Diara segera mematikan telepon. Berlari masuk ke dalam apartemennya. Pergi ke kamarnya. Di ikuti oleh Hara.
"Jadi—itu tadi bukan mimpi?" gumamnya, sembari menatap TV-nya, yang masih menyala. Sedang memutar iklan. Hara yang berdiri di depan pintu, sambil berkacak pinggang—mulai kesal. Mengernyitkan dahi "Bisa kau jelaskan? Ada apa denganmu?" Diara menatap Hara dengan sorot mata bingung. "Kau tak akan percaya, jika aku bercerita." "Dan, aku tak akan pernah tahu—aku percaya atau tidak. Jika, tak kau ceritakan." "Mari kita duduk dulu," ajak Hara. Keduanya pun duduk di sofa, di ruang tengah. Saling berdampingan. Diara segera menceritakan, apa yang di alami barusan. Hara tertegun. Dengan desahan panjang. Diara meliriknya. "Lihat, kan? Kau tidak akan percaya." "Mmm.. Well, Mmm.. Memang, sulit untuk di percaya." Hara mengatakan itu, sembari berpikir. "Jadi, Randy yang akan di bunuh? Karena itu, kau meneleponnya tadi." Diara mengangguk. Sambil mendesah singkat. Menundukkan kepala. Hara bergeser mendekat padanya. Melingkarkan tangan pada bahu Diara. "Aku rasa.. kita sudah tidak dalam hubungan, di mana kau bisa menyentuhku seperti ini." Diara melirik Hara dengan sinis. Hara bergeser menjauh. Menarik tangannya. "Setidaknya.. kau masih istriku," gumamnya. "Ya. Memang, aku masih istrimu. Lalu, mau kau apakan kekasih tercintamu itu?" Hara memejamkan mata kesal. Duduk menyamping, agar menghadap Diara. "Kebetulan, kau sudah tidak emosi lagi. Aku akan menceritakan semuanya padamu." "Cerita tentang malam pertamamu dengannya? Oh, maaf—aku tidak tertarik." "Tidak. Tentang—bagaimana aku bisa ada di apartemen Mila." "Kau datang dengan sukarela pastinya." Tarikan napas panjang dari Hara, memulai ceritanya. MALAM SEBELUM KEJADIAN Mila tengah mondar-mandir, di depan gedung apartemennya. Sembari menggigit kuku jari. Dengan ponsel, di genggam tangan kiri. Tak lama kemudian, deru motor Hara terdengar mendekat. Mila mengembangkan senyum. Melihat Hara berhenti di depannya. Menurunkan standar motor. Dan, melepas helm-nya. "Kenapa kau tunggu di sini?" tanya Hara. "Aku takut. Di dalam gelap." Hara mendesah singkat. "Ayo cepat masuk. Aku ada janji dengan Diara." Mila mengangguk. Dan, berbalik badan. Sebelumnya—Mila telah menelepon Hara. Meminta tolong pada Hara, karena lampu di kamarnya mati. "Apartemen mu sangat mewah. Apa di sini tidak ada petugas? Kau bisa minta tolong pada mereka," kata Hara, sambil mengganti bohlam. "Oh.. Mmm.. Tapi, aku tidak bisa membiarkan laki-laki masuk ke dalam kamarku." Hara mendengus. Turun dari kursi kecil. Berputar. Menghadap Mila, sembari berkacak pinggang. "Kau pikir aku perempuan?" tanya Hara. Alis kirinya naik. Mila meringis. "Maksudku—laki-laki yang tidak aku kenal." "Kau, kan punya kakak? Kenapa tak meneleponnya?" "Ah, Kakakku sibuk. Dia jarang mengangkat teleponku." Hara mengangguk paham. "Aku sudah mengganti bohlam-nya. Coba kau nyalakan." Giliran Mila yang mengangguk. Menekan saklar di tembok sebelah kanannya. Tersenyum, saat melihat kamarnya kembali cerah. "Sudah, kan? Aku pergi dulu." Hara keluar dari kamar. Berjalan menuju pintu. "Hara.. duduk sebentar." "Huh? Ada apa? Diara sudah menungguku." "Minum dulu. Aku buatkan sirup." "Oh, tidak usah." "Aku yang keberatan. Kau.. sudah membantuku. Setidaknya, aku harus membalas mu." Hara mengerucutkan bibir. Berpikir sejenak. "Beri es yang banyak. Aku sangat haus." Mila tersenyum lebar. Mengangguk. Dan, segera membuat sirup untuk Hara. Sementara, Hara duduk di sofa. Sembari mengedarkan pandangan. "Kau