"Aku akan mendapatkanmu lagi, Ndri." Rasya menggumam bersama angin yang mengikuti roda mobil berputar..Indri izin sehari untuk menenangkan diri. Setelah sampai di rumah, Ali pamit kembali ke kantor. Indri datang di sambut hangat oleh Rumi. Pelukan seorang ibu menjelaskan betapa besar naluri kepada sang anak."Bagaimana, Sayang? Kau berhasil?" Rumi menggandeng putrinya duduk di dalam rumah."Alhamdulillah, lancar, Bu. Tapi, kurasa dia syok setelah mendengar berita kematian Angga dan calon anak kami. Semoga saja dia berubah setelah ini. Tapi, Indri agak ngeri aja sekantor dengan dia." Indri menyandarkan kepalanya pada kursi. Merilekskan semua otot leher dan menikmati embusan angin dari luar jendela yang terbuka."Semoga saja begitu. Besok kita juga ada kesibukan, Ndri. Bahkan Ibu tak bisa jika harus menanganinya sendiri tanpa bantuanmu. Kalau pagi, kamu, kan, kerja." Rumi ikut menyandarkan tubuhnya."Kalau habis kerja gimana, Bu? Acaranya malam, kan? Kalau pagi jelas Mas Ali sama Ind
Langit mendung memperlihatkan kilatan putih yang membuat Indri sedikit meringis dan menutup telinganya. Dia tengah mengerjakan laporan di ruangannya tetapi jendela kaca tidak tertutup gorden. Indri menekan tombol plus pada remote AC agar tidak terlalu dingin. Hujan pun mengguyur tiba-tiba. Wanita dengan blazer hitam itu duduk kembali di kursinya. Indri berulangkali melihat benda mungil di tangannya. Ia harus pulang cepat dan membantu Ibunya berbenah. Ia menatap berkas-berkas yang harus diserahkan. Hari ini juga dia telah resmi menjadi sekertaris Dave. Membuka lembaran baru menjadi wanita karir tanpa memikirkan beban hidupnya yang lalu.Indri mengetuk pintu lelaki sedingin salju itu. Sekali tak ada jawaban, ia mengulanginya lagi. Tak sadar, sejak datang dia sudah diperhatikan dari balik kaca dua arah yang terdapat di dalam ruangan Dave. "Pak, saya mau mengantar berkas." Indri tak sabar lagi. "Pak!" "Masuk!" Suara dari dalam membuatnya lega. Indri segera membuka pintu. Menyerahkan be
Lelaki itu sampai juga di lantai dasar. Ia keluar dari lobi dan melihat Indri berjalan ke parkiran bersama dengan stafnya yang baru. Tangan Dave mengepal, giginya saling beradu menimbulkan suara bagai Guntur. Wajahnya mendadak merah padam karena ia merasa dibohongi oleh wanita muda itu."Mas, makasih banyak, ya?" Indri tersenyum menoleh pada lelaki berperawakan tinggi tegap itu di sampingnya."Makasih untuk apa?" jawab Fabian dengan santai. Ia terfokus pada jalanan yang ramai padat merayap. Ia harus gesit menyelip di antara kendaraan besar yang juga melewati jalan dua arah."Sudah bersedia membantu aku dan Ibu. Mas Ali pasti sudah sampai di rumah duluan." Indri mengambil ponselnya di dalam tas. Melihat beberapa pesan yang terkirim dari kakaknya. "Aku senang bisa bantu kamu dan Ibu. Syukur-syukur bisa begini terus," ucap Fabian sambil terkekeh. "Ya, aku yang enggak enak. Baru kenal sudah dimintain tolong terus. Mas Fabian tinggal di mana, sih?" Indri berkata sambil mengetik pesan bal
Indri mengendap-endap di balik pembatas dinding berbahan kaca. Tangannya menyentuh kusen kayu bercat coklat tua. Ia sungguh tak tahan dengan perasaan yang kian muncul. Dari gorden yang disibak sedikit, dia melihat Tuan Dave duduk tepat menghadap Fabian. Lelaki itu sebelas dua belas ketampanannya. Hanya saja, yang satu cenderung ke-Asia yang satu lagi timur tengah. Bukan. Bukan itu maksud Indri mengintip. Ia hanya ingin tahu ada hubungan apa antara keluarga ini dengan Dave."Ndri, kamu ngapain!" Rumi menepuk punggung anak perempuannya. Ia melirihkan suaranya agar tidak ada yang mendengar. Apalagi, jarak tempat mereka berpijak begitu dekat dengan kumpulan wanita-wanita yang masih menikmati makan malam."Itu, Bu. Ada Bos-nya Indri. Kira-kira dia ngapain, ya, di sana?" Indri masih mencoba melihat dari balik tirai yang ia buka sedikit. Sayang, apa yang yang mereka tengah perbincangkan tidak bisa didengar."Kamu ini, Ndri. Ngapain cari tahu begituan? Biarin aja kalau bos kamu datang. Mungki
