Pria paruh baya berambut putih pomade, agak gemuk. Setelan jas abu tanpa kusut. Sepatu hitam licin sekali warnanya. Melangkah, mendekati Diara. "Hmm.. apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu.. tidak asing bagiku," kata pria paruh baya itu."Yeah. Mungkin, sekitar 20 menit yang lalu."Haris mengernyitkan dahinya."Tatapanmu sangat familiar bagiku. Well, mungkin saja kita pernah bertemu di suatu tempat."Diara menarik sudut bibirnya ke atas. Maju selangkah. Mendekatkan bibirnya ke telinga Haris."Aku.. datang dari masa lalu. Dengan pintu waktu. Bukan UFO," bisik Diara.Kalau kau benar dari masa depan, lalu dimana UFO-mu?Haris termenung sejenak. Kalimat itu muncul di benaknya begitu saja. Diara melangkah mundur."Aku adalah istri sah Hara. Aku tidak mengizinkan dia menikah sekarang.""Diara... Kita bicara di tempat lain, hm?" Hara meraih tangan Diara, yang segera di hempaskan."Tidak. Kita bicara di sini.""Diara, aku-""Kau pilih aku atau Mila?"Hara diam."Kau.. menghilang selam
"Mila! Kau, sudah tak waras?!" tukas Rendi."Kenapa kau jadi seperti ini, Mila?" tambah Selly."Dari awal, sifatnya memang seperti itu. Tak pernah berubah. Sangat licik," kata Diara.Mila mendengus."Tak perlu banyak bicara. Mau terima tawaranku atau tidak?""Kau, tidak perlu bertindak sejauh itu," kata Hara pada Mila."Jangan berpura-pura. Kau sudah merencanakan ini dengannya, kan? Aku benar-benar salah menilai mu! Uang.. bisa merubah sifat dan sikap manusia," kata Diara."Sekarang tahu, kan? Kekuatan uang itu tidak main-main." Mila menyombongkan diri."Kau terima atau tidak? Aku tidak punya banyak waktu!" lanjutnya.Diara diam sejenak."Diara.. kau tidak perlu meladeni dia. Aku dan Selly akan mencari jalan keluarnya," ucap Rendi."Rendi benar. Abaikan saja perkataan jalang itu." Buah simalakama. Jika ia tolak, maka nasib para anggotanya akan menyedihkan. Termasuk dirinya. Namun, jika ia terima hidupnya akan tamat. Mila akan memperlakukannya semena-mena.Diara mendesah panjang. Menu
1 Tahun Yang LaluMila nampak celingukan. Mengedarkan pandangan, sebelum masuk ke kamar mandi. Menguncinya dari dalam. Menutup kloset. Duduk di atasnya. Badannya gemetar. Bawah mata cekung. Matanya memerah. Sangat gelisah. Ia mengeluarkan tali karet yang cukup panjang. Di ikatkan pada lengannya. Erat-erat. Kemudian, mengeluarkan sebuah suntikan di mana telah berisi cairan bening. Ia suntikkan pada badannya.Tidak butuh waktu lama, untuknya merasa menggigil. Meski, ia tidak sedang flu atau demam. Menggigit bibir bawahnya. Matanya nampak sayu. Senyum-senyum. Selang beberapa menit, ia kembali menusukkan jarum yang sebelumnya kembali di isi cairan olehnya.Kali ini, gejalanya berbeda. Hanya di bagian menggigilnya sama. Namun, dengan erangan. Diara yang saat itu melintas di depan kamar mandi, mendengar erangan tersebut. Menghentikan langkah. Mengernyitkan dahi. Lantas, mendekatkan telinga pada pintu kamar mandi. Erangan Mila semakin kencang. Diara terbelalak. Menggedor pintu."Mila? Kau