tidak takut tinggal sendiri?" tanya Hara. "Kau sendiri? Bukannya, kau dan Diara juga tinggal sendiri?" "Ah, kalau kami sudah terbiasa." "Ah, begitu." Mila memperhatikan Hara. Dan, dengan hati-hati, ia memasukkan bubuk putih, yang sebelumnya terbungkus oleh kertas. Mengaduk minuman Hara. Kemudian, membawanya ke Hara. "Berapa sewa apartemen ini? Pasti mahal?" "Aku tidak menyewanya. Hehe." Mila meletakkan gelas bening, di meja depan Hara. "Kau membelinya?" Hara terbelalak. "Iya." "Wah, kau cukup kaya juga. Lantas, kenapa kau ikut di kelompok teater kita? Kau bisa saja, ikut kelompok lain yang lebih bergengsi." "Aku suka saja dengan kelompok kita. Terutama, ada kau." Hara melirik Mila, dengan kerutan di dahi. "Kau merayuku sekarang?" "Kenapa? Kau ingin di rayu?" "Tidak. Aku hanya cinta dengan Diara." Mila tersenyum kecut. "Tentu saja. Aku tahu. Cepat minum." Hara segera meneguk sirup merah itu sampai habis. Lalu, mengusap bibirnya. "Ah, segar sekali. Terima kasih, Mila. Aku pergi dulu." "Oh, baiklah." Hara kemudian berdiri. Melangkah dua kali, lantas berhenti. Memejamkan mata, sembari dahinya berkerut. "Ada apa ini?" desisnya. "Kenapa?" "Entahlah. Kepalaku tiba-tiba pusing." "Oh, lebih baik kau duduk lagi." Hara mendorong udara keluar dari mulut. Kembali duduk. "Istirahat sebentar. Aku akan telepon Diara." "Tidak usah. Nanti, dia akan salah paham." "Ah, begitu." Mila menyeringai. ** "Lalu, apa aku harus percaya begitu saja? Kau sudah banyak membohongiku, Hara." "Aku tahu, Sayang-" "Jangan panggil aku dengan sebutan itu." "Baik, Maaf. Aku tahu, Diara. Kau tidak akan percaya dengan mudahnya. Tapi, sungguh itu yang terjadi." "Lantas, Mila berbohong?" "Ya. Aku yakin, dia sengaja memanggilku ke apartemennya. Dan, menaruh sesuatu pada minuman, hingga aku tak sadarkan diri." "Oke. Katakan begitu. Tapi—bagaimana dengan janin yang di kandungnya? Alat itu menunjukkan 2 garis. Sebuah janin tak akan terbentuk, hanya dalam satu malam, Hara. Itu butuh proses yang panjang! Yang berarti—kau tidak hanya sekali tidur dengannya." "Aku bersumpah demi diriku sendiri, Diara. Itu bukan anakku. Kau tahu aku, kan? Huh? Bahkan, kita saja belum pernah tidur bersama. Aku sangat menjaga kesucian mu. Lantas, untuk apa aku merenggut milik Mila? Sedikit pun, aku tidak tertarik dengannya." Diara diam untuk sejenak. "Biarkan aku berpikir. Sekarang, kau pulang saja." "Tidak. Aku akan menginap di sini. Lagi pula, kau sudah menjadi istriku. Kalau perlu, kita ke kantor agama sekarang." Diara mendengus. "Kau pikir semudah itu? Aku belum percaya padamu sepenuhnya, Hara! AKU BUTUH WAKTU!" pekik Diara, di kalimat terakhir. Membuat Hara mendesah pasrah. "Baiklah, aku pergi. Asalkan, kau jangan menghilang lagi seperti itu." "Tinggalkan aku sendiri." Diara menundukkan kepala. Dengan jemari berada di pelipis kanan dan kiri. Tak memiliki pilihan lain, Hara pun berjalan keluar. Setelahnya, Diara kembali ke kamar. Kembali memandangi TV. "Bagaimana, aku bisa kembali ke tempat itu?" gumamnya. Sembari memandang TV, yang masih menyala. Ia mengingat momen itu. Di mana, ia tiba-tiba masuk ke dalam dimensi lain. Di detik selanjutnya, Diara melebarkan mata. Menjentikkan jari. "Film itu.." Diara pun segera mengganti-ganti chanel. Mencari film komedi, yang menjadi jalan untuk masuk ke dimensi lain. Namun sayang, tidak ada film itu. "Apa mungkin, bisa dari ponsel?" Diara segera masuk ke situs video—di mana ribuan video tersaji dalam situs itu. Mengetik judul film, di kolom pencarian. Dan, memutarnya. Kemudian, meletakkan