Akan terus seperti itu, sampai orang yang dicintainya dapat merasakan cintanya.Hengky menyipitkan sedikit matanya, raut wajahnya sangat datar, tidak terlihat apakah dia marah atau gembira. Namun pria itu menatap Winda dengan tenang.Sorot mata perempuan itu terlihat sangat memikat, jari-jari panjang perempuan itu perlahan-lahan memanjat ke atas, lalu perlahan-lahan menyentuh bibir Hengky yang tipis dengan jemarinya yang dingin.Tindakan perempuan ini benar-benar sangat menggoda, penuh dengan nafsu dan juga godaan.Senyum manja perempuan itu mengembang di wajahnya yang dingin dan nakal, menggoda hati pria itu.Hengky menelan ludahnya, membuat jakunnya bergerak naik turun, bola matanya yang hitam semakin lama semakin gelap, sorot mata pria itu berangsur-angsur berubah menjadi penuh hawa nafsu.Perempuan kecil di depannya ini baru saja menuliskan kata “rayu” di atas wajahnya.Napas Hengky pun berubah menjadi lebih cepat. Ketika tangan dingin Winda menyentuh bibirnya, pria itu langsung me
Sesungguhnya, Winda mulai merasa tidak percaya diri terhadap dirinya sendiri.Bahkan mulai ragu terhadap penilaiannya sendiri.Mungkin juga Hengky sama sekali tidak suka dengan dirinya, hanya saja karena harus bertanggung jawab terhadap perjanjian pernikahan barulah pria itu memperlakukan dirinya dengan baik?Kalau tidak, mengapa setiap kali dirinya berusaha mengungkapkan perasaan betapa dia mencintai pria itu, tetap saja tidak pernah mendapatkan respons.Bi Citra dapat melihat peperangan batin di hatinya, raut wajah Winda yang begitu sedih dan juga penuh keraguan membuat Bi Citra tidak berdaya hingga menghela napas panjang. Di dalam hati perempuan itu ada sebuah dorongan yang sangat kuat, dorongan untuk memberi tahu kenyataan yang sebenarnya kepada Winda.“Ibu, sebenarnya ….”Winda menarik napasnya dalam-dalam, mengatur emosinya lalu tersenyum menatap Bi Citra dan menyelak ucapan perempuan paruh baya itu. “Aku nggak apa-apa, ‘kok. Bi Citra nggak usah repot-repot menghiburku, sekalipun
Winda melirik sekilas ke arah USB yang ada di atas meja itu, tapi tidak mengambilnya.Perempuan itu mengambil gelas kopinya dan meminum sedikit kopinya, setelah pelayan yang mengantarkan moka untuk Ziva pergi, barulah Winda bertanya, “File ini, apakah kamu masih menyimpan salinannya?”Ziva menggelengkan kepalanya, “Aku nggak bodoh, hal yang bisa menarik api dan membuat masalah untuk diri sendiri ….”Winda tertawa menghina mendengar hal ini, matanya yang gelap menatap perempuan yang ada di depannya lekat-lekat, “Kamu memang nggak bodoh, tapi kamu bisa menggunakan hal seperti ini untuk mengancamku, apa nggak mungkin kamu akan menggunakan trik yang sama untuk mengancam Roma?”Tangan Ziva yang memegang gelas mokanya langsung bergetar, membuat minuman di dalamnya tumpah keluar hingga mengenai atas meja. Perempuan itu buru-buru menaruh minumannya dan mengambil tissue yang ada di samping, lalu menundukkan kepala dan mengelap bekas minuman yang tumpah tersebut hingga bersih.Winda tersenyum me
Winda tersenyum kecil dan melepaskan tangannya.Jika benar-benar ingin hidup tenang, Ziva pasti tidak akan melakukan hal yang ‘cari mati’ seperti itu. Namun, kalau hal ini sampai terungkap, orang pertama yang dipikirkan oleh Roma mungkin adalah orang-orang di sekitarnya, dan jika Ziva membawa uang dan menemui Roma untuk mengakhiri kontraknya di saat seperti ini ….“Aku beri kamu satu saran lagi. Selagi hal ini belum terungkap, temui Roma untuk membahas pemutusan kontrak kerja sesegera mungkin. Setelah menandatangani kontrak itu, tinggalkan Jenela untuk beberapa waktu. Tunggu semuanya sudah kembali tenang, baru pulang lagi.”Meski Roma belum menikah, pria itu memiliki tunangan, yaitu Shania Purnawa, putri kedua dari keluarga Purnama. Keluarganya Roma dan keluarga Purnawa bisa dibilang memiliki kesepakatan untuk menikahkan kedua anak mereka. Kalau hubungan antara Roma dan Yuna sampai ketahuan orang luar, keluarga Purnawa bisa saja akan membatalkan pertunangan itu demi menjaga nama baik k
