Kalau Hengky memberitahunya secara langsung bahwa dia menyukai Yuna dan memintanya untuk bercerai untuk menyerahkan posisinya sebagai istri pada wanita itu, dia tidak akan merasa sedih dan malu seperti sekarang.Kalau dia tidak mendengar suara Hengky, dia bahkan tidak akan percaya bahwa Hengky adalah orang seperti itu. Namun, kenyataannya memang seperti ini. Dia tidak boleh bermimpi.Winda tersenyum menertawai diri sendiri, mengangkat tangannya untuk menyeka air matanya, lalu berkata, “Ma, aku nggak mau ngomongin hal-hal yang nggak menyenangkan seperti ini lagi, deh. Aku sebenarnya baik-baik saja, Mama nggak perlu mengkhawatirkanku.”Dia bangkit dari tanah dan membungkuk dalam-dalam ke arah batu nisan itu. “Aku mau pulang dulu, Ma. Sampai jumpa lagi.”Setelah mengatakan itu, Winda berbalik badan dan meninggalkan kuburan.Halcyon Cemetary cukup jauh dari perkotaan. Ketika Hengky sampai ke sana, waktu sudah menunjukkan pukul jam tiga kurang.Dia memarkir mobil dan berjalan kaki ke pemaka
Pada saat ini, di rumah sakit.Santo melihat pesan yang tiba-tiba muncul dan buru-buru melapor ke Hengky.“Pak Hengky, ponsel Bu Winda sudah dihidupkan. Lokasi yang ditunjukkan berada di Backsea Street. Selain itu, rekening banknya juga baru melakukan pembayaran 400 juta, mungkin ….”Sebelum Santo selesai berbicara, Hengky berdiri dan memerintahkan, “Kirimi aku lokasinya. Aku akan ke sana sekarang.”Hengky mengambil jaketnya dari rak dan memakainya, mengambil ponsel serta kunci mobilnya, dan langsung hendak pergi.“Pak Hengky, aku akan ikut dengan Bapak.” Santo cepat-cepat meletakkan komputernya dan berdiri.Hengky berpikir selama dua detik, mengangguk, dan melemparkan kunci pada asistennya itu, dan keduanya pun meninggalkan rumah sakit bersama.Lampu-lampu di Backsea Street dihidupkan dengan terang benderang pada malam hari. Suara musik keras diiringi suara ombak. Lambat laun, semakin banyak orang datang ke sini.Winda setengah bersandar di kursi, meletakkan gelasnya ke samping, dan l
Winda mengerutkan kening, mendongak dan melihat ke depan.Tiga pria berusia dua puluhan berdiri di depannya dan menatapnya dengan ekspresi tidak bermoral.Winda merasa agak jijik, lalu berkata dengan nada dingin, “Apa maksud kalian?”Dia tidak menutup telepon, sehingga Martin bisa mendengar dengan sangat jelas. Dia cepat-cepat bertanya, “Kak Winda, ada apa?”“Aduh, Kak Winda.” Ketiga pria besar itu saling melirik dan tersenyum nakal pada Winda.Winda melihat senyuman yang tidak disertai dengan niat baik itu. Jantungnya berdegup kencang. Dia berkata dengan nada yang sangat dingin, “Kalau ada penyakit, pergi ke rumah sakit. Jangan bersikap bodoh di depanku.”Ekspresi ketiga orang itu seketika berubah. Senyuman di wajah mereka berubah menjadi amarah.Salah satu di antara ketiga pria itu orangnya cukup tampan. Pria itu menatap Winda dengan dingin, lalu berkata dengan tersenyum kecil, “Cantik, jangan ngomong begitu, dong. Kami kan hanya keluar untuk bersenang-senang. Kami juga nggak ada nia
Winda mengambil gelas wine yang ada di lantai, menuangkan anggur merah ke dalamnya sampai penuh. Lalu, selagi pria itu sedang berbicara, dia langsung menumpahkan semua anggurnya ke wajah pria itu.Pria itu sedang berbicara, sehingga anggurnya masuk ke mulutnya. Wajahnya memerah karena tersedak, memegang bahu pria di sebelahnya dan mulai terbatuk hebat.Pria tinggi itu langsung marah, langsung mengayunkan tangannya untuk menampar wajah Winda. Winda sudah berwaspada padanya sedari tadi, sehingga ketika pria itu hendak memukulnya, dia langsung menghindar ke samping, lalu memukul bahu pria itu dengan botol wine keras-keras.Pria itu menggeram kesakitan, memegangi bahunya dan menoleh untuk menatap tajam ke arah Winda.Dua pria lainnya juga baru sadar. Mereka memaki kasar dan hendak memukul Winda.Tatapan Winda berubah tajam. Dia menendang satu pria dengan satu kaki dan memukul kepala pria lain dengan botol anggur merah dengan tangan lainnya. Gerakannya gesit dan kuat, tanpa keraguan sedikit
