Share

Wajah-Wajah Familiar

"Cepat masuk kamar sana," kata Maya, sembari mendorong asap rokok keluar dari mulutnya.

Diara masih di tempatnya. Melihat 3 pintu yang ada di ruangan itu. Harus bisa menebak, mana kamar milik Ranti. Jaga-jaga, mungkin saja kalau dia salah kamar, Maya akan tahu, kalau dirinya bukan Ranti.

Pintu nomor 1 ada di sebelah kanan Diara. Ada beberapa stiker yang menempel di pintu. Ular kobra. Merek Kaos terkenal di Yogya. Anak kecil bertopi merah dengan unjuk jari tengah. Gadis dengan tulisan Yang cakep, duduk di muka ( Dekat Mas Sopir ). Logo manajemen musik terkenal pada zaman itu.

Diara tersenyum penuh percaya diri melihatnya.

"Pasti yang ini kamarku," katanya dalam hati.

Melihat stiker-stiker pada zaman itu, membuatnya yakin. Karena 1 pintu yang lain polos. Tidak ada stiker apapun. Dan, pintu sebelahnya memiliki tirai kerang yang menjuntai ke bawah.

Diara berjalan ke arah pintu ber-stiker tersebut. Memegang gagang pintu.

"Kau, mau tidur di kamarku?" Tanya Maya.

Diara menegang. Berbalik badan.

"Oh..." Diara memutar pelan bola matanya.

"STIKER!" Pekiknya.

"Hah?" Maya mengernyitkan dahi.

"Aku tertarik dengan stiker di pintu ini. Wah, bagus-bagus. Ibu membelinya di mana? Hehe," pungkasnya. Sembari mengusap-usap stiker tersebut.

"Itu semua milikmu. Aku mengambilnya dari kamarmu."

Diara melebarkan mata. Merapatkan bibir. Mendesis pelan.

"Ah, benarkah? Pantas saja, seperti pernah melihatnya. Haha."

"Kau.. benar tak mabuk, kan?"

"Tidak, Bu. Sungguh."

Diara menggoyangkan telapak tangannya dengan cepat.

"Kamarmu di sebelah sana."

Maya menunjuk 2 pintu berdampingan itu dengan kepalanya.

Diara bergegas melangkah ke arah pintu itu. Menghembuskan napas panjang, ketika jaraknya sudah dekat.

"Jangan sampai salah lagi. Aku mohon," gumamnya.

"Tirai kerang itu.. di mana kau membelinya?" Tanya Maya.

Diara menengok.

"Tirai kerang untuk kamarmu itu.. di mana kau membelinya?"

"Oh.. itu.. di-"

"Lain kali, belikan aku yang seperti itu."

Diara mengangguk. Tersenyum girang. Karena tanpa menerka-nerka lagi, dia sudah tahu, kamarnya adalah yang pintunya terpasang tirai kerang.

Poster-poster tertempel di dinding. Penyanyi. Anggota band. Bahkan, aktor luar negeri pun ada di kamar Ranti. Meja belajar kayu yang kecil. Ada radio hitam dengan pengeras suara bulat di dua sisinya. Antena yang saat ini pendek. Bisa di panjangkan, saat mencari frekuensi stasiun radio. Di belakang radio, tertata rapi kaset-kaset dari beberapa penyanyi grup dan solo tanah air.

Diara mengambil salah satu kaset penyanyi grup yang terbentuk dalam sebuah band, dan seluruh personilnya adalah bersaudara. Awal muncul tahun 1968. Dan, meluncurkan album di tahun 1969.

Volume 2. Yang di pilih Diara. Dengan lagu andalan Andaikan kau datang kembali. Kebetulan, itu adalah lagu favoritnya. Ketukan drum yang halus terdengar kemudian.

Diara mengedarkan pandangan. Tidak ada yang spesial dari kamar Ibunya. Lemari pakaian di sebelah ranjang kayu. Dengan kasur kapuk merah muda tanpa sprei. Diara menyunggingkan senyum. Duduk kemudian, di atas kasur.

"Ternyata, kebiasaanku tidur tanpa memakai sprei itu dari Ibu," gumamnya.

