Tamparan anak laki-laki yang diarahkan pada Flo itu berhasil dicegah oleh sang perawat. Weiss Karny yang baru saja mengobati luka Alisa menahan tangan anak laki-laki itu dan menatapnya dengan tajam.
“Su-suster Weiss?”
“Apa yang kau lakukan, Abraham? Menampar seorang gadis, apakah hal ini yang kami ajarkan padamu?”
Kedua anak laki-laki di belakangnya tampak panik setelah melihat raut wajah sang perawat yang hendak memarahi mereka. Namun berbeda dengan anak bernama Abraham itu. Ia malah memberontak padanya.
“Tapi Suster Weiss, gadis ini orang Vitania. Orang-orang yang telah menghabisi keluarga kita di sini. Aku tidak akan pernah bisa berdamai dengannya.”
Abraham terlihat sangat marah pada Flo, benci pada latar belakangnya. Gadis itu hanya diam saja mendengar ucapan Abraham, tak mampu berkata apa-apa. Tetapi Perawat Weiss langsung menasihatinya.
“Dengarkan ini, Abraham. Meskipun dia orang Vitania dan kau orang Karelia, tapi kita masih sama-sama Hamu Kamina 'kan, sama-sama manusia Kamina?”
“Itu, aku ...”
“Kita semua juga sama-sama lahir di Kerajaan Archipelahia ini 'kan? Jadi buat apa kita saling membenci hanya karena beda suku?”
Abraham pun terdiam mendengarnya.
“Sudahlah, Abraham. Mungkin kau masih sakit hati atas apa yang menimpa keluargamu. Tapi itu bukan jadi alasan buatmu untuk membenci Hamu Kamina lainnya. Kita semua harus menghentikan lingkaran kebencian ini. Kita 'kan ingin saling berdamai, tidak mau ada hal buruk lagi?” jelas Weiss.
Rupanya kata-kata yang dilontarkan oleh sang perawat berhasil membuat hatinya luluh. Weiss pun melepaskan genggamannya.
“Maafkan aku, Suster Weiss, Floria,” ucap Abraham sambil tertunduk dan menyesali perbuatannya.
Melihat hal itu, Perawat Weiss langsung mengusap-usap kepalanya sebelum akhirnya membiarkan mereka bertiga pergi.
Tak lama kemudian, Alisa dengan kaki kiri yang telah diperban berjalan menghampiri mereka berdua.
“Flo ...”
Gadis Vitania itu hanya tersenyum tipis padanya sebelum akhirnya mengajaknya ke taman depan panti asuhan.
Mereka pun duduk bersama di sebuah ayunan. Alisa masih tampak tertunduk lesu, sementara Flo hanya memandangnya di sampingnya.
“Flo.”
“Iya, Alisa?”
“Kok kamu diam saja saat anak-anak itu bicara yang tidak-tidak padamu?” tanya Alisa.
Flo menghela napas.
“Tidak usah dipikirkan. Aku baik-baik saja kok.”
“Tapi aku masih tidak mengerti. Karelia, Vitania, kenapa mereka saling bermusuhan? Kenapa orang Vitania sepertimu dianggap monster oleh orang-orang Karelia sini?” Alisa kembali bertanya.
Flo menjawabnya dengan nada yang kebingungan.
“Aku, Aku juga tidak tahu. Aku tidak pernah berniat melukai siapa pun di sini, termasuk kau yang orang Karelia. Justru aku ingin selalu bersamamu, Alisa. Aku ingin melindungimu, karena kau adalah teman terbaikku,” jawab Flo.
Alisa langsung menoleh ke arah gadis itu.
“Teman terbaik?”
“Iya, Alisa. Kau adalah teman terbaikku selama aku di sini,” kata Flo sambil tersenyum padanya.
“Tapi, aku selalu buat kau kesulitan, Flo. Aku selalu jadi beban bagimu,” ucap Alisa.
Mendengar hal itu, Flo langsung menepuk bahu Alisa dan menghiburnya.
“Tidak kok. Memang sudah tugasku untuk melindungi teman terbaikku. Justru aku harus berterima kasih padamu karena sudah menjadi temanku selama aku disini.”
