Samuel menyimpan USB flash drive itu dan mereka berdua pun tidak membicarakan hal itu lagi.Sebenarnya, Winda juga bisa mengeksposnya secara anonim. Namun, jika dia melakukannya, dia akan mudah ketahuanKalau mereka telusuri nanti. Bukannya dia takut pada Roma, tapi dia hanya tidak mau terlibat dengan orang gila.Selain itu, jika dia mengekspos hal ini secara anonim, keluarga Dirawa jadi bisa meredam postingannya, dan akhirnya apa yang dia inginkan tidak akan tercapai. Kalau tidak, dia tidak perlu menghubungi Samuel.Setelah selesai makan, Samuel mengantar Winda ke mobil dan mengamati wanita itu pergi sebelum kembali ke mobilnya.Melihat USB di tangannya, Samuel tersenyum. Dia jadi teringat pada tampang Winda yang kekanak-kanakan empat tahun lalu.Tujuh belas tahun yang lalu, kakaknya, Sandi, mendapatkan satu tugas dari seseorang, dan kliennya saat itu adalah ibunya Winda, Sinta Hanjaya. Saat itu, Sinta menandatangani surat warisan dan hibah, yang tanpa syarat mengalihkan seluruh harta
Winda memarkir mobil di garasi, lalu mengeluarkan ponselnya sambil berjalan. Dia ragu apakah dia harus menelepon Yolanda untuk mengajak wanita itu berbelanja di sore hari dan memilih hadiah.Sebelum dia sempat menelepon Yolanda, dia mendongak dan melihat Jefri berdiri di depan pintu.Wajah Winda tiba-tiba berubah dingin dan muak. Dia berjalan melewati pria itu dan hendak masuk ke rumah.Jefri meraih pergelangan tangannya dan berkata dengan nada sinis, “Kamu begitu membenciku sekarang? Bahkan nggak ingin menyapaku?”Winda menarik tangannya dengan tidak sabar dan menyeka bagian yang disentuh pria itu, seolah tangannya sudah ternoda oleh sesuatu yang kotor. Hal itu membuat Jefri merasa terhina dan tersinggung. Raut muka Jefri berubah masam dan tangannya yang dihempas oleh Winda tanpa sadar mengepal.“Kamu sendiri sudah tahu, lalu apa yang kamu lakukan di sini?” Winda mencibir dan berkata sinis, “Kamu mau mempermalukan dirimu sendiri?”Meski sudah siap diperlakukan seperti itu, Jefri teta
“Winda, beraninya kamu ....” Jefri tiba-tiba jadi kesal dan agresif mendengar perkataan Winda, dan bahkan ingin meraih tangan Winda.Winda menyilangkan tangan dan menatap pria itu dengan dingin, “Kalau kamu berani menyentuhku, aku akan melapor polisi.”Tangan Jefri hampir menyentuhnya, tapi pria itu ragu-ragu sejenak setelah mendengar kata-katanya dan lengannya akhirnya terjatuh.“Winda, jangan buat aku berbuat ekstrim.” Jefri mengertakkan gigi dan menatap tajam ke arah Winda.Winda tersenyum tipis dan berkata dengan tatapan dingin tanpa emosi, “Kamu juga jangan buat aku berbuat ekstrim. Kalau kamu datang mengganggu hidupku lagi, Gunawan Group bukan hanya akan bangkrut dan diakuisisi saja.”Raut muka Jefri mendadak berubah masam ketika mendengar Winda mengancamnya. Berdasarkan pemahamannya terhadap Winda, Winda pasti bisa melakukan hal seperti itu.Namun, dia tidak mau menyerah.Winda tidak menghiraukan perubahan ekspresi di wajah Jefri dan terus berjalan ke depan. Setelah berjalan dua
Winda tidak tahu pertemuannya yang barusan dengan Jefri itu dilihat oleh Hengky yang pulang untuk mengambil dokumen.Begitu masuk ke dalam rumah, Bi Citra datang menghampirinya.“Bu Winda, Ibu sudah pulang,” kata Bi Citra sambil melihat ke belakangnya, terlihat ragu untuk berbicara.Winda mengira Bi Citra mengetahui Jefri datang di sini, jadi dia berkata, “Bibi tolong bilang pada pihak manajemen, lain kali jangan biarkan orang itu masuk. Kalau dia memaksa masuk, langsung hubungi polisi.”Untung saja, Hengky sedang tidak ada di rumah saat ini. Kalau tidak, kalau pria itu melihatnya, dia tidak akan bisa menjelaskannya.Bi Citra menghela napas lega dan berkata, “Oke, Bu. Lalu, kalau Pak Hengky tanya soal ini ....”Winda berpikir sejenak dan memutuskan untuk menyembunyikannya. Dari awal, Hengky masih tidak percaya padanya karena Jefri. Kalau Hengky sampai tahu Jefri datang ke rumah lagi, entah apa yang akan Hengky pikirkan.“Nggak usah diberi tahu dulu.” Begitu dia mengatakannya, bel pintu