Udara subuh memiliki aroma khas tersendiri. Bau segar yang memberi efek semangat pada tubuh. Langit sebagian masih berwarna biru sedikit gelap. Dengan siluet awan yang terhampar. Sebagian lagi mulai berwarna oranye. Matahari sedikit muncul di permukaan. Diara, Rendi, dan Selly tengah jalan-jalan pagi di sekitar pemukiman. "Wah, sudah lama aku tidak menikmati pagi seperti ini," kata Selly. Sembari meregangkan tubuh."Segarnya udara pagi ini," tambah Rendi."Tidurmu nyenyak semalam?" lanjut Rendi. Bertanya pada Diara."Emm.. tidak juga. Aku paling susah tidur di rumah orang lain.""Hei, jangan bohong. Aku mendengar dengkuranmu semalam," ucap Selly."Aku? Mendengkur? Haha. Yang benar saja. Justru, aku hanya tidur 2 jam saja.""Kenapa? Kau masih memikirkan kasus itu?" tanya Rendi."Kasus? Kasus apa, Ren?""Lagi-lagi nama itu. Ranti.. aku ini Tomi. Bukan Rendi."Diara menghentikan langkah. Menengok pada Rendi, yang berdiri di sebelah kiri. Mengerutkan dahi."Tomi? Jadi, maksudmu.. aku sek
"Asisten! Asisten! Cepat turun!" teriak Mila, dari lantai bawah. Di depan tangga."Hei, dia punya nama. Jangan kau panggil seperti itu," kata Hara. Berjalan mendekati Mila, dari arah dapur, yang tak jauh dari tangga. Di sayap kanan."Kenapa? Kan, memang dia asisten ku?!""Aku tahu. Tapi, panggil dia dengan namanya. Kau sendiri mau aku panggil Ibunya Bayi?"Mila cemberut. Mengerucutkan bibir. Sedikit menekuk lehernya. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum."Kalau begitu, aku akan panggil dia dengan namanya. Tapi.. kau harus memanggilku sayang. Bagaimana?"Hara hanya diam menatap Mila."Tidak mau? Ya sudah, aku panggil dia asisten saja.""Asis-""Dia tak akan turun. Mau seribu kali kau memanggilnya. Panggil namanya sekali. Dia akan muncul," jelas Hara. Meneguk air dalam gelas yang sedari tadi di bawanya."Kenapa begitu? Dia tidak sadar posisinya?""Bukan seperti itu. Ego dan harga dirinya sangat tinggi. Jadi, sekuat apapun kau menginjaknya—dia tak akan pernah berlutut."Mila mendesis kes
Beberapa waktu sebelumnyaRendi tengah gelisah di dalam kamarnya. Mencoba memejamkan mata, namun rasanya sulit. Tidur telentang. Tengkurap. Merunduk. Menutupi diri dengan selimut. Menutup kepala dengan bantal. Itu semua tak membuatnya bisa tidur dengan tenang. Lantas, ia duduk. Mengacak-acak rambutnya."Sial! Kenapa aku terus memikirkan Diara?"Rendi bukan tak ingin ikut lari pagi bersama Diara dan yang lain. Hanya saja, ia ingin sedikit menjauh dari Diara. Ada perasaan yang menggelitik hatinya, ketika melihat Diara. Kadang bahagia. Kadang sedih. Kadang merasa ingin melindungi Diara.Rendi memang sulit untuk mengartikan perasaannya sendiri. Bahkan, ia tidak peka. Si bodoh yang tampan. Itu julukannya sejak SMA. Memiliki suara yang indah, tak serta merta membuat Rendi di idolakan. Dia selalu bersikap konyol di depan gadis yang tak di sukainya. Dan, bersikap sok keren juga dingin, di depan gadis yang di sukainya."Apa sebaiknya aku susul dia?" gumamnya.Setelah cukup lama bergulat dengan
1991Di ruangan remang-remang, seorang gadis tengah terikat. Dengan mata di tutup oleh kain. Rambut pendek sebahunya berminyak. Tanda ia tak keramas beberapa hari. Aroma minyak tanah terendus di hidungnya, sepanjang ia di ruangan itu. Jika menangis suaranya menggema.Bahkan, langkah kaki dan gesekan besi di lantai semen saja juga menggema saat ini. Punggung gadis itu menegang. Isakannya berhenti. Dia berusaha menggerakkan tubuhnya."Hei.. Hei.. jangan bergerak. Nanti tubuhmu sakit."Suara seorang lelaki terdengar. Si pemilik langkah kaki."Le-lepaskan aku. To-tolong.""Hmm.. melepaskanmu? Kenapa? Kenapa aku harus melepaskanmu?""A-aku tidak mengenal siapa kau. Dan, aku tidak tahu, kenapa kau menculikku.""Hehe. Aku juga tidak tahu siapa dirimu.""Lalu, kenapa kau menculikku?!""Emm, karena kau menjengkelkan?""Apa?""Rima.. Rima.. Rima... Itu, namamu, kan? Berkat teman-temanmu.. aku jadi mengetahui namamu.""Temanku?""Mereka sedang mencari keberadaanmu. Ah, mereka selalu saja ikut ca
