Alisa dan Frenska membaca pesan yang dikirimkan melalui cincin Angkenya. Ternyata benar tebakan mereka. Itu adalah pesan misi yang disampaikan pada keduanya.
“Perintah kepada Alisa Garbareva dari Kelas 2-F dan Frenska Albertovia dari kelas 2-F agar segera berkumpul di aula sekolah. Tertanda Ny. Rumia Firlidina.”
Salah seorang guru telah memanggil mereka berdua untuk berkumpul di aula sekolah. Oleh karena itu, mereka pun harus menaati perintahnya. Keduanya lalu mengganti pakaian tidur mereka dan bergegas pergi ke aula.
Sesampainya di aula sekolah, terlihat ada 6 orang siswi yang sudah berkumpul di tempat itu, dan 3 diantaranya adalah senior mereka dari kelas 3-E yang terkenal arogan itu, yakni Sophie Alkatiri beserta dua temannya, Rinka Sukhova dan Jouiria Valderlia. Melihat kedatangan Alisa dan Frenska, ketiganya menatap mereka dengan sinis, apalagi setelah peristiwa tadi siang.
“Cih ..., kenapa dua bocah itu kemari?” gumam Sophie dengan suara pelan.
Tak lama berselang, sang pengirim pesan yang juga merupakan guru mereka, Rumia Firlidina muncul tepat di depan panggung layaknya angin. Perhatian kedelapan siswi langsung teralihkan pada sang guru.
“Selamat malam, anak-anakku.”
“Nyonya Rumia,” ucap seorang siswi
“Sebelumnya saya ingin meminta maaf karena memanggil kalian pada malam yang sejuk ini. Namun ada satu misi yang harus kalian laksanakan,” ujar sang guru.
“Misi?”
Rumia kembali melanjutkan penjelasannya.
“Sebagaimana dari hasil pengawasan radar kami, ada sejumlah pergerakan mencurigakan di sekitar Hutan Tovnik, 15 kilometer arah tenggara dari sini. Karena merupakan hal yang tak terlalu mendesak, saya hanya memerintahkan kalian saja untuk memeriksa daerah itu. Namun jika menemukan hal yang mencurigakan, segera laporkan kemari dan kami akan mengirimkan bantuan. Mengerti?”
“Siap, Nyonya Rumia.”
“Oke. Kalau begitu bergegaslah. Saya harap kalian bisa pulang dengan baik-baik saja.”
Para gadis penyihir pun berangkat menuju tempat yang dituju.
Tiga puluh menit berlalu. Tak terasa Alisa dan Frenska sudah sampai di wilayah Hutan Tovnik. Mereka berjalan di sebuah jalan tanah kecil yang memiliki dua persimpangan, satu jalan menuju perkampungan penduduk dan satu jalan lagi menuju reruntuhan bangunan kuno.
“Sejauh ini masih aman, tapi kita harus tetap waspada,” ucap Alisa kepada Frenska.
“Yes,” jawabnya sambil mengeluarkan senjata miliknya yang berupa sebuah tongkat hijau yang ia beri nama ‘Green Elder’.
Semuanya tampak biasa saja, tidak ada yang aneh. Suara jangkrik di malam hari dan angin dingin berhembus menemani misi mereka. Tapi hal itu tak bertahan lama sampai sebuah pergerakan terlihat di depan mereka, atau lebih tepatnya dari balik semak-semak persimpangan itu. Keduanya lalu mempersiapkan senjata untuk bertarung, namun ternyata orang yang tak asing bagi mereka keluar dari semak-semak itu.
“Huh ..., bagaimana kalau kita selesaikan disini saja, Alisa Garbareva?”
Tiga orang gadis keluar dari semak-semak itu yang tak lain adalah senior mereka, Sophie Alkatiri, Rinka Sukhova, dan Jouiria Valderlia. Ketiganya menatap Alisa dan Frenska dengan tatapan sinis.
“Kak Sophie?”
“Aku masih belum bisa memaafkanmu soal yang tadi siang. Dan sekaranglah saatnya bagi kami untuk memberimu pelajaran.”
Sophie mengarahkan pedang miliknya pada Alisa dan Frenska. Sementara itu Rinka mengeluarkan sebuah tombak abu-abu dan Jouiria memanggil sepucuk senjata api berjenis shotgun.
