“JANGAAANNNN!!”
KRIINNNGGGGG
Alarm berbunyi pertanda pagi telah tiba. Sinar dari bintang biru Formalha yang baru saja terbit dari ufuk timur menyilaukan mata dari jendela. Alisa terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, dan baru sadar bahwa ia tengah berada di kamar asrama.
“Oh, sudah pagi ya?” ucapnya sambil memandangi cermin dan mengusap matanya. Rambutnya terlihat acak-acakan.
“Sudah waktunya sekolah.”
Alisa bergegas untuk membersihkan diri lalu sarapan dengan menu yang telah disediakan pengelola asrama. Dengan mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek dan rok pendek berwarna putih bercorak abu-abu, ia pun bergegas ke sekolah.
Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan itu, Alisa bersama anak-anak korban selamat lainnya dipindahkan ke Kartovik. Di sana mereka menjalani kehidupan yang baru, termasuk bersekolah. Alisa yang kini berusia 14 tahun bersekolah di SMA Khusus Wanita Kartovik, sebuah sekolah besar yang mampu menampung lebih dari seribu orang siswi.
Kelas dimulai pukul 8 pagi. Para siswi bergegas menuju gedung sekolah mereka yang berjarak sekitar 100 meter dari asrama. Dan seperti biasanya, Alisa yang masih trauma akibat peristiwa pada masa lalu itu berjalan sambil tertunduk lesu.
Saat sedang berjalan menuju kelas, seorang gadis lain menyahutnya dari belakang.
"ALISA!! SELAMAT PAGI!!”
Alisa menengok ke arah suara itu. Terlihat seorang gadis berambut pirang panjang yang sedikit lebih tua darinya. Ia berlari ke arah Alisa itu sambil melambaikan tangan kanannya.
“Oh, Frenska? Selamat pagi juga,” jawabnya dengan suara pelan.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya gadis berambut pirang panjang itu. Dirinya selalu bertanya seperti itu hampir setiap pagi.
“Seperti biasa,” jawab Alisa sambil menunduk.
“Lah kau ini. Setiap aku tanya kabarmu pasti biasa biasa biasa terus. Tak ada jawaban lain apa?” kata Frenska.
“Memang kau ingin aku jawab apa?” tanya Alisa balik.
“Ya, bagaimana gitu,” ujar temannya itu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Rupanya ia juga masih bingung.
“Hehe ...” Alisa sedikit tertawa dengan senyuman tipis.
Gadis enerjik bernama Frenska Albertovia itu lalu memberitahukan suatu informasi menarik padanya.
“Oh iya, Alisa. Mulai hari ini aku akan pindah sekamar denganmu ya.”
“Loh, kenapa?”
“Aku udah tak tahan sama Gisella. Dia selalu bawa rivalnya Griselia ke kamarku dan ribut terus sambil main perang bantal. Akhirnya aku mengajukan untuk pindah dari kamarnya. Eh, Kak Novi malah memasukanku di kamarmu. Boleh 'kan?”
“Oh, tidak masalah kok. Justru aku senang kau pindah ke kamarku. Aku jadi ada teman, hehe ...” cakap Alisa sambil tersenyum.
KRIINNGGGG
Bel sekolah berbunyi pertanda kegiatan belajar mengajar dimulai. Sebuah ruangan kelas menyerupai ruang media yang cukup besar menjadi tempat bagi para siswi untuk belajar. Alisa sendiri duduk di sebelah kanan baris ketiga dari belakang, tepatnya di antara kedua teman di sampingnya. Mereka duduk di meja yang panjang itu.
Kelas pagi pun dimulai. Seorang pengajar wanita yang terlihat cukup tua memimpin jalannya kegiatan belajar mengajar di kelas ini.
“Baiklah anak-anak. Kita kembali membahas materi yang kemarin,” kata sang guru.
Para siswi menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh wanita itu, termasuk juga Alisa yang menggunakan sebuah pulpen biru. Ia pun mulai menulis sejumlah materi yang disampaikan olehnya.
Sambil mencatat poin-poin penting yang diucapkan oleh wanita itu, Alisa memandangi sebuah benda yang ada di jari tengah tangan kanannya. Benda itu menyerupai cincin batu akik berwarna merah, namun takkan pernah bisa dilepaskan seumur hidupnya.
Itu bukan sembarang cincin, melainkan benda ajaib yang memberikan kekuatan baginya untuk menggunakan ilmu sihir. Orang-orang di planet ini menyebutnya sebagai permata Angke.
