Diara segera mematikan telepon. Berlari masuk ke dalam apartemennya. Pergi ke kamarnya. Di ikuti oleh Hara.
"Jadi—itu tadi bukan mimpi?" gumamnya, sembari menatap TV-nya, yang masih menyala. Sedang memutar iklan. Hara yang berdiri di depan pintu, sambil berkacak pinggang—mulai kesal. Mengernyitkan dahi "Bisa kau jelaskan? Ada apa denganmu?" Diara menatap Hara dengan sorot mata bingung. "Kau tak akan percaya, jika aku bercerita." "Dan, aku tak akan pernah tahu—aku percaya atau tidak. Jika, tak kau ceritakan." "Mari kita duduk dulu," ajak Hara. Keduanya pun duduk di sofa, di ruang tengah. Saling berdampingan. Diara segera menceritakan, apa yang di alami barusan. Hara tertegun. Dengan desahan panjang. Diara meliriknya. "Lihat, kan? Kau tidak akan percaya." "Mmm.. Well, Mmm.. Memang, sulit untuk di percaya." Hara mengatakan itu, sembari berpikir. "Jadi, Randy yang akan di bunuh? Karena itu, kau meneleponnya tadi." Diara mengangguk. Sambil mendesah singkat. Menundukkan kepala. Hara bergeser mendekat padanya. Melingkarkan tangan pada bahu Diara. "Aku rasa.. kita sudah tidak dalam hubungan, di mana kau bisa menyentuhku seperti ini." Diara melirik Hara dengan sinis. Hara bergeser menjauh. Menarik tangannya. "Setidaknya.. kau masih istriku," gumamnya. "Ya. Memang, aku masih istrimu. Lalu, mau kau apakan kekasih tercintamu itu?" Hara memejamkan mata kesal. Duduk menyamping, agar menghadap Diara. "Kebetulan, kau sudah tidak emosi lagi. Aku akan menceritakan semuanya padamu." "Cerita tentang malam pertamamu dengannya? Oh, maaf—aku tidak tertarik." "Tidak. Tentang—bagaimana aku bisa ada di apartemen Mila." "Kau datang dengan sukarela pastinya." Tarikan napas panjang dari Hara, memulai ceritanya. MALAM SEBELUM KEJADIAN Mila tengah mondar-mandir, di depan gedung apartemennya. Sembari menggigit kuku jari. Dengan ponsel, di genggam tangan kiri. Tak lama kemudian, deru motor Hara terdengar mendekat. Mila mengembangkan senyum. Melihat Hara berhenti di depannya. Menurunkan standar motor. Dan, melepas helm-nya. "Kenapa kau tunggu di sini?" tanya Hara. "Aku takut. Di dalam gelap." Hara mendesah singkat. "Ayo cepat masuk. Aku ada janji dengan Diara." Mila mengangguk. Dan, berbalik badan. Sebelumnya—Mila telah menelepon Hara. Meminta tolong pada Hara, karena lampu di kamarnya mati. "Apartemen mu sangat mewah. Apa di sini tidak ada petugas? Kau bisa minta tolong pada mereka," kata Hara, sambil mengganti bohlam. "Oh.. Mmm.. Tapi, aku tidak bisa membiarkan laki-laki masuk ke dalam kamarku." Hara mendengus. Turun dari kursi kecil. Berputar. Menghadap Mila, sembari berkacak pinggang. "Kau pikir aku perempuan?" tanya Hara. Alis kirinya naik. Mila meringis. "Maksudku—laki-laki yang tidak aku kenal." "Kau, kan punya kakak? Kenapa tak meneleponnya?" "Ah, Kakakku sibuk. Dia jarang mengangkat teleponku." Hara mengangguk paham. "Aku sudah mengganti bohlam-nya. Coba kau nyalakan." Giliran Mila yang mengangguk. Menekan saklar di tembok sebelah kanannya. Tersenyum, saat melihat kamarnya kembali cerah. "Sudah, kan? Aku pergi dulu." Hara keluar dari kamar. Berjalan menuju pintu. "Hara.. duduk sebentar." "Huh? Ada apa? Diara sudah menungguku." "Minum dulu. Aku buatkan sirup." "Oh, tidak usah." "Aku yang keberatan. Kau.. sudah membantuku. Setidaknya, aku harus