Hengky menatapnya selama beberapa detik dan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi ketika melihat wanita itu memejamkan mata, dia menelan kembali kata-katanya. Kemudian, dia menyalakan mobil dan menyetir keluar area vila.Ketika mereka sampai di rumah keluarga Pranoto, matahari sudah terbenam.Setelah mobil berhenti, Winda keluar dari mobil terlebih dahulu sambil membawa barang-barangnya tanpa menunggu Hengky, lalu masuk terlebih dahulu.Hengky menyerahkan kunci mobil kepada pelayan yang menunggu di luar dan segera mengikuti Winda masuk.Winda tidak berjalan cepat karena pergelangan kakinya yang keseleo belum sembuh total, sehingga Hengky bisa dengan cepat menyusulnya. Kemudian, Hengky dengan sengaja memperlambat langkah dan berjalan berdampingan dengannya.Winda sedang marah. Meski tahu Hengky mengejarnya, dia tidak melirik pria itu sedikit pun, karena takut mereka berdua akan bertengkar di rumah keluarga Pranoto.Hengky menoleh ke samping untuk menatapnya. Di bawah cahaya
Dia mengangguk, mendorong Hengky menjauh dengan ekspresi acuh tak acuh, dan berjalan lurus ke depan.Keduanya masuk ke dalam rumah. Sekar sedang berbincang dengan Dita dan Vivi. Saat melihat Winda masuk, senyuman di wajahnya seketika langsung memudar.Winda berjalan menghampirinya dengan senyum tipis di wajahnya. “Nenek, Tante.”Sekar membetulkan posisi selendang di bahunya, hanya melirik Winda tanpa berkata apa-apa, lalu matanya langsung tertuju pada Hengky di belakangnya.“Hengky sudah datang.” Sekar menatap cucunya. Melihat ekspresi Hengky yang tidak senang, dia langsung menatap tajam ke arah Winda.Sikap Sekar saja sudah seperti itu, apalagi Dita. Dita lebih tidak ingin melihat Winda. Dia langsung menganggap Winda tidak ada di sana, menatap Hengky dan berkata, “Kok Hengky kelihatannya kurusan akhir-akhir ini? Apa gunanya menikah kalau seperti ini? Aku nggak mengerti apa yang dipikirkan Kak Anton, menyusahkan putranya sendiri.”Dita mengatakan hal itu tanpa ada maksud untuk mencega
Winda tak berani mengangkat kepala untuk menatap Dita, karena takut jika dia tak sengaja tertawa, Dita akan sangat membencinya.Hengky terus menatap Winda dari sudut matanya, melihat betapa kerasnya Winda menahan tawanya. Entah kenapa, dia ikut tersenyum. Namun, hanya untuk sesaat. Setelah itu, dia kembali memasang ekspresi dinginnya.“Seburuk apapun Winda, aku sudah menikahinya. Dia adalah menantu keluarga Pranoto dan akan menjadi pemimpin dalam urusan rumah tangga di keluarga Pranoto di masa depan. Nggak ada yang boleh menghinanya! Menurut Nenek, apa Tante boleh berkata begitu pada istriku tadi?” ucap Hengky dengan dingin.Mendengar hal itu, Winda langsung mengangkat kepalanya dan menatap Hengky dengan heran.Apa dia tidak salah dengar? Hengky benar-benar membelanya, tidak segan-segan menyinggung perasaan tantenya ….Sekar tidak menyangka Hengky akan mengatakan hal seperti itu. Dia sangat terkejut. Meski dia tahu kalau cucunya ini memang menyukai Winda, dia tetap tahu sifat cucunya i
Dita memang ingin memaki Hengky, tapi hanya bisa melampiaskannya pada Winda. Namun, setelah Hengky mengatakannya secara blak-blakan seperti itu, dia jadi mengumpat dalam hati.Dia memandang Hengky. Raut mukanya sangat masam dan dia sangat kesal, tapi dia juga ragu. Akhirnya, dia hanya bisa berkata dengan nada aneh, “Mana boleh begitu. Kamu ini pemimpin keluarga Pranoto di masa depan. Tante mana berani memarahimu!”Hengky bahkan tidak mengerutkan keningnya saat mendengarnya, tapi Winda tidak dapat menahannya lagi.“Tante, kami menghormatimu sebagai orang yang lebih tua, tetapi Tante harus bersikap seperti manusia juga, dong ….”“Apa yang kamu bicarakan?” Dita tiba-tiba berdiri, menunjuk Winda dan berkata marah, “Kami orang-orang keluarga Pranoto sedang berbicara, apa hubungannya denganmu? Dasar kurang ajar. Aku benar-benar nggak mengerti bagaimana cara orang tuamu mengajarimu!”Sambil mengatakan itu, dia tak lupa menatap tajam ke arah Hengky, seolah-olah dia sedang menyalahkan pria itu