“Jadi, sudah lebih dari setahun aku dirapalkan jadi gadis penyihir ya?” gumam Alisa dalam hati.
Tak terasa waktu istirahat pun tiba. Namun hari ini ia tak mengajak temannya yang berambut pirang itu. Berbagai menu masakan lezat tersedia di tempat ini, namun Alisa hanya ingin menikmati semangkuk sop saja dengan air mineral biasa seharga 7 Dim atau koin perak.
Tak lama berselang, ia pun bergegas kembali ke kelas tanpa bersenda gurau terlebih dahulu dengan siswi lainnya di sana. Namun sayangnya tepat di taman sekolah dirinya menabrak siswi lainnya karena tak melihat ke depan. Alisa pun terjatuh.
“Hei, kalau jalan pakai mata ya!!” bentak gadis yang ditabraknya itu. Ia adalah siswi berambut panjang berwarna emas.
“Ma-maaf ...”
“Eh tunggu. Kau Alisa dari kelas 2-F 'kan?” tanya gadis itu setelah menyadari sesuatu.
“Eh, anu, kak ...” Alisa terbata-bata menjawabnya.
Melihat hal tersebut, siswi yang ditabraknya itu memanfaatkan kesempatan.
“Berani sekali kau menabrakku seperti itu. Oh iya, kenapa kau ke sini? Ini 'kan daerah terlarang bagi junior sepertimu.”
Teman-teman siswi senior tersebut menertawakan peristiwa itu di belakangnya.
“Eh, tunggu. Maaf kak, aku lupa.”
“Halah, cari alasan saja kau. Kemari!! Sebagai hukuman karena kau sudah masuk wilayah kami tanpa izin, sekarang serahkan 1 Din padaku. Cepat!!”
Alisa pun mengeluarkan sebuah koin perak dari sakunya. Hal itu ternyata membuat sang siswi senior marah.
“AKU BILANG SATU DIN, BUKAN DIM!!”
Siswi arogan itu pun merogoh paksa saku rok Alisa. Ia mengambil sekitar 1 Din atau koin emas dan 4 Dim dari saku gadis itu.
“Nah seperti ini dong. Makanya jangan suka melawan aturan dari seniormu ini. Haha ...”
Siswi berambut panjang itu tertawa sambil melemparkan koin emas itu ke atas. Tetapi tiba-tiba terdengar ada seorang siswi lainnya yang merapalkan mantra.
“Troden!!”
WUSHH
Koin itu tertarik oleh sebuah tali bercahaya biru muda sampai jatuh ke tangan seorang siswi lainnya.
“Sudah cukup,” ujar siswi berambut pendek itu.
“Hah? Lancang sekali anak kelas 1 sepertimu memerintahku. Apa kau tak pernah diajari sopan santun?” kata siswi arogan itu setelah melihat penampilannya.
Akan tetapi dengan berani siswi kelas 1 itu malah melawan balik seniornya tersebut.
“Sopan santun katamu? Apakah seseorang yang senang memalak barang milik orang lain perlu disambut dengan sopan santun? Kau bercanda ya? Jangan harap. Itu tidak adil.”
Mendengar perkataan berani dari anak kelas 1 tersebut membuat sang siswi arogan menjadi murka.
“Oh, adil katamu? Jadi maksudmu kami berbuat tidak adil di sini, begitu? Baiklah, akan kutunjukkan apa itu ‘keadilan’ untukmu.”
Siswi senior itu memancarkan aura yang sangat kuat pertanda bahwa ia akan berubah ke dalam wujud gadis penyihir tingkat menengah ke atas. Sementara itu, anak kelas 1 yang menantangnya juga tampak siap menghadapinya. Tapi rupanya hal itu dihentikan oleh salah seorang temannya yang ada di belakang.
“Sudahlah, Sophie. Di sini bukan tempat untuk bertarung. Kita bisa dihukum guru kalau bertarung di sini,” bisik seorang temannya di belakang.
Mendengar hal tersebut, siswi arogan itu menghentikan transformasinya.
“Cih, baiklah. Saat ini aku biarkan kalian bebas, tapi tidak untuk ke depannya. Ayo pergi," ujarnya sambil berpaling lalu meninggalkan mereka berdua.
Alisa memunguti beberapa koin perak yang berhamburan di tanah, sementara siswi kelas 1 itu menghampirinya untuk mengembalikan koin emas itu padanya.