ponsel di atas ranjang. Dan, menunggu. Bola matanya berputar perlahan. Tidak ada yang terjadi. Desahan kesal pun terdengar darinya. "Sial sekali." Tak lama kemudian, iklan tentang film komedi, yang di putar semalam pun muncul. Karena, memang ini sudah masuk dalam musim liburan. Film komedi itu wajib di putar di TV. Pun, orang-orang tidak pernah bosan melihatnya. Diara terbelalak. Menengok. Lampu kembali berkedip. Tubuh Diara kembali menjadi serpihan. Ia mendesis kesakitan. "Sial! Kali ini sakit sekali!" Dalam waktu 3 detik—Diara sudah menghilang. ** Diara muncul di jalanan yang sepi. Kali ini, sore hari. Diara mengedarkan pandangan, setidaknya sebelum seseorang tiba-tiba menggandeng tangannya. Mengajaknya berlari. Diara terkejut. Namun, tak dapat berontak. "Hei! Siapa kau? Lepaskan aku!" "Lantas, kau ingin tertangkap?" Laki-laki berkemeja kotak-kotak, berwarna abu pekat dan abu muda, agak kebesaran itu menengok sejenak. Sembari tersenyum. Menunjukkan lesung pipinya. Diara mengernyitkan dahi. "Randy?" "Percepat lari mu! Kita akan tertangkap!" "HOI, KALIAN! BERHENTI!" Diara menengok ke belakang. Melihat dua laki-laki, yang memakai polo t-shirt walrus dominan putih, mengejar mereka. "Sial!" Diara mempercepat larinya. Mereka berbelok ke kanan kemudian. Lalu, masuk ke dalam gang sempit. Saling berhadapan. Sementara, dua laki-laki, yang mengejar mereka, terus berlari. Diara dan Randy terengah-engah. Mengatur napas. "Oke, bisa kau jelaskan? Kenapa mereka mengejar kita?" Randy mendengus. Tatanan rambutnya, berbeda dengan Randy di tahun 2024. Jika Randy masa depan memiliki gaya rambut panjang di bagian tengah, dan sisir ke belakang. Sementara, sisi kanan-kiri nya sangat tipis. Hampir botak. Sedangkan, Randy masa lalu—memiliki rambut belah tengah, yang bagian atas panjang. Dan, pendek di bagian bawah. "Kau ini kenapa? Kau lupa? Tadi, kita masuk ke bioskop tanpa membeli tiket?" "Hah? Kenapa? Di sini.. kau juga tidak punya uang?" "Uang? Haha. Kau ingin membeli tiket? Dan, menonton film seperti orang lain?" "Bukannya, memang begitu caranya?" Randy tersenyum bingung. "Kau ini kenapa? Kita memang, sudah biasa melakukan itu. Masuk ke dalam gedung bioskop tanpa membeli tiket." "Caranya?" "Yah.. kau tahu, kan? Mengendap-endap dari belakang gedung." "Aneh sekali." "Haha. Kau yang aneh, sayang." "Tu-tunggu. Apa? Sayang?!" Diara memukul kepala Randy. "Randy! Kau sudah gila?!" "Hei, ngomong-ngomong.. siapa Randy? Tadi, kau juga menyebutkan nama itu? Kau selingkuh dengan laki-laki bernama Randy itu?!" Diara diam sejenak. "Jadi.. maksudnya di tahun ini—aku adalah kekasihmu?" "Di tahun ini? Oh, ayolah. Ada apa denganmu?!" "Emm.. Tunggu. Siapa namamu?" Randy kembali mendengus. "Sayang.." "Cepat katakan saja!" "Tomi!" "Tahun berapa sekarang?" "1991."Diara kemudian mengedarkan pandangan. Pertokoan yang belum begitu tinggi, dengan ciri khas bangunan peninggalan zaman penjajahan, dilihatnya. Polusi udara belum seburuk di tahun 2024. "Sayang.. kau baik-baik saja?"Diara mengerutkan dahi. Memasang ekspresi jijik. "Ugh, aku tidak terbiasa dengan panggilan itu. Bisa kau panggil namaku saja?"Tomi menatap Diara bingung. "Kau, sungguh tidak apa-apa?"Diara mendesah singkat. "Berapa kali harus aku katakan—aku baik-baik saja.""Tapi, kau paling benci jika di panggil nama saja.""Oh, sungguh?" Diara tetap memasang wajah jijik.Tomi mengangguk. "Ayo kita cepat pergi dari sini. Sebelum, mereka datang kembali."Tomi meraih tangan Diara, yang kemudian ditolak mentah-mentah oleh Diara."Ki-kita jalan sendiri-sendiri saja.""Kau, sungguh aneh sore ini."Keduanya pun berjalan berjauhan. Diara ada di belakang Tomi. "Kau, tidak lapar?" tanya Tomi, sedikit menengok pada Diara. Dengan kedua tangan, yang di masukkan pad saku celananya."Tidak."Seket
