Hawa panas begitu terasa di depan wajah mereka. Kedua belas perawat bergaun hitam dengan corak putih di lehernya itu berusaha mencari orang-orang yang masih bisa diselamatkan. Sayangnya hampir semua rumah di sini sudah musnah dilalap api.
“Apa masih ada orang disini?” teriak seorang perawat.
Nyaris tidak ada suara lain yang bisa didengar selain suara api yang perlahan melalap bangunan yang terbuat dari kayu. Walaupun termasuk ke dalam Distrik Wallenstein Kota Telhi, desa ini masih terlalu jauh jaraknya dari pusat kota. Bantuan juga tak kunjung datang karena harus melewati hutan belantara yang cukup lebat.
“Ada seseorang di sini?” perawat lainnya kembali berteriak.
Meskipun bertaruh nyawa, para perawat ini rela melakukannya hanya untuk menyelamatkan orang-orang yang tersisa dari peristiwa mengerikan itu. Bau material yang terbakar bercampur dengan bau darah dan mayat, semuanya ada di tempat ini.
“Ini sungguh mengerikan,” gumam seorang perawat berambut perak.
Hanya berbekal peralatan seadanya tanpa senjata, para perawat ini berusaha menolong siapa saja yang masih hidup. Mereka seakan tak peduli seandainya masih ada penyihir musuh yang siap menyerang mereka kapan saja,
Di tengah ketidakpastian itu, terdengar suara seorang bayi yang tengah menangis dari arah jam dua. Sang perawat berambut perak itu sontak menghampiri suara tersebut, diikuti oleh dua perawat di belakangnya.
“Ini ...”
Benar saja. Terlihat sesosok bayi yang berusia kurang lebih satu tahun tergeletak di depan mereka. Sedangkan di belakangnya ada seorang wanita dewasa yang tertindih material bangunan. Tampak pula kobaran api yang mulai melahap semua benda yang ada di sekitarnya.
Dengan sigap ketiga perawat itu langsung berusaha menolong mereka berdua. Perawat berambut perak itu langsung menggendong sang bayi, sementara dua perawat lainnya berusaha mengeluarkan wanita itu dari tindihan material berupa tumpukan kayu tersebut.
“A-Anakku masih hidup ya? Syu-kurlah,” ucap wanita itu terbata-bata.
“Bertahanlah di sana, Nyonya. Kami akan segera menyelamatkan Anda," kata perawat berambut perak itu.
Seakan sudah pasrah, wanita itu hanya menggelengkan kepalanya lalu menjawab dengan suara pelan.
“Tidak. Se-lamatkan saja anakku. Waktu-ku akan segera tiba.”
“Anda bicara apa, Nyonya? Kami akan segera-”
Salah seorang perawat menyemangatinya sambil berusaha mengeluarkannya dari tumpukan kayu itu. Namun perkataannya terhenti setelah melihat sesuatu yang menyedihkan ada di depannya.
Tubuh wanita dewasa itu sudah dalam kondisi yang sangat kritis. Kaki kirinya patah, bahkan nyaris berputar 180 derajat dari posisi awalnya. Tidak hanya itu, perutnya juga terluka sangat parah. Darah segar sudah membasahi hampir seluruh tubuhnya.
“Nyonya ...”
Dengan kondisi yang seperti itu, nampaknya wajar saja kalau wanita dewasa itu sudah pasrah akan nasibnya yang tinggal menunggu ajalnya tiba. Tetapi lain halnya yang dipikirkan para perawat. Mereka terus menyemangati sang wanita dan mencoba mengeluarkannya dari tempat itu, walaupun kobaran api siap melahap mereka kapan saja.
Hampir satu menit berlalu dan tidak ada yang berubah dari kondisi genting itu. Sang ibu masih belum bisa dikeluarkan, sementara bayinya terus meronta dan menangis. Wanita dewasa itu lalu berucap kembali pada perawat berambut perak tersebut.