membalas mu." Hara mengerucutkan bibir. Berpikir sejenak. "Beri es yang banyak. Aku sangat haus." Mila tersenyum lebar. Mengangguk. Dan, segera membuat sirup untuk Hara. Sementara, Hara duduk di sofa. Sembari mengedarkan pandangan. "Kau tidak takut tinggal sendiri?" tanya Hara. "Kau sendiri? Bukannya, kau dan Diara juga tinggal sendiri?" "Ah, kalau kami sudah terbiasa." "Ah, begitu." Mila memperhatikan Hara. Dan, dengan hati-hati, ia memasukkan bubuk putih, yang sebelumnya terbungkus oleh kertas. Mengaduk minuman Hara. Kemudian, membawanya ke Hara. "Berapa sewa apartemen ini? Pasti mahal?" "Aku tidak menyewanya. Hehe." Mila meletakkan gelas bening, di meja depan Hara. "Kau membelinya?" Hara terbelalak. "Iya." "Wah, kau cukup kaya juga. Lantas, kenapa kau ikut di kelompok teater kita? Kau bisa saja, ikut kelompok lain yang lebih bergengsi." "Aku suka saja dengan kelompok kita. Terutama, ada kau." Hara melirik Mila, dengan kerutan di dahi. "Kau merayuku sekarang?" "Kenapa? Kau ingin di rayu?" "Tidak. Aku hanya cinta dengan Diara." Mila tersenyum kecut. "Tentu saja. Aku tahu. Cepat minum." Hara segera meneguk sirup merah itu sampai habis. Lalu, mengusap bibirnya. "Ah, segar sekali. Terima kasih, Mila. Aku pergi dulu." "Oh, baiklah." Hara kemudian berdiri. Melangkah dua kali, lantas berhenti. Memejamkan mata, sembari dahinya berkerut. "Ada apa ini?" desisnya. "Kenapa?" "Entahlah. Kepalaku tiba-tiba pusing." "Oh, lebih baik kau duduk lagi." Hara mendorong udara keluar dari mulut. Kembali duduk. "Istirahat sebentar. Aku akan telepon Diara." "Tidak usah. Nanti, dia akan salah paham." "Ah, begitu." Mila menyeringai. ** "Lalu, apa aku harus percaya begitu saja? Kau sudah banyak membohongiku, Hara." "Aku tahu, Sayang-" "Jangan panggil aku dengan sebutan itu." "Baik, Maaf. Aku tahu, Diara. Kau tidak akan percaya dengan mudahnya. Tapi, sungguh itu yang terjadi." "Lantas, Mila berbohong?" "Ya. Aku yakin, dia sengaja memanggilku ke apartemennya. Dan, menaruh sesuatu pada minuman, hingga aku tak sadarkan diri." "Oke. Katakan begitu. Tapi—bagaimana dengan janin yang di kandungnya? Alat itu menunjukkan 2 garis. Sebuah janin tak akan terbentuk, hanya dalam satu malam, Hara. Itu butuh proses yang panjang! Yang berarti—kau tidak hanya sekali tidur dengannya." "Aku bersumpah demi diriku sendiri, Diara. Itu bukan anakku. Kau tahu aku, kan? Huh? Bahkan, kita saja belum pernah tidur bersama. Aku sangat menjaga kesucian mu. Lantas, untuk apa aku merenggut milik Mila? Sedikit pun, aku tidak tertarik dengannya." Diara diam untuk sejenak. "Biarkan aku berpikir. Sekarang, kau pulang saja." "Tidak. Aku akan menginap di sini. Lagi pula, kau sudah menjadi istriku. Kalau perlu, kita ke kantor agama sekarang." Diara mendengus. "Kau pikir semudah itu? Aku belum percaya padamu sepenuhnya, Hara! AKU BUTUH WAKTU!" pekik Diara, di kalimat terakhir. Membuat Hara mendesah pasrah. "Baiklah, aku pergi. Asalkan, kau jangan menghilang lagi seperti itu." "Tinggalkan aku sendiri." Diara menundukkan kepala. Dengan jemari berada di pelipis kanan dan kiri. Tak memiliki pilihan lain, Hara pun berjalan keluar. Setelahnya, Diara kembali ke kamar. Kembali memandangi TV. "Bagaimana, aku bisa kembali ke tempat itu?" gumamnya. Sembari memandang TV, yang masih menyala. Ia mengingat