Winda meletakkan barang-barang yang dibawanya ke dalam lemari dan berjalan menghampiri Hengky.Hengky duduk bermalas-malasan di atas sofa kulit. Sinar matahari terbenam masuk melalui jendela setinggi langit-langit di kamar itu dan menyinari wajahnya yang sempurna itu, seolah-olah ada lapisan cahaya keemasan yang menghiasi wajahnya, membuatnya tampak semakin terkesan berkelas dan tidak mudah didekati.Winda berlutut dengan satu kaki di atas sofa, mencondongkan tubuh ke depan dan memeluk leher pria itu. Dia menikmati pemandangan wajah tampan di depannya itu sejenak, lalu memiringkan kepalanya untuk mencium pipi pria itu dan memuji dengan berani, “Suamiku ganteng banget!”Hengky mendongak dengan acuh tak acuh dan menatap wanita di depannya. Ekspresi mengerikan muncul di wajahnya.“Kamu ada keluar tadi?” Suara Hengky lirih, sama sekali tidak terdeteksi emosi apa pun di dalamnya.Winda sama sekali tidak menyadari ada yang aneh, mengangguk dan berkata, “Aku mengajak Yolanda pergi berbelanja
Winda menghela napas panjang, bangkit dari sofa dengan pasrah, lalu pergi mandi dan bersiap-siap. Kemudian, turun ke bawah sambil membawa kalung giok yang dibelikannya untuk Sekar.Hengky meliriknya sekilas, berdiri dan berjalan keluar pintu.Winda segera mengganti sepatunya, membawa tas dan hadiahnya, lalu berjalan mengikuti pria itu.Sopir sudah mengeluarkan mobil dari garasi dan memarkirkannya di luar vila. Hengky masuk ke kursi pengemudi, sementara Winda masuk ke kursi penumpang di sebelahnya.Begitu Winda masuk, Hengky melihat wanita itu membawa tas hadiah dari sebuah merek perhiasan.“Apa itu?” Hengky mengerutkan keningnya.Mendengar Hengky menanyakan apa yang dia bawa, Winda ingin mengeluarkannya untuk memperlihatkannya pada Hengky sambil berkata, “Kemarin aku melihatnya saat sedang belanja bersama Yolanda. Aku rasa Nenek akan menyukainya, jadi aku membelinya.”Dia membuka kotak itu dan menyerahkannya pada Hengky.Hengky menunduk dan melihat isi kotak itu, yaitu kalung giok bert
Hengky menatapnya selama beberapa detik dan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi ketika melihat wanita itu memejamkan mata, dia menelan kembali kata-katanya. Kemudian, dia menyalakan mobil dan menyetir keluar area vila.Ketika mereka sampai di rumah keluarga Pranoto, matahari sudah terbenam.Setelah mobil berhenti, Winda keluar dari mobil terlebih dahulu sambil membawa barang-barangnya tanpa menunggu Hengky, lalu masuk terlebih dahulu.Hengky menyerahkan kunci mobil kepada pelayan yang menunggu di luar dan segera mengikuti Winda masuk.Winda tidak berjalan cepat karena pergelangan kakinya yang keseleo belum sembuh total, sehingga Hengky bisa dengan cepat menyusulnya. Kemudian, Hengky dengan sengaja memperlambat langkah dan berjalan berdampingan dengannya.Winda sedang marah. Meski tahu Hengky mengejarnya, dia tidak melirik pria itu sedikit pun, karena takut mereka berdua akan bertengkar di rumah keluarga Pranoto.Hengky menoleh ke samping untuk menatapnya. Di bawah cahaya
Dia mengangguk, mendorong Hengky menjauh dengan ekspresi acuh tak acuh, dan berjalan lurus ke depan.Keduanya masuk ke dalam rumah. Sekar sedang berbincang dengan Dita dan Vivi. Saat melihat Winda masuk, senyuman di wajahnya seketika langsung memudar.Winda berjalan menghampirinya dengan senyum tipis di wajahnya. “Nenek, Tante.”Sekar membetulkan posisi selendang di bahunya, hanya melirik Winda tanpa berkata apa-apa, lalu matanya langsung tertuju pada Hengky di belakangnya.“Hengky sudah datang.” Sekar menatap cucunya. Melihat ekspresi Hengky yang tidak senang, dia langsung menatap tajam ke arah Winda.Sikap Sekar saja sudah seperti itu, apalagi Dita. Dita lebih tidak ingin melihat Winda. Dia langsung menganggap Winda tidak ada di sana, menatap Hengky dan berkata, “Kok Hengky kelihatannya kurusan akhir-akhir ini? Apa gunanya menikah kalau seperti ini? Aku nggak mengerti apa yang dipikirkan Kak Anton, menyusahkan putranya sendiri.”Dita mengatakan hal itu tanpa ada maksud untuk mencega