Alisa tersenyum mendengar ucapan itu. Hatinya pun luluh karenanya.
“Terima kasih juga, Flo.”
***
Persahabatan antara Alisa Garbareva dan Floria Fresilca pun mulai terjalin sejak saat itu. Keduanya selalu menunjukkan kekompakkan mereka setiap saat. Alisa yang merupakan seorang gadis yang kikuk dan pemalu selalu dibantu Flo yang jauh lebih berani darinya. Alhasil kisah persahabatan mereka menjadi buah bibir banyak orang, termasuk para perawat panti asuhan.
Mereka tampak begitu gembira dengan adanya persahabatan lintas suku yang bertikai tersebut. Semuanya bahagia karena ini bisa jadi awal mula pendorong perdamaian bagi mereka semua. Untuk mengapresiasinya, Perawat Weiss memberikan sebuah kotak besar berisi baju sepasang model bagi mereka, tepat di depan anak-anak dan para perawat lain.
“Eh, Suster Weiss. Ini apa?” tanya Alisa.
“Itu adalah hadiah bagi kalian berdua karena sudah menunjukkan kekompakan dan kebersamaan kalian selama di sini.”
“Wah, indahnya,” puji Alisa.
“Baiklah. Sekarang coba kalian pakai.”
Mereka berdua langsung memakainya bersama-sama. Ternyata model baju tersebut begitu serasi. Tepat saat mereka selesai memakainya, Perawat Weiss langsung menyeru pada semua orang yang ada di sana.
“Baiklah. Ini adalah hadiah untuk Alisa dan Floria karena telah menunjukkan kebersamaan dengan baik. Aku harap ini jadi pemicu buat kalian agar saling bersatu. Kita ini satu Archipelahia, sesama Hamu Kamina. Kita tidak boleh memusuhi satu sama lainnya karena hanya beda suku saja. Semoga kerajaan kita akan damai sentosa di masa depan nanti.”
Perawat Weiss lalu menoleh ke arah mereka berdua.
“Ayo berikan tepuk tangan yang meriah untuk Alisa Garbareva dan Floria Fresilca,” lanjutnya.
Para perawat dan anak-anak panti asuhan bertepuk tangan pada kedua gadis beda suku itu, termasuk juga Abraham yang ikut tersenyum.
Alisa menggenggam tangan Flo dan menundukkan kepala bersama-sama sebagai rasa hormat atas apresiasi mereka kepada keduanya.
“Dengan ini kita akan selalu bersama, Alisa,” ucap Flo dalam hati.
***
Ini adalah malam yang cerah untuk menyaksikan bintang-bintang di angkasa raya. Para perawat sedang berada di ruangannya masing-masing dan ada pula yang menemani beberapa anak. Sementara itu, anak-anak panti asuhan lainnya tengah bermain di taman. Terlihat pula Abraham bersama dua temannya yang tengah membeli makanan di sebuah kedai yang tak terlalu jauh dari tempat itu.
“Damai sekali ya, Flo,” ucap Alisa yang hanya bisa menyaksikan pemandangan itu dari balik jendela kamar.
“Hmm ..." Flo bergumam sambil menganggukkan kepalanya.
Suasana kota itu tampak damai dan tenteram seperti biasanya. Mereka menyaksikan indahnya langit malam berbintang, serta rumah-rumah warga yang diterangi gemerlap cahaya lampu. Namun di tengah suasana yang damai itu, Flo melihat sesuatu yang ganjil.
Tatapannya terfokus pada sebuah bukit di depannya. Terlihat sebuah cahaya merah aneh yang menghasilkan asap membumbung tinggi ke udara. Alisa juga penasaran dengan apa yang dilihat temannya itu.
“Apa yang kau lihat, Flo?” tanya Alisa menghampirinya.
“Aku tidak tahu. Apa itu?” Flo bertanya balik sambil menunjuk ke arah bukit.
Untungnya Alisa memiliki indra penglihatan yang sangat baik dan tajam. Objek dengan jarak sejauh itu bisa ia lihat dengan jelas. Dan itu ternyata sesuatu yang membuat mereka terkejut.