Ranti. Nama itu tidak asing bagiku. Apalagi di tahun 1991 ini. Ingatanku terhenti, di satu adegan—di mana Ibu panti asuhan mengatakan, satu-satunya yang aku ketahui dari Ibumu adalah namanya. Ranti. Ya, itu tertulis di surat pendek di kardus tempatku ditemukan. Tidak banyak kalimat yang ditulis Ibuku.Beri nama dia Diara.Hanya itu saja. Well, dari situ aku paham. Betapa tidak berartinya aku untuk Ibuku. Satu-satunya pemberian darinya adalah nama. Bukankah itu tidak berarti? Seharusnya, dia juga memberiku kasih sayang. Kenapa ia membuang ku? Ah, otakku.. kenapa memikirkan kembali masalah tidak penting itu.Kali ini, ada yang lebih penting, yang harus di pikirkan. Jika di tahun 1991 ini aku adalah Ibuku. Dan, pemuda mirip Randy ini adalah kekasihku. Jadi, dia..."Kau—adalah Ayahku?"Kernyitan nampak di dahi Diara.Tomi mendengus. Berkacak pinggang. Berjalan cepat ke arah Diara. Menyentil dahi Diara dengan jari telunjuknya. Membuat Diara sedikit tersentak."Kau, salah makan hari ini. Ap
"Cepat masuk kamar sana," kata Maya, sembari mendorong asap rokok keluar dari mulutnya.Diara masih di tempatnya. Melihat 3 pintu yang ada di ruangan itu. Harus bisa menebak, mana kamar milik Ranti. Jaga-jaga, mungkin saja kalau dia salah kamar, Maya akan tahu, kalau dirinya bukan Ranti.Pintu nomor 1 ada di sebelah kanan Diara. Ada beberapa stiker yang menempel di pintu. Ular kobra. Merek Kaos terkenal di Yogya. Anak kecil bertopi merah dengan unjuk jari tengah. Gadis dengan tulisan Yang cakep, duduk di muka ( Dekat Mas Sopir ). Logo manajemen musik terkenal pada zaman itu.Diara tersenyum penuh percaya diri melihatnya."Pasti yang ini kamarku," katanya dalam hati.Melihat stiker-stiker pada zaman itu, membuatnya yakin. Karena 1 pintu yang lain polos. Tidak ada stiker apapun. Dan, pintu sebelahnya memiliki tirai kerang yang menjuntai ke bawah. Diara berjalan ke arah pintu ber-stiker tersebut. Memegang gagang pintu."Kau, mau tidur di kamarku?" Tanya Maya.Diara menegang. Berbalik ba
"Kau dan Ibumu itu seperti air dan minyak," kata Tomi."Kata Ibuku.. dia sangat bahagia saat mengandung. Dia selalu datang ke rumahku. Dan, membanggakan bagaimana cantiknya dirimu nanti ketika lahir. Terlihat, dia akan menjadi Ibu yang penyayang. Tetapi, semuanya berubah, saat Ayahmu tiba-tiba pergi dan tak pernah pulang ke rumah.""Ayahku pergi?"Tomi mengangguk."Semenjak itu, Ibumu jadi murung dan uring-uringan. Bahkan, ketika kau merengek kelaparan saja, dia abaikan. Beruntung, saat itu Ibuku datang ke rumahmu. Dan, akhirnya menolongmu. Yah, sejak saat itu kita mulai akrab dan secara tidak langsung Ibuku yang membesarkanmu, kan?""Oh? I-iya begitu. Hehe.""Kau selalu saja datang saat perutmu lapar. Dengan wajah sendu. Kusam. Seperti, tidak pernah mandi."**"3 tahun yang lalu? Memang, apa yang sudah terjadi?" Kata Diara dalam hati. Kernyitan bingung muncul begitu saja."Kau tidak ingat, Ranti?" tanya Tomi."Oh.. ten..tu saja aku ingat. Haha."Diara berdeham gugup selanjutnya."Hei
