Winda menatap Hengky beberapa detik dan menganggukkan kepala. Dia maju dan menggandeng lengan lelaki itu sambil tertawa dan berkata, “Ok, kita pulang!”Hengky tersenyum tipis dan meminta anak buahnya memanggil Santo dan pulang bersama. Santo mengendarai mobilnya Winda dan mengikuti mobil Hengky dari belakang. Winda duduk di samping kursi kemudi dan kerap melirik ke arah Hengky sekaan ingin mengatakan sesuatu.“Kamu mau bilang apa?” tanya Hengky setelah delapan kali kepergok tengah meliriknya.Winda yang sudah ketahuan tidak bisa lagi berbohong dan dengan jujur bertanya, “Bukannya kamu ke rumah sakit? Kenapa bisa ke rumahku?”Bibir Hengky menipis dan dia tampak seperti berpikir cara untuk menjawab pertanyaan Winda. Setelah beberapa detik dia berkata, “Kalau aku nggak datang, apa yang akan kamu lakukan?”Winda terdiam dan seperti teringat akan sesuatu. Mendadak hatinya berdegup cepat dan bertanya, “Kamu demi aku? Kamu menebak kalau Papa telepon aku karena masalah berita dan takut aku ngg
“Kalau kamu nggak mau pergi juga nggak apa-apa.”Winda menggelengkan kepalanya. Kesan keluarga Hengky pada dirinya sudah sangat buruk sekali. Kalau Winda tidak pergi, maka kesalahpahaman Nenek padanya akan semakin parah.“Aku yang bikin masalah dan aku harus menghadapinya.”Hengky mengangguk dan tidak berkata apa pun lagi. Mobil mereka berhenti di Lotus Residence, Winda turun dan hendak berpesan pada Hengky. Namun dia melihat lelaki itu juga ikut turun dari mobil.“Kamu nggak ke rumah sakit?” tanya Winda.Hengky berjalan masuk sambil berkata, “Nggak nginap di rumah sakit, cuma pergi periksa saja.”Winda mengikuti lelaki itu dari belakang sambil berkata dengan panik, “Bahu kamu terluka, lebih baik periksa dulu di rumah sakit biar aku tenang.”“Nggak perlu,” sahut Hengky sambil melepas sepatunya. Melihat mereka pulang, Bi Citra terkejut dan berkata, “Pak, Bu, kenapa sudah pulang? Luka Bapak sudah sembuh?”“Iya.”“Belum.”Hengky dan Winda menjawab di waktu yang bersamaan. Kening Henkgy be
“Ok, nanti aku kirim alamatnya.”“Ok!” sahut Jefri dengan suara yang terdengar riang.Luna tertawa dan ngobrol sesaat, setelah itu sambungan telepon terputus. Ekspresi Luna seketika berubah sebal dan jengah. Dia melemparkan ponselnya ke kursi samping kemudi dan mengarahkan mobilnya menuju supermarket.Mobil Jefri sudah terparkir rapi di depan rumah kontrakan Luna pada pukul jam enam lewat. Luna tahu kalau James tidak suka dengan Jefri, secara otomatis ayahnya tidak boleh mengetahui bahwa dia bertemu dengan Jefri. Lelaki itu juga tidak boleh menjemputnya di kediaman keluarga Atmaja.Jefri mengetuk pindu dan disambut oleh Clara.“Duduk saja, di sini sedikit sempit, jangan keberatan.” Clara menuangkan minuman dan memasang raut sedih.Jefri memandangi apartemen tersebut yang berbeda jauh dengan kediaman keluarga Atmaja. Dia yang terlahir dari keluarga kaya tentu saja tidak pernah tinggal di tempat seperti ini. Keningnya mendadak berlipat dalam.“Tante, kalian tinggal di tempat ini? Om Jam
Luna menghela napas dan memaksakan seulas senyum, “Kak Jefri, jangan bicara lagi. Aku yakin setelah amarah Kakak reda, dia bakalan izinkan kami kembali.”Ketika Luna berbicara, dia terus memperhatikan ekspresi Jefri. Melihat perubahan wajahnya yang tampak emosi, mendadak Luna menghela napas lega. Selama lelaki ini masih membelanya, maka Jefri masih ada gunanya buat Luna. Tidak sia-sia dia sudah menghabiskan banyak tenaga untuk bersandiwara dengan Jefri selama ini.“Luna, kamu terlalu baik makanya bisa diinjak-injak sama dia,” kata Jefri sambil menatap Luna dengan perasaan kasihan.Luna hanya tersenyum dan menggeleng sembari berkata, “Nggak perlu bahas tentang ini lagi, Kak Jefri fokus nyetir saja.”Melihat raut wajah Luna yang sedih dan tidak ingin membahas topik ini lagi, dia menahan dirinya untuk tidak membicarakannya lagi. Saat ini merupakan jam pulang kantor dan jalan raya sedang macet sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan ketika mereka tiba di kediaman keluarga Gu