“Kebakaran,” ucap Alisa.
“Apa? Kebakaran?”
Alisa memang bisa melihatnya dengan cukup jelas. Itu adalah sebuah api besar yang terlihat dari arah bukit. Namun setelah ia lihat kembali, ternyata itu bukanlah sebuah kobaran api biasa, namun beberapa kobaran api kecil yang saling bergabung menjadi api yang besar.
WUSHH
Seperti dikendalikan oleh seseorang, bola api itu tiba-tiba melesat ke langit dengan sangat cepat, lalu pecah menjadi beberapa bagian kecil layaknya kembang api. Pecahan bola api itu menarik perhatian semua orang yang melihatnya. Sebagian dari mereka malah kagum menyaksikannya.
“Apa itu?”
“Kembang api?”
“Indah sekali.”
Banyak yang mengira bahwa itu merupakan sebuah kembang api raksasa seperti yang biasa diluncurkan setiap malam tahun baru. Namun sayangnya, perkiraan mereka salah. Itu adalah awal petaka bagi mereka.
***
BOOMBola-bola api yang pecah di angkasa itu menghantam berbagai objek yang ada di permukaan tanah. Jalan, kebun, hingga rumah warga, semuanya terkena serangan itu dan terbakar hebat. Sirene kota pun berbunyi. Kedamaian dan ketenteraman itu langsung berubah menjadi ketakutan dan kepanikan.“ADA SERANGAN!! ADA SERANGAN!!”“TOLONG!! RUMAHKU TERBAKAR!!”“Anakku, dimana anakku?”Orang-orang berteriak dan berhamburan di jalanan, berlari ke sana kemari tak tentu arah. Termasuk para anak-anak yang ada di panti asuhan tersebut. Mereka menjerit dan menangis melihat suasana yang tiba-tiba berubah bak perang itu. Semuanya kacau, para perawat kewalahan menangani mereka.Alisa dan Floria terpaku di tempat itu, hanya bisa melihat dan mendengar kepanikan yang ada di balik jendela.“Apa, ini?”Abraham dan kedua temannya yang tengah membeli sesuatu di kedai makanan itu juga tak luput dari kepanikan. Sambil melemparkan makanan yang telah mereka beli, ketiganya langsung kembali ke panti asuhan sambil ber
“JANGAAANNNN!!”KRIINNNGGGGGAlarm berbunyi pertanda pagi telah tiba. Sinar dari bintang biru Formalha yang baru saja terbit dari ufuk timur menyilaukan mata dari jendela. Alisa terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, dan baru sadar bahwa ia tengah berada di kamar asrama.“Oh, sudah pagi ya?” ucapnya sambil memandangi cermin dan mengusap matanya. Rambutnya terlihat acak-acakan.“Sudah waktunya sekolah.”Alisa bergegas untuk membersihkan diri lalu sarapan dengan menu yang telah disediakan pengelola asrama. Dengan mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek dan rok pendek berwarna putih bercorak abu-abu, ia pun bergegas ke sekolah.Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan itu, Alisa bersama anak-anak korban selamat lainnya dipindahkan ke Kartovik. Di sana mereka menjalani kehidupan yang baru, termasuk bersekolah. Alisa yang kini berusia 14 tahun bersekolah di SMA Khusus Wanita Kartovik, sebuah sekolah besar yang mampu menampung lebih dari seribu orang siswi.Kelas dimulai pukul 8
Alisa dan Frenska membaca pesan yang dikirimkan melalui cincin Angkenya. Ternyata benar tebakan mereka. Itu adalah pesan misi yang disampaikan pada keduanya.“Perintah kepada Alisa Garbareva dari Kelas 2-F dan Frenska Albertovia dari kelas 2-F agar segera berkumpul di aula sekolah. Tertanda Ny. Rumia Firlidina.”Salah seorang guru telah memanggil mereka berdua untuk berkumpul di aula sekolah. Oleh karena itu, mereka pun harus menaati perintahnya. Keduanya lalu mengganti pakaian tidur mereka dan bergegas pergi ke aula.Sesampainya di aula sekolah, terlihat ada 6 orang siswi yang sudah berkumpul di tempat itu, dan 3 diantaranya adalah senior mereka dari kelas 3-E yang terkenal arogan itu, yakni Sophie Alkatiri beserta dua temannya, Rinka Sukhova dan Jouiria Valderlia. Melihat kedatangan Alisa dan Frenska, ketiganya menatap mereka dengan sinis, apalagi setelah peristiwa tadi siang.“Cih ..., kenapa dua bocah itu kemari?” gumam Sophie dengan suara pelan.Tak lama berselang, sang pengirim p