Dari tempatnya duduk, ia melihat seragam putih abu, tergantung di balik pintu. Di sebelahnya ada tas serut hitam yang bisa dipakai Ranti sekolah. Seperti kantong besar. Tidak ada resleting. Hanya ada tali panjang di kedua ujung untuk di tarik, agar bagian atas tasnya tertutup. Tali itu juga yang tersambung ke bawah tas-fungsinya agar mudah membawa tas di punggung.

Diara berjalan mendekati seragam Ranti. Mengendusnya.

"Seperti ini, aroma Ibu."

**

Jam weker bulat, warna perak, dengan gambar ayam di dalamnya sudah berdering dengan kencang. Kepala ayam di dalamnya mematuk-matuk sepanjang hari.

Diara sedikit berjengit. Membuka matanya. Diam. Masih menata otaknya. Di mana dia sekarang? Setidaknya, itu yang dipikirkan. Sambil mengingat kejadian yang sudah terjadi kemarin. Lantas, mendesah singkat.

"Benar juga, aku lagi di kamar Ibu."

Menggeliatkan badan. Menguap lebar-lebar. Duduk. Lagi-lagi mengedarkan pandangan. Sebelum pandangannya tertuju pada cermin yang tertempel di dinding. Beberapa langkah di depannya. Semalam, dia tak sempat melihat cermin itu. Karena, lampu penerangan di kamar Ranti kurang cerah. Hanya bohlam kecil, yang memancarkan cahaya kuning di langit-langit kamar.

Diara turun dari ranjang. Mendekati cermin. Menatap dirinya. Mengusap pipinya.

"Wajah Ibu.. sangat mirip denganku."

"SAYANG! SAYANG! KAU, BELUM BANGUN?"

Teriakan Tomi dari luar rumah, membuatnya terkejut.

"Anak brengsek itu.. sudah aku bilang, jangan memanggilku seperti itu! Apa dia tidak takut pada Nenek?!" Gerutunya.

Lalu, ia membuka pintu kamar. Berjalan ke pintu depan. Menarik gagang ke arah dirinya.

"Kenapa teriak?!"

"Hehe, aku kira kau masih tidur."

"Di sini ada Ne-Ibuku. Kau tidak takut?"

Tomi menarik sudut bibirnya ke samping, sambil menaikkan satu alisnya.

"Hei, ayolah. Ibumu tidak ada di rumah."

Diara mengernyit.

"Tidak ada di rumah? Bagaimana kau tahu?"

Tomi mendecakkan lidah. Mendorong Diara ke dalam. Lantas, masuk ke dalam rumah.

"Setiap hari senin, Ibumu keluar rumah tengah malam. Dan, baru kembali juga malam hari."

"Sungguh? Memangnya, pergi kemana?"

"Kenapa kau menanyakan itu padaku? Harusnya, kau yang lebih tahu," kata Tomi, sembari duduk di kursi. Menyandarkan punggungnya.

"Ah, mungkin juga kau tidak tahu. Kau, kan tidak pernah mengobrol dengannya," lanjut Tomi.

"Ibu tak akrab dengan Nenek?" Katanya dalam hati.

Lantas, Diara bergegas mendekati Tomi. Duduk di sebelahnya. Dekat-dekat. Membuat tubuh Tomi menegang.

"Ka-kau, mau apa?"

"Tomi, katakan semua yang kau ketahui tentang Ranti-eh, maksudku tentangku dengan Ibuku."

"Hah? Apa maksudmu? Kenapa dari kemarin kau aneh sekali. Otakmu benar-benar bermasalah, Sayang?"

"Aku hanya ingin tahu saja. Bagaimana hubunganku dengan Ibu dari sudut pandang orang lain."

Tomi mendesah panjang. Mendesis kemudian. Sembari melipat tangan di dada.

"Hubungan kalian itu... Sangat sulit untuk di jelaskan."

**

Pukul 6.45. Tomi mendadak berdiri. Terbelalak matanya.

"SAYANG! KAU BELUM SELESAI? KITA SUDAH TERLAMBAT!" pekik Tomi, sambil mengetuk pintu kamar Diara.