“Tunggu Kak. Sekarang bukan saatnya kita bertarung,” Alisa berusaha menahan mereka.
“Dia benar. Tujuan kita di sini 'kan hanya untuk memeriksa daerah ini saja,” tambah Frenska.
“Diam kalian!! Aku akan beri kalian pelajaran karena telah mencari masalah dengan kami.”
Tak mengindahkan perkataan mereka berdua, Sophie langsung berlari ke arah Alisa dan Frenska untuk menyerang keduanya. Baik Alisa maupun Frenska, keduanya juga terpaksa mengambil posisi bertahan. Namun tanpa diduga, langkah kaki Sophie terhenti oleh hembusan angin yang aneh. Angin itu terasa lebih dingin dari biasanya.
“Cih, apalagi ini?” Sophie terkejut.
“Angin yang aneh. Apa jangan-jangan ...”
Belum sepenuhnya mereka sadar, angin dari arah selatan itu tiba-tiba bertiup kencang disertai kemunculan kabut asap yang sangat pekat. Kabut itu rupanya diciptakan oleh sihir air. Jarak pandang pun terhalang olehnya.
Dalam suasana yang mengejutkan tersebut, Alisa langsung melompat ke atas dahan pohon yang tinggi di belakangnya dan menutup kepalanya untuk menghindari kabut itu, khawatir kabut sihir tersebut mengandung racun berbahaya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” ia bertanya-tanya.
Pandangannya terfokus pada kabut tebal itu sebelum akhirnya dia menyadari sesuatu.
“Oh iya. Frenska?”
Kabut sihir itu perlahan menghilang dari permukaan tanah, namun Frenska beserta tiga seniornya itu menghilang entah ke mana.
“Hah? Hilang? Ke mana mereka?”
Alisa tampak kebingungan mencari rekannya. Dalam kondisi tersebut, kemampuan sensorik sihirnya mendeteksi musuh yang siap menyerangnya. Ia pun menengok ke berbagai arah.
“Di mana dia? Depan, kiri, kanan, belakang, bawah ...,”
Alisa mencari keberadaan musuh sebelum akhirnya menyadarinya.
“Atas!!”
Tepat saat dirinya menengadah ke langit, terlihat sesosok bayangan manusia yang menutupi sebagian purnama.
“Musuh!!”
Alisa sontak melompat dengan cepat dari dahan pohon itu sebelum sosok misterius tersebut menghantamnya hingga patah. Alisa bersiap melawan dengan belatinya. Diterangi cahaya bulan Folmane, wujud nyata dari sosok tersebut akhirnya terlihat.
Dia adalah seorang gadis dengan wajah tertutup jubah yang hampir sama seperti yang dipakai Alisa. Tangannya memegang sebuah pedang berukuran cukup besar menyerupai pisau daging dengan dua lubang kotak di bagian matanya. Kilatannya terlihat dari sinar rembulan. Dari penampilannya sudah dapat dipastikan bahwa dia merupakan seorang gadis penyihir Vitania.
“Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Alisa dengan kondisi wajah yang tertutup jubah.
Gadis misterius itu sempat terkejut karena mendengar suara Alisa, seakan mendengar suara yang tak asing baginya. Tetapi dia tak terlalu menghiraukannya dan malah menyerang Alisa dengan pedang yang ia genggam. Adu senjata pun tak terhindarkan.
TRINGG TRINGG
Disaat ada peluang bagi Alisa untuk menyerang kakinya, dengan cepat gadis misterius itu melompat salto ke belakang. Posisi kedua tangannya terlihat seperti burung yang sedang terbang. Tidak salah lagi, itu adalah 'Teknik Angsa Langit Timur’, salah satu gaya ‘Dancing Art’ paling dikenal di Vitania.
Gadis misterius itu bertumpu pada batang pohon sebelum melesat untuk menyerang balik Alisa. Untungnya ia dengan cepat menyadari hal itu dan langsung menggunakan teknik bertarung tangan kosong istimewanya, ‘Tarian Angin Puyuh Musim Dingin’.
‘Dancing Art’ tersebut memanfaatkan angin yang dihasilkan dari serangan lawan untuk membuatnya berputar dan melancarkan serangan balik. Alisa pun berhasil menghindari serangannya dan menendang bagian punggung atas gadis itu hingga membuatnya terpental cukup jauh. Namun gaya bela dirinya tersebut belum sempurna sehingga Alisa sempat kehilangan keseimbangan.