“Kakak tidak apa-apa?” tanya gadis itu.
“Aku tidak apa-apa. Terima kasih.”
“Sama-sama, kak. Hadeh ..., mereka itu memang menyebalkan ya.”
Alisa kembali ke kelas bersama dengan siswi junior itu. Kebetulan mereka berjalan melewati jalan yang sama.
“Aku heran kak, disini kok masih ada orang yang berpikiran kuno seperti itu ya? Mentang-mentang senior bisa berbuat seenaknya pada kita para junior. Padahal di daerahku sendiri bisa dibilang sudah tak ada lagi yang seperti itu. Bahkan Departemen Pendidikan kotaku mengancam akan mencabut seluruh bantuan pendidikan pada murid seperti tadi,” ujar gadis berambut pendek itu.
“Entahlah, aku juga tidak mengerti,” jawab Alisa sambil tertunduk.
“Hadeh, dasar. Sepertinya mental mereka harus direnovasi ya. Haha ...” guraunya.
Anak kelas 1 itu tertawa terbahak-bahak, sementara Alisa hanya tersenyum kecil.
“Oh iya, kita belum berkenalan,” ujar Alisa sambil menoleh padanya.
“Eh iya juga kak, aku lupa hehe ...”
Siswi kelas 1 itu memperkenalkan dirinya sambil menaruh tangannya di dada.
“Perkenalkan, namaku Linne, Linne Helenawicz dari Sullinheimr. Aku murid kelas 1-A,” jelas anak itu. Dilihat dari penampilan dan gaya bicaranya menandakan dirinya merupakan seorang gadis tomboy.
“Salam kenal, Linne. Namaku Alisa Garbareva dari kelas 2-F. Aku berasal dari Telhi.”
Mendengar hal tersebut sontak membuat Linne terkejut bukan kepalang,
“Apa, Telhi?”
“Iya, Telhi,” tegas Alisa.
Linne makin penasaran dengan apa yang ia dengar tentang asal kota Alisa.
“Tunggu Kak Alisa. Itu 'kan kota yang pernah diserang oleh Brigade Penyihir Garis Depan Vitania pada 8 tahun yang lalu 'kan?”
Pertanyaan yang dilontarkan Linne tersebut nampaknya malah mengingatkan Alisa akan peristiwa mengerikan yang terjadi di kotanya dulu.
“Eh? Anu ..., iya,” jawabnya terbata-bata.
“Wah, keren sekali. Bagaimana cara kakak bertahan dari serangan para pemberontak itu?”
Linne kembali bertanya sambil mendekatkan wajahnya pada Alisa. Hal itu malah makin membangkitkan memori kelamnya di masa lalu. Alisa pun hanya terdiam sambil memalingkan wajahnya dari Linne. Matanya juga terlihat berkaca-kaca. Linne yang menyadari hal itu pun langsung menarik diri.
“Uh ..., maafkan aku, Kak. Nampaknya aku terlalu sembrono dengan bertanya seperti itu.”
Linne memalingkan wajahnya. Namun Alisa terlihat tak mempermasalahkan hal tersebut. Ia pun tersenyum pada gadis itu sambil mengusap air matanya.
“Eh, tidak kok. Tenang saja, aku ini santai orangnya. Nanti akan kuceritakan.”
“Oke kak. Terima kasih.”
Linne pun tersenyum padanya sebelum akhirnya mereka berpisah. Alisa kembali ke kelasnya.
Tak terasa hari pun sudah petang dan para siswi kembali ke kediaman mereka, baik di rumah sendiri maupun di asrama sekolah ini. Alisa yang baru selesai mandi dengan handuk di atas rambutnya yang basah itu masuk ke kamarnya. Di sana Frenska ternyata sudah pindah kamar. Ia terlihat sedang membereskan ruangan itu.
“Ah, Alisa. Selamat datang,” sambut Frenska.
“Frenska? Kau sudah pindah?”
“Iya. Aku baru saja pindah hari ini.”
Frenska langsung membereskan kasur Alisa yang tampak sedikit kusut itu. Ia pun berusaha mencegahnya.
“Eh tunggu, Frenska. Bagian itu tak perlu dibereskan dulu.”
“Sudahlah, tidak apa-apa. Biar aku saja yang bereskan,” Frenska bersikeras.
“Oh, ya sudah. Terima kasih. Maaf merepotkan.”
“Tidak masalah. Lagi pula kita 'kan teman sekamar. Hehe ...”