Bincang pagi tadi cukup menyita waktu mereka.

"Jangan teriak-teriak. Aku sudah siap," kata Diara. Membuka pintu.

Tomi meraih tangan Diara. Mengajaknya berlari keluar.

Begitu tiba di luar, Tomi kembali ke rumahnya. Meminta Diara menunggu.

Diara mengedarkan pandangan. Sinaran mentari yang tersembunyi di antara daun-daun hijau, yang melambai karena angin, di pandang olehnya. Menghirup udara segar. Sangat minim sekali dengan polusi.

Kali pertama, Diara menikmati udara pagi dengan perasaan tenang. Bukan karena ia tak pernah bangun pagi, tapi, paginya selalu bangun dengan penuh kegiatan. Atau, berusaha mengurai masalah-masalah yang ada di otaknya.

Terpejam kedua matanya. Kicauan burung pagi menambah suasana menjadi syahdu.

Iya, benar. Aku.. mengandung anaknya Hara.

Sepotong kalimat dari Mila itu membuat senyum kecilnya mengerut. Berganti desahan berat.

"Mungkin.. lebih baik aku hidup di sini saja. Aku tidak mau bertemu mereka berdua lagi,"gumamnya.

TIN

Klakson motor terdengar kemudian. Tomi duduk di atas motor hitam dengan sayap di kedua sisi berwarna putih. Dengan stiker hijau merah di badan motor. Memakai helm putih. Seperti mangkok. Tersenyum pamer.

"Wah, ini motormu?" tanya Diara. Berjalan ke arah Tomi.

"Bagus, kan?"

"Antik."

"Antik dari mana? Ini keluaran terbaru!"

"Ah, iya. Ini kan tahun 1991. Motor itu baru saja keluar di tahun ini," kata Diara dalam hati.

"Ini cepat pakai."

Tomi memberikan helm dengan model yang sama.

"Kenapa kemarin kita tidak pakai motor ini?" tanya Diara. Memakai helm.

"Ayahku baru saja membelinya minggu lalu. Aku bisa tamat kalau langsung memakainya. Apalagi, izin kencan."

"Ayahmu cukup mengerikan sepertinya, eh?"

"Mirip diktaktor."

**

Pukul 7.15 mereka baru saja tiba di depan sekolah. Gerbang sekolah sudah tertutup rapat.

"Pikirkan bagaimana kita masuk ke dalam sekolah," pungkas Diara.

Tomi dan Sinta saling pandang.

"Sayang-"

"Sinta.. panggil namaku saja. Tidak apa-apa. Aku risih sekali mendengarnya."

"Kau, yakin?"

Diara mengangguk.

"Baiklah. Apa kau lupa? Memang hari ini, kita berencana bolos sekolah, kan?"

"Hah? Kalian gila? Siapa yang memberikan ide itu?"

"Kau," kata Sinta dan Tomi bersamaan.

"Aku? Lalu, untuk apa kita bolos?"

"Kita pergi ke tempat biasanya, tentu saja," jawab Tomi

"Tempat apa?"

"Pagi, Sayang!"

Diara mendesah panjang. Memejamkan mata singkat.

"Siapa lagi yang memanggilku dengan nama itu?!"

Diara berbalik ke arah kirinya. Melihat pemuda keren dan macho berjalan ke arahnya.

"Pagi, sayang," ulang pemuda itu.

"Tu-Tuan Darel?"

"Wah, apa kau mau jadi Bibi pengurus rumahku?"

"Darel? Siapa? Dia?" tunjuk Sinta pada pemuda yang merek sepatunya termahal di antara semua.

"Itu nama baruku? Aku suka. Tetapi, bukannya kau harus minta izin pada Ibuku kalau mau mengganti namaku, Sayang?"

Pemuda berwajah Tuan Darel itu menarik sudut bibirnya ke atas. Paling tampan dan wangi di antara semua. Tinggi. Kurus. Bibir agak mungil. Merah muda.

"Dia Haris. Sumber dana kita," jelas Tomi.

