkata kepada Bi Citra, “Jangan lupa telepon aku juga kalau dia sudah bangun.”Bi Citra sempat tertegun setelah melihat Hengky yang hendak pergi keluar. “Pak Hengky, Bapak belum tidur sepanjang malam. Kenapa Bapak tidak kembali ke kamar dan beristirahat dulu saja sebelum pergi?” tanya Bi Citra cemas. “Nggak perlu, Bi,” jawab Hengky tenang. Kemudian dia kembali berbalik lalu naik ke lantai atas untuk mandi dan berganti pakaian. Dia sempat masuk ke dalam kamar Winda untuk melihat keadaan istrinya sebelum dia pergi menuju kantor. Bi Citra sempat memeriksa keadaan Winda beberapa kali. Winda memang belum bangun, tapi untung saja demamnya sudah hilang. Bi Citra merasa sedikit khawatir ketika Winda belum juga bangun sampai tengah hari. Akhirnya dia memutuskan untuk turun
Apa yang tidak dikatakan oleh Yolanda adalah tentang persentase keberhasilan yang tidak tinggi dalam hal ini. Sekarang mereka hanya memiliki satu kesempatan tanpa memiliki kesempatan lainnya karena jadwal Master Moka yang telah berubah. Padahal sebelum jadwal Moka diubah, mereka masih memiliki beberapa kesempatan kalau saja di hari pertama mereka tidak berhasil meyakinkan Moka. Winda tidak menyangka semua ini akan terjadi hari ini. Namun, Winda tidak bisa terpikir terlalu lama. Akhirnya dia berkata dengan tegas, “Aku akan bersiap dan pergi denganmu secepatnya. Apa pun hasilnya, aku harus tetap berjuang sampai akhir.”“Aku tahu kamu akan bilang ini. Aku sudah siapkan undangannya. Aku akan jemput kamu sekarang,” balas Yolanda.“Oke, sampai ketemu nanti,” pungkas Winda lalu menutup teleponnya. Kemudian Winda meminum obat yang telah disiapkan Hengky dengan air putih yang tersisa di gelasnya. Dia bangkit dari tempat tidurnya lalu masuk ke kamar mandi karena merasa badannya lengket. Mung
Bi Citra dam-diam mendengarkan lalu berkata dengan hati-hati, “Pak, gimana kalau Bapak menelepon Ibu dan berusaha membujuknya. Ibu pasti mau dengar Bapak ....”“Biar saja kalau dia memang benar-benar mau mati. Dia nggak perlu ngasih tahu aku,” balas Hengky sambil mencibir lalu memutus panggilan teleponnya.Kemudian dia membanting ponselnya ke atas meja kerja dengan ekspresi wajah mengerikan. Hengky benar-benar tidak habis pikir bagaimana mungkin hal pertama yang dipikirkan perempuan itu ketika dia bangun adalah laki-laki lain. Sia-sia saja selama ini Hengky sudah mengkhawatirkan keadaannya.Hengky menarik dasinya dan berusaha untuk menenangkan diri selama beberapa saat. Namun, tetap saja dia tidak bisa merasa tenang. Kemudian dia mengambil ponselnya yang ada di atas meja dan bergegas menghubungi ponsel Winda sambil menggertakkan giginya. Di sisi lain, ponsel Winda tiba-tiba berdering di saat dia belum sempat menelan bubur yang baru saja dimakannya. Winda langsung tampak ragu ketika m
Winda melangkah maju untuk menyapa. Namun, tiba-tiba saja pihak penyelenggara meminta Moka untuk pergi sebelum Winda sempat berbicara dengannya. Bahkan sampai akhir pameran Winda masih saja belum sempat untuk berbicara dengan Moka. Winda akhirnya merasa cukup mengantuk dan lelah setelah sepanjang sore menunggu kesempatan untuk berbincang dengan Moka. Apa mungkin dia mengantuk karena minum obat tadi siang?Yolanda terlihat cemas ketika melihat Winda yang terlihat kurang baik. Akhirnya, dia pun berkata, “Aku bawa kamu ke ruang istirahat saja, ya. Biar kamu bisa istirahat di sana. Lagi pula, acara ini nggak mungkin cepat selesainya.”Pihak penyelenggara Vlamira meminta Moka pergi setelah pameran selesai dan mungkin tidak akan kembali untuk sementara waktu. Namun, Moka pastinya akan kembali ke ruang istirahat setelah pameran ini selesai. Jadi, hanya saat itulah satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk bisa berbicara dengan Moka."Oke,” jawab Winda lalu bergegas berdiri dari kursinya.Na