“Ku-mohon. To-tolong jaga anakku. Rawat di-a.”
Sang perawat berambut perak itu hanya menganggukkan kepalanya tanpa berucap sepatah kata pun, karena memang itulah tujuan dari mereka datang kemari, untuk menyelamatkan dan merawat orang-orang yang masih bisa diselamatkan. Sang ibu pun melanjutkan kata-katanya.
“Na-namanya adalah, A-Alisa Garbareva.”
Sang ibu menyebutkan nama dari anak tersebut. Namun saat mendengar namanya, sang perawat berambut perak itu langsung terkejut. Sebuah nama yang tampak tak asing baginya.
“Alisa Garbareva? Tunggu, Garbareva? Jadi Anda ini adalah-”
Belum selesai perawat itu berujar, sebuah pohon besar di samping wanita itu tumbang ke arah mereka.
“AWAS!!”
BRUKK
Kedua perawat yang berusaha menyelamatkan sang ibu langsung melompat mundur. Namun sayangnya batang pohon besar tersebut tepat menghantam wanita dewasa itu. Kobaran api pun makin membesar.
“NYONYA GARBAREVA!!” teriak sang perawat berambut perak.
Tidak ada jawaban lagi darinya. Suara wanita itu sudah tak terdengar lagi.
“Nyonya Garbareva ...”
“HUAAAA!!”
Sang bayi menangis makin keras, entah karena mendengar suara yang mengagetkan dirinya, hawa panas yang makin menyengat, atau karena ibunya yang sudah tiada. Tidak ada yang tahu pasti.
Melihat hal itu, sang perawat pun langsung memeluknya dengan erat dan meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat yang lebih aman. Pelukan hangat sang perawat ternyata berhasil menenangkan bayi itu. Ia pun berhenti menangis.
“Nyonya Garbareva, aku akan melakukan apa yang kau inginkan. Aku akan merawat bayi ini untukmu. Beristirahatlah dalam damai.”
Sang perawat berambut perak itu memperhatikan wajah sang bayi, lalu menciumnya dengan kasih sayang.
“Tenang saja, ya. Alisa Garbareva. Weiss Karny ini akan senantiasa merawatmu sampai kau beranjak dewasa. Aku berjanji kepadamu dan pada ibumu.”
***
GUK GUK GUK
Seekor anjing berwarna abu-abu terlihat mengejar seorang anak perempuan berusia enam tahun. Tampak ia sangat ketakutan.
“SUSTER WEISS!! TOLONG AKU!!”
Gadis itu berlari sambil berteriak memanggil nama perawat itu. Saking paniknya ia pun sampai terjatuh. Anjing itu lalu melompat dan berusaha menggigitnya.
“AAAAAA ...”
Tinggal setengah meter lagi sebelum ia berhasil menggapai anak itu, tiba-tiba sebatang kayu mendarat di kepala hewan itu dengan keras. Anjing itu pun akhirnya lari terbirit-birit karenanya. Sang gadis pun selamat.
Ia menoleh ke arah orang yang berhasil mengusir anjing itu. Ternyata ia adalah anak perempuan lain yang hampir seusia dengannya, mungkin satu tahun lebih tua darinya. Gadis dengan rambut lebih panjang itu menatapnya dengan tatapan dingin.
“Kau tidak apa-apa?” tanya anak itu.
Dengan wajah yang masih tampak ketakutan, gadis itu tak bisa menjawab kata-katanya. Tak lama kemudian, seorang perawat berambut perak datang menghampiri mereka berdua.
“Alisa, Flo, kalian tidak apa-apa?”
Melihat sang perawat yang sudah tiba, Alisa langsung memeluknya dengan erat sambil menangis. Sepertinya ia masih ketakutan dengan peristiwa itu.
“HUWAAA!! SUSTER WEISS!!”
