Ruangan itu terasa menyeramkan bagi Indri. Belum juga masuk, baru melirik dan menunggu di sebuah bangku bersama Ali. Sang kakak masih sibuk dengan gawainya karena urusan kantor. Akan tetapi, sang adik mati-matian menyembunyikan panas dingin serta pusing di kepala. Jantungnya tak mau kalah, berdebar-debar kencang sekali rasanya. "Mas, aku takut," kata Indri seraya menoleh. "Tenang saja. Banyakin dzikir, Ndri. Semoga kamu kuat. Aku akan dampingi di belakang nanti. Ingat, masa depanmu adalah berpisah dengan lelaki kejam itu. Dia sudah keterlaluan. Daripada kamu bertahan dan malah membuat dosa. Apalagi dia sudah menalakmu." Lelaki dengan wajah bersih itu mengingatkan. Jelas, Indri tak pernah lupa setiap apa yang dahulu ia rasakan. "Silakan masuk," ucap salah seorang petugas. Saat Indri berdiri, ia melihat Rasya datang. Harapannya semakin menipis jika benar Rasya akan membuat alasan bahwa apa yang ia ucapkan tempo lalu adalah sebuah kekhilafan. Bisa memperpanjang urusan.Mereka semua m
"Aku akan mendapatkanmu lagi, Ndri." Rasya menggumam bersama angin yang mengikuti roda mobil berputar..Indri izin sehari untuk menenangkan diri. Setelah sampai di rumah, Ali pamit kembali ke kantor. Indri datang di sambut hangat oleh Rumi. Pelukan seorang ibu menjelaskan betapa besar naluri kepada sang anak."Bagaimana, Sayang? Kau berhasil?" Rumi menggandeng putrinya duduk di dalam rumah."Alhamdulillah, lancar, Bu. Tapi, kurasa dia syok setelah mendengar berita kematian Angga dan calon anak kami. Semoga saja dia berubah setelah ini. Tapi, Indri agak ngeri aja sekantor dengan dia." Indri menyandarkan kepalanya pada kursi. Merilekskan semua otot leher dan menikmati embusan angin dari luar jendela yang terbuka."Semoga saja begitu. Besok kita juga ada kesibukan, Ndri. Bahkan Ibu tak bisa jika harus menanganinya sendiri tanpa bantuanmu. Kalau pagi, kamu, kan, kerja." Rumi ikut menyandarkan tubuhnya."Kalau habis kerja gimana, Bu? Acaranya malam, kan? Kalau pagi jelas Mas Ali sama Ind
Langit mendung memperlihatkan kilatan putih yang membuat Indri sedikit meringis dan menutup telinganya. Dia tengah mengerjakan laporan di ruangannya tetapi jendela kaca tidak tertutup gorden. Indri menekan tombol plus pada remote AC agar tidak terlalu dingin. Hujan pun mengguyur tiba-tiba. Wanita dengan blazer hitam itu duduk kembali di kursinya. Indri berulangkali melihat benda mungil di tangannya. Ia harus pulang cepat dan membantu Ibunya berbenah. Ia menatap berkas-berkas yang harus diserahkan. Hari ini juga dia telah resmi menjadi sekertaris Dave. Membuka lembaran baru menjadi wanita karir tanpa memikirkan beban hidupnya yang lalu.Indri mengetuk pintu lelaki sedingin salju itu. Sekali tak ada jawaban, ia mengulanginya lagi. Tak sadar, sejak datang dia sudah diperhatikan dari balik kaca dua arah yang terdapat di dalam ruangan Dave. "Pak, saya mau mengantar berkas." Indri tak sabar lagi. "Pak!" "Masuk!" Suara dari dalam membuatnya lega. Indri segera membuka pintu. Menyerahkan be
Lelaki itu sampai juga di lantai dasar. Ia keluar dari lobi dan melihat Indri berjalan ke parkiran bersama dengan stafnya yang baru. Tangan Dave mengepal, giginya saling beradu menimbulkan suara bagai Guntur. Wajahnya mendadak merah padam karena ia merasa dibohongi oleh wanita muda itu."Mas, makasih banyak, ya?" Indri tersenyum menoleh pada lelaki berperawakan tinggi tegap itu di sampingnya."Makasih untuk apa?" jawab Fabian dengan santai. Ia terfokus pada jalanan yang ramai padat merayap. Ia harus gesit menyelip di antara kendaraan besar yang juga melewati jalan dua arah."Sudah bersedia membantu aku dan Ibu. Mas Ali pasti sudah sampai di rumah duluan." Indri mengambil ponselnya di dalam tas. Melihat beberapa pesan yang terkirim dari kakaknya. "Aku senang bisa bantu kamu dan Ibu. Syukur-syukur bisa begini terus," ucap Fabian sambil terkekeh. "Ya, aku yang enggak enak. Baru kenal sudah dimintain tolong terus. Mas Fabian tinggal di mana, sih?" Indri berkata sambil mengetik pesan bal