Pria jangkung bernama Kak Arif itu menatap Winda dan berkata dengan senyuman jahat, “Anto, ambilkan sebotol anggur.”“Oke, Kak Arif,” jawab si Pria pendek dan gemuk, berjalan ke meja bundar untuk mengambil sebotol wiski dan berjalan kembali ke sana.Arif menarik rambut panjang Winda dan berkata sambil tersenyum dingin dingin, “Karena kamu nggak mau minum bersama kami, aku hanya bisa memaksanya!”Setelah dia mengatakan itu, dia memberikan isyarat mata pada Anto dan memerintahkan, “Paksa dia teguk bir!”Wajah Anto bengkak dan matanya kecil. Dari penampilannya, dia tampak seperti orang mesum. Ketika mendengar perkataan Arif, dia langsung tersenyum lebar dan ekspresinya berubah semakin mesum.Mereka menatap Winda dengan tidak sopan. Winda merasa sangat jijik. Melihat Anto membuka botol anggur, ekspresi di wajah Winda menjadi masam. Dia berkata dengan nada dingin, “Kamu berani menyentuhku? Apa kamu tahu siapa aku? Percaya nggak ….”Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Arif memegang da
Winda melihat orang-orang yang menonton dengan raut muka masam. Pada saat ini, dia mendengar suara wanita muda yang tiba-tiba berteriak di tengah kerumunan, “Bukannya itu Martin Yadira?”Gawat! Kata itu langsung terlintas di benak Winda.Seorang wanita lain berkata dengan bersemangat, “Sepertinya benar!”“Ada yang terjadi?”“Iya, ada apa ….”Diskusi orang-orang di sekitar semakin seru, dan suaranya semakin keras. Cahaya lampu di tepi pantai tidak terlalu terang. Mereka yang menonton takut terluka karena dipukul secara tidak sengaja, jadi mereka berdiri cukup jauh.Meskipun mereka curiga pria itu adalah Martin Yadira, mereka belum sepenuhnya yakin.“Cepat selesaikan,” bisik Winda kepada Martin.Martin tersenyum padanya dan menjawab “Oke”, kemudian langsung berlari ke arah Arif tanpa ragu, meraih pundak pria itu, dan menggerakkan lututnya ke perut pria itu.Winda juga tidak diam saja. Ketika kedua orang itu sedang berkelahi, dia juga menyerang dua orang lainnya dengan pukulan cepat dan k
Mata Winda langsung melebar. Dia berbalik badan dan melihat ke belakang. Ketika melihat Hengky, ekspresi kaget muncul di wajahnya.Mengapa Hengky bisa ada di sini?Santo berdiri di samping Hengky, bisa merasakan dengan jelas atasannya sedang marah. Udara di sekitar bahkan menjadi dingin.Hengky memasukkan satu tangan ke sakunya, menatap Winda dengan muka cemberut. Tatapannya dingin dan tajam. Dia menggerakkan bibirnya dan tipis dan perlahan berkata, “Kemarilah.”Nadanya tegas dan tidak boleh dibantah.Kalau Winda mendengar pria itu mengatakannya sebelum hari ini, dia pasti berjalan ke arah pria itu dengan patuh. Namun, sekarang, dia tidak bergerak.Kesabaran Hengky berangsur-angsur memudar. Wajahnya yang tampan sangat dingin, alisnya berkerut dan ekspresinya jelas tidak senang.“Win, kemarilah,” ulang Hengky, nada suaranya menjadi lebih galak.Winda seharusnya senang dipanggil begitu, tetapi yang terlintas di benaknya adalah bagaimana Hengky dan Yuna berpegangan tangan dengan mesra di
“Jangan bergerak,” ujar Hengky di sebelah telinga Winda dengan nada dingin.Winda membeku sesaat, kemudian digendong oleh Hengky. Dia refleks langsung mengulurkan tangan dan memeluk leher pria itu karena kehilangan keseimbangan.Begitu menyesuaikan diri dengan gendongan itu, dia segera melepaskan tangannya, mendorong Hengky dengan ringan, mengerutkan kening dan berkata, “Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!”Raut muka Martin tiba-tiba menjadi dingin. Dia mengulurkan tangannya untuk menghentikan Hengky, lalu berseru dengan suara yang berat, “Lepaskan dia!”“Sepertinya Sharon nggak pernah mendidikmu untuk jangan mencampuri urusan orang,” ujar Hengky dengan ekspresi dingin.Raut muka Martin sedikit berubah. Dia menatap Hengky dengan mata tajam, dengan sedikit amarah yang tersembunyi jauh di dalam pupilnya.Hengky memalingkan pandangannya dengan dingin, mengabaikan Winda yang meronta dan berjalan melewati Martin sambil menggendong wanita itu.Martin tidak menghentikannya, berdiri di sana d