Indri mengendap-endap di balik pembatas dinding berbahan kaca. Tangannya menyentuh kusen kayu bercat coklat tua. Ia sungguh tak tahan dengan perasaan yang kian muncul. Dari gorden yang disibak sedikit, dia melihat Tuan Dave duduk tepat menghadap Fabian. Lelaki itu sebelas dua belas ketampanannya. Hanya saja, yang satu cenderung ke-Asia yang satu lagi timur tengah. Bukan. Bukan itu maksud Indri mengintip. Ia hanya ingin tahu ada hubungan apa antara keluarga ini dengan Dave."Ndri, kamu ngapain!" Rumi menepuk punggung anak perempuannya. Ia melirihkan suaranya agar tidak ada yang mendengar. Apalagi, jarak tempat mereka berpijak begitu dekat dengan kumpulan wanita-wanita yang masih menikmati makan malam."Itu, Bu. Ada Bos-nya Indri. Kira-kira dia ngapain, ya, di sana?" Indri masih mencoba melihat dari balik tirai yang ia buka sedikit. Sayang, apa yang yang mereka tengah perbincangkan tidak bisa didengar."Kamu ini, Ndri. Ngapain cari tahu begituan? Biarin aja kalau bos kamu datang. Mungki
"Ada urusan mendadak yang tidak bisa ditunda, Bu, Mbak. Saya pamit dulu, ya?" Indri menunduk. Beralih pada Ibunya yang berdiri di dekat pintu, Indri menoel lengan Rumi. "Bu, Indri duluan, ya? Pak Dave ini tidak bisa dibantah orangnya.""Kamu ini, kasihan Nak Fabian. Gimana, sih, Ndri?" Wanita dengan keriput di wajah itu menghela napas panjang. Pasrah dengan keputusan putrinya."Nanti saja kalau sudah sampai di rumah, Indri akan cerita, Bu. Sampaikan saja permintaan maaf Indri sama Mas Fabian. Indri duluan, ya, Bu. Assalamualaikum." Rumi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia mengikuti langkah kaki putrinya keluar. Di sudut ruangan yang lain, para lelaki masih sibuk berbagi kisah dengan hidangan memenuhi meja. Dave membisikkan sesuatu pada telinga George. Lelaki tua itupun mengulas senyuman dan mengangguk. Dave juga pamit pada semua orang di sana. Hanya Fabian yang paham, ia curiga dengan kepulangan bos-nya.Dave keluar. Ia menuju mobilnya yang sudah berdiri di sana seorang wanita ber
Keadaan rumah itu sudah tenang, tidak ada yang berani keluar rumah karena jalanan sudah sepi. Tetangga juga sudah mematikan lampu, terlihat gelap semuanya. Hanya sebagian lampu depan rumah yang menyala. Indri diajak masuk ke kamar oleh Rumi. Ali mengikutinya dari belakang. Tiga orang itu berkumpul dalam satu ruangan. Indri yang tadinya histeris, kini sudah bisa tenang. Namun, dia terlihat lemas. Kepalanya mendadak berdenyut, dia memejamkan matanya."Bu, Ali tidur di sofa sana saja," ucap Ali dengan menunjuk dudukan dalam kamar Indri. "Ibu, temani Indri. Biar kalau ada apa-apa, kita bisa segera tahu." Rumi mengangguk. Ia menyelimuti putrinya setelah memberikan bantal pada Ali. Dengan kedua tangan menjadi penyangga kepala, Ali teringat dia wanita yang kini tidur di atas ranjang. Bagaimana jika ia menikah nanti. Siapa yang akan menjaga mereka jika ada bahaya begini. Lelaki dengan setelan piyama tidur itu menghela napas panjang. Ia tak bisa tidur sepanjang malam. Ali memutuskan untuk men
"Bu, kita bawa saja Dita ke rumah sakit. Saya yang tanggung semuanya." Dave menoleh ke belakang. Tepat saat ini Rumi berdiri. Rumi bingung lagi. Belum sempat menjawab, Indri keburu membuka mata. Ia menyadari kehadiran lelaki itu. "Pak," lirihnya. Indri berusaha bangkit tetapi Dave melarangnya. "Sudahlah. Istirahat saja, apa perlu kita ke rumah sakit?" Indri menggeleng. Ada senyum tipis di bibirnya. Ia tetap bangun dan menyandar dipan tempat tidur. Bukan Indri namanya kalau tidak keras kepala. "Tidak usah, Pak. Saya cuman kecapekan mungkin. Bapak, sejak kapan ada di sini?" Indri mendadak batuk. Dave dengan segera meraih gelas berisi air putih di meja dan memberikannya pada wanita muda itu."Kamu pasti belum makan?" celetuk lelaki itu. Ia meraih juga mangkuk di meja itu dan memaksa Indri memakannya. Meski sudah menolak, Indri tetap mendapatkan suapan itu. Hampir setengah mangkuk telah berhasil berpindah isinya ke dalam lambung indri. Rumi meninggalkan mereka berdua di kamar dengan pi