momen itu. Di mana, ia tiba-tiba masuk ke dalam dimensi lain. Di detik selanjutnya, Diara melebarkan mata. Menjentikkan jari. "Film itu.." Diara pun segera mengganti-ganti chanel. Mencari film komedi, yang menjadi jalan untuk masuk ke dimensi lain. Namun sayang, tidak ada film itu. "Apa mungkin, bisa dari ponsel?" Diara segera masuk ke situs video—di mana ribuan video tersaji dalam situs itu. Mengetik judul film, di kolom pencarian. Dan, memutarnya. Kemudian, meletakkan ponsel di atas ranjang. Dan, menunggu. Bola matanya berputar perlahan. Tidak ada yang terjadi. Desahan kesal pun terdengar darinya. "Sial sekali." Tak lama kemudian, iklan tentang film komedi, yang di putar semalam pun muncul. Karena, memang ini sudah masuk dalam musim liburan. Film komedi itu wajib di putar di TV. Pun, orang-orang tidak pernah bosan melihatnya. Diara terbelalak. Menengok. Lampu kembali berkedip. Tubuh Diara kembali menjadi serpihan. Ia mendesis kesakitan. "Sial! Kali ini sakit sekali!" Dalam waktu 3 detik—Diara sudah menghilang. ** Diara muncul di jalanan yang sepi. Kali ini, sore hari. Diara mengedarkan pandangan, setidaknya sebelum seseorang tiba-tiba menggandeng tangannya. Mengajaknya berlari. Diara terkejut. Namun, tak dapat berontak. "Hei! Siapa kau? Lepaskan aku!" "Lantas, kau ingin tertangkap?" Laki-laki berkemeja kotak-kotak, berwarna abu pekat dan abu muda, agak kebesaran itu menengok sejenak. Sembari tersenyum. Menunjukkan lesung pipinya. Diara mengernyitkan dahi. "Randy?" "Percepat lari mu! Kita akan tertangkap!" "HOI, KALIAN! BERHENTI!" Diara menengok ke belakang. Melihat dua laki-laki, yang memakai polo t-shirt walrus dominan putih, mengejar mereka. "Sial!" Diara mempercepat larinya. Mereka berbelok ke kanan kemudian. Lalu, masuk ke dalam gang sempit. Saling berhadapan. Sementara, dua laki-laki, yang mengejar mereka, terus berlari. Diara dan Randy terengah-engah. Mengatur napas. "Oke, bisa kau jelaskan? Kenapa mereka mengejar kita?" Randy mendengus. Tatanan rambutnya, berbeda dengan Randy di tahun 2024. Jika Randy masa depan memiliki gaya rambut panjang di bagian tengah, dan sisir ke belakang. Sementara, sisi kanan-kiri nya sangat tipis. Hampir botak. Sedangkan, Randy masa lalu—memiliki rambut belah tengah, yang bagian atas panjang. Dan, pendek di bagian bawah. "Kau ini kenapa? Kau lupa? Tadi, kita masuk ke bioskop tanpa membeli tiket?" "Hah? Kenapa? Di sini.. kau juga tidak punya uang?" "Uang? Haha. Kau ingin membeli tiket? Dan, menonton film seperti orang lain?" "Bukannya, memang begitu caranya?" Randy tersenyum bingung. "Kau ini kenapa? Kita memang, sudah biasa melakukan itu. Masuk ke dalam gedung bioskop tanpa membeli tiket." "Caranya?" "Yah.. kau tahu, kan? Mengendap-endap dari belakang gedung." "Aneh sekali." "Haha. Kau yang aneh, sayang." "Tu-tunggu. Apa? Sayang?!" Diara memukul kepala Randy. "Randy! Kau sudah gila?!" "Hei, ngomong-ngomong.. siapa Randy? Tadi, kau juga menyebutkan nama itu? Kau selingkuh dengan laki-laki bernama Randy itu?!" Diara diam sejenak. "Jadi.. maksudnya di tahun ini—aku adalah kekasihmu?" "Di tahun ini? Oh, ayolah. Ada apa denganmu?!" "Emm.. Tunggu. Siapa namamu?" Randy kembali mendengus. "Sayang.." "Cepat katakan saja!" "Tomi!" "Tahun berapa sekarang?" "1991."Diara kemudian mengedarkan