“Uhh ...”
Seakan tak menyerah, gadis misterius itu bersiap untuk melancarkan serangan kembali. Namun kali ini dia menundukkan tubuhnya, mengambil ancang-ancang dengan kedua tangan memegang pedang di sebelah kirinya. Tubuhnya terlihat berada di atas genangan air. Dirinya lalu merapalkan sebuah mantra sebelum terdengar suara tetesan air. Sepertinya dia akan menggunakan teknik sihir.
“Ryst Silka!!”
Benar saja perkiraannya. Gadis misterius itu langsung melesat dengan cepat ke arah Alisa dengan memanfaatkan genangan air tersebut sebagai pegas. Alisa yang terkejut melihatnya langsung memutar belatinya dan mengarahkannya ke depan dengan telapak tangan kiri yang terbuka, sebelum dirinya merapalkan mantra penahan serangan.
“Vaia!!”
Sebuah tameng sihir yang terbuat dari pusaran angin sempat terbentuk sebelum gadis misterius itu menghantamnya. Karena serangannya cukup kuat, keduanya terpental jauh sampai penutup jubah mereka terlepas.
“Aghh ...”
Alisa terhempas ke belakang dan menghantam pohon di belakangnya. Untungnya hantaman tersebut tak terlalu berarti baginya. Ia masih bisa berdiri meskipun sedikit terpapah-papah seraya mendekati gadis misterius itu yang terhalang oleh debu akibat serangan tadi.
Gadis misterius itu tertunduk lelah akibat sihir yang diciptakan Alisa. Terlihat sedikit luka di pipinya. Debu pun perlahan menghilang tertiup angin dan membuat kepala sang gadis makin terlihat jelas.
“Kau?”
Alisa terkejut setelah ia melihat wujud aslinya. Gadis itu lalu menoleh ke arah Alisa. Wajahnya yang cantik nan dingin itu akhirnya terlihat dengan jelas. Mereka pun saling bertatap muka. Alisa terpaku melihat wajahnya. Mulutnya terbuka lebar dan hampir tak bisa berkata apa-apa.
“Flo?”
***
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Perempuan itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi.“Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”Perempuan Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah.“Alisa, sudah lama kita tidak bertemu.”“Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?”Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan tiga buah kata.“Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.”Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar.“Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu kita masi
Pagi telah tiba. Sang bintang biru Formalha kembali menyinari Kartovik. Di hari yang cerah ini saatnya bagi Alisa untuk pergi dari sekolahnya demi melaksanakan Program Akselerasi ke wilayah yang dikenal tertutup dan misterius, Daerah Otonom Vitania di timur Kerajaan Archipelahia.Hari ini Frenska masih tertidur karena sekarang kelas sore. Sementara Alisa sudah membereskan semua barang-barangnya tanpa mengganggu tidur lelap teman sekamarnya itu.“Oke, sudah selesai.”Ia pun bersiap untuk berangkat. Namun sebelum meninggalkan kamarnya, terlebih dahulu ia mengenakan sepasang sarung tangan khusus yang diberikan padanya dari pihak sekolah.“Pakailah sarung tangan ini selama menjalani program. Itu akan melindungi identitasmu sebagai gadis penyihir Karelia,” ujar kepala sekolah saat memberikannya sebelum keberangkatan.Alisa berjalan menuju gerbang kompleks sekolah. Terlihat Sophie yang kini bersama lima temannya kembali memandangi gadis itu dengan sinis, namun ia kali ini tak mempedulikannya
