Winda mengerutkan kening, mendongak dan melihat ke depan.Tiga pria berusia dua puluhan berdiri di depannya dan menatapnya dengan ekspresi tidak bermoral.Winda merasa agak jijik, lalu berkata dengan nada dingin, “Apa maksud kalian?”Dia tidak menutup telepon, sehingga Martin bisa mendengar dengan sangat jelas. Dia cepat-cepat bertanya, “Kak Winda, ada apa?”“Aduh, Kak Winda.” Ketiga pria besar itu saling melirik dan tersenyum nakal pada Winda.Winda melihat senyuman yang tidak disertai dengan niat baik itu. Jantungnya berdegup kencang. Dia berkata dengan nada yang sangat dingin, “Kalau ada penyakit, pergi ke rumah sakit. Jangan bersikap bodoh di depanku.”Ekspresi ketiga orang itu seketika berubah. Senyuman di wajah mereka berubah menjadi amarah.Salah satu di antara ketiga pria itu orangnya cukup tampan. Pria itu menatap Winda dengan dingin, lalu berkata dengan tersenyum kecil, “Cantik, jangan ngomong begitu, dong. Kami kan hanya keluar untuk bersenang-senang. Kami juga nggak ada nia
Winda mengambil gelas wine yang ada di lantai, menuangkan anggur merah ke dalamnya sampai penuh. Lalu, selagi pria itu sedang berbicara, dia langsung menumpahkan semua anggurnya ke wajah pria itu.Pria itu sedang berbicara, sehingga anggurnya masuk ke mulutnya. Wajahnya memerah karena tersedak, memegang bahu pria di sebelahnya dan mulai terbatuk hebat.Pria tinggi itu langsung marah, langsung mengayunkan tangannya untuk menampar wajah Winda. Winda sudah berwaspada padanya sedari tadi, sehingga ketika pria itu hendak memukulnya, dia langsung menghindar ke samping, lalu memukul bahu pria itu dengan botol wine keras-keras.Pria itu menggeram kesakitan, memegangi bahunya dan menoleh untuk menatap tajam ke arah Winda.Dua pria lainnya juga baru sadar. Mereka memaki kasar dan hendak memukul Winda.Tatapan Winda berubah tajam. Dia menendang satu pria dengan satu kaki dan memukul kepala pria lain dengan botol anggur merah dengan tangan lainnya. Gerakannya gesit dan kuat, tanpa keraguan sedikit
Pria jangkung bernama Kak Arif itu menatap Winda dan berkata dengan senyuman jahat, “Anto, ambilkan sebotol anggur.”“Oke, Kak Arif,” jawab si Pria pendek dan gemuk, berjalan ke meja bundar untuk mengambil sebotol wiski dan berjalan kembali ke sana.Arif menarik rambut panjang Winda dan berkata sambil tersenyum dingin dingin, “Karena kamu nggak mau minum bersama kami, aku hanya bisa memaksanya!”Setelah dia mengatakan itu, dia memberikan isyarat mata pada Anto dan memerintahkan, “Paksa dia teguk bir!”Wajah Anto bengkak dan matanya kecil. Dari penampilannya, dia tampak seperti orang mesum. Ketika mendengar perkataan Arif, dia langsung tersenyum lebar dan ekspresinya berubah semakin mesum.Mereka menatap Winda dengan tidak sopan. Winda merasa sangat jijik. Melihat Anto membuka botol anggur, ekspresi di wajah Winda menjadi masam. Dia berkata dengan nada dingin, “Kamu berani menyentuhku? Apa kamu tahu siapa aku? Percaya nggak ….”Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Arif memegang da
Winda melihat orang-orang yang menonton dengan raut muka masam. Pada saat ini, dia mendengar suara wanita muda yang tiba-tiba berteriak di tengah kerumunan, “Bukannya itu Martin Yadira?”Gawat! Kata itu langsung terlintas di benak Winda.Seorang wanita lain berkata dengan bersemangat, “Sepertinya benar!”“Ada yang terjadi?”“Iya, ada apa ….”Diskusi orang-orang di sekitar semakin seru, dan suaranya semakin keras. Cahaya lampu di tepi pantai tidak terlalu terang. Mereka yang menonton takut terluka karena dipukul secara tidak sengaja, jadi mereka berdiri cukup jauh.Meskipun mereka curiga pria itu adalah Martin Yadira, mereka belum sepenuhnya yakin.“Cepat selesaikan,” bisik Winda kepada Martin.Martin tersenyum padanya dan menjawab “Oke”, kemudian langsung berlari ke arah Arif tanpa ragu, meraih pundak pria itu, dan menggerakkan lututnya ke perut pria itu.Winda juga tidak diam saja. Ketika kedua orang itu sedang berkelahi, dia juga menyerang dua orang lainnya dengan pukulan cepat dan k