Menjelang malam, mereka berdua berbincang di kamar mereka sebelum tidur, hal yang biasa dilakukan oleh para penghuni asrama.
“Hei, Frenska.”
“Iya, Alisa?”
“Saat ini aku bingung. Sebenarnya aku senang tinggal di sini. Hampir semua hal tersedia dan terjamin. Tapi aku rindu kampung halamanku di Telhi," ucap Alisa sambil memandangi langit-langit kamar asramanya.
“Ah, wajar sih,” jawab Frenska santai.
“Tapi ada satu hal lain yang membuatku rindu selain dari kota itu,” lanjut gadis Telhi itu.
“Apa itu?” tanya Frenska sambil menoleh padanya.
“Aku juga rindu pada seseorang. Seorang teman yang selalu menemaniku sejak kecil saat masih di Telhi. Tapi sekarang aku tidak tahu dia di mana, dibawa oleh siapa dia, dan apa yang dia lakukan sekarang."
Mendengar hal itu, Frenska pun berusaha menghiburnya.
“Oh, kalau begitu berharap saja kita dapat misi ke Telhi nanti. Hehe ...”
“Haha ..., Frenska bisa saja,” mereka tertawa bersama.
“Oh iya. Hari sudah malam. Ayo kita tidur. Jangan sampai kita kesiangan meskipun besok kelas siang,” ujar Frenska sambil membalikkan badan.
Baru saja Alisa dan Frenska akan memejamkan mata, cincin yang mereka pakai tiba-tiba mengeluarkan cahaya, menandakan sebuah pesan masuk. Biasanya hal ini terkait dengan sebuah misi yang harus dijalankan. Alhasil mereka pun terbangun kembali.
“Duh, kok bisa-bisanya sih ada misi disaat kita mau tidur begini?” keluh Frenska.
“Apa boleh buat,” jawab Alisa dengan santainya. Tampak dirinya masih belum mengantuk.
“Kau saja yang membukanya, Alisa.”
Alisa berdiri tegap menghadap jendela kamar asrama yang berbentuk persegi panjang itu. Ia membuat sebuah lingkaran dengan kedua jari tangan kanannya sampai muncul sebuah cahaya, lalu dirinya menekan pusat lingkaran cahaya tersebut sambil merapalkan mantra.
“Opun.”
Lingkaran itu kemudian melontarkan dua buah cahaya ke arah kiri dan kanan membentuk sebuah persegi panjang. Tepat di tengah-tengah persegi panjang itu muncul sebuah tulisan yang beraksara Archipelrunska, alfabet yang digunakan di Kerajaan Archipelahia. Alisa pun membaca pesan yang tertulis itu dengan seksama.
“Ini ...,”
***
Alisa dan Frenska membaca pesan yang dikirimkan melalui cincin Angkenya. Ternyata benar tebakan mereka. Itu adalah pesan misi yang disampaikan pada keduanya.“Perintah kepada Alisa Garbareva dari Kelas 2-F dan Frenska Albertovia dari kelas 2-F agar segera berkumpul di aula sekolah. Tertanda Ny. Rumia Firlidina.”Salah seorang guru telah memanggil mereka berdua untuk berkumpul di aula sekolah. Oleh karena itu, mereka pun harus menaati perintahnya. Keduanya lalu mengganti pakaian tidur mereka dan bergegas pergi ke aula.Sesampainya di aula sekolah, terlihat ada 6 orang siswi yang sudah berkumpul di tempat itu, dan 3 diantaranya adalah senior mereka dari kelas 3-E yang terkenal arogan itu, yakni Sophie Alkatiri beserta dua temannya, Rinka Sukhova dan Jouiria Valderlia. Melihat kedatangan Alisa dan Frenska, ketiganya menatap mereka dengan sinis, apalagi setelah peristiwa tadi siang.“Cih ..., kenapa dua bocah itu kemari?” gumam Sophie dengan suara pelan.Tak lama berselang, sang pengirim p
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Perempuan itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi.“Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”Perempuan Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah.“Alisa, sudah lama kita tidak bertemu.”“Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?”Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan tiga buah kata.“Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.”Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar.“Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu kita masi