“Sudahlah, Alisa. Tidak apa-apa. Aku ada di sini."
Perawat Weiss pun mengajak mereka berdua kembali ke panti asuhan.
Alisa Garbareva, seorang gadis yang diselamatkan oleh Perawat Weiss kini tinggal di panti asuhan di tengah kota bersama anak-anak korban selamat lainnya. Begitu pula dengan Flo, atau nama aslinya Floria Fresilca. Bedanya ia bersama tiga anak lainnya diselamatkan lewat peristiwa yang berbeda di pantai timur.
Tak terasa mereka pun sudah sampai di panti asuhan. Perawat Weiss mengobati luka di lutut Alisa akibat terjatuh, sedangkan Flo menunggunya di luar ruangan. Alisa tampak meringis kesakitan saat perawat berambut perak itu mengoleskan obat dengan tisu di lututnya.
“Ah, sakit.”
“Sudah, sudah, Alisa. Kau 'kan anak yang kuat. Nanti juga lukanya sembuh kok,” hibur Perawat Weiss sambil mengobati lukanya.
Flo hanya bersandar di dinding sambil menunggu mereka keluar dari tempat itu.
Tak berapa lama kemudian datang tiga anak laki-laki yang menghampirinya. Usianya tampak dua sampai tiga tahun lebih tua darinya. Mereka menatap Flo dengan tatapan sinis.
“Eh, kau gadis Vitania yang bernama Floria itu 'kan?” tanya seseorang dari mereka.
Flo yang mendengarnya hanya mengangguk saja tanpa menjawab sepatah kata pun. Ternyata hal itu membuat salah satu dari mereka naik pitam.
“Heh, jawab dong!!”
“Iya. Aku memang Flo. Floria Fresilca,” jawabnya dengan nada yang dingin.
“Nah, begitu dong. Kalau ada yang nanya jawab,” ujar salah satu anak laki-laki itu.
Flo beranjak dari posisinya dan berdiri di depannya.
“Ngomong-ngomong ada apa kalian mencariku?” tanyanya.
Dengan angkuhnya, salah satu anak laki-laki itu langsung menjawabnya dengan nada yang keras.
“Hah, kau sedang menunggu Alisa 'kan? Orang Vitania sepertimu buat apa sok simpatik seperti itu? Lebih baik kau pergi dari kota ini. Kembali saja ke Vitania sana.”
“Apa maksudmu? Aku juga tinggal di sini kok. Kenapa aku harus pergi?” jawab Flo dengan polos.
Mendengar jawaban itu, seorang anak laki-laki lainnya langsung emosi dan melontarkan kata-kata pada gadis itu.
“Heh, kau masih belum sadar juga ya, Floria? Orang Vitania sepertimu-lah yang telah menghabisi keluarga kami. Kalau kau sudah jadi gadis penyihir nanti, kau juga pasti akan memburu kami 'kan?”
Flo hanya tertunduk diam mendengarnya. Entah apa yang dipikirkan orang-orang ini. Mereka menganggap dirinya adalah monster yang akan menghabisi mereka di masa depan.
Gadis itu pun menjawabnya kembali dengan nada yang sama.
“Tidak. Aku tidak akan pergi dari tempat ini. Aku bukanlah penjahat seperti yang kalian kira. Lagi pula ...,”
Flo menoleh ke arah pintu yang terbuka itu, di mana Alisa sedang dirawat oleh Weiss Karny.
“aku ingin bersama Alisa. Selalu bersamanya.”
Ucapan gadis itu ternyata membuat salah satu dari mereka makin marah. Ia pun langsung menghampiri Flo dan berniat menamparnya.
“HALAH, OMONG KOSONG!! DASAR ORANG VITANIA SIALAN!!”
Tangannya tiba-tiba terhenti saat ia hampir mengenai pipi gadis berambut panjang itu.
“Apa?”