pandangan. Pertokoan yang belum begitu tinggi, dengan ciri khas bangunan peninggalan zaman penjajahan, dilihatnya. Polusi udara belum seburuk di tahun 2024. "Sayang.. kau baik-baik saja?"Diara mengerutkan dahi. Memasang ekspresi jijik. "Ugh, aku tidak terbiasa dengan panggilan itu. Bisa kau panggil namaku saja?"Tomi menatap Diara bingung. "Kau, sungguh tidak apa-apa?"Diara mendesah singkat. "Berapa kali harus aku katakan—aku baik-baik saja.""Tapi, kau paling benci jika di panggil nama saja.""Oh, sungguh?" Diara tetap memasang wajah jijik.Tomi mengangguk. "Ayo kita cepat pergi dari sini. Sebelum, mereka datang kembali."Tomi meraih tangan Diara, yang kemudian ditolak mentah-mentah oleh Diara."Ki-kita jalan sendiri-sendiri saja.""Kau, sungguh aneh sore ini."Keduanya pun berjalan berjauhan. Diara ada di belakang Tomi. "Kau, tidak lapar?" tanya Tomi, sedikit menengok pada Diara. Dengan kedua tangan, yang di masukkan pad saku celananya."Tidak."Seket
Ranti. Nama itu tidak asing bagiku. Apalagi di tahun 1991 ini. Ingatanku terhenti, di satu adegan—di mana Ibu panti asuhan mengatakan, satu-satunya yang aku ketahui dari Ibumu adalah namanya. Ranti. Ya, itu tertulis di surat pendek di kardus tempatku ditemukan. Tidak banyak kalimat yang ditulis Ibuku.Beri nama dia Diara.Hanya itu saja. Well, dari situ aku paham. Betapa tidak berartinya aku untuk Ibuku. Satu-satunya pemberian darinya adalah nama. Bukankah itu tidak berarti? Seharusnya, dia juga memberiku kasih sayang. Kenapa ia membuang ku? Ah, otakku.. kenapa memikirkan kembali masalah tidak penting itu.Kali ini, ada yang lebih penting, yang harus di pikirkan. Jika di tahun 1991 ini aku adalah Ibuku. Dan, pemuda mirip Randy ini adalah kekasihku. Jadi, dia..."Kau—adalah Ayahku?"Kernyitan nampak di dahi Diara.Tomi mendengus. Berkacak pinggang. Berjalan cepat ke arah Diara. Menyentil dahi Diara dengan jari telunjuknya. Membuat Diara sedikit tersentak."Kau, salah makan hari ini. Ap
"Cepat masuk kamar sana," kata Maya, sembari mendorong asap rokok keluar dari mulutnya.Diara masih di tempatnya. Melihat 3 pintu yang ada di ruangan itu. Harus bisa menebak, mana kamar milik Ranti. Jaga-jaga, mungkin saja kalau dia salah kamar, Maya akan tahu, kalau dirinya bukan Ranti.Pintu nomor 1 ada di sebelah kanan Diara. Ada beberapa stiker yang menempel di pintu. Ular kobra. Merek Kaos terkenal di Yogya. Anak kecil bertopi merah dengan unjuk jari tengah. Gadis dengan tulisan Yang cakep, duduk di muka ( Dekat Mas Sopir ). Logo manajemen musik terkenal pada zaman itu.Diara tersenyum penuh percaya diri melihatnya."Pasti yang ini kamarku," katanya dalam hati.Melihat stiker-stiker pada zaman itu, membuatnya yakin. Karena 1 pintu yang lain polos. Tidak ada stiker apapun. Dan, pintu sebelahnya memiliki tirai kerang yang menjuntai ke bawah. Diara berjalan ke arah pintu ber-stiker tersebut. Memegang gagang pintu."Kau, mau tidur di kamarku?" Tanya Maya.Diara menegang. Berbalik ba