Pagi telah tiba. Sang bintang biru Formalha kembali menyinari Kartovik. Di hari yang cerah ini saatnya bagi Alisa untuk pergi dari sekolahnya demi melaksanakan Program Akselerasi ke wilayah yang dikenal tertutup dan misterius, Daerah Otonom Vitania di timur Kerajaan Archipelahia.Hari ini Frenska masih tertidur karena sekarang kelas sore. Sementara Alisa sudah membereskan semua barang-barangnya tanpa mengganggu tidur lelap teman sekamarnya itu.“Oke, sudah selesai.”Ia pun bersiap untuk berangkat. Namun sebelum meninggalkan kamarnya, terlebih dahulu ia mengenakan sepasang sarung tangan khusus yang diberikan padanya dari pihak sekolah.“Pakailah sarung tangan ini selama menjalani program. Itu akan melindungi identitasmu sebagai gadis penyihir Karelia,” ujar kepala sekolah saat memberikannya sebelum keberangkatan.Alisa berjalan menuju gerbang kompleks sekolah. Terlihat Sophie yang kini bersama lima temannya kembali memandangi gadis itu dengan sinis, namun ia kali ini tak mempedulikannya
Ayam berkokok di pagi hari terdengar jelas di sini, hal yang tak mungkin bisa ditemukan di Kartovik maupun kota besar lainnya. Ini karena Vestaria sendiri hanyalah sebuah kota kecil yang kumuh. Jalanan aspal di sini banyak yang berlubang, sebagiannya lagi malah masih berupa tanah. Trotoar tempat pejalan kaki pun banyak dipenuhi sampah, serta hewan ternak yang lalu lalang di jalanan menambah kesan kumuh kota ini.Namun hal itu tak menyurutkan Alisa untuk memulai penelitiannya tentang masyarakat Vitania yang dimulai dari kota kecil ini.“Yosh. Ayo kita mulai.”Awalnya Alisa hendak mewawancarai nenek pemilik rumah yang ia tinggali sekarang. Namun karena dirinya sedang sakit-sakitan dan tengah tertidur, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk mencari narasumber lain di Pasar Vestarlut, tempat jual beli yang terletak kurang dari satu kilometer dari kediamannya.“Wah, ramai sekali.”Layaknya pasar pada umumnya, banyak sekali orang yang berjual beli di tempat ini. Dari berbagai bahan ma
BRUMM BRUMMSebuah kendaraan bermotor dengan dua roda terlihat melesat di jalan raya yang terletak di tengah hutan. Kendaraan yang disebut sebagai Motosicca itu dikendarai oleh dua orang gadis. Mereka berangkat dari Vestaria menuju sebuah kota yang lebih besar yang terletak di tengah-tengah daratan Vitania.“Jadi, aku harus meninggalkan Vestaria, Flo?” tanya Alisa yang dibonceng di belakang.“Sayang sekali kau harus melakukannya. Kau tidak akan mendapatkan apa pun di sana.” jawab Flo.“Oh, begitu ya?”“Kalau kau mau mendapatkan informasi yang lebih baik, kau harus pergi ke kota yang lebih besar.” lanjut perempuan Vitania itu.Alisa pun terpaksa menuruti saran dari temannya itu.Setelah melesat menembus kabut malam, akhirnya mereka sampai di sebuah distrik kecil di lereng perbukitan. Distrik itu langsung terhubung dengan kota besar yang ada di depannya. Namanya Selenaberg, dinamai sesuai dengan nama bukit di belakang distrik itu.“Nah, kita sudah sampai.”Mereka berhenti di sebuah rumah
Mentari naik ke atas langit menyinari daratan Vitania di Planet Kamina ini. Gadis berambut pendek bernama Alisa Garbareva itu tampak tengah membantu teman lamanya Floria memetik bunga. Berbagai jenis bunga di kebun itu mereka petik untuk nantinya dijual pada masyarakat kota.“Segini sudah cukup, Flo?” tanya Alisa.“Sudah lebih dari cukup malah. Ayo kita pergi,” jawabnya.Dengan mengendarai Motosicca, mereka pun menuruni Bukit Selenaberg untuk sampai ke kota. Hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer dari kediaman Flo, mereka sudah bisa melihat sebuah gapura besar yang melintang di atas jalan.“Kita sudah tiba. Willkommen in Matrotshaven,” ujar Flo yang artinya ‘Selamat Datang di Matrotshaven’ dalam Bahasa Vitania.“Whoa, besar sekali kota ini,” ucap Alisa kagum.Matrotshaven, nama sebuah kota besar di selatan Selenaberg. Walaupun bukan ibukota Daerah Otonom Vitania, akan tetapi kota ini cukup besar untuk menampung ratusan ribu orang. Pemandangan kota yang penuh dengan ruko dan ban