***
Tamparan anak laki-laki yang diarahkan pada Flo itu berhasil dicegah oleh sang perawat. Weiss Karny yang baru saja mengobati luka Alisa menahan tangan anak laki-laki itu dan menatapnya dengan tajam.“Su-suster Weiss?”“Apa yang kau lakukan, Abraham? Menampar seorang gadis, apakah hal ini yang kami ajarkan padamu?”Kedua anak laki-laki di belakangnya tampak panik setelah melihat raut wajah sang perawat yang hendak memarahi mereka. Namun berbeda dengan anak bernama Abraham itu. Ia malah memberontak padanya.“Tapi Suster Weiss, gadis ini orang Vitania. Orang-orang yang telah menghabisi keluarga kita di sini. Aku tidak akan pernah bisa berdamai dengannya.”Abraham terlihat sangat marah pada Flo, benci pada latar belakangnya. Gadis itu hanya diam saja mendengar ucapan Abraham, tak mampu berkata apa-apa. Tetapi Perawat Weiss langsung menasihatinya.“Dengarkan ini, Abraham. Meskipun dia orang Vitania dan kau orang Karelia, tapi kita masih sama-sama Hamu Kamina 'kan, sama-sama manusia Kamina?”
BOOMBola-bola api yang pecah di angkasa itu menghantam berbagai objek yang ada di permukaan tanah. Jalan, kebun, hingga rumah warga, semuanya terkena serangan itu dan terbakar hebat. Sirene kota pun berbunyi. Kedamaian dan ketenteraman itu langsung berubah menjadi ketakutan dan kepanikan.“ADA SERANGAN!! ADA SERANGAN!!”“TOLONG!! RUMAHKU TERBAKAR!!”“Anakku, dimana anakku?”Orang-orang berteriak dan berhamburan di jalanan, berlari ke sana kemari tak tentu arah. Termasuk para anak-anak yang ada di panti asuhan tersebut. Mereka menjerit dan menangis melihat suasana yang tiba-tiba berubah bak perang itu. Semuanya kacau, para perawat kewalahan menangani mereka.Alisa dan Floria terpaku di tempat itu, hanya bisa melihat dan mendengar kepanikan yang ada di balik jendela.“Apa, ini?”Abraham dan kedua temannya yang tengah membeli sesuatu di kedai makanan itu juga tak luput dari kepanikan. Sambil melemparkan makanan yang telah mereka beli, ketiganya langsung kembali ke panti asuhan sambil ber
“JANGAAANNNN!!”KRIINNNGGGGGAlarm berbunyi pertanda pagi telah tiba. Sinar dari bintang biru Formalha yang baru saja terbit dari ufuk timur menyilaukan mata dari jendela. Alisa terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, dan baru sadar bahwa ia tengah berada di kamar asrama.“Oh, sudah pagi ya?” ucapnya sambil memandangi cermin dan mengusap matanya. Rambutnya terlihat acak-acakan.“Sudah waktunya sekolah.”Alisa bergegas untuk membersihkan diri lalu sarapan dengan menu yang telah disediakan pengelola asrama. Dengan mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek dan rok pendek berwarna putih bercorak abu-abu, ia pun bergegas ke sekolah.Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan itu, Alisa bersama anak-anak korban selamat lainnya dipindahkan ke Kartovik. Di sana mereka menjalani kehidupan yang baru, termasuk bersekolah. Alisa yang kini berusia 14 tahun bersekolah di SMA Khusus Wanita Kartovik, sebuah sekolah besar yang mampu menampung lebih dari seribu orang siswi.Kelas dimulai pukul 8