1989Sudah 4 bulan sejak Haris masuk ke SMU 991. Siswa paling tampan. Predikat yang di sandangnya. Pun, itu juga tak membuat Haris memiliki banyak teman. Karena, dia pendiam dan pemalu. Ke mana-mana selalu sendiri. Di kelas sekalipun. Kursinya ada di sudut. Paling belakang.Banyak siswi yang mendekatinya. Memberinya cokelat. Mengajaknya pulang bersama. Memberinya surat. Yang membuat dirinya di jauhi oleh para siswa.Well, setidaknya sebelum rumor itu tersebar.Haris Saputra. Dia anak orang kaya.Dalam sekejap, dia memiliki banyak kawan."Ris.. ada film baru di bioskop! Kita berangkat sepulang sekolah, ya? Kau yang traktir.""Ris.. ada restoran luar negeri baru membuka cabang di pusat kota. Hari sabtu kita ke sana, ya? Kau yang bayar.""Ris.. hari minggu aku ada kencan. Boleh pinjam motormu, kan? Sekalian, pinjam 30 ribu, ya? Ah, bensin penuh, kan?"Haris tidak pernah mempermasalahkan itu. Ia menganggap itu semua adalah bantuan dari teman untuk teman. Meskipun, setiap ke bioskop dia y
Diara melebarkan mata. Tersenyum gembira."Kita sahabat?""Heh? Kau, sudah tak ingin berteman denganku? Wah.. keterlaluan sekali. Mentang-mentang, kau baru saja memenangkan penghargaan Sutradara terbaik, kau jadi melupakanku."Diara memeluk Selly erat-erat."Mana mungkin, aku bisa melupakanmu. Susah dan senang, kita selalu bersama.""Well, benar juga. Aku bisa sampai di titik ini, juga karena dirimu dan teatermu."Diara melepaskan pelukan."Lalu, ada urusan apa kau kemari? Juga, Darel.. kenapa kau di sini?""Aku ada rapat pembacaan naskah. Tapi, Diara.. kenapa kau bisa kenal dengan kekasihku?""Kekasihmu? Kalian.. berpacaran? Bagaimana bisa? Seharusnya, aku yang mempertemukan kalian. Wah, kalau memang sudah takdirnya, jodoh pun tak dapat di rubah.""Kau ini bicara apa?""Sayang.. kau kenal Diara?" lanjut Selly."Tidak. Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya? Aku lihat-lihat, wajahmu juga tidak asing bagiku.""Hehe. Mungkin, kau tidak kenal denganku. Tapi.. aku sangat mengenalmu. Terutam
1983 "Dian! Cepat!" Dian yang sedikit ragu, akhirnya berlari ke arah Sonia. Di saat yang sama, Tomi mendobrak pintu. Dan, mengacungkan senjata."BERHENTI! LEMPARKAN PISAU ITU KE SAMPING. DAN, ANGKAT TANGAN KALIAN!"Dian yang panik, segera melempar pisau. Dan, bergerak sesuai perintah."Itu juga berlaku untukmu, pria brengsek! kata Tomi pada Kardi."Wah.. Tomi terlihat keren. Seandainya, aku perempuan.. aku akan menikahinya," celetuk Haris.Membuat Diara mengerutkan dahi. Menatapnya heran. Sementara, Kardi melepaskan Sonia."Kalian berdua, merapat ke tembok. Dan, jangan pernah menengok ke belakang!" perintah Tomi.Setelah itu, Diara segera menghampiri Sonia."Kau, baik-baik saja?"Sonia yang masih syok, hanya bisa mengangguk."Farel.. Anakku.""Farel? Dia ada di mana?"Sonia menunjuk ke lantai atas. Diara bergegas ke lantai atas. Membuka pintu kamar. Terlihat, Farel tengah berdiri dengan badan gemetar, di sebelah pintu. Diara berlutut di depannya."Semuanya sudah berakhir, Farel. Ka