“Huh ... huh ... huh ...”“WOY BERHENTI KAU BOCAH SIALAN!!”Seorang pria berusia 30 tahunan terlihat mengejar seseorang di sebuah gang sempit hingga masuk ke trotoar samping jalan besar. Pengejaran itu sempat membuat arus lalu lintas menjadi terhambat.“TAKKAN KUBIARKAN KAU LEPAS!!”Pria itu tampak mengejar seorang anak perempuan berusia 13 tahun yang mengenakan jaket lusuh berwarna abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya. Ia berlari sambil membawa sebuah bungkusan berukuran sedang di pelukannya.Anak itu berlari untuk menghindari kejaran pria di belakangnya. Namun karena tak melihat jalan, dirinya tertabrak sebuah Motosicca yang tengah melaju di jalanan yang ia lewati.BRUKK“Ahh ...”Dirinya terjatuh ke aspal beserta barang yang dibawanya. Itu adalah bungkusan berisi Clatenda, sejenis nasi yang dibungkus oleh dedaunan.“Gawat.”Flo yang tidak sengaja menabrak anak itu langsung menghentikan Motosicca-nya. Alisa juga langsung menghampirinya.“Kau tidak apa-apa?” tanya Alisa sambi
Rembulan perlahan naik ke atas. Tak seperti biasanya di mana Alisa merangkum informasi yang ia dapatkan, kali ini dirinya hanya melamun sambil berbaring di tempat tidur dan memeluk sebuah bantal. Flo pun menghampirinya.“Alisa, kau tidak merangkum lagi?”“Tidak. Nanti saja,” jawabnya dengan suara pelan.“Kau tidak apa-apa? Apa kau sakit?”“Tidak kok, aku baik-baik saja.”Ekspresinya tak bisa membohongi Flo. Karena tidak mau mengatakan apa yang ia pikirkan, Flo berusaha menghiburnya.“Hadeh, A-LI-SA!!”BRUKKPerempuan itu melompat ke kasur hingga membuat Alisa hampir terjungkal.“Ah, Flo. Kenapa sih?”Sambil menahan dagunya dengan kedua tangan, Flo yang telungkup di kasur itu memandangi wajah Alisa.“Aku lihat kau melamun terus. Kau masih memikirkan Akiha dan keluarganya 'kan?” tanya perempuan berambut panjang itu.“Anu ..., aku ...”“Sudah tidak apa-apa. Nanti kita ke sana lagi kalau ada waktu,” hibur Flo.“Bukan itu yang kupikirkan.”Alisa sedikit mengalihkan pandangannya.“Lantas apa
Awan gelap mulai menutupi sinar Formalha, pertanda hujan akan turun di ibukota Sentralberg. Angin pun berhembus walau tak kencang.Sementara itu di pusat kota, suara ledakan, tembakan, hingga adu sihir sudah tak terdengar lagi. Menyerahnya Rocky Calais menjadi penanda bahwa operasi pembebasan itu telah selesai. Mereka semua sudah menang.Putri Inori menghampiri Rocky Calais yang sudah tertunduk lesu tanpa kedua tangannya. Cucu terakhir Sazali Fatir itu mengambil mahkota yang sudah berlumuran darah di samping pria tersebut.“Dengan ini semuanya sudah berakhir, Rocky Calais,” tegas Inori.Pria itu tak menanggapinya dan hanya tertunduk lesu.Angin pun berhenti berhembus. Suasana menjadi hening. Akan tetapi, teriakan seorang gadis tomboy tiba-tiba memecah kesunyian.“HEI, KAK ALISA!! KAK ALISA!!”Inori menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang gadis penyihir dengan pakaian biru crop top dan celana pendek serta topi sailor putih berusaha membangunkan seorang gadis lain di depannya. Me
WUSHHPusaran angin yang sangat kencang itu tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Lingkaran sihir yang sebelumnya berputar di udara juga lenyap tak bersisa. Kini yang terlihat hanyalah seorang Alisa Garbareva yang tengah mengangkat belatinya ke langit tanpa dikelilingi sihir apapun, serta Linne Helenawicz yang sedang memegangi kaki seniornya itu. Tak lama kemudian gadis Telhi itu menurunkan tangannya dan melepaskan belatinya. Mereka pun selamat.“Huh, syukurlah, aku berhasil,” ucap Linne sambil ngos-ngosan.Semua orang sontak terpaku, sebagiannya lagi menghela napas setelah peristiwa yang hampir meluluhlantakkan seluruh permukaan Planet Kamina itu nyaris terjadi.“Huff...”Putri Inori menghela napas dengan tangan di dada. Ia tak mampu berkata apapun melihat tindakan berani gadis tomboy itu.Suasana pun mendadak sunyi, akan tetapi kesunyian itu terhapus setelah dua orang mendobrak pintu bawah istana. Terlihat seorang pria berjas hitam dengan topi homburg yang ditemani seorang gadis penyihi