“Bu-bukan ….” Luna bergegas menepis pertanyaan tersebut. Melihat kening Marina yang berkerut dalam, Luna menghela napas dan berkata, “Tante tahu kalau papaku nggak suka kami berhubungan dengan Kak Jefri.”Wajah Marina berubah gelap. Dia melepaskan pegangannya pada tangan Luna dan mendengus kesal sambil berkata, “Tentu saja Tante tahu! Semua karena kakakmu itu!”Kalau bukan karena Winda yang dengan tidak tahu malu mengejar putranya terus, mereka tidak mungkin menyinggung James. Kalau bukan karena Winda, putranya dan Luna sudah sedari dulu telah menikah. Winda yang membuat mereka akhirnya berselisihan dengan James dan akhirnya membuat Marina tidak terima.Jefri tercenung ketika mendengar Luna menyukainya. Matanya berbinar karena setelah sekian tahun kenal dengan perempuan itu, dia selalu merasa di antara mereka ada jarak tak kasat mata. Meski Luna tidak pernah menolaknya, dia juga tidak pernah menerima perasaannya.“Luna, kamu tenang saja. Selama kamu bersedia bersamaku, aku akan berusah
Marina melihat keduanya hanya menatap TV tanpa bicara, dia pun mengambil remote di atas meja dan mematikan TV.Jefri langsung tersadar, dia spontan melihat ke arah Luna dan berkata dengan suara yang berat, “Kakakmu sudah nggak menyukai aku lagi. Sekalipun kita bersama, dia juga nggak akan ganggu kamu lagi.”Jefri menatap Luna dengan lekat, berharap menemukan sesuatu dari ekspresinya yang tipis. Benar saja, dalam sekejap, Jefri melihat ada rasa muak di mata Luna.“Kak Jefri, bisa nggak kita nggak bicarakan hal ini dulu?” Luna menggigit bibirnya dan mendongakkan kepalanya sedikit untuk menatap Jefri. Di dalam mata perempuan itu penuh dengan rasa serba salah dan kesepian.Biasanya, Jefri pasti sudah melunak. Namun, entah kenapa hari ini dia menginginkan sebuah jawaban pasti. Bagaimanapun, dia telah menunggu selama bertahun-tahun. Hanya saja, Luna selalu mengabaikannya. Sekarang ibunya telah membicarakan hal ini, maka Jefri harus menanyakan hal ini sampai jelas.Jefri menatap Marina dan be
“Nggak akan.” Jefri mengucapkannya tanpa sadar, tapi di dalam hatinya justru panik bukan main. Dia menggertakkan giginya, lalu dia melihat wajah Luna yang seperti tersenyum tapi tidak tersenyum. Dia pun memantapkan hatinya dan berkata, “Luna, aku nggak takut untuk katakan yang sebenarnya padamu. Ada masalah dengan keuangan Gunawan Group. Aku harus menikah denganmu baru bisa dapat dukungan dari Om James untuk bantu Gunawan Group melewati masa sulit ini.”“Kamu juga tahu, dari dulu aku sudah suka sama kamu dan ingin menikah denganmu. Kamu juga pernah berjanji padaku, kalau aku bantu kamu lakukan hal itu, kamu akan pertimbangkan untuk menikah denganku. Hanya saja dipercepat sekarang.”Marina yang baru kembali dari dapur langsung mendengar ucapan Jefri. Raut wajahnya seketika berubah. Pada dasarnya keluarga Atmaja tidak begitu setuju dengan pernikahan ini. Jika mereka tahu ada masalah di Gunawan Group, takutnya keluarga Atmaja semakin tidak setuju.Sebenarnya Luna sudah lama mendengar bebe
Hengky sengaja memelankan langkah kakinya ketika berjalan mendekat, lalu dia memperhatikan wajah tidur Winda. Winda tampak sangat kelelahan, ada lingkaran hitam di bawah matanya. Suhu AC di ruangan itu agak rendah, Winda yang telungkup di atas meja sampai meringkuk karena kedinginan.Hengky menarik kembali pandangannya, lalu mengambil pena yang masih dipegang Winda. Tepat ketika dia membungkuk untuk menggendong Winda ke tempat tidur, dia melihat selembar kertas di bawah tangan Winda. Hengky mencoba melihat dari jarak lebih dekat, dia pun langsung mengenali garis besar coretan di kertas itu adalah sebuah bentuk cincin, sama seperti yang dia lihat di tong sampah hari itu.“Pak, Bu ....” Entah sejak kapan Bi Citra naik ke lantai atas dan berdiri di luar pintu. Baru saja dia hendak berbicara, Hengky tiba-tiba berbalik dan memberinya isyarat untuk diam.Saat ini Bi Citra baru melihat Winda yang sedang tidur. Dia spontan tersenyum mengerti, lalu berbalik dan turun ke lantai bawah.Hengky men