"Kau dan Ibumu itu seperti air dan minyak," kata Tomi."Kata Ibuku.. dia sangat bahagia saat mengandung. Dia selalu datang ke rumahku. Dan, membanggakan bagaimana cantiknya dirimu nanti ketika lahir. Terlihat, dia akan menjadi Ibu yang penyayang. Tetapi, semuanya berubah, saat Ayahmu tiba-tiba pergi dan tak pernah pulang ke rumah.""Ayahku pergi?"Tomi mengangguk."Semenjak itu, Ibumu jadi murung dan uring-uringan. Bahkan, ketika kau merengek kelaparan saja, dia abaikan. Beruntung, saat itu Ibuku datang ke rumahmu. Dan, akhirnya menolongmu. Yah, sejak saat itu kita mulai akrab dan secara tidak langsung Ibuku yang membesarkanmu, kan?""Oh? I-iya begitu. Hehe.""Kau selalu saja datang saat perutmu lapar. Dengan wajah sendu. Kusam. Seperti, tidak pernah mandi."**"3 tahun yang lalu? Memang, apa yang sudah terjadi?" Kata Diara dalam hati. Kernyitan bingung muncul begitu saja."Kau tidak ingat, Ranti?" tanya Tomi."Oh.. ten..tu saja aku ingat. Haha."Diara berdeham gugup selanjutnya."Hei
1991 "Apa mungkin, karena ini Tomi di bunuh?" kata Diara dalam hati. "Bisa aku lanjutkan sekarang?" tanya Tomi. "Mungkin, untuk sekarang aku ikuti saja semuanya," ucap Diara dalam hati. Diara hanya mengangguk. Meletakkan bingkai yang dibawanya sejak tadi, di meja. "Rima. Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," jelas Tomi. "Orang tuanya sudah melapor?" tanya Diara. "Tentu saja. Polisi masih mencarinya. Penculik itu tidak pernah meninggalkan jejak," kata Haris. "Tidak ada saksi?" Kali ini Sinta yang bertanya. Tomi menggeleng. Diara menggerakkan bola mata perlahan. "Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. "Dia selalu pulang sendiri? Pakai motor?" Lanjut Diara. "Tidak. Angkutan umum. Lalu, turun di perempatan. Dan, jalan kaki. Angku
Pria paruh baya berambut putih pomade, agak gemuk. Setelan jas abu tanpa kusut. Sepatu hitam licin sekali warnanya. Melangkah, mendekati Diara. "Hmm.. apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu.. tidak asing bagiku," kata pria paruh baya itu."Yeah. Mungkin, sekitar 20 menit yang lalu."Haris mengernyitkan dahinya."Tatapanmu sangat familiar bagiku. Well, mungkin saja kita pernah bertemu di suatu tempat."Diara menarik sudut bibirnya ke atas. Maju selangkah. Mendekatkan bibirnya ke telinga Haris."Aku.. datang dari masa lalu. Dengan pintu waktu. Bukan UFO," bisik Diara.Kalau kau benar dari masa depan, lalu dimana UFO-mu?Haris termenung sejenak. Kalimat itu muncul di benaknya begitu saja. Diara melangkah mundur."Aku adalah istri sah Hara. Aku tidak mengizinkan dia menikah sekarang.""Diara... Kita bicara di tempat lain, hm?" Hara meraih tangan Diara, yang segera di hempaskan."Tidak. Kita bicara di sini.""Diara, aku-""Kau pilih aku atau Mila?"Hara diam."Kau.. menghilang selam
"Mila! Kau, sudah tak waras?!" tukas Rendi."Kenapa kau jadi seperti ini, Mila?" tambah Selly."Dari awal, sifatnya memang seperti itu. Tak pernah berubah. Sangat licik," kata Diara.Mila mendengus."Tak perlu banyak bicara. Mau terima tawaranku atau tidak?""Kau, tidak perlu bertindak sejauh itu," kata Hara pada Mila."Jangan berpura-pura. Kau sudah merencanakan ini dengannya, kan? Aku benar-benar salah menilai mu! Uang.. bisa merubah sifat dan sikap manusia," kata Diara."Sekarang tahu, kan? Kekuatan uang itu tidak main-main." Mila menyombongkan diri."Kau terima atau tidak? Aku tidak punya banyak waktu!" lanjutnya.Diara diam sejenak."Diara.. kau tidak perlu meladeni dia. Aku dan Selly akan mencari jalan keluarnya," ucap Rendi."Rendi benar. Abaikan saja perkataan jalang itu." Buah simalakama. Jika ia tolak, maka nasib para anggotanya akan menyedihkan. Termasuk dirinya. Namun, jika ia terima hidupnya akan tamat. Mila akan memperlakukannya semena-mena.Diara mendesah panjang. Menu