"Ada urusan mendadak yang tidak bisa ditunda, Bu, Mbak. Saya pamit dulu, ya?" Indri menunduk. Beralih pada Ibunya yang berdiri di dekat pintu, Indri menoel lengan Rumi. "Bu, Indri duluan, ya? Pak Dave ini tidak bisa dibantah orangnya.""Kamu ini, kasihan Nak Fabian. Gimana, sih, Ndri?" Wanita dengan keriput di wajah itu menghela napas panjang. Pasrah dengan keputusan putrinya."Nanti saja kalau sudah sampai di rumah, Indri akan cerita, Bu. Sampaikan saja permintaan maaf Indri sama Mas Fabian. Indri duluan, ya, Bu. Assalamualaikum." Rumi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia mengikuti langkah kaki putrinya keluar. Di sudut ruangan yang lain, para lelaki masih sibuk berbagi kisah dengan hidangan memenuhi meja. Dave membisikkan sesuatu pada telinga George. Lelaki tua itupun mengulas senyuman dan mengangguk. Dave juga pamit pada semua orang di sana. Hanya Fabian yang paham, ia curiga dengan kepulangan bos-nya.Dave keluar. Ia menuju mobilnya yang sudah berdiri di sana seorang wanita ber
Keadaan rumah itu sudah tenang, tidak ada yang berani keluar rumah karena jalanan sudah sepi. Tetangga juga sudah mematikan lampu, terlihat gelap semuanya. Hanya sebagian lampu depan rumah yang menyala. Indri diajak masuk ke kamar oleh Rumi. Ali mengikutinya dari belakang. Tiga orang itu berkumpul dalam satu ruangan. Indri yang tadinya histeris, kini sudah bisa tenang. Namun, dia terlihat lemas. Kepalanya mendadak berdenyut, dia memejamkan matanya."Bu, Ali tidur di sofa sana saja," ucap Ali dengan menunjuk dudukan dalam kamar Indri. "Ibu, temani Indri. Biar kalau ada apa-apa, kita bisa segera tahu." Rumi mengangguk. Ia menyelimuti putrinya setelah memberikan bantal pada Ali. Dengan kedua tangan menjadi penyangga kepala, Ali teringat dia wanita yang kini tidur di atas ranjang. Bagaimana jika ia menikah nanti. Siapa yang akan menjaga mereka jika ada bahaya begini. Lelaki dengan setelan piyama tidur itu menghela napas panjang. Ia tak bisa tidur sepanjang malam. Ali memutuskan untuk men
"Bu, kita bawa saja Dita ke rumah sakit. Saya yang tanggung semuanya." Dave menoleh ke belakang. Tepat saat ini Rumi berdiri. Rumi bingung lagi. Belum sempat menjawab, Indri keburu membuka mata. Ia menyadari kehadiran lelaki itu. "Pak," lirihnya. Indri berusaha bangkit tetapi Dave melarangnya. "Sudahlah. Istirahat saja, apa perlu kita ke rumah sakit?" Indri menggeleng. Ada senyum tipis di bibirnya. Ia tetap bangun dan menyandar dipan tempat tidur. Bukan Indri namanya kalau tidak keras kepala. "Tidak usah, Pak. Saya cuman kecapekan mungkin. Bapak, sejak kapan ada di sini?" Indri mendadak batuk. Dave dengan segera meraih gelas berisi air putih di meja dan memberikannya pada wanita muda itu."Kamu pasti belum makan?" celetuk lelaki itu. Ia meraih juga mangkuk di meja itu dan memaksa Indri memakannya. Meski sudah menolak, Indri tetap mendapatkan suapan itu. Hampir setengah mangkuk telah berhasil berpindah isinya ke dalam lambung indri. Rumi meninggalkan mereka berdua di kamar dengan pi
Indri terus menolak. Ia sudah lelah dengan drama yang tengah dimainkan oleh Rasya. Terlebih mereka saat ini berada di kantor. Tidak ada yang tahu mereka adalah mantan suami istri kecuali Ali. Indri geram. Ia menghentikan jemarinya yang tadinya merangkai design. "Cukup, Mas! Kita bukan siapa-siapa lagi. Lagian sekarang kita di kantor, tolong jaga sikap." Indri mengembus napas kasar. "Aku minta tolong, sekarang kamu keluar dari ruangan ini. Aku tidak mau ada fitnah nanti.""Ndri, please. Aku hanya ingin meminta maaf atas kesalahanku dulu. Kalau kau memaafkan, maka aku akan pergi." Pria dengan kemeja hijau muda itu menyunggingkan senyum. Ia meletakkan makanan di meja kerja Indri."Mungkin untuk memaafkan itu mudah saja, Mas. Tapi, aku tidak bisa menjamin akan bisa melupakan. Aku juga minta tolong, bersikaplah seolah kita tidak ada apa-apa dan tidak pernah kenal. Karena semua hanyalah tinggal kenangan. Kenangan yang kau gores dengan belati lisanmu." Indri mendorong kursinya lalu beranjak
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k