1991 "Apa mungkin, karena ini Tomi di bunuh?" kata Diara dalam hati. "Bisa aku lanjutkan sekarang?" tanya Tomi. "Mungkin, untuk sekarang aku ikuti saja semuanya," ucap Diara dalam hati. Diara hanya mengangguk. Meletakkan bingkai yang dibawanya sejak tadi, di meja. "Rima. Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," jelas Tomi. "Orang tuanya sudah melapor?" tanya Diara. "Tentu saja. Polisi masih mencarinya. Penculik itu tidak pernah meninggalkan jejak," kata Haris. "Tidak ada saksi?" Kali ini Sinta yang bertanya. Tomi menggeleng. Diara menggerakkan bola mata perlahan. "Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. "Dia selalu pulang sendiri? Pakai motor?" Lanjut Diara. "Tidak. Angkutan umum. Lalu, turun di perempatan. Dan, jalan kaki. Angku
Pria paruh baya berambut putih pomade, agak gemuk. Setelan jas abu tanpa kusut. Sepatu hitam licin sekali warnanya. Melangkah, mendekati Diara. "Hmm.. apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu.. tidak asing bagiku," kata pria paruh baya itu."Yeah. Mungkin, sekitar 20 menit yang lalu."Haris mengernyitkan dahinya."Tatapanmu sangat familiar bagiku. Well, mungkin saja kita pernah bertemu di suatu tempat."Diara menarik sudut bibirnya ke atas. Maju selangkah. Mendekatkan bibirnya ke telinga Haris."Aku.. datang dari masa lalu. Dengan pintu waktu. Bukan UFO," bisik Diara.Kalau kau benar dari masa depan, lalu dimana UFO-mu?Haris termenung sejenak. Kalimat itu muncul di benaknya begitu saja. Diara melangkah mundur."Aku adalah istri sah Hara. Aku tidak mengizinkan dia menikah sekarang.""Diara... Kita bicara di tempat lain, hm?" Hara meraih tangan Diara, yang segera di hempaskan."Tidak. Kita bicara di sini.""Diara, aku-""Kau pilih aku atau Mila?"Hara diam."Kau.. menghilang selam
"Kenapa kau tega? Kau tega melakukan hal itu?!" Bentak gadis berambut coklat panjang."Amanda, Dengarkan aku! Dengarkan penjelasan ku!" Sahut pemuda yang ada di depannya."Dia sahabatku, Bobby! Sahabatku!! Dan, kau? Kau adalah tunangan ku! Kenapa begitu mudahnya kau tidur dengannya?!""Itu sebuah kesalahan, Amanda!"Amanda mendengus. "Kesalahan? Hingga dia hamil, kau sebut itu kesalahan? Lalu, kau akan minta maaf padaku? Dan, berharap aku melupakan semuanya?""Aku akan menyelesaikan masalah ini. Kau jangan khawatir."Bobby membalik badan, berniat untuk pergi."Bagaimana caranya? Kau akan menggugurkan kandungannya? Kau akan membunuh darah dagingmu?""Itu masih janin!" Kata Bobby, seraya menghadap Amanda.Amanda kembali mendengus."Hanya janin? Wah, aku benar-benar tak menyangka.. lelaki yang ingin ku nikahi ternyata lebih busuk dari berton-ton sampah yang berada di tempat pembuangan!""Lalu, apa yang harus aku lakukan?!""Kenapa kau tanyakan itu padaku?!""Kau.. ingin aku bertanggung j
Aku tidak pernah menyangka, cerita yang aku tulis untuk dramaku, akan menjadi sebuah kenyataan. Cerita yang belum sempat aku selesaikan itu, menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Benar, kata banyak orang. Jika ucapan adalah doa. Pun aku tak pernah menduga, jika itu semua benar-benar terjadi. Bedanya hanya satu. Mila.. Dia bukan sahabat baikku. Juga bukan teman dekatku. Kami.. Seperti ujung magnet yang sama. Saling bertolak belakang. Mila, yang membuatnya seperti itu. Entah, karena iri padaku. Entah, karena dia suka dengan Hara. Atau memang dia terlahir dengan watak seperti itu. Iri hati.Aku dan Hara sudah saling kenal sejak SMA. Semakin dekat, saat kami memutuskan untuk keluar dari kampus di tengah-tengah semester. Bukan karena bengal, tapi, karena kami tidak memiliki cukup biaya. Aku dan Hara di besarkan oleh panti asuhan yang berbeda. Aku tidak begitu paham, kenapa dia berakhir di panti asuhan. Mungkin karena ibunya, tidak mampu untuk merawatnya. Atau mungkin seperti aku, yang kela