Ayam berkokok di pagi hari terdengar jelas di sini, hal yang tak mungkin bisa ditemukan di Kartovik maupun kota besar lainnya. Ini karena Vestaria sendiri hanyalah sebuah kota kecil yang kumuh. Jalanan aspal di sini banyak yang berlubang, sebagiannya lagi malah masih berupa tanah. Trotoar tempat pejalan kaki pun banyak dipenuhi sampah, serta hewan ternak yang lalu lalang di jalanan menambah kesan kumuh kota ini.Namun hal itu tak menyurutkan Alisa untuk memulai penelitiannya tentang masyarakat Vitania yang dimulai dari kota kecil ini.“Yosh. Ayo kita mulai.”Awalnya Alisa hendak mewawancarai nenek pemilik rumah yang ia tinggali sekarang. Namun karena dirinya sedang sakit-sakitan dan tengah tertidur, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk mencari narasumber lain di Pasar Vestarlut, tempat jual beli yang terletak kurang dari satu kilometer dari kediamannya.“Wah, ramai sekali.”Layaknya pasar pada umumnya, banyak sekali orang yang berjual beli di tempat ini. Dari berbagai bahan ma
BRUMM BRUMMSebuah kendaraan bermotor dengan dua roda terlihat melesat di jalan raya yang terletak di tengah hutan. Kendaraan yang disebut sebagai Motosicca itu dikendarai oleh dua orang gadis. Mereka berangkat dari Vestaria menuju sebuah kota yang lebih besar yang terletak di tengah-tengah daratan Vitania.“Jadi, aku harus meninggalkan Vestaria, Flo?” tanya Alisa yang dibonceng di belakang.“Sayang sekali kau harus melakukannya. Kau tidak akan mendapatkan apa pun di sana.” jawab Flo.“Oh, begitu ya?”“Kalau kau mau mendapatkan informasi yang lebih baik, kau harus pergi ke kota yang lebih besar.” lanjut perempuan Vitania itu.Alisa pun terpaksa menuruti saran dari temannya itu.Setelah melesat menembus kabut malam, akhirnya mereka sampai di sebuah distrik kecil di lereng perbukitan. Distrik itu langsung terhubung dengan kota besar yang ada di depannya. Namanya Selenaberg, dinamai sesuai dengan nama bukit di belakang distrik itu.“Nah, kita sudah sampai.”Mereka berhenti di sebuah rumah
Mentari naik ke atas langit menyinari daratan Vitania di Planet Kamina ini. Gadis berambut pendek bernama Alisa Garbareva itu tampak tengah membantu teman lamanya Floria memetik bunga. Berbagai jenis bunga di kebun itu mereka petik untuk nantinya dijual pada masyarakat kota.“Segini sudah cukup, Flo?” tanya Alisa.“Sudah lebih dari cukup malah. Ayo kita pergi,” jawabnya.Dengan mengendarai Motosicca, mereka pun menuruni Bukit Selenaberg untuk sampai ke kota. Hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer dari kediaman Flo, mereka sudah bisa melihat sebuah gapura besar yang melintang di atas jalan.“Kita sudah tiba. Willkommen in Matrotshaven,” ujar Flo yang artinya ‘Selamat Datang di Matrotshaven’ dalam Bahasa Vitania.“Whoa, besar sekali kota ini,” ucap Alisa kagum.Matrotshaven, nama sebuah kota besar di selatan Selenaberg. Walaupun bukan ibukota Daerah Otonom Vitania, akan tetapi kota ini cukup besar untuk menampung ratusan ribu orang. Pemandangan kota yang penuh dengan ruko dan ban
“Huh ... huh ... huh ...”“WOY BERHENTI KAU BOCAH SIALAN!!”Seorang pria berusia 30 tahunan terlihat mengejar seseorang di sebuah gang sempit hingga masuk ke trotoar samping jalan besar. Pengejaran itu sempat membuat arus lalu lintas menjadi terhambat.“TAKKAN KUBIARKAN KAU LEPAS!!”Pria itu tampak mengejar seorang anak perempuan berusia 13 tahun yang mengenakan jaket lusuh berwarna abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya. Ia berlari sambil membawa sebuah bungkusan berukuran sedang di pelukannya.Anak itu berlari untuk menghindari kejaran pria di belakangnya. Namun karena tak melihat jalan, dirinya tertabrak sebuah Motosicca yang tengah melaju di jalanan yang ia lewati.BRUKK“Ahh ...”Dirinya terjatuh ke aspal beserta barang yang dibawanya. Itu adalah bungkusan berisi Clatenda, sejenis nasi yang dibungkus oleh dedaunan.“Gawat.”Flo yang tidak sengaja menabrak anak itu langsung menghentikan Motosicca-nya. Alisa juga langsung menghampirinya.“Kau tidak apa-apa?” tanya Alisa sambi