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Perempuan itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi.“Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”Perempuan Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah.“Alisa, sudah lama kita tidak bertemu.”“Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?”Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan tiga buah kata.“Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.”Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar.“Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu kita masi
Pagi telah tiba. Sang bintang biru Formalha kembali menyinari Kartovik. Di hari yang cerah ini saatnya bagi Alisa untuk pergi dari sekolahnya demi melaksanakan Program Akselerasi ke wilayah yang dikenal tertutup dan misterius, Daerah Otonom Vitania di timur Kerajaan Archipelahia.Hari ini Frenska masih tertidur karena sekarang kelas sore. Sementara Alisa sudah membereskan semua barang-barangnya tanpa mengganggu tidur lelap teman sekamarnya itu.“Oke, sudah selesai.”Ia pun bersiap untuk berangkat. Namun sebelum meninggalkan kamarnya, terlebih dahulu ia mengenakan sepasang sarung tangan khusus yang diberikan padanya dari pihak sekolah.“Pakailah sarung tangan ini selama menjalani program. Itu akan melindungi identitasmu sebagai gadis penyihir Karelia,” ujar kepala sekolah saat memberikannya sebelum keberangkatan.Alisa berjalan menuju gerbang kompleks sekolah. Terlihat Sophie yang kini bersama lima temannya kembali memandangi gadis itu dengan sinis, namun ia kali ini tak mempedulikannya
Ayam berkokok di pagi hari terdengar jelas di sini, hal yang tak mungkin bisa ditemukan di Kartovik maupun kota besar lainnya. Ini karena Vestaria sendiri hanyalah sebuah kota kecil yang kumuh. Jalanan aspal di sini banyak yang berlubang, sebagiannya lagi malah masih berupa tanah. Trotoar tempat pejalan kaki pun banyak dipenuhi sampah, serta hewan ternak yang lalu lalang di jalanan menambah kesan kumuh kota ini.Namun hal itu tak menyurutkan Alisa untuk memulai penelitiannya tentang masyarakat Vitania yang dimulai dari kota kecil ini.“Yosh. Ayo kita mulai.”Awalnya Alisa hendak mewawancarai nenek pemilik rumah yang ia tinggali sekarang. Namun karena dirinya sedang sakit-sakitan dan tengah tertidur, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk mencari narasumber lain di Pasar Vestarlut, tempat jual beli yang terletak kurang dari satu kilometer dari kediamannya.“Wah, ramai sekali.”Layaknya pasar pada umumnya, banyak sekali orang yang berjual beli di tempat ini. Dari berbagai bahan ma
BRUMM BRUMMSebuah kendaraan bermotor dengan dua roda terlihat melesat di jalan raya yang terletak di tengah hutan. Kendaraan yang disebut sebagai Motosicca itu dikendarai oleh dua orang gadis. Mereka berangkat dari Vestaria menuju sebuah kota yang lebih besar yang terletak di tengah-tengah daratan Vitania.“Jadi, aku harus meninggalkan Vestaria, Flo?” tanya Alisa yang dibonceng di belakang.“Sayang sekali kau harus melakukannya. Kau tidak akan mendapatkan apa pun di sana.” jawab Flo.“Oh, begitu ya?”“Kalau kau mau mendapatkan informasi yang lebih baik, kau harus pergi ke kota yang lebih besar.” lanjut perempuan Vitania itu.Alisa pun terpaksa menuruti saran dari temannya itu.Setelah melesat menembus kabut malam, akhirnya mereka sampai di sebuah distrik kecil di lereng perbukitan. Distrik itu langsung terhubung dengan kota besar yang ada di depannya. Namanya Selenaberg, dinamai sesuai dengan nama bukit di belakang distrik itu.“Nah, kita sudah sampai.”Mereka berhenti di sebuah rumah