Carol langsung mencibir dan menatap Winda dengan tatapan merendahkan lalu berkata, “Memangnya dia pikir siapa dia? Apa dia pikirnya bisa seenaknya saja bertemu sama Master Moka ketika dia mau? Dasar nggak tahu diri!”Carol tidak lupa memberikan tatapan sinis dan penuh permusuhan ketika melontarkan kalimat terakhirnya.Winda langsung mengernyitkan dahinya seraya menatap jijik ke arah Carol. Yolanda akhirnya melangkah maju dan mencoba berbicara kepada Lucy, “Halo, Lucy! Namaku Yolanda dan kita juga pernah bertemu sebelumnya. Apa kamu masih ingat?”Lucy memperhatikan Yolanda dari atas sampai bawah lalu tatapannya langsung tampak berubah. Dia jelas mengenali sosok Yolanda yang ada hadapannya saat ini. “Halo, Bu Yolanda.”“Sebelumnya aku sempat meneleponmu dan ini adalah teman yang aku ceritakan melalui telepon sama kamu. Dia benar-benar ingin bertemu Master Moka. Bisa tidak kamu tolong kami untuk tanyakan kepada Master Moka tentang kedatangan kami?” tanya Yolanda dengan nada sedikit memo
Namun, Carol justru menghempaskan tangan Luna lalu berkata, “Kamu ngapain sih narik-narik tanganku? Nggak apa-apa kok kalau kamu nggak mau bantuin aku. Pokoknya hari ini aku nggak akan pergi dari sini sebelum bisa menemui Master Moka.”Bahkan perempuan kurang ajar seperti Winda saja bisa bertemu dengan Master Moka. Jadi, bagaimana mungkin seorang Carol Gunawan tidak bisa menemuinya? Bagaimana mungkin dirinya bisa kalah dari seorang perempuan kurang ajar seperti Winda?Carol benar-benar merasa iri dan marah dengan kejadian ini. Semua emosinya terpancar jelas dari wajahnya. Di sisi lain, Luna terlihat kesal dan jijik dengan sikap Carol. Akhirnya, dia menyingkir dan tidak lagi berusaha menghentikan Carol. Yolanda menatap Carol dengan tatapan penuh permusuhan. Kemudian dia menarik tangan Winda dan berjalan masuk ke dalam ruangan. Carol juga melangkah maju berniat untuk ikut masuk ke dalam ruangan setelah melihat Lucy yang hendak berjalan masuk. Namun, Lucy langsung menghentikannya. “Sil
Moka mengangkat bahunya dengan ekspresi menyesal di wajahnya lalu berkata, “Sayangnya, saya tidak bisa menyetujui permintaanmu.”“Sekarang saya sudah sangat jarang mengambil alih pengerjaan perhiasan, terlebih lagi hasil desain orang lain. Jadi, mohon maaf saya tidak bisa menyetujuinya.”Moka melontarkan kata-katanya sambil menatap Winda dengan tatapan penuh penghargaan sekaligus penyesalan. Andai saja penawaran ini terjadi 2 tahun yang lalu, mungkin Moka akan menyetujuinya. Karena dia sangat mengapresiasi hasil karya dari para desainer muda. Namun, sekarang dia sudah hampir pensiun. Jadi, dia tidak lagi ingin memproduksi hasil karya dari orang lain. “Saya mengerti kalau saya kurang sopan dengan meminta Master Moka untuk memproduksi hasil desain saya. Tapi hal ini sangatlah penting dan saya harus mencobanya,” ujar Winda sambil tersenyum tenang. “Ada banyak desainer lainnya yang terkenal di industri ini. Kenapa kamu ingin saya yang melakukannya?” tanya Moka tampak tertarik dengan pern
“Saya kembali ke negara saya bukan semata-mata karena saya akan menikah dengannya. Tapi saya tetap merasa pilihan saya untuk kembali adalah pilihan terbaik bagi saya,” jawab Winda. Ayah mertuanya sempat datang menemuinya di Fontana untuk meminta Winda agar tetap bersedia memenuhi pertunangannya dengan Hengky. Winda sempat merasa ragu selama satu hari penuh. Namun, akhirnya dia membeli tiket untuk kembali ke negaranya dan pergi ke makam ibunya untuk duduk di sana sepanjang malam. Sampai akhirnya dia merasa yakin dan memutuskan untuk memenuhi pertunangannya. Bagaimanapun juga, ini adalah permintaan terakhir ibunya sebelum meninggal. Jadi, Winda harus memenuhi apa yang ibunya minta. Namun, proses pernikahannya tidak berjalan mulus. Saat itu, orang pertama yang menolak pernikahannya adalah ayahnya sendiri. Karena ayahnya ingin Luna yang menikah dengan Hengky. Selain itu, nenek dan bibi dari keluarga Pranoto juga menolak pernikahan mereka. Karena semua penolakan inilah, pernikahan mereka
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a