Samuel mendongak dan menatap Winda, tersenyum lembut dan bercanda, “Lama nggak bertemu. Bu Winda bahkan lebih cantik dari empat tahun lalu sekarang.”Winda tersenyum dan berkata sambil duduk, “Pak Samuel masih saja mulutnya manis kalau berbicara.”Samuel tidak memberikan reaksi.Saat pertama kali bertemu Winda, Winda baru berusia delapan belas tahun. Wanita ini mengenakan rok putih polos dan rambutnya yang lurus panjangnya sampai sebahu. Cantik sekali.Samuel masih ingat hal pertama yang dia katakan pada Winda saat itu, “Kamu dan ibumu mirip sekali.”Namun, mereka memiliki aura yang sangat berbeda.Sinta Hanjaya adalah wanita cantik yang memberikan kesan lembut dan polos, sedangkan Winda memberikan kesan dingin dan elegan, dengan sedikit keangkuhan dan kecantikan yang tak terlupakan.“Aku lihat ini sudah jam makan siang, jadi aku memesan tempat di sini,” kata Samuel dengan nada santai sambil menyerahkan buku menu kepada Winda. “Aku sudah memesan beberapa hidangan. Aku nggak tahu kamu b
Samuel menyimpan USB flash drive itu dan mereka berdua pun tidak membicarakan hal itu lagi.Sebenarnya, Winda juga bisa mengeksposnya secara anonim. Namun, jika dia melakukannya, dia akan mudah ketahuanKalau mereka telusuri nanti. Bukannya dia takut pada Roma, tapi dia hanya tidak mau terlibat dengan orang gila.Selain itu, jika dia mengekspos hal ini secara anonim, keluarga Dirawa jadi bisa meredam postingannya, dan akhirnya apa yang dia inginkan tidak akan tercapai. Kalau tidak, dia tidak perlu menghubungi Samuel.Setelah selesai makan, Samuel mengantar Winda ke mobil dan mengamati wanita itu pergi sebelum kembali ke mobilnya.Melihat USB di tangannya, Samuel tersenyum. Dia jadi teringat pada tampang Winda yang kekanak-kanakan empat tahun lalu.Tujuh belas tahun yang lalu, kakaknya, Sandi, mendapatkan satu tugas dari seseorang, dan kliennya saat itu adalah ibunya Winda, Sinta Hanjaya. Saat itu, Sinta menandatangani surat warisan dan hibah, yang tanpa syarat mengalihkan seluruh harta
Winda memarkir mobil di garasi, lalu mengeluarkan ponselnya sambil berjalan. Dia ragu apakah dia harus menelepon Yolanda untuk mengajak wanita itu berbelanja di sore hari dan memilih hadiah.Sebelum dia sempat menelepon Yolanda, dia mendongak dan melihat Jefri berdiri di depan pintu.Wajah Winda tiba-tiba berubah dingin dan muak. Dia berjalan melewati pria itu dan hendak masuk ke rumah.Jefri meraih pergelangan tangannya dan berkata dengan nada sinis, “Kamu begitu membenciku sekarang? Bahkan nggak ingin menyapaku?”Winda menarik tangannya dengan tidak sabar dan menyeka bagian yang disentuh pria itu, seolah tangannya sudah ternoda oleh sesuatu yang kotor. Hal itu membuat Jefri merasa terhina dan tersinggung. Raut muka Jefri berubah masam dan tangannya yang dihempas oleh Winda tanpa sadar mengepal.“Kamu sendiri sudah tahu, lalu apa yang kamu lakukan di sini?” Winda mencibir dan berkata sinis, “Kamu mau mempermalukan dirimu sendiri?”Meski sudah siap diperlakukan seperti itu, Jefri teta
“Winda, beraninya kamu ....” Jefri tiba-tiba jadi kesal dan agresif mendengar perkataan Winda, dan bahkan ingin meraih tangan Winda.Winda menyilangkan tangan dan menatap pria itu dengan dingin, “Kalau kamu berani menyentuhku, aku akan melapor polisi.”Tangan Jefri hampir menyentuhnya, tapi pria itu ragu-ragu sejenak setelah mendengar kata-katanya dan lengannya akhirnya terjatuh.“Winda, jangan buat aku berbuat ekstrim.” Jefri mengertakkan gigi dan menatap tajam ke arah Winda.Winda tersenyum tipis dan berkata dengan tatapan dingin tanpa emosi, “Kamu juga jangan buat aku berbuat ekstrim. Kalau kamu datang mengganggu hidupku lagi, Gunawan Group bukan hanya akan bangkrut dan diakuisisi saja.”Raut muka Jefri mendadak berubah masam ketika mendengar Winda mengancamnya. Berdasarkan pemahamannya terhadap Winda, Winda pasti bisa melakukan hal seperti itu.Namun, dia tidak mau menyerah.Winda tidak menghiraukan perubahan ekspresi di wajah Jefri dan terus berjalan ke depan. Setelah berjalan dua