"Eh? Kenapa kau menjelaskan itu padanya?" tanya Haris.

Di detik selanjutnya, ia terbelalak. Mendekati Diara. Memegang kepala Diara. Mengamatinya dengan hati-hati.

"Kepalamu terluka? Kau baru saja mengalami kecelakaan? Kau lupa ingatan? Kita perlu ke rumah sakit?"

Diara mendorong Haris.

"Aku baik-baik saja," geramnya.

"Lalu, kenapa? Kenapa kau tidak tahu namaku? Kenapa Tomi harus menjelaskannya padamu."

"Benar juga. Kenapa kau tadi memanggilku Selly?"

Diara menatap wajah-wajah kawan Ibunya. Wajah yang tak asing baginya. Wajah yang sedang menunggu penjelasan darinya.

"Kalau aku cerita.. apa kalian akan percaya?"

"Tentu saja. Kami ini kan sahabatmu."

Diara menelan ludah. Menatap satu persatu ketiganya. Tangannya mengisyaratkan mereka untuk mendekat. Membungkukkan badan.

"Sebenarnya... Aku ini dari masa depan."

Ketiganya terbelalak.

"Sungguh?" tanya Sinta.

Diara hanya mengangguk.

"Aku dari tahun 2024. Dan, aku adalah anak dari pemilik tubuh ini."

"Wah.." ucap Haris. Menegakkan punggungnya.

Selaras dengan Sinta.

"Kau.. sungguh.. sungguh gila, rupanya," cetus Haris.

Haris dan Sinta tertawa.

"Kau terlalu banyak menonton film, Sayang," timpal Sinta.

Berbeda dengan keduanya, Tomi memandang Diara. Agaknya sedikit percaya.

"Lihat, kan? Kalian tidak percaya denganku."

"Kalau kau benar dari masa depan, lalu dimana UFO-mu?" ledek Haris.

"Kau pikir aku ini alien?!"

"Mungkin," ledek Haris. Lagi.

Tertawa kemudian. Menyenggol Tomi, yang lantas tertawa canggung.

"Sudah hentikan. Kita harus bagaimana sekarang? Apa benar aku yang meminta kita untuk bolos sekolah?"

Ketiganya kompak mengangguk.

"Bukannya hari Senin kita selalu pergi ke tempat itu?" tanya Haris.

"Tempat apa?"

"Sayang.. kau benar-benar lupa?"

Kali ini, Sinta yang bertanya.

Diara mendesah panjang.

"Panggil namaku saja. Aku risih kalau kalian terus memanggilku seperti itu."

"Kau.. yakin?" tanya Haris.

"Iya. Lagi pula nama Ranti juga tidak buruk. Kenapa aku tidak menyukainya?"

"Kau.. benar-benar lupa? Kenapa kau membenci nama itu sejak 3 tahun yang lalu?" timpal Tomi.

**

1989

Senja ketika itu. Ranti baru saja pulang. Setelah jalan-jalan dengan Tomi dan yang lain. Sementara di ruang tamu, tengah ada kawan Maya berkunjung.

"Kau masih mencari pria itu?"

"Pria siapa maksudmu?" tanya Maya. Menyeruput kopinya.

"Mantan suamimu tentu saja," bisik Vina-sahabat Maya.

"Gadis itu sedang keluar."

Vina mengangguk paham.

"Kau masih tidak pernah memanggil nama anakmu?"

"Untuk apa? Masih banyak panggilan lain. Tidak harus menyebutkan namanya, kan?"

"Lalu, kenapa kau memberinya nama itu? Ranti.. dia gundik suamimu, kan?"

Maya mendesah panjang. Mengisap gulungan tembakau. Meniupkan asapnya keluar.

"Wajah gadis itu mirip dengan Ayahnya. Aku benci sekali melihatnya. Karena itu, aku memberinya nama yang sama dengan perempuan iblis itu. Agar tidak ada celah untukku menyayangi dirinya."

Pintu yang sedikit terbuka itu memberi luka dalam pada Ranti di kala senja waktu itu.

Tidak jauh dari tempat Ranti berdiri, Tomi juga ikut mendengarkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status