Angin berhembus semakin kencang. Suara adu senjata hingga ledakan sihir masih terdengar di seantero ibukota Sentralberg. Namun tidak ada hal lain yang bisa dilakukan oleh seorang Alisa Garbareva. Gadis Telhi itu hanya tersimpuh dengan tatapan kosong. Di depannya terbaring kaku tubuh sahabatnya, Floria Fresilca yang sudah tak memiliki cincin Angke di jemarinya.Sementara itu di depannya berdiri seorang pria dengan gagah jumawa lengkap dengan pakaian kebesarannya. Dirinya tersenyum lebar seakan dia telah memenangkan pertarungan itu.“Keren sekali,” ujarnya.Tak lama kemudian dari pintu di belakang Alisa keluarlah sejumlah orang dengan berbagai senjata lengkap, para gadis penyihir dengan Posacca mereka serta sejumlah pemuda bersenjatakan Politia. Muncul juga seorang wanita muda yang merupakan pemimpin dari gerakan itu.“Rocky Calais.”Di samping wanita muda itu terlihat pula seorang gadis penyihir bersenjatakan pistol perak yang langsung menyahut begitu melihat dua orang yang tak asing b
“Uhuk... uhuk...”Debu yang berterbangan dari reruntuhan itu membuat keduanya terbatuk-batuk. Kedua gadis itu terjatuh dari lantai atas akibat sebuah ledakan hingga terhempas ke lantai bawah. Namun untungnya mereka masih selamat.Perlahan debu pun menghilang dan mereka berdua bisa melihat apa yang sedang terjadi di sekitarnya.“Hah? Jadi ini...”Alisa dan Floria begitu tercengang melihat pertempuran besar yang sedang terjadi tepat di depan mata kepala mereka sendiri. Askar, Patrol, gadis penyihir, hingga masyarakat biasa, semuanya saling bersatu dalam pertarungan melawan para penjaga Sentralberg.Alisa menoleh ke berbagai arah. Terlihat beberapa orang saling bertarung dengan menggunakan senjata. Masyarakat biasa beserta Patrol dan Askar menggunakan Politia, sementara gadis penyihir dengan Posacca. Sementara itu di atas langit terlihat pula sihir perisai 'Skyoldir' yang mengurung mereka semua disana.Dirinya juga menoleh ke arah samping. Terlihat sejumlah orang yang tergeletak tak berd
Hawa dingin menembus kulit mereka berdua. Perlahan keduanya pun membuka mata.“Dimana ini?”Dua gadis itu mendapati diri mereka terbaring di atas lantai dalam sebuah ruangan yang dingin dan cukup gelap. Mereka menengok ke sekitar. Terlihat ada sejumlah peralatan aneh berwarna perak yang tersimpan di sebuah lemari berwarna putih.“Ini, laboratorium?”Alisa perlahan berusaha bangkit. Begitu pula dengan Floria yang juga terbaring di sampingnya. Mereka nampak masih kebingungan dengan apa yang terjadi, kenapa mereka bisa ada di tempat itu.“Ah, sial. Si Iskarius itu.”Flo sepertinya sudah menyadarinya.“Flo? Siapa?” Alisa bertanya-tanya apa maksud sang sahabat.“Iskarius, penasehat Gubernur Karelia itu. Dia ternyata mata-mata kerajaan pusat. Dan dia berhasil menculik kita ke tempat ini,” jelas Flo.“Oh begitu ya.”Alisa hanya bergeming mendengarnya.“Eh iya, ngomong-ngomong kita dimana?” tanya gadis Telhi itu lagi.Flo menggelengkan kepala.“Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya ini suatu t