Indri terus menolak. Ia sudah lelah dengan drama yang tengah dimainkan oleh Rasya. Terlebih mereka saat ini berada di kantor. Tidak ada yang tahu mereka adalah mantan suami istri kecuali Ali. Indri geram. Ia menghentikan jemarinya yang tadinya merangkai design. "Cukup, Mas! Kita bukan siapa-siapa lagi. Lagian sekarang kita di kantor, tolong jaga sikap." Indri mengembus napas kasar. "Aku minta tolong, sekarang kamu keluar dari ruangan ini. Aku tidak mau ada fitnah nanti.""Ndri, please. Aku hanya ingin meminta maaf atas kesalahanku dulu. Kalau kau memaafkan, maka aku akan pergi." Pria dengan kemeja hijau muda itu menyunggingkan senyum. Ia meletakkan makanan di meja kerja Indri."Mungkin untuk memaafkan itu mudah saja, Mas. Tapi, aku tidak bisa menjamin akan bisa melupakan. Aku juga minta tolong, bersikaplah seolah kita tidak ada apa-apa dan tidak pernah kenal. Karena semua hanyalah tinggal kenangan. Kenangan yang kau gores dengan belati lisanmu." Indri mendorong kursinya lalu beranjak
Indri meringis kuda. "Maaf, Mas, aku ganggu kerjanya. Kukira sudah kelar dan kita bisa pulang segera, eh." Indri langsung menutup mulutnya karena merasa keceplosan. "Jadi ... kamu mau ngajak aku pulang bareng?" Fabian terkekeh."Aku minta maaf atas kejadian tempo lalu. Aku pulang lebih dulu karena Pak Dave tiba-tiba memberi ultimatum. Kukira ada yang penting. Ternyata hanya mengantarku pulang saja. Aku pikir ada kerjaanku yang belum kelar." Indri menjelaskan panjang lebar. Sungguh, dia merasa bersalah pada lelaki tampan di hadapannya. Fabian yang baru saja memotong rambutnya di salon membuat Indri pangling. Bak aktor Korea favoritnya. "Aku tidak masalah. Aku pun heran ternyata keluarga calon ipar kamu ada hubungan kekeluargaan dengan keluarga besar Tuan Dave. Kamu jadi lebih dekat dengan dia," ujar Fabian. Ada yang lain dari ucapannya. Indri masih merasa tak enak."Mas, sekali lagi aku minta maaf. Sebagai permintaan maafku, aku akan mengundang kamu makan di rumah, gimana? Kebetulan
Lepas makan malam itu, Indri lebih sering melamun. Di kantor, ia tak begitu bersemangat. Ada yang mengganjal rasanya di hati. Wanita muda itu menatap layar segi empat di hadapannya seolah tampilan putaran kisah hidupnya yang pelik.Ia mengubur dalam-dalam perasaannya pada Fabian. Sejak awal lelaki itu sudah menarik perhatiannya. Namun, kenyataan pahit jika dia saudara kandung mantan suaminya yang kejam dulu. Niat hati ingin lepas dari kehidupan yang berhubungan dengan Rasya, malah terjebak dengan perasaan yang tak biasa. Terlanjur hati terikat dengan harapan yang telah membumbung tinggi. "Dit, kenapa melamun?" Sapaan lembut mengarah kepadanya. Saat ia tengah duduk di kursi kerja, tak sadar jika Fabian telah masuk. Bola matanya terisi dengan bayangan ketus Alma. "Eh, Mas. Ak ... aku lagi ngerjain ini," bohong Indri. Ia berpura-pura mengetik sesuatu padahal kosong."Jangan bohong, aku tahu apa yang sejak tadi kamu lakukan." Fabian menahan tawanya. Menutup mulutnya dengan tangan kanan
"Kamu yang sabar. Harus terus berjuang jika ingin mendapatkan cinta yang sudah layu. Indri sudah tidak percaya lagi dengan keluarga kamu, masalahnya. Jadi, bersabarlah sedikit." Ali memasukkan tangannya ke dalam saku. Ia pergi setelah mendapat anggukan dari Fabian.."Masuk!" Indri membuka pintu ruangan lelaki sedingin puncak Alpen itu. Wajah datar masih mengunci langkah wanita itu."Ini, Pak." Indri menyerahkan berkas berbalut map biru di meja Dave."Hem." Dave membukanya. Memeriksa setiap larik tulisan dan garis-garis yang dibuat Indri juga corak warna yang dia ajukan untuk produk baru. Dave memang masih membuka berkas di tangannya, tetapi matanya terfokus pada Indri yang menunduk dengan wajah sendu."Kamu kenapa? Kalau tidak enak badan lagi, mending pulang!"Mendengar ucapan ketus itu, Indri kaget. Ia segera membenahi mimik wajahnya. "Saya baik-baik saja, Pak. Kalau sudah tidak ada yang diperintah lagi, saya izin undur diri untuk mengerjakan yang lain." Dave mendesah. Ia berdiri l