1 Tahun Yang LaluMila nampak celingukan. Mengedarkan pandangan, sebelum masuk ke kamar mandi. Menguncinya dari dalam. Menutup kloset. Duduk di atasnya. Badannya gemetar. Bawah mata cekung. Matanya memerah. Sangat gelisah. Ia mengeluarkan tali karet yang cukup panjang. Di ikatkan pada lengannya. Erat-erat. Kemudian, mengeluarkan sebuah suntikan di mana telah berisi cairan bening. Ia suntikkan pada badannya.Tidak butuh waktu lama, untuknya merasa menggigil. Meski, ia tidak sedang flu atau demam. Menggigit bibir bawahnya. Matanya nampak sayu. Senyum-senyum. Selang beberapa menit, ia kembali menusukkan jarum yang sebelumnya kembali di isi cairan olehnya.Kali ini, gejalanya berbeda. Hanya di bagian menggigilnya sama. Namun, dengan erangan. Diara yang saat itu melintas di depan kamar mandi, mendengar erangan tersebut. Menghentikan langkah. Mengernyitkan dahi. Lantas, mendekatkan telinga pada pintu kamar mandi. Erangan Mila semakin kencang. Diara terbelalak. Menggedor pintu."Mila? Kau
Diara melebarkan mata. Tersenyum gembira."Kita sahabat?""Heh? Kau, sudah tak ingin berteman denganku? Wah.. keterlaluan sekali. Mentang-mentang, kau baru saja memenangkan penghargaan Sutradara terbaik, kau jadi melupakanku."Diara memeluk Selly erat-erat."Mana mungkin, aku bisa melupakanmu. Susah dan senang, kita selalu bersama.""Well, benar juga. Aku bisa sampai di titik ini, juga karena dirimu dan teatermu."Diara melepaskan pelukan."Lalu, ada urusan apa kau kemari? Juga, Darel.. kenapa kau di sini?""Aku ada rapat pembacaan naskah. Tapi, Diara.. kenapa kau bisa kenal dengan kekasihku?""Kekasihmu? Kalian.. berpacaran? Bagaimana bisa? Seharusnya, aku yang mempertemukan kalian. Wah, kalau memang sudah takdirnya, jodoh pun tak dapat di rubah.""Kau ini bicara apa?""Sayang.. kau kenal Diara?" lanjut Selly."Tidak. Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya? Aku lihat-lihat, wajahmu juga tidak asing bagiku.""Hehe. Mungkin, kau tidak kenal denganku. Tapi.. aku sangat mengenalmu. Terutam
1983 "Dian! Cepat!" Dian yang sedikit ragu, akhirnya berlari ke arah Sonia. Di saat yang sama, Tomi mendobrak pintu. Dan, mengacungkan senjata."BERHENTI! LEMPARKAN PISAU ITU KE SAMPING. DAN, ANGKAT TANGAN KALIAN!"Dian yang panik, segera melempar pisau. Dan, bergerak sesuai perintah."Itu juga berlaku untukmu, pria brengsek! kata Tomi pada Kardi."Wah.. Tomi terlihat keren. Seandainya, aku perempuan.. aku akan menikahinya," celetuk Haris.Membuat Diara mengerutkan dahi. Menatapnya heran. Sementara, Kardi melepaskan Sonia."Kalian berdua, merapat ke tembok. Dan, jangan pernah menengok ke belakang!" perintah Tomi.Setelah itu, Diara segera menghampiri Sonia."Kau, baik-baik saja?"Sonia yang masih syok, hanya bisa mengangguk."Farel.. Anakku.""Farel? Dia ada di mana?"Sonia menunjuk ke lantai atas. Diara bergegas ke lantai atas. Membuka pintu kamar. Terlihat, Farel tengah berdiri dengan badan gemetar, di sebelah pintu. Diara berlutut di depannya."Semuanya sudah berakhir, Farel. Ka