Alisa dan Frenska membaca pesan yang dikirimkan melalui cincin Angkenya. Ternyata benar tebakan mereka. Itu adalah pesan misi yang disampaikan pada keduanya.“Perintah kepada Alisa Garbareva dari Kelas 2-F dan Frenska Albertovia dari kelas 2-F agar segera berkumpul di aula sekolah. Tertanda Ny. Rumia Firlidina.”Salah seorang guru telah memanggil mereka berdua untuk berkumpul di aula sekolah. Oleh karena itu, mereka pun harus menaati perintahnya. Keduanya lalu mengganti pakaian tidur mereka dan bergegas pergi ke aula.Sesampainya di aula sekolah, terlihat ada 6 orang siswi yang sudah berkumpul di tempat itu, dan 3 diantaranya adalah senior mereka dari kelas 3-E yang terkenal arogan itu, yakni Sophie Alkatiri beserta dua temannya, Rinka Sukhova dan Jouiria Valderlia. Melihat kedatangan Alisa dan Frenska, ketiganya menatap mereka dengan sinis, apalagi setelah peristiwa tadi siang.“Cih ..., kenapa dua bocah itu kemari?” gumam Sophie dengan suara pelan.Tak lama berselang, sang pengirim p
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Perempuan itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi.“Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”Perempuan Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah.“Alisa, sudah lama kita tidak bertemu.”“Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?”Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan tiga buah kata.“Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.”Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar.“Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu kita masi
Pagi telah tiba. Sang bintang biru Formalha kembali menyinari Kartovik. Di hari yang cerah ini saatnya bagi Alisa untuk pergi dari sekolahnya demi melaksanakan Program Akselerasi ke wilayah yang dikenal tertutup dan misterius, Daerah Otonom Vitania di timur Kerajaan Archipelahia.Hari ini Frenska masih tertidur karena sekarang kelas sore. Sementara Alisa sudah membereskan semua barang-barangnya tanpa mengganggu tidur lelap teman sekamarnya itu.“Oke, sudah selesai.”Ia pun bersiap untuk berangkat. Namun sebelum meninggalkan kamarnya, terlebih dahulu ia mengenakan sepasang sarung tangan khusus yang diberikan padanya dari pihak sekolah.“Pakailah sarung tangan ini selama menjalani program. Itu akan melindungi identitasmu sebagai gadis penyihir Karelia,” ujar kepala sekolah saat memberikannya sebelum keberangkatan.Alisa berjalan menuju gerbang kompleks sekolah. Terlihat Sophie yang kini bersama lima temannya kembali memandangi gadis itu dengan sinis, namun ia kali ini tak mempedulikannya
Ayam berkokok di pagi hari terdengar jelas di sini, hal yang tak mungkin bisa ditemukan di Kartovik maupun kota besar lainnya. Ini karena Vestaria sendiri hanyalah sebuah kota kecil yang kumuh. Jalanan aspal di sini banyak yang berlubang, sebagiannya lagi malah masih berupa tanah. Trotoar tempat pejalan kaki pun banyak dipenuhi sampah, serta hewan ternak yang lalu lalang di jalanan menambah kesan kumuh kota ini.Namun hal itu tak menyurutkan Alisa untuk memulai penelitiannya tentang masyarakat Vitania yang dimulai dari kota kecil ini.“Yosh. Ayo kita mulai.”Awalnya Alisa hendak mewawancarai nenek pemilik rumah yang ia tinggali sekarang. Namun karena dirinya sedang sakit-sakitan dan tengah tertidur, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk mencari narasumber lain di Pasar Vestarlut, tempat jual beli yang terletak kurang dari satu kilometer dari kediamannya.“Wah, ramai sekali.”Layaknya pasar pada umumnya, banyak sekali orang yang berjual beli di tempat ini. Dari berbagai bahan ma