Mentari naik ke atas langit menyinari daratan Vitania di Planet Kamina ini. Gadis berambut pendek bernama Alisa Garbareva itu tampak tengah membantu teman lamanya Floria memetik bunga. Berbagai jenis bunga di kebun itu mereka petik untuk nantinya dijual pada masyarakat kota.“Segini sudah cukup, Flo?” tanya Alisa.“Sudah lebih dari cukup malah. Ayo kita pergi,” jawabnya.Dengan mengendarai Motosicca, mereka pun menuruni Bukit Selenaberg untuk sampai ke kota. Hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer dari kediaman Flo, mereka sudah bisa melihat sebuah gapura besar yang melintang di atas jalan.“Kita sudah tiba. Willkommen in Matrotshaven,” ujar Flo yang artinya ‘Selamat Datang di Matrotshaven’ dalam Bahasa Vitania.“Whoa, besar sekali kota ini,” ucap Alisa kagum.Matrotshaven, nama sebuah kota besar di selatan Selenaberg. Walaupun bukan ibukota Daerah Otonom Vitania, akan tetapi kota ini cukup besar untuk menampung ratusan ribu orang. Pemandangan kota yang penuh dengan ruko dan ban
Pembaca yang terhormat, penulis ingin ucapkan banyak-banyak terima kasih karena telah mendukung penulis dengan membaca cerita "Perjalanan Si Gadis Penyihir Angin" ini. Novel ini adalah cerita pertama yang penulis buat, sekaligus cerita pertama yang penulis selesaikan.Banyak sekali hal-hal menarik yang penulis temukan dan pikirkan selama menulis cerita ini, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan salah satu bagian dari semesta Kaminaverse yang sedang penulis kembangkan.Iya. Kisah Alisa Garbareva dan Floria Fresilca dalam cerita "Perjalanan Si Gadis Penyihir Angin" ini merupakan bagian kecil dari kisah para Hamu Kamina, umat manusia Planet Kamina yang dengan berbagai suka dukanya mengembangkan peradaban di planet ini.Kaminaverse merupakan sebuah dunia di mana para manusia menjalani kehidupannya yang penuh dengan dinamika, suka duka, pesta, hingga peperangan. Dan mereka akan terus berkembang sejalan dengan zaman dan issue yang juga berkembang di lingkungan masyarakatnya.Akhir kata
Awan gelap mulai menutupi sinar Formalha, pertanda hujan akan turun di ibukota Sentralberg. Angin pun berhembus walau tak kencang.Sementara itu di pusat kota, suara ledakan, tembakan, hingga adu sihir sudah tak terdengar lagi. Menyerahnya Rocky Calais menjadi penanda bahwa operasi pembebasan itu telah selesai. Mereka semua sudah menang.Putri Inori menghampiri Rocky Calais yang sudah tertunduk lesu tanpa kedua tangannya. Cucu terakhir Sazali Fatir itu mengambil mahkota yang sudah berlumuran darah di samping pria tersebut.“Dengan ini semuanya sudah berakhir, Rocky Calais,” tegas Inori.Pria itu tak menanggapinya dan hanya tertunduk lesu.Angin pun berhenti berhembus. Suasana menjadi hening. Akan tetapi, teriakan seorang gadis tomboy tiba-tiba memecah kesunyian.“HEI, KAK ALISA!! KAK ALISA!!”Inori menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang gadis penyihir dengan pakaian biru crop top dan celana pendek serta topi sailor putih berusaha membangunkan seorang gadis lain di depannya. Mel