Topi homburg yang dikenakannya ia berikan pada seorang gadis berambut pendek dengan pakaian serupa di sampingnya. Pria itu lalu memberikan hormat pada sang raja beserta empat kepala daerah. Dirinya nampak tersenyum pada semua orang, tapi cukup jelas ekspresinya itu hanyalah senyuman licik. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Gubernur Alistair.“Sekali lagi maafkan saya atas keterlambatan ini,” ucap Bob.“Sudah-sudah. Tak perlu bicarakan itu lagi. Sekarang kita kembali ke pembahasan awal,” ujar Rocky.Bob dengan berkas di tangan kirinya lalu berdiri di samping sang raja.“Jadi, pembahasan rapat ini sudah sampai mana, Yang Mulia?” tanya Bob kembali.“Ah, aku senang kau bertanya.”Sang raja lalu menunjuk ke arah keempat kepala daerah dengan ekspresi marah.“Mereka ini payah. Mereka berempat malah menyalahkan aku atas segala permasalahan di daerah otonom akibat ketidakbecusan mereka. Dan saat aku akan menendang mereka, dengan liciknya mereka malah mempermainkan aku. Hutan Schwitz, pertamb
Sinar bintang biru Formalha menyinari Sentralberg di pagi itu. Suara hiruk pikuk Carreta dan Motosicca yang berlalu lalang di jalanan beraspal hitam mewarnai suasana ibukota Kerajaan Archipelahia tersebut. Berbeda dengan kondisi di daerah otonom yang sedang carut marut, disini hampir semua orang beraktivitas seperti biasa.Begitu pula di Istana Perak tempat Raja Archipelahia bersinggasana. Tidak ada sesuatu yang terlalu urgent. Hanya terlihat sedikit penambahan pasukan penjaga di sejumlah titik. Bendera biru Archipelahia masih berkibar dengan gagahnya di puncak tiang tertinggi.Kondisi di dalam istana tak terlalu berbeda. Terlihat sejumlah penjaga tengah berlalu lalang, sedangkan sebagiannya lagi berdiri tegap setiap ada petinggi wilayah yang berjalan di depan mereka.Seorang pemuda berjas hitam dengan lencana surya kuning di sakunya berjalan melewati para penjaga itu. Terlihat pula seorang gadis muda berambut coklat dengan pakaian kasual lengan panjang serta rok yang tak terlalu lebar
Lokasi rahasia, Ibukota Chekovia, Daerah Otonom Vitania.Sebuah ruangan besar menyerupai aula berdiri megah di dalam ruang bawah tanah raksasa. Ruangan itu diperkirakan cukup untuk menampung hampir 10 ribu orang. Kini, sekitar lebih dari 8 ribu gadis penyihir anggota Brigade Penyihir Garis Depan Vitania berkumpul di tempat itu. Kebanyakan dari mereka adalah para petinggi brigade serta gadis penyihir tingkat tinggi yang memegang peranan penting dalam organisasi paramiliter dengan anggota nyaris 100 ribu orang itu.“Rapat akbar? Apakah ada hal yang sangat penting sampai kita semua dipanggil ke tempat ini?”“Entahlah, ini perintah langsung dari Pemimpin Utama.”“Kalau yang kumpul sebanyak ini, berarti akan ada suatu operasi besar. Apa mungkin ini adalah puncak dari perjuangan kita?”“Keren sekali. Tinggal selangkah lagi kita akan memperoleh kemerdekaan.”Para gadis penyihir saling berbincang memecah suasana malam itu. Tak berselang lama, sang pemimpin utama Brigade Penyihir, Sylvie Schwa
Angin berhembus cukup kencang di cuaca yang cerah itu. Kurang dari 24 jam lagi rencana besar yang telah disepakati dalam rapat rahasia akan dilaksanakan. Namun di atas permukaan tanah itu nyaris tidak ada siapapun. Semuanya nampak sepi.Alisa duduk di sebuah bangku taman, namun tidak ada bunga yang mekar di sekitarnya. Yang ada hanyalah wilayah kosong yang nyaris rata dengan tanah. Terlihat sejumlah kecil puing bangunan yang belum dibersihkan. Suasana Kartovik wilayah timur itu kini bak kota mati, bahkan mungkin seperti hamparan tanah luas tak bertuan.Alisa menutup matanya sambil menengadah ke langit. Dirinya mengingat segala hal yang pernah terjadi di tempat itu bersama teman-temannya.“Sebentar lagi, semua penderitaan ini akan berakhir. Tapi, ini terlalu sunyi. Aku kesepian,” ungkap Alisa dalam hati.Perlahan air mata menetes dari pelupuk mata gadis Telhi itu. Ia benar-benar merindukan semuanya. Kehidupan yang damai, sekolah, serta kawan-kawan. Namun sekarang semuanya telah sirna.