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanya Haris. Duduk di sofa tunggal. Sementara, Tomi dan Diara duduk di sofa panjang. Di sebelah kirinya. "Entahlah. Mungkin sudah 30 tahun lebih? Sejak, kau menikah kita sudah tidak pernah bertemu," kata Tomi. Haris mengangguk. "Lalu, bagaimana kau tahu alamat rumahku? Apa.. kau memakai kekuatanmu menjadi Kepala Polisi, untuk melacak keberadaan ku?" Diara terbelalak. "Ayah, menjadi Kepala Polisi sekarang?" bisik Diara. "Oh.. Ayah belum cerita padamu?" "Wah.. keren sekali." Haris berdeham. Membuat Diara dan Tomi menatapnya. "Ah.. Diara yang memberitahu." Haris menatap Diara. "Dia.. anak Ranti?" Diara mendengus. Lalu, terkekeh. "Ayolah. Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu.. kau mengingat semuanya." "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kata Haris. "Kau masih ingin berbohong? Kau ingin aku percaya? Kau, tidak mengingat segalanya? Oh, Ayolah. Pertama kali, kau melihatku dan Ayahku tadi, kau tidak terkejut. Dulu kalian bersah
1992Tomi tengah menggendong Diara, yang tengah menangis karena sakit. Badannya demam sudah 2 hari. Mengayun tubuhnya, agar Diara segera tertidur. Butuh kerja keras selama 20 menit, untuk membuat Diara tidur."Dia sudah tidur?" tanya Ranti. Baru saja selesai mencuci baju."Iya. Baru saja.""Berikan padaku."Diara terbangun, ketika Ranti menyentuh tangannya. Seketika, menangis. Tomi mulai mengayun tubuhnya lagi."Biar aku saja," kata Tomi.Ranti mendesah singkat."Maaf, jadi merepotkan mu.""Hei, dia juga anakku. Kenapa harus mengatakan seperti itu.""Tapi, tetap saja..""Ingat, Ranti. Dia adalah anakku. Bukan anak orang kaya itu. Jadi.. jangan pernah sebutkan nama itu di depan Diara atau di depanku. Kau mengerti?"Ranti mengangguk paham.Keduanya menikah, saat usia kandungan Ranti masih 10 minggu. Tomi bergegas memberitahu orang tuanya, untuk segera meminang Ranti. Namun, Tomi juga menjelaskan kondisi Ranti. Cukup terkejut dengan itu, tapi, Tomi menjelaskan dengan baik. Dengan berat
2024Diara, Haris, dan Ranti saling berhadapan."Semuanya sudah berakhir, Bu. Kami.. berhasil menangkap Farel."Ranti tersenyum. Mendekati Diara. Menggenggam kedua tangannya."Kau sudah bekerja keras. Terima kasih, Diara.""Sekarang, Ibu bisa kembali ke sana dengan tenang. Jalani hidupmu yang sebelumnya hancur, karena laki-laki itu. Dan.. coba perbaiki hubunganmu dengan Nenek. Kau hanya perlu bersikap manis. Sesekali, makan bersama dengannya."Ranti mengangguk."Aku akan melakukan itu."Mata Ranti berkaca-kaca. Memeluk Diara."Maafkan Ibu, Diara. Selama ini, kau hidup dengan sangat tersiksa.""Tidak, Bu. Aku sudah cukup bahagia, bersama Bu Lia dan teman-temanku. Sampai jumpa di masa depan, Bu.""Kita bertemu lagi di masa kecilmu, ya? Ibu.. akan selalu ada di sampingmu sekarang."Setelahnya, Haris mengantarkan Ranti kembali ke masanya.Sekarang.. semuanya, akan baik-baik saja, kan?**"Ibu? Ibu? Di mana kau? Ibu?? Aku berhasil mengubahnya. Ibu?!"Diara berdiri di dapur, dengan terengah