Rembulan perlahan naik ke atas. Tak seperti biasanya di mana Alisa merangkum informasi yang ia dapatkan, kali ini dirinya hanya melamun sambil berbaring di tempat tidur dan memeluk sebuah bantal. Flo pun menghampirinya.“Alisa, kau tidak merangkum lagi?”“Tidak. Nanti saja,” jawabnya dengan suara pelan.“Kau tidak apa-apa? Apa kau sakit?”“Tidak kok, aku baik-baik saja.”Ekspresinya tak bisa membohongi Flo. Karena tidak mau mengatakan apa yang ia pikirkan, Flo berusaha menghiburnya.“Hadeh, A-LI-SA!!”BRUKKPerempuan itu melompat ke kasur hingga membuat Alisa hampir terjungkal.“Ah, Flo. Kenapa sih?”Sambil menahan dagunya dengan kedua tangan, Flo yang telungkup di kasur itu memandangi wajah Alisa.“Aku lihat kau melamun terus. Kau masih memikirkan Akiha dan keluarganya 'kan?” tanya perempuan berambut panjang itu.“Anu ..., aku ...”“Sudah tidak apa-apa. Nanti kita ke sana lagi kalau ada waktu,” hibur Flo.“Bukan itu yang kupikirkan.”Alisa sedikit mengalihkan pandangannya.“Lantas apa
Fajar telah tiba. Beberapa orang di kota masih tertidur lelap, namun sebagian sudah ada yang keluar rumah. Mereka ada yang bergegas untuk bekerja, dan ada pula yang hanya sekadar membersihkan halamannya.Pintu sebuah apartemen kecil dibuka perlahan oleh seorang wanita agar tidak menimbulkan kegaduhan di sekitarnya. Ia pun masuk ke ruangan itu dan menutup pintunya kembali dengan pelan.“Sepertinya semuanya masih tertidur lelap,” pikir wanita itu.Akan tetapi perkiraannya salah. Tepat saat dirinya menutup pintu, lampu ruangan itu tiba-tiba menyala dan membuatnya terkejut. Terlihat dua orang gadis muda tengah berdiri di depannya.“Kak Katie.”“Eh, Alisa, Flo, kalian sudah bangun ya?”“Kau ke mana saja?” tanya Flo dengan tatapan tajam.“Itu, aku tadi keluar sebentar mau beli-“Katie berusaha mengelak, akan tetapi Flo sudah telanjur mengetahui semuanya.“Tidak. Kau sudah keluar sejak tengah malam. Aku tahu itu.”“Eh, apa maksudmu Flo?” tanya Katie dengan ekspresi sok polos.“Kenapa kau berb
Awan gelap mulai menutupi sinar Formalha, pertanda hujan akan turun di ibukota Sentralberg. Angin pun berhembus walau tak kencang.Sementara itu di pusat kota, suara ledakan, tembakan, hingga adu sihir sudah tak terdengar lagi. Menyerahnya Rocky Calais menjadi penanda bahwa operasi pembebasan itu telah selesai. Mereka semua sudah menang.Putri Inori menghampiri Rocky Calais yang sudah tertunduk lesu tanpa kedua tangannya. Cucu terakhir Sazali Fatir itu mengambil mahkota yang sudah berlumuran darah di samping pria tersebut.“Dengan ini semuanya sudah berakhir, Rocky Calais,” tegas Inori.Pria itu tak menanggapinya dan hanya tertunduk lesu.Angin pun berhenti berhembus. Suasana menjadi hening. Akan tetapi, teriakan seorang gadis tomboy tiba-tiba memecah kesunyian.“HEI, KAK ALISA!! KAK ALISA!!”Inori menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang gadis penyihir dengan pakaian biru crop top dan celana pendek serta topi sailor putih berusaha membangunkan seorang gadis lain di depannya. Me
WUSHHPusaran angin yang sangat kencang itu tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Lingkaran sihir yang sebelumnya berputar di udara juga lenyap tak bersisa. Kini yang terlihat hanyalah seorang Alisa Garbareva yang tengah mengangkat belatinya ke langit tanpa dikelilingi sihir apapun, serta Linne Helenawicz yang sedang memegangi kaki seniornya itu. Tak lama kemudian gadis Telhi itu menurunkan tangannya dan melepaskan belatinya. Mereka pun selamat.“Huh, syukurlah, aku berhasil,” ucap Linne sambil ngos-ngosan.Semua orang sontak terpaku, sebagiannya lagi menghela napas setelah peristiwa yang hampir meluluhlantakkan seluruh permukaan Planet Kamina itu nyaris terjadi.“Huff...”Putri Inori menghela napas dengan tangan di dada. Ia tak mampu berkata apapun melihat tindakan berani gadis tomboy itu.Suasana pun mendadak sunyi, akan tetapi kesunyian itu terhapus setelah dua orang mendobrak pintu bawah istana. Terlihat seorang pria berjas hitam dengan topi homburg yang ditemani seorang gadis penyihi