WUSHHPusaran angin yang sangat kencang itu tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Lingkaran sihir yang sebelumnya berputar di udara juga lenyap tak bersisa. Kini yang terlihat hanyalah seorang Alisa Garbareva yang tengah mengangkat belatinya ke langit tanpa dikelilingi sihir apapun, serta Linne Helenawicz yang sedang memegangi kaki seniornya itu. Tak lama kemudian gadis Telhi itu menurunkan tangannya dan melepaskan belatinya. Mereka pun selamat.“Huh, syukurlah, aku berhasil,” ucap Linne sambil ngos-ngosan.Semua orang sontak terpaku, sebagiannya lagi menghela napas setelah peristiwa yang hampir meluluhlantakkan seluruh permukaan Planet Kamina itu nyaris terjadi.“Huff...”Putri Inori menghela napas dengan tangan di dada. Ia tak mampu berkata apapun melihat tindakan berani gadis tomboy itu.Suasana pun mendadak sunyi, akan tetapi kesunyian itu terhapus setelah dua orang mendobrak pintu bawah istana. Terlihat seorang pria berjas hitam dengan topi homburg yang ditemani seorang gadis penyihi
Angin berhembus semakin kencang. Suara adu senjata hingga ledakan sihir masih terdengar di seantero ibukota Sentralberg. Namun tidak ada hal lain yang bisa dilakukan oleh seorang Alisa Garbareva. Gadis Telhi itu hanya tersimpuh dengan tatapan kosong. Di depannya terbaring kaku tubuh sahabatnya, Floria Fresilca yang sudah tak memiliki cincin Angke di jemarinya.Sementara itu di depannya berdiri seorang pria dengan gagah jumawa lengkap dengan pakaian kebesarannya. Dirinya tersenyum lebar seakan dia telah memenangkan pertarungan itu.“Keren sekali,” ujarnya.Tak lama kemudian dari pintu di belakang Alisa keluarlah sejumlah orang dengan berbagai senjata lengkap, para gadis penyihir dengan Posacca mereka serta sejumlah pemuda bersenjatakan Politia. Muncul juga seorang wanita muda yang merupakan pemimpin dari gerakan itu.“Rocky Calais.”Di samping wanita muda itu terlihat pula seorang gadis penyihir bersenjatakan pistol perak yang langsung menyahut begitu melihat dua orang yang tak asing b
“Uhuk... uhuk...”Debu yang berterbangan dari reruntuhan itu membuat keduanya terbatuk-batuk. Kedua gadis itu terjatuh dari lantai atas akibat sebuah ledakan hingga terhempas ke lantai bawah. Namun untungnya mereka masih selamat.Perlahan debu pun menghilang dan mereka berdua bisa melihat apa yang sedang terjadi di sekitarnya.“Hah? Jadi ini...”Alisa dan Floria begitu tercengang melihat pertempuran besar yang sedang terjadi tepat di depan mata kepala mereka sendiri. Askar, Patrol, gadis penyihir, hingga masyarakat biasa, semuanya saling bersatu dalam pertarungan melawan para penjaga Sentralberg.Alisa menoleh ke berbagai arah. Terlihat beberapa orang saling bertarung dengan menggunakan senjata. Masyarakat biasa beserta Patrol dan Askar menggunakan Politia, sementara gadis penyihir dengan Posacca. Sementara itu di atas langit terlihat pula sihir perisai 'Skyoldir' yang mengurung mereka semua disana.Dirinya juga menoleh ke arah samping. Terlihat sejumlah orang yang tergeletak tak berda
Hawa dingin menembus kulit mereka berdua. Perlahan keduanya pun membuka mata.“Dimana ini?”Dua gadis itu mendapati diri mereka terbaring di atas lantai dalam sebuah ruangan yang dingin dan cukup gelap. Mereka menengok ke sekitar. Terlihat ada sejumlah peralatan aneh berwarna perak yang tersimpan di sebuah lemari berwarna putih.“Ini, laboratorium?”Alisa perlahan berusaha bangkit. Begitu pula dengan Floria yang juga terbaring di sampingnya. Mereka nampak masih kebingungan dengan apa yang terjadi, kenapa mereka bisa ada di tempat itu.“Ah, sial. Si Iskarius itu.”Flo sepertinya sudah menyadarinya.“Flo? Siapa?” Alisa bertanya-tanya apa maksud sang sahabat.“Iskarius, penasehat Gubernur Karelia itu. Dia ternyata mata-mata kerajaan pusat. Dan dia berhasil menculik kita ke tempat ini,” jelas Flo.“Oh begitu ya.”Alisa hanya bergeming mendengarnya.“Eh iya, ngomong-ngomong kita dimana?” tanya gadis Telhi itu lagi.Flo menggelengkan kepala.“Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya ini suatu t