Beberapa Jam Sebelum PenangkapanDiara dan yang lain kembali ke markas. Baru saja, selesai mengobati luka Haris dan Sinta."Hei, ada apa dengan Tomi?" tanya Haris pada Sinta. Tomi nampak lesu. Duduk di sudut. Sementara, Diara membereskan kotak obat."Laki-laki yang hampir menabrak ku tadi adalah kekasih Ranti," bisik Sinta."APA?" Haris nyaris berteriak."Pelan kan suaramu!""Tunggu.. jadi.. Ranti selingkuh dari Tomi?""Aku juga tidak tahu. Tapi, dari pengamatanku.. sepertinya, laki-laki tadi adalah kekasih pertama Ranti.""Jadi.. Tomi yang menjadi selingkuhannya?""Hmm, sepertinya tidak juga.""Lalu, bagaimana ceritanya? Kau ini, kalau bicara jangan sepotong demi sepotong. Menjengkelkan sekali."Sinta berdecak kesal. Lalu, berdeham."Ini menurutku.. cinta Tomi bertepuk sebelah tangan. Dan, mereka sebenarnya tidak pernah ada hubungan. Hanya saja, Tomi menganggap Ranti menerima cintanya. Kau tahu, kan? Ranti itu sangat baik hati. Dia.. tidak tega untuk mengatakan pada Tomi, jika ia su
Diara berada di markas DMA bersama yang lain. Mengulang kejadian, di saat mereka membahas kasus Rima. "Rima-""Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," sahut Diara. Memotong kalimat Tomi."Yap. Betul kata Ranti.""Orang tuanya sudah melapor. Namun, polisi belum menemukan petunjuk. Karena, si pelaku tidak meninggalkan jejak," jelas Diara.Tomi mendengus."Terima kasih, Sayang. Kau menjelaskan dengan sangat sempurna."Diara menggerakkan dua alisnya ke atas."Tidak ada saksi?" Sinta bertanya.Tomi menggeleng. Dan, Diara mendesah singkat."Kali ini, kalimatku akan cukup panjang," gumamnya, dengan nada lelah."Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. Lalu, mendesah panjang."Oh, bisakah kita segera pergi ke lokasinya? Tak jauh dari sini, kan? Haris ada 2 moto
Ketika manusia akan bertemu dengan ajalnya, maka.. akan di putarkan kisah hidupnya dari sejak ia di lahirkan, hingga di detik akhir hidupnya.Banyak manusia akan sangat menyesali perbuatannya semasa hidup. Tapi, juga akan banyak yang bersyukur dengan hidup yang ia jalani.Termasuk, manusia yang bergelar Ibu. Perjalanannya menjadi seorang Ibu, akan kembali di putar di hadapannya. Saat, berusaha untuk hamil. Lalu, mendapat kabar jika rahimnya sudah terisi malaikat kecil. Menjaganya sepenuh hati. Sampai, janin membesar dan sehat sempurna. Dan, ketika tiba janin tersebut di lahirkan. Bertaruh nyawa. Setengah mati. Menggendong bayinya pertama kali. Menyusui. Terjaga di setiap malam. Dia nikmati sendiri. Melihat senyuman pertama bayinya. Merasakan genggaman tangan mungil bayinya. Hingga, ia tumbuh besar. Kasih sayangnya, tak akan pernah pupus.Gambaran itu yang juga di lihat Ranti di sisa-sisa nafasnya, saat nyawanya hampir menghilang. Tersenyum dengan kesakitan. Tetesan air matanya untuk
"Haris.. kita perlu bicara," kata Sekar. Berdiri, agak jauh di belakangnya.Haris meletakkan kembali gagang telepon. Berbalik badan. Menatap Sekar lamat-lamat."Oh.. ada apa?"Sekar mendengus."Ada apa katamu? Dari mana saja kau?""Aku ada urusan.""Sangat penting urusanmu? Sampai, kau membiarkan Ayah dan Ibuku, menunggu di Restoran berjam-jam lamanya?"Haris tercengang. Menahan napas 1 detik."Ah.. maafkan aku. Aku.. lupa.""Lupa katamu? Tadi pagi, aku sudah mengingatkanmu, kan?""Iya. Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Nanti, biar aku menelepon Ayah dan Ibu, hm?"Sekar mendesah kesal."Kau.. masih berusaha mencari Ranti? Itu alasanmu tak datang tadi?"Haris diam. Menundukkan kepala."Kau tidak bisa menjawab? Yang artinya.. kau memang sengaja tidak datang tadi, karena tengah mencari Ranti. Kau sangat tega sekali, Haris."Haris membasahi bibirnya. Berjalan mendekat pada Sekar."Sungguh.. maafkan aku. Bagaimana, aku bisa menebus kesalahanku?"Sekar mengerutkan dahi."Kau.. benar Har