"Mas, kenapa duduk di sana?" tanya Indri saat mereka tengah berada di kamar. Indri menunggu lelaki itu sejak satu jam terakhir. "Sini, dong, sama aku."
"Nanggung." Rasya menjawab tanpa menoleh. Ia duduk di sofa kamarnya. Sibuk dengan benda pipih di kedua tangannya.
"Bagaimana aku bisa menjadi istri yang baik, Mas, kalau kamu mengabaikanku setiap aku mengajak." Indri lama-lama kesal.
Rasya masih diam. Dia tidak menoleh. Entah tak dengar atau sengaja karena geram dengan ucapan Indri yang mulai berani.
"Mas, aku mau pulang." Kalo ini Indri ingin mengutarakan isi hatinya.
"Pulang-pulang! Memangnya kamu punya uang? Pulang ke rumah Ibumu itu perlu banyak uang. Ibumu kan mata duitan."
Indri mendelik. "Mas!" Napas Indri tersengal-sengal. Sesak dadanya mendengar ucapan Rasya barusan. "Kalau kamu mau menghina, hina saja aku. Jangan Ibu!" Indri meletakkan kembali baju-baju kecil milik Angga yang baru saja kering.
"Memang pada kenyataannya begitu." Rasya mengakhiri pertandingan seru dalam ponsel miliknya. Ia memasang wajah kesal dengan bibir mengatup rapat. Lalu, pergi ke luar dari kamarnya.
Bagai ditampar petir, Indri terisak dalam dekapan malam. Bisa-bisanya sang suami menghina Ibu mertuanya sendiri. Ada rasa penyesalan setelah empat tahun menikah dengan Rasya.
"Allah tidak tidur, Mas! Kau akan mendapat balasan atas setiap ucapanmu. Juga sikapmu yang selalu mengabaikanku."
Bagaimana menurut kalian, bila seorang istri yang meminta haknya tetapi malah diusir serta dimaki oleh suaminya. Hancur bukan? Tuhan menciptakan bibir lelaki bukan untuk memakai apalagi seorang istri. Tak ingin diganggu dan menelantarkan hak istri dan anak. Lebih senang bersama benda pipih miliknya tanpa peduli orang-orang yang membutuhkan kasih sayangnya. Sosok pemimpin yang diharapkan, sudah tak ada lagi di diri Rasya. Lelaki berumur 30 tahun itu, sejak mengenal Game Online dia betah berjam-jam memainkannya. Bahkan hingga menjelang subuh.Walaupun jatah kebutuhan dapur terpenuhi, istri dan anak membutuhkan sosok pemimpin dan pembimbing. Ia tak jarang bermain tangan dengan anak dan istrinya bila merasa terganggu ketika sedang bermain Game. Emosi yang tak dapat ia kendalikan membuatnya sering mengeluarkan kata-kata menyakitkan.Tak jarang ia menolak ajakan istrinya--- Indri. Mungkin memang wanita bisa sedikit menahan gejolak itu. Tetapi sampai kapan? Wanita butuh kejelasan dan tanggung jawab.Tidak sekadar memberi makan, jika lelaki telah berani berikrar di hadapan kedua orangtuanya untuk menjaga dan bertanggung jawab, seharusnya ia menjalankannya.
Akan tetapi berbeda dengan Rasya, dia sudah tak ingin tahu lagi apa tugas dia sebagai seorang pemimpin rumahtangga.
Belum lagi Indri mengalami Baby Blues pasca melahirkan anak pertamanya, mertua yang tak mau membantu mengurus bayinya yang masih merah, semakin membuat Indri makan hati setiap hari. Wanita pasca melahirkan butuh dukungan untuk tetap kuat dan menjaga kewarasan karena kondisi yang masih lemah serta kepayahan yang dialami.Sebenarnya sudah sejak lama Indri meminta izin kepada Rasya agar melahirkan ditempat Mamanya. Akan tetapi ego Rasya melarang Indri hingga terjadi percekcokan setiap kali Indri mengajak pulang.Kondisi belum begitu pulih, ia harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Setiap kali mendengar tangisan Angga, anak pertamanya ia merasa stres tak jarang ada fikiran untuk memb**uh bayinya. Agar ia terbebas tanpa beban lagi. Namun, Indri berusaha sadar dan membuang jauh-jauh fikiran itu.
Hari demi hari, bulan berganti bulan Indri tengah mengandung anak keduanya. Kini Angga telah berumur 2 tahun dan 3 bulan lagi menjelang persalinan anak kedua mereka. Hingga saat ini wanita yang kerap disapa 'Ndri', itu masih bertahan di hiruk pikuk rumah tangga yang terasa dingin tanpa warna. Hambar.Berusaha mengalah tanpa menyakiti hati Rasya, sebab dia adalah lelaki pilihannya sendiri. Indri adalah sosok wanita yang taat agama, dia tahu betul jika menolak ajakan suaminya akan ada dosa besar yang akan ia tanggung di akhirat.
Berharap Rasya berubah menjadi lebih baik dan sadar. Tak lupa setiap selesai sholat ia selalu mendo'akan suaminya agar mendapat Hidayah.