Topi homburg yang dikenakannya ia berikan pada seorang gadis berambut pendek dengan pakaian serupa di sampingnya. Pria itu lalu memberikan hormat pada sang raja beserta empat kepala daerah. Dirinya nampak tersenyum pada semua orang, tapi cukup jelas ekspresinya itu hanyalah senyuman licik. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Gubernur Alistair.“Sekali lagi maafkan saya atas keterlambatan ini,” ucap Bob.“Sudah-sudah. Tak perlu bicarakan itu lagi. Sekarang kita kembali ke pembahasan awal,” ujar Rocky.Bob dengan berkas di tangan kirinya lalu berdiri di samping sang raja.“Jadi, pembahasan rapat ini sudah sampai mana, Yang Mulia?” tanya Bob kembali.“Ah, aku senang kau bertanya.”Sang raja lalu menunjuk ke arah keempat kepala daerah dengan ekspresi marah.“Mereka ini payah. Mereka berempat malah menyalahkan aku atas segala permasalahan di daerah otonom akibat ketidakbecusan mereka. Dan saat aku akan menendang mereka, dengan liciknya mereka malah mempermainkan aku. Hutan Schwitz, pertamb
Sinar bintang biru Formalha menyinari Sentralberg di pagi itu. Suara hiruk pikuk Carreta dan Motosicca yang berlalu lalang di jalanan beraspal hitam mewarnai suasana ibukota Kerajaan Archipelahia tersebut. Berbeda dengan kondisi di daerah otonom yang sedang carut marut, disini hampir semua orang beraktivitas seperti biasa.Begitu pula di Istana Perak tempat Raja Archipelahia bersinggasana. Tidak ada sesuatu yang terlalu urgent. Hanya terlihat sedikit penambahan pasukan penjaga di sejumlah titik. Bendera biru Archipelahia masih berkibar dengan gagahnya di puncak tiang tertinggi.Kondisi di dalam istana tak terlalu berbeda. Terlihat sejumlah penjaga tengah berlalu lalang, sedangkan sebagiannya lagi berdiri tegap setiap ada petinggi wilayah yang berjalan di depan mereka.Seorang pemuda berjas hitam dengan lencana surya kuning di sakunya berjalan melewati para penjaga itu. Terlihat pula seorang gadis muda berambut coklat dengan pakaian kasual lengan panjang serta rok yang tak terlalu lebar
Lokasi rahasia, Ibukota Chekovia, Daerah Otonom Vitania.Sebuah ruangan besar menyerupai aula berdiri megah di dalam ruang bawah tanah raksasa. Ruangan itu diperkirakan cukup untuk menampung hampir 10 ribu orang. Kini, sekitar lebih dari 8 ribu gadis penyihir anggota Brigade Penyihir Garis Depan Vitania berkumpul di tempat itu. Kebanyakan dari mereka adalah para petinggi brigade serta gadis penyihir tingkat tinggi yang memegang peranan penting dalam organisasi paramiliter dengan anggota nyaris 100 ribu orang itu.“Rapat akbar? Apakah ada hal yang sangat penting sampai kita semua dipanggil ke tempat ini?”“Entahlah, ini perintah langsung dari Pemimpin Utama.”“Kalau yang kumpul sebanyak ini, berarti akan ada suatu operasi besar. Apa mungkin ini adalah puncak dari perjuangan kita?”“Keren sekali. Tinggal selangkah lagi kita akan memperoleh kemerdekaan.”Para gadis penyihir saling berbincang memecah suasana malam itu. Tak berselang lama, sang pemimpin utama Brigade Penyihir, Sylvie Schwa