BRUMM BRUMMSebuah kendaraan bermotor dengan dua roda terlihat melesat di jalan raya yang terletak di tengah hutan. Kendaraan yang disebut sebagai Motosicca itu dikendarai oleh dua orang gadis. Mereka berangkat dari Vestaria menuju sebuah kota yang lebih besar yang terletak di tengah-tengah daratan Vitania.“Jadi, aku harus meninggalkan Vestaria, Flo?” tanya Alisa yang dibonceng di belakang.“Sayang sekali kau harus melakukannya. Kau tidak akan mendapatkan apa pun di sana.” jawab Flo.“Oh, begitu ya?”“Kalau kau mau mendapatkan informasi yang lebih baik, kau harus pergi ke kota yang lebih besar.” lanjut perempuan Vitania itu.Alisa pun terpaksa menuruti saran dari temannya itu.Setelah melesat menembus kabut malam, akhirnya mereka sampai di sebuah distrik kecil di lereng perbukitan. Distrik itu langsung terhubung dengan kota besar yang ada di depannya. Namanya Selenaberg, dinamai sesuai dengan nama bukit di belakang distrik itu.“Nah, kita sudah sampai.”Mereka berhenti di sebuah rumah
Awan gelap mulai menutupi sinar Formalha, pertanda hujan akan turun di ibukota Sentralberg. Angin pun berhembus walau tak kencang.Sementara itu di pusat kota, suara ledakan, tembakan, hingga adu sihir sudah tak terdengar lagi. Menyerahnya Rocky Calais menjadi penanda bahwa operasi pembebasan itu telah selesai. Mereka semua sudah menang.Putri Inori menghampiri Rocky Calais yang sudah tertunduk lesu tanpa kedua tangannya. Cucu terakhir Sazali Fatir itu mengambil mahkota yang sudah berlumuran darah di samping pria tersebut.“Dengan ini semuanya sudah berakhir, Rocky Calais,” tegas Inori.Pria itu tak menanggapinya dan hanya tertunduk lesu.Angin pun berhenti berhembus. Suasana menjadi hening. Akan tetapi, teriakan seorang gadis tomboy tiba-tiba memecah kesunyian.“HEI, KAK ALISA!! KAK ALISA!!”Inori menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang gadis penyihir dengan pakaian biru crop top dan celana pendek serta topi sailor putih berusaha membangunkan seorang gadis lain di depannya. Me
WUSHHPusaran angin yang sangat kencang itu tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Lingkaran sihir yang sebelumnya berputar di udara juga lenyap tak bersisa. Kini yang terlihat hanyalah seorang Alisa Garbareva yang tengah mengangkat belatinya ke langit tanpa dikelilingi sihir apapun, serta Linne Helenawicz yang sedang memegangi kaki seniornya itu. Tak lama kemudian gadis Telhi itu menurunkan tangannya dan melepaskan belatinya. Mereka pun selamat.“Huh, syukurlah, aku berhasil,” ucap Linne sambil ngos-ngosan.Semua orang sontak terpaku, sebagiannya lagi menghela napas setelah peristiwa yang hampir meluluhlantakkan seluruh permukaan Planet Kamina itu nyaris terjadi.“Huff...”Putri Inori menghela napas dengan tangan di dada. Ia tak mampu berkata apapun melihat tindakan berani gadis tomboy itu.Suasana pun mendadak sunyi, akan tetapi kesunyian itu terhapus setelah dua orang mendobrak pintu bawah istana. Terlihat seorang pria berjas hitam dengan topi homburg yang ditemani seorang gadis penyihi