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanya Haris. Duduk di sofa tunggal. Sementara, Tomi dan Diara duduk di sofa panjang. Di sebelah kirinya. "Entahlah. Mungkin sudah 30 tahun lebih? Sejak, kau menikah kita sudah tidak pernah bertemu," kata Tomi. Haris mengangguk. "Lalu, bagaimana kau tahu alamat rumahku? Apa.. kau memakai kekuatanmu menjadi Kepala Polisi, untuk melacak keberadaan ku?" Diara terbelalak. "Ayah, menjadi Kepala Polisi sekarang?" bisik Diara. "Oh.. Ayah belum cerita padamu?" "Wah.. keren sekali." Haris berdeham. Membuat Diara dan Tomi menatapnya. "Ah.. Diara yang memberitahu." Haris menatap Diara. "Dia.. anak Ranti?" Diara mendengus. Lalu, terkekeh. "Ayolah. Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu.. kau mengingat semuanya." "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kata Haris. "Kau masih ingin berbohong? Kau ingin aku percaya? Kau, tidak mengingat segalanya? Oh, Ayolah. Pertama kali, kau melihatku dan Ayahku tadi, kau tidak terkejut. Dulu kalian bersah
1992Tomi tengah menggendong Diara, yang tengah menangis karena sakit. Badannya demam sudah 2 hari. Mengayun tubuhnya, agar Diara segera tertidur. Butuh kerja keras selama 20 menit, untuk membuat Diara tidur."Dia sudah tidur?" tanya Ranti. Baru saja selesai mencuci baju."Iya. Baru saja.""Berikan padaku."Diara terbangun, ketika Ranti menyentuh tangannya. Seketika, menangis. Tomi mulai mengayun tubuhnya lagi."Biar aku saja," kata Tomi.Ranti mendesah singkat."Maaf, jadi merepotkan mu.""Hei, dia juga anakku. Kenapa harus mengatakan seperti itu.""Tapi, tetap saja..""Ingat, Ranti. Dia adalah anakku. Bukan anak orang kaya itu. Jadi.. jangan pernah sebutkan nama itu di depan Diara atau di depanku. Kau mengerti?"Ranti mengangguk paham.Keduanya menikah, saat usia kandungan Ranti masih 10 minggu. Tomi bergegas memberitahu orang tuanya, untuk segera meminang Ranti. Namun, Tomi juga menjelaskan kondisi Ranti. Cukup terkejut dengan itu, tapi, Tomi menjelaskan dengan baik. Dengan berat
2024Diara, Haris, dan Ranti saling berhadapan."Semuanya sudah berakhir, Bu. Kami.. berhasil menangkap Farel."Ranti tersenyum. Mendekati Diara. Menggenggam kedua tangannya."Kau sudah bekerja keras. Terima kasih, Diara.""Sekarang, Ibu bisa kembali ke sana dengan tenang. Jalani hidupmu yang sebelumnya hancur, karena laki-laki itu. Dan.. coba perbaiki hubunganmu dengan Nenek. Kau hanya perlu bersikap manis. Sesekali, makan bersama dengannya."Ranti mengangguk."Aku akan melakukan itu."Mata Ranti berkaca-kaca. Memeluk Diara."Maafkan Ibu, Diara. Selama ini, kau hidup dengan sangat tersiksa.""Tidak, Bu. Aku sudah cukup bahagia, bersama Bu Lia dan teman-temanku. Sampai jumpa di masa depan, Bu.""Kita bertemu lagi di masa kecilmu, ya? Ibu.. akan selalu ada di sampingmu sekarang."Setelahnya, Haris mengantarkan Ranti kembali ke masanya.Sekarang.. semuanya, akan baik-baik saja, kan?**"Ibu? Ibu? Di mana kau? Ibu?? Aku berhasil mengubahnya. Ibu?!"Diara berdiri di dapur, dengan terengah