Indri mengendap-endap di balik pembatas dinding berbahan kaca. Tangannya menyentuh kusen kayu bercat coklat tua. Ia sungguh tak tahan dengan perasaan yang kian muncul. Dari gorden yang disibak sedikit, dia melihat Tuan Dave duduk tepat menghadap Fabian. Lelaki itu sebelas dua belas ketampanannya. Hanya saja, yang satu cenderung ke-Asia yang satu lagi timur tengah. Bukan. Bukan itu maksud Indri mengintip. Ia hanya ingin tahu ada hubungan apa antara keluarga ini dengan Dave."Ndri, kamu ngapain!" Rumi menepuk punggung anak perempuannya. Ia melirihkan suaranya agar tidak ada yang mendengar. Apalagi, jarak tempat mereka berpijak begitu dekat dengan kumpulan wanita-wanita yang masih menikmati makan malam."Itu, Bu. Ada Bos-nya Indri. Kira-kira dia ngapain, ya, di sana?" Indri masih mencoba melihat dari balik tirai yang ia buka sedikit. Sayang, apa yang yang mereka tengah perbincangkan tidak bisa didengar."Kamu ini, Ndri. Ngapain cari tahu begituan? Biarin aja kalau bos kamu datang. Mungki
"Ada urusan mendadak yang tidak bisa ditunda, Bu, Mbak. Saya pamit dulu, ya?" Indri menunduk. Beralih pada Ibunya yang berdiri di dekat pintu, Indri menoel lengan Rumi. "Bu, Indri duluan, ya? Pak Dave ini tidak bisa dibantah orangnya.""Kamu ini, kasihan Nak Fabian. Gimana, sih, Ndri?" Wanita dengan keriput di wajah itu menghela napas panjang. Pasrah dengan keputusan putrinya."Nanti saja kalau sudah sampai di rumah, Indri akan cerita, Bu. Sampaikan saja permintaan maaf Indri sama Mas Fabian. Indri duluan, ya, Bu. Assalamualaikum." Rumi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia mengikuti langkah kaki putrinya keluar. Di sudut ruangan yang lain, para lelaki masih sibuk berbagi kisah dengan hidangan memenuhi meja. Dave membisikkan sesuatu pada telinga George. Lelaki tua itupun mengulas senyuman dan mengangguk. Dave juga pamit pada semua orang di sana. Hanya Fabian yang paham, ia curiga dengan kepulangan bos-nya.Dave keluar. Ia menuju mobilnya yang sudah berdiri di sana seorang wanita ber
Keadaan rumah itu sudah tenang, tidak ada yang berani keluar rumah karena jalanan sudah sepi. Tetangga juga sudah mematikan lampu, terlihat gelap semuanya. Hanya sebagian lampu depan rumah yang menyala. Indri diajak masuk ke kamar oleh Rumi. Ali mengikutinya dari belakang. Tiga orang itu berkumpul dalam satu ruangan. Indri yang tadinya histeris, kini sudah bisa tenang. Namun, dia terlihat lemas. Kepalanya mendadak berdenyut, dia memejamkan matanya."Bu, Ali tidur di sofa sana saja," ucap Ali dengan menunjuk dudukan dalam kamar Indri. "Ibu, temani Indri. Biar kalau ada apa-apa, kita bisa segera tahu." Rumi mengangguk. Ia menyelimuti putrinya setelah memberikan bantal pada Ali. Dengan kedua tangan menjadi penyangga kepala, Ali teringat dia wanita yang kini tidur di atas ranjang. Bagaimana jika ia menikah nanti. Siapa yang akan menjaga mereka jika ada bahaya begini. Lelaki dengan setelan piyama tidur itu menghela napas panjang. Ia tak bisa tidur sepanjang malam. Ali memutuskan untuk men
"Bu, kita bawa saja Dita ke rumah sakit. Saya yang tanggung semuanya." Dave menoleh ke belakang. Tepat saat ini Rumi berdiri. Rumi bingung lagi. Belum sempat menjawab, Indri keburu membuka mata. Ia menyadari kehadiran lelaki itu. "Pak," lirihnya. Indri berusaha bangkit tetapi Dave melarangnya. "Sudahlah. Istirahat saja, apa perlu kita ke rumah sakit?" Indri menggeleng. Ada senyum tipis di bibirnya. Ia tetap bangun dan menyandar dipan tempat tidur. Bukan Indri namanya kalau tidak keras kepala. "Tidak usah, Pak. Saya cuman kecapekan mungkin. Bapak, sejak kapan ada di sini?" Indri mendadak batuk. Dave dengan segera meraih gelas berisi air putih di meja dan memberikannya pada wanita muda itu."Kamu pasti belum makan?" celetuk lelaki itu. Ia meraih juga mangkuk di meja itu dan memaksa Indri memakannya. Meski sudah menolak, Indri tetap mendapatkan suapan itu. Hampir setengah mangkuk telah berhasil berpindah isinya ke dalam lambung indri. Rumi meninggalkan mereka berdua di kamar dengan pi