Angin berhembus semakin kencang. Suara adu senjata hingga ledakan sihir masih terdengar di seantero ibukota Sentralberg. Namun tidak ada hal lain yang bisa dilakukan oleh seorang Alisa Garbareva. Gadis Telhi itu hanya tersimpuh dengan tatapan kosong. Di depannya terbaring kaku tubuh sahabatnya, Floria Fresilca yang sudah tak memiliki cincin Angke di jemarinya.Sementara itu di depannya berdiri seorang pria dengan gagah jumawa lengkap dengan pakaian kebesarannya. Dirinya tersenyum lebar seakan dia telah memenangkan pertarungan itu.“Keren sekali,” ujarnya.Tak lama kemudian dari pintu di belakang Alisa keluarlah sejumlah orang dengan berbagai senjata lengkap, para gadis penyihir dengan Posacca mereka serta sejumlah pemuda bersenjatakan Politia. Muncul juga seorang wanita muda yang merupakan pemimpin dari gerakan itu.“Rocky Calais.”Di samping wanita muda itu terlihat pula seorang gadis penyihir bersenjatakan pistol perak yang langsung menyahut begitu melihat dua orang yang tak asing b
“Uhuk... uhuk...”Debu yang berterbangan dari reruntuhan itu membuat keduanya terbatuk-batuk. Kedua gadis itu terjatuh dari lantai atas akibat sebuah ledakan hingga terhempas ke lantai bawah. Namun untungnya mereka masih selamat.Perlahan debu pun menghilang dan mereka berdua bisa melihat apa yang sedang terjadi di sekitarnya.“Hah? Jadi ini...”Alisa dan Floria begitu tercengang melihat pertempuran besar yang sedang terjadi tepat di depan mata kepala mereka sendiri. Askar, Patrol, gadis penyihir, hingga masyarakat biasa, semuanya saling bersatu dalam pertarungan melawan para penjaga Sentralberg.Alisa menoleh ke berbagai arah. Terlihat beberapa orang saling bertarung dengan menggunakan senjata. Masyarakat biasa beserta Patrol dan Askar menggunakan Politia, sementara gadis penyihir dengan Posacca. Sementara itu di atas langit terlihat pula sihir perisai 'Skyoldir' yang mengurung mereka semua disana.Dirinya juga menoleh ke arah samping. Terlihat sejumlah orang yang tergeletak tak berd
Hawa dingin menembus kulit mereka berdua. Perlahan keduanya pun membuka mata.“Dimana ini?”Dua gadis itu mendapati diri mereka terbaring di atas lantai dalam sebuah ruangan yang dingin dan cukup gelap. Mereka menengok ke sekitar. Terlihat ada sejumlah peralatan aneh berwarna perak yang tersimpan di sebuah lemari berwarna putih.“Ini, laboratorium?”Alisa perlahan berusaha bangkit. Begitu pula dengan Floria yang juga terbaring di sampingnya. Mereka nampak masih kebingungan dengan apa yang terjadi, kenapa mereka bisa ada di tempat itu.“Ah, sial. Si Iskarius itu.”Flo sepertinya sudah menyadarinya.“Flo? Siapa?” Alisa bertanya-tanya apa maksud sang sahabat.“Iskarius, penasehat Gubernur Karelia itu. Dia ternyata mata-mata kerajaan pusat. Dan dia berhasil menculik kita ke tempat ini,” jelas Flo.“Oh begitu ya.”Alisa hanya bergeming mendengarnya.“Eh iya, ngomong-ngomong kita dimana?” tanya gadis Telhi itu lagi.Flo menggelengkan kepala.“Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya ini suatu t
Topi homburg yang dikenakannya ia berikan pada seorang gadis berambut pendek dengan pakaian serupa di sampingnya. Pria itu lalu memberikan hormat pada sang raja beserta empat kepala daerah. Dirinya nampak tersenyum pada semua orang, tapi cukup jelas ekspresinya itu hanyalah senyuman licik. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Gubernur Alistair.“Sekali lagi maafkan saya atas keterlambatan ini,” ucap Bob.“Sudah-sudah. Tak perlu bicarakan itu lagi. Sekarang kita kembali ke pembahasan awal,” ujar Rocky.Bob dengan berkas di tangan kirinya lalu berdiri di samping sang raja.“Jadi, pembahasan rapat ini sudah sampai mana, Yang Mulia?” tanya Bob kembali.“Ah, aku senang kau bertanya.”Sang raja lalu menunjuk ke arah keempat kepala daerah dengan ekspresi marah.“Mereka ini payah. Mereka berempat malah menyalahkan aku atas segala permasalahan di daerah otonom akibat ketidakbecusan mereka. Dan saat aku akan menendang mereka, dengan liciknya mereka malah mempermainkan aku. Hutan Schwitz, pertamb