Mata Winda langsung melebar. Dia berbalik badan dan melihat ke belakang. Ketika melihat Hengky, ekspresi kaget muncul di wajahnya.Mengapa Hengky bisa ada di sini?Santo berdiri di samping Hengky, bisa merasakan dengan jelas atasannya sedang marah. Udara di sekitar bahkan menjadi dingin.Hengky memasukkan satu tangan ke sakunya, menatap Winda dengan muka cemberut. Tatapannya dingin dan tajam. Dia menggerakkan bibirnya dan tipis dan perlahan berkata, “Kemarilah.”Nadanya tegas dan tidak boleh dibantah.Kalau Winda mendengar pria itu mengatakannya sebelum hari ini, dia pasti berjalan ke arah pria itu dengan patuh. Namun, sekarang, dia tidak bergerak.Kesabaran Hengky berangsur-angsur memudar. Wajahnya yang tampan sangat dingin, alisnya berkerut dan ekspresinya jelas tidak senang.“Win, kemarilah,” ulang Hengky, nada suaranya menjadi lebih galak.Winda seharusnya senang dipanggil begitu, tetapi yang terlintas di benaknya adalah bagaimana Hengky dan Yuna berpegangan tangan dengan mesra di
“Jangan bergerak,” ujar Hengky di sebelah telinga Winda dengan nada dingin.Winda membeku sesaat, kemudian digendong oleh Hengky. Dia refleks langsung mengulurkan tangan dan memeluk leher pria itu karena kehilangan keseimbangan.Begitu menyesuaikan diri dengan gendongan itu, dia segera melepaskan tangannya, mendorong Hengky dengan ringan, mengerutkan kening dan berkata, “Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!”Raut muka Martin tiba-tiba menjadi dingin. Dia mengulurkan tangannya untuk menghentikan Hengky, lalu berseru dengan suara yang berat, “Lepaskan dia!”“Sepertinya Sharon nggak pernah mendidikmu untuk jangan mencampuri urusan orang,” ujar Hengky dengan ekspresi dingin.Raut muka Martin sedikit berubah. Dia menatap Hengky dengan mata tajam, dengan sedikit amarah yang tersembunyi jauh di dalam pupilnya.Hengky memalingkan pandangannya dengan dingin, mengabaikan Winda yang meronta dan berjalan melewati Martin sambil menggendong wanita itu.Martin tidak menghentikannya, berdiri di sana d
Hengky mengangkat alisnya dengan heran, melihat amarah di wajah Winda, dan tiba-tiba menyadari sesuatu.“Apa kamu mendengar apa yang dikatakan Yuna di rumah sakit?”Winda tidak menyangka Hengky akan langsung mengungkit soal apa yang terjadi tadi pagi di depannya dan sama sekali tidak ingin menghindarinya. Matanya langsung memerah. “Apa kamu nggak menyangka aku akan melihatnya? Kalau aku nggak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, kapan kamu mau mengakuinya padaku?”Hengky bertanya dengan suara rendah, “Apa yang dia katakan?”“Kamu nggak tahu apa yang dia katakan?” Winda berkata dingin, “Hengky, kalau kamu memang sangat menyukai Yuna dan nggak ingin bersamaku lagi, katakan saja langsung. Kenapa menggunakan cara ini untuk memaksaku?”Dia tidak mengerti mengapa Hengky datang untuk menyelamatkannya. Pria itu jelas-jelas bisa menyingkirkannya sepenuhnya dari hidupnya jika dia tidak kembali.Kalau bukan karena apa yang terjadi malam itu, dia tidak akan terperangkap ke dalam hubungan ini,
Santo ragu-ragu sejenak, lalu melanjutkan, “Bu, maaf kalau aku lancang. Tapi, kalau Pak Hengky benar-benar ingin membunuh Ibu, mengapa dia harus membahayakan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan Ibu? Aku nggak menyangka Ibu akan mencurigai Pak Hengky.”Wajah Winda memerah karena malu ketika mendengar perkataan Santo. Dia sangat bingung. Dia benar-benar dia pergi ke Gunung Minami hari itu karena keputusan yang tiba-tiba. Hengky sama sekali tidak tahu. Namun, hal tersebut tidak bisa membuktikan bahwa kejadian itu tidak ada hubungannya dengan Hengky. Lagi pula, dia melihat dan mendengar sendiri Yuna mengatakan hal itu pada Hengky ketika mereka bertemu di rumah sakit pagi ini.“Lalu, bagaimana kamu mau menjelaskan apa yang dikatakan Yuna?” Winda menatap Hengky dan bertanya dengan suara dingin.Hengky menatapnya selama beberapa detik dan berkata dengan tenang, “Aku sedang tidur ketika dia datang, jadi aku sama nggak mengetahuinya.”Winda tertawa dingin dan bergumam dengan suara rendah, “Kam
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a