Beberapa Jam Sebelum PenangkapanDiara dan yang lain kembali ke markas. Baru saja, selesai mengobati luka Haris dan Sinta."Hei, ada apa dengan Tomi?" tanya Haris pada Sinta. Tomi nampak lesu. Duduk di sudut. Sementara, Diara membereskan kotak obat."Laki-laki yang hampir menabrak ku tadi adalah kekasih Ranti," bisik Sinta."APA?" Haris nyaris berteriak."Pelan kan suaramu!""Tunggu.. jadi.. Ranti selingkuh dari Tomi?""Aku juga tidak tahu. Tapi, dari pengamatanku.. sepertinya, laki-laki tadi adalah kekasih pertama Ranti.""Jadi.. Tomi yang menjadi selingkuhannya?""Hmm, sepertinya tidak juga.""Lalu, bagaimana ceritanya? Kau ini, kalau bicara jangan sepotong demi sepotong. Menjengkelkan sekali."Sinta berdecak kesal. Lalu, berdeham."Ini menurutku.. cinta Tomi bertepuk sebelah tangan. Dan, mereka sebenarnya tidak pernah ada hubungan. Hanya saja, Tomi menganggap Ranti menerima cintanya. Kau tahu, kan? Ranti itu sangat baik hati. Dia.. tidak tega untuk mengatakan pada Tomi, jika ia su
Diara berada di markas DMA bersama yang lain. Mengulang kejadian, di saat mereka membahas kasus Rima. "Rima-""Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," sahut Diara. Memotong kalimat Tomi."Yap. Betul kata Ranti.""Orang tuanya sudah melapor. Namun, polisi belum menemukan petunjuk. Karena, si pelaku tidak meninggalkan jejak," jelas Diara.Tomi mendengus."Terima kasih, Sayang. Kau menjelaskan dengan sangat sempurna."Diara menggerakkan dua alisnya ke atas."Tidak ada saksi?" Sinta bertanya.Tomi menggeleng. Dan, Diara mendesah singkat."Kali ini, kalimatku akan cukup panjang," gumamnya, dengan nada lelah."Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. Lalu, mendesah panjang."Oh, bisakah kita segera pergi ke lokasinya? Tak jauh dari sini, kan? Haris ada 2 moto
Ketika manusia akan bertemu dengan ajalnya, maka.. akan di putarkan kisah hidupnya dari sejak ia di lahirkan, hingga di detik akhir hidupnya.Banyak manusia akan sangat menyesali perbuatannya semasa hidup. Tapi, juga akan banyak yang bersyukur dengan hidup yang ia jalani.Termasuk, manusia yang bergelar Ibu. Perjalanannya menjadi seorang Ibu, akan kembali di putar di hadapannya. Saat, berusaha untuk hamil. Lalu, mendapat kabar jika rahimnya sudah terisi malaikat kecil. Menjaganya sepenuh hati. Sampai, janin membesar dan sehat sempurna. Dan, ketika tiba janin tersebut di lahirkan. Bertaruh nyawa. Setengah mati. Menggendong bayinya pertama kali. Menyusui. Terjaga di setiap malam. Dia nikmati sendiri. Melihat senyuman pertama bayinya. Merasakan genggaman tangan mungil bayinya. Hingga, ia tumbuh besar. Kasih sayangnya, tak akan pernah pupus.Gambaran itu yang juga di lihat Ranti di sisa-sisa nafasnya, saat nyawanya hampir menghilang. Tersenyum dengan kesakitan. Tetesan air matanya untuk
"Haris.. kita perlu bicara," kata Sekar. Berdiri, agak jauh di belakangnya.Haris meletakkan kembali gagang telepon. Berbalik badan. Menatap Sekar lamat-lamat."Oh.. ada apa?"Sekar mendengus."Ada apa katamu? Dari mana saja kau?""Aku ada urusan.""Sangat penting urusanmu? Sampai, kau membiarkan Ayah dan Ibuku, menunggu di Restoran berjam-jam lamanya?"Haris tercengang. Menahan napas 1 detik."Ah.. maafkan aku. Aku.. lupa.""Lupa katamu? Tadi pagi, aku sudah mengingatkanmu, kan?""Iya. Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Nanti, biar aku menelepon Ayah dan Ibu, hm?"Sekar mendesah kesal."Kau.. masih berusaha mencari Ranti? Itu alasanmu tak datang tadi?"Haris diam. Menundukkan kepala."Kau tidak bisa menjawab? Yang artinya.. kau memang sengaja tidak datang tadi, karena tengah mencari Ranti. Kau sangat tega sekali, Haris."Haris membasahi bibirnya. Berjalan mendekat pada Sekar."Sungguh.. maafkan aku. Bagaimana, aku bisa menebus kesalahanku?"Sekar mengerutkan dahi."Kau.. benar Har