Sinar bintang biru Formalha menyinari Sentralberg di pagi itu. Suara hiruk pikuk Carreta dan Motosicca yang berlalu lalang di jalanan beraspal hitam mewarnai suasana ibukota Kerajaan Archipelahia tersebut. Berbeda dengan kondisi di daerah otonom yang sedang carut marut, disini hampir semua orang beraktivitas seperti biasa.Begitu pula di Istana Perak tempat Raja Archipelahia bersinggasana. Tidak ada sesuatu yang terlalu urgent. Hanya terlihat sedikit penambahan pasukan penjaga di sejumlah titik. Bendera biru Archipelahia masih berkibar dengan gagahnya di puncak tiang tertinggi.Kondisi di dalam istana tak terlalu berbeda. Terlihat sejumlah penjaga tengah berlalu lalang, sedangkan sebagiannya lagi berdiri tegap setiap ada petinggi wilayah yang berjalan di depan mereka.Seorang pemuda berjas hitam dengan lencana surya kuning di sakunya berjalan melewati para penjaga itu. Terlihat pula seorang gadis muda berambut coklat dengan pakaian kasual lengan panjang serta rok yang tak terlalu lebar
Lokasi rahasia, Ibukota Chekovia, Daerah Otonom Vitania.Sebuah ruangan besar menyerupai aula berdiri megah di dalam ruang bawah tanah raksasa. Ruangan itu diperkirakan cukup untuk menampung hampir 10 ribu orang. Kini, sekitar lebih dari 8 ribu gadis penyihir anggota Brigade Penyihir Garis Depan Vitania berkumpul di tempat itu. Kebanyakan dari mereka adalah para petinggi brigade serta gadis penyihir tingkat tinggi yang memegang peranan penting dalam organisasi paramiliter dengan anggota nyaris 100 ribu orang itu.“Rapat akbar? Apakah ada hal yang sangat penting sampai kita semua dipanggil ke tempat ini?”“Entahlah, ini perintah langsung dari Pemimpin Utama.”“Kalau yang kumpul sebanyak ini, berarti akan ada suatu operasi besar. Apa mungkin ini adalah puncak dari perjuangan kita?”“Keren sekali. Tinggal selangkah lagi kita akan memperoleh kemerdekaan.”Para gadis penyihir saling berbincang memecah suasana malam itu. Tak berselang lama, sang pemimpin utama Brigade Penyihir, Sylvie Schwa
Angin berhembus cukup kencang di cuaca yang cerah itu. Kurang dari 24 jam lagi rencana besar yang telah disepakati dalam rapat rahasia akan dilaksanakan. Namun di atas permukaan tanah itu nyaris tidak ada siapapun. Semuanya nampak sepi.Alisa duduk di sebuah bangku taman, namun tidak ada bunga yang mekar di sekitarnya. Yang ada hanyalah wilayah kosong yang nyaris rata dengan tanah. Terlihat sejumlah kecil puing bangunan yang belum dibersihkan. Suasana Kartovik wilayah timur itu kini bak kota mati, bahkan mungkin seperti hamparan tanah luas tak bertuan.Alisa menutup matanya sambil menengadah ke langit. Dirinya mengingat segala hal yang pernah terjadi di tempat itu bersama teman-temannya.“Sebentar lagi, semua penderitaan ini akan berakhir. Tapi, ini terlalu sunyi. Aku kesepian,” ungkap Alisa dalam hati.Perlahan air mata menetes dari pelupuk mata gadis Telhi itu. Ia benar-benar merindukan semuanya. Kehidupan yang damai, sekolah, serta kawan-kawan. Namun sekarang semuanya telah sirna.