Angin berhembus semakin kencang. Suara adu senjata hingga ledakan sihir masih terdengar di seantero ibukota Sentralberg. Namun tidak ada hal lain yang bisa dilakukan oleh seorang Alisa Garbareva. Gadis Telhi itu hanya tersimpuh dengan tatapan kosong. Di depannya terbaring kaku tubuh sahabatnya, Floria Fresilca yang sudah tak memiliki cincin Angke di jemarinya.Sementara itu di depannya berdiri seorang pria dengan gagah jumawa lengkap dengan pakaian kebesarannya. Dirinya tersenyum lebar seakan dia telah memenangkan pertarungan itu.“Keren sekali,” ujarnya.Tak lama kemudian dari pintu di belakang Alisa keluarlah sejumlah orang dengan berbagai senjata lengkap, para gadis penyihir dengan Posacca mereka serta sejumlah pemuda bersenjatakan Politia. Muncul juga seorang wanita muda yang merupakan pemimpin dari gerakan itu.“Rocky Calais.”Di samping wanita muda itu terlihat pula seorang gadis penyihir bersenjatakan pistol perak yang langsung menyahut begitu melihat dua orang yang tak asing b
“Uhuk... uhuk...”Debu yang berterbangan dari reruntuhan itu membuat keduanya terbatuk-batuk. Kedua gadis itu terjatuh dari lantai atas akibat sebuah ledakan hingga terhempas ke lantai bawah. Namun untungnya mereka masih selamat.Perlahan debu pun menghilang dan mereka berdua bisa melihat apa yang sedang terjadi di sekitarnya.“Hah? Jadi ini...”Alisa dan Floria begitu tercengang melihat pertempuran besar yang sedang terjadi tepat di depan mata kepala mereka sendiri. Askar, Patrol, gadis penyihir, hingga masyarakat biasa, semuanya saling bersatu dalam pertarungan melawan para penjaga Sentralberg.Alisa menoleh ke berbagai arah. Terlihat beberapa orang saling bertarung dengan menggunakan senjata. Masyarakat biasa beserta Patrol dan Askar menggunakan Politia, sementara gadis penyihir dengan Posacca. Sementara itu di atas langit terlihat pula sihir perisai 'Skyoldir' yang mengurung mereka semua disana.Dirinya juga menoleh ke arah samping. Terlihat sejumlah orang yang tergeletak tak berd
Hawa dingin menembus kulit mereka berdua. Perlahan keduanya pun membuka mata.“Dimana ini?”Dua gadis itu mendapati diri mereka terbaring di atas lantai dalam sebuah ruangan yang dingin dan cukup gelap. Mereka menengok ke sekitar. Terlihat ada sejumlah peralatan aneh berwarna perak yang tersimpan di sebuah lemari berwarna putih.“Ini, laboratorium?”Alisa perlahan berusaha bangkit. Begitu pula dengan Floria yang juga terbaring di sampingnya. Mereka nampak masih kebingungan dengan apa yang terjadi, kenapa mereka bisa ada di tempat itu.“Ah, sial. Si Iskarius itu.”Flo sepertinya sudah menyadarinya.“Flo? Siapa?” Alisa bertanya-tanya apa maksud sang sahabat.“Iskarius, penasehat Gubernur Karelia itu. Dia ternyata mata-mata kerajaan pusat. Dan dia berhasil menculik kita ke tempat ini,” jelas Flo.“Oh begitu ya.”Alisa hanya bergeming mendengarnya.“Eh iya, ngomong-ngomong kita dimana?” tanya gadis Telhi itu lagi.Flo menggelengkan kepala.“Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya ini suatu t