Saat itu, Adi selalu fokus pada Anton yang akan mewarisi bisnis keluarga dan jadinya lalai mendidik Dita. Meski dia tidak pernah setuju dengan metode Sekar mendidik Dita, dia tidak banyak ikut campur karena berbagai alasan.Dia pikir Dita akan berubah seiring bertambahnya usia dan menjadi seorang ibu, tetapi sekarang tampaknya begitu sifat seseorang terbentuk, akan sangat sulit untuk mengubahnya. Adi sangat menyesal. Seharusnya, mereka tidak usah terlalu memanjakan putri mereka dulu.Sekar awalnya memang sudah tidak terlalu senang. Ketika mendengar Adi menyalahkan semua ini padanya, amarah yang selama ini terpendam di dalam hatinya tiba-tiba meledak.Dia langsung berdiri, menatap Adi dengan marah dan dan bertanya dengan keras, “Adi, sebenarnya aku yang terlalu memanjakan putri kita, atau kamu yang terlalu baik pada anak haram itu? Dulu, kalau bukan karena kamu ….”Begitu kata “anak haram” keluar dari mulutnya, semua orang mengalihkan pandangannya ke arah Sekar. Semuanya terlihat terkej
Perkataan Dita mengenai “anak lain di luar” itu sukses menarik perhatian semua orang. Bahkan Hengky pun juga menatap Adi, menunggu penjelasan dari pria itu.Seluruh tubuh Adi gemetaran karena marah. Dia menunjuk ke arah Dita dan berkata marah, “Tutup mulutmu! Kalau kamu masih bicara sembarangan lagi, pergi dari sini!”Melihat reaksi Adi, Winda tiba-tiba merasa sedikit aneh. Reaksi Adi bukan seperti reaksi seseorang yang marah karena putrinya salah bicara, tapi lebih seperti marah karena rahasianya dibongkar ….Dia melirik ke arah Hengky dan melihat mata Hengky setengah tertutup. Emosi di wajah pria itu tidak bisa ditebak ….Dita menundukkan kepala, terlihat agak sedih dan kesal, tapi akhirnya tetap tidak berani membantah Adi, sehingga dia hanya bisa cemberut sendiri.Semua orang diam. Suasana di ruangan itu tiba-tiba menjadi canggung dan dingin. Ekspresi semua orang tampak muram.Winda merasa agak canggung. Bagaimanapun juga, semua ini bermula karena dia. Namun, karena masalah ini sud
Vivi pusing dan berkata dengan tidak berdaya, “Aku mau bantu Mama, tapi perkataan Mama tadi agak keterlaluan juga. Selain itu, Kakek juga sudah marah. Kalau aku masih membela Mama, bukannya bakal tambah marah?”Perkataan Vivi itu mengingatkan Dita. Dia langsung bertanya, “Mama baru saja menyuruhmu untuk membujuk kakekmu, kenapa kamu nggak pergi?”Vivi berkata dengan marah, “Mengapa Mama memintaku membujuk orang? Sama saja dengan menyuruhku untuk menyerahkan diri untuk dimarahi.”Setelah mengatakan itu, Vivi mengabaikan Dita, berbalik badan dan hendak pergi. Dita ingin melampiaskan amarahnya, tapi tidak ada yang bisa dilampiaskan, sehingga dia hanya bisa pergi ke ruang makan dengan penuh amarah.Situasi di ruang makan damai dan tidak ada tanda-tanda barusan terjadi pertengkaran.Pelayan membawakan semangkuk sup dan Adi langsung memberi isyarat kepada pelayan itu untuk meletakkan supnya di depan Winda dan menyuruhnya untuk mengambilkan satu mangkuk kecil untuk Winda.Ada bau obat. Senyum
Namun, dia hanya berani mengatakan hal seperti ini di dalam hatinya ….Winda meletakkan mangkuk supnya, menyeka mulutnya dengan serbet, lalu menatap Sekar dan berkata sambil tersenyum, “Nenek, aku dan Hengky nggak berencana punya anak sebelumnya, makanya aku nggak hamil-hamil. Nggak ada yang salah kok dengan tubuh kami, nggak perlu diperiksa.”Setelah mengatakan itu, Winda diam-diam menyenggol kaki Hengky dengan kakinya, meminta membantu pada pria itu agar mengatakan sesuatu.Bagaimanapun juga, membuat dirinya hamil bukan tugasnya sendiri. Kalau Hengky tidak mau bekerja sama, dia tidak akan pernah bisa hamil seumur hidupnya.Hengky memandangnya dengan acuh tak acuh dan langsung berkata langsung, “Aku nggak punya rencana untuk punya anak saat ini.”Winda tampak kecewa. Hengky tidak ingin punya anak, atau tidak ingin punya anak bersamanya?“Hengky, katakan yang sejujurnya pada Tante. Kamu nggak mau punya anak sekarang, atau dia yang nggak mau punya anak?” kata Dita dengan sengaja.Hengky
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a