Topi homburg yang dikenakannya ia berikan pada seorang gadis berambut pendek dengan pakaian serupa di sampingnya. Pria itu lalu memberikan hormat pada sang raja beserta empat kepala daerah. Dirinya nampak tersenyum pada semua orang, tapi cukup jelas ekspresinya itu hanyalah senyuman licik. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Gubernur Alistair.“Sekali lagi maafkan saya atas keterlambatan ini,” ucap Bob.“Sudah-sudah. Tak perlu bicarakan itu lagi. Sekarang kita kembali ke pembahasan awal,” ujar Rocky.Bob dengan berkas di tangan kirinya lalu berdiri di samping sang raja.“Jadi, pembahasan rapat ini sudah sampai mana, Yang Mulia?” tanya Bob kembali.“Ah, aku senang kau bertanya.”Sang raja lalu menunjuk ke arah keempat kepala daerah dengan ekspresi marah.“Mereka ini payah. Mereka berempat malah menyalahkan aku atas segala permasalahan di daerah otonom akibat ketidakbecusan mereka. Dan saat aku akan menendang mereka, dengan liciknya mereka malah mempermainkan aku. Hutan Schwitz, pertamb
Sinar bintang biru Formalha menyinari Sentralberg di pagi itu. Suara hiruk pikuk Carreta dan Motosicca yang berlalu lalang di jalanan beraspal hitam mewarnai suasana ibukota Kerajaan Archipelahia tersebut. Berbeda dengan kondisi di daerah otonom yang sedang carut marut, disini hampir semua orang beraktivitas seperti biasa.Begitu pula di Istana Perak tempat Raja Archipelahia bersinggasana. Tidak ada sesuatu yang terlalu urgent. Hanya terlihat sedikit penambahan pasukan penjaga di sejumlah titik. Bendera biru Archipelahia masih berkibar dengan gagahnya di puncak tiang tertinggi.Kondisi di dalam istana tak terlalu berbeda. Terlihat sejumlah penjaga tengah berlalu lalang, sedangkan sebagiannya lagi berdiri tegap setiap ada petinggi wilayah yang berjalan di depan mereka.Seorang pemuda berjas hitam dengan lencana surya kuning di sakunya berjalan melewati para penjaga itu. Terlihat pula seorang gadis muda berambut coklat dengan pakaian kasual lengan panjang serta rok yang tak terlalu lebar
Lokasi rahasia, Ibukota Chekovia, Daerah Otonom Vitania.Sebuah ruangan besar menyerupai aula berdiri megah di dalam ruang bawah tanah raksasa. Ruangan itu diperkirakan cukup untuk menampung hampir 10 ribu orang. Kini, sekitar lebih dari 8 ribu gadis penyihir anggota Brigade Penyihir Garis Depan Vitania berkumpul di tempat itu. Kebanyakan dari mereka adalah para petinggi brigade serta gadis penyihir tingkat tinggi yang memegang peranan penting dalam organisasi paramiliter dengan anggota nyaris 100 ribu orang itu.“Rapat akbar? Apakah ada hal yang sangat penting sampai kita semua dipanggil ke tempat ini?”“Entahlah, ini perintah langsung dari Pemimpin Utama.”“Kalau yang kumpul sebanyak ini, berarti akan ada suatu operasi besar. Apa mungkin ini adalah puncak dari perjuangan kita?”“Keren sekali. Tinggal selangkah lagi kita akan memperoleh kemerdekaan.”Para gadis penyihir saling berbincang memecah suasana malam itu. Tak berselang lama, sang pemimpin utama Brigade Penyihir, Sylvie Schwa
Angin berhembus cukup kencang di cuaca yang cerah itu. Kurang dari 24 jam lagi rencana besar yang telah disepakati dalam rapat rahasia akan dilaksanakan. Namun di atas permukaan tanah itu nyaris tidak ada siapapun. Semuanya nampak sepi.Alisa duduk di sebuah bangku taman, namun tidak ada bunga yang mekar di sekitarnya. Yang ada hanyalah wilayah kosong yang nyaris rata dengan tanah. Terlihat sejumlah kecil puing bangunan yang belum dibersihkan. Suasana Kartovik wilayah timur itu kini bak kota mati, bahkan mungkin seperti hamparan tanah luas tak bertuan.Alisa menutup matanya sambil menengadah ke langit. Dirinya mengingat segala hal yang pernah terjadi di tempat itu bersama teman-temannya.“Sebentar lagi, semua penderitaan ini akan berakhir. Tapi, ini terlalu sunyi. Aku kesepian,” ungkap Alisa dalam hati.Perlahan air mata menetes dari pelupuk mata gadis Telhi itu. Ia benar-benar merindukan semuanya. Kehidupan yang damai, sekolah, serta kawan-kawan. Namun sekarang semuanya telah sirna.