"Mas, makan dulu yuk!" ajak Indri dengan menata piring di meja makan. Sedangkan Rasya masih berkutik dengan kesenangannya.Tanpa menoleh ia menggeret kursi dan mulai melahap makanan yang telah disiapkan oleh istrinya. Lagi-lagi tatapannya hanya terfokus pada benda pipih di tangannya."Mama mana?" tanya Rasya kemudian."Tadi sudah kupanggil tetapi masih--"Terdengar hentakan kaki dari belakang mereka tak lain adalah Alma--mertua Indri yang terkenal pedas perkataannya. Mereka menoleh bersamaan."Mari Ma...!" Indri menggeretkan kursi untuk ibu mertuanya.Tanpa berkata apapun, Alma membalik piring dan Indri segera menyendokkan nasi untuknya.
Raut wajah garang Alma selalu membuat Indri berkecil hati. Selama menikah dengan Rasya, Alma tak pernah bersikap selayaknya orangtua yang menganggap Indri sama seperti anaknya sendiri.
"Ma...mamam mamam!" Angga kecil mencoba memanggil Indri, menginginkan makan seperti nenek dan Papanya.Indri menoleh kepada Angga yang sedang duduk dibawah lantai. Ia segera mengulas senyum dan menggendongnya. Dengan perut besar, ia menyuapi anaknya serta mengajaknya duduk di depan televisi.Rasya tak begitu merespon dengan Angga kecil, ia segera menyambar tas dan kunci mobil serta berangkat ke kantor tanpa pamit kepada Indri. Hanya kepada Mamanya saja.
*"Ndri, habis ini KB aja deh! Repot ngurus anak masih kecil-kecil gitu. Nanti, siapa yang bakal urus Rasya sama rumah ini?"
Indri menoleh segera pada wanita yang kini terlihat rapi dengan rambut disanggul. Namun, dia tak bisa menjawab apapun. Kalau ketahuan suaminya, jelas bahaya akan mengancamnya.
"Tolong, Ndri, setrika-in baju ini. Mama mau pergi sepuluh menitan lagi." Alma melempar bajunya tepat di hadapan sang menantu. Dalam hati Indri mati-matian menahan amarah seraya meremas kuat-kuat gagang setrika di ruangan itu.
Selang beberapa detik selanjutnya, Alma pergi meninggalkan Indri yang masih terdiam membisu.
"Buruan, Ndri!" teriak Alma saat sudah berada jauh.
Indri kesal. Ia sengaja menekan kuat-kuat benda panas di tangannya menempelkan pada kain bertabur manik-manik yang tadi dilempar padanya.
Aroma kebakaran pun tercium jelas. Indri menyeringai tajam. "Sudah cukup, Ma. Kalian membuatku menahan semuanya."
#bersambung"Indriiiiiii!" Alma berteriak bak tong kosong berbunyi.Indri sengaja pergi dari ruangan sempit itu sebelum akhirnya sang mertua datang. Ia pura-pura ke kamar mandi dan menyalakan air ke dalam ember. Selang beberapa menit, ia keluar dengan tangan bas*ah."Ada apa, Ma?" tanya Indri mendekati mertuanya yang berwajah merah seperti bara api. "Kamu lihat ini!" Alma membentak. Tangannya mengangkat sebuah gaun mahal yang baru dua hari mendiami lemari kamarnya. Padahal, gaun itu akan digunakan sebentar lagi."Tadi aku sudah matikan setrikannya, kok, Ma. Itu buktinya." Indri menunjuk kabel yang sudah terputus dari stop kontak.Alma semakin mer*dang. Napasnya naik turun sehingga membuatnya seperti orang hilang kewar*san. Bak teko uap yang sudah mendidih.Dalam hati Indri, ia mengumpat. Sebenarnya uang bulanan dari Rasya adalah untuknya. Kenapa bisa hilang? Ya, Indri menyimpannya dalam lemari lalu ia melihat tanpa sengaja, Alma mengambil secara diam-diam. Mengendap dan mungkin telah dibelikan g
Dengan perasaan tak baik, Ali mengemudikan mobilnya hingga kecepatan penuh. Meski ia bukan seorang wanita, tetapi melihat Rasya berkhianat pada adiknya, rasanya ia ingin mengh*ntam kembali wajah lelaki itu tanpa ampun. Sampai di rumah sakit, Ali bergegas masuk. Menyusuri lorong dan bertemu kembali dengan Indri dan Ibunya. "Bagaimana keadaan Angga?" tanya Ali setelah ia sampai di dekat mereka. "Kamu kenapa, Al? Wajahmu ...." Rumi menghentikan ucapannya. Ia mengerutkan dahinya ketika melihat Ali terengah-engah dengan raut tak tenang.Lelaki itu duduk di kursi depan ruangan. Ia menyandarkan kepalanya berusaha menetralisir rasa panas dalam dada. Berusaha mengumpulkan tenaganya untuk memberitahu dua wanita yang ia cintai."Ndri, ceraikan Rasya!" Ali menoleh pada adiknya yang tengah berdiri.Indri sudah tak kaget lagi. Ia sudah paham maksud perkataan kakaknya. Pasti Ali sudah tahu semuanya, batin Indri. Indri sendiri masih diam. Ia tak tahu harus bilang apa. "Kenapa, Al? Apa yang sudah
Part4Tak peduliPernah sengaja tidur lebih awal, untuk melupakan beban pikiran. Dan ketika larut malam dia terbangun, seketika air mata keluar tanpa aba-aba. Lalu dia terlelap dengan sendirinya. Sesakit inikah menjadi dewasa, dia dituntut untuk bijaksana sedangkan dunia mengajaknya bercanda.Indri belajar mendidik hatinya sendiri, agar bisa menerima kenyataan. Karena ada banyak hal yang bisa diterima tetapi tidak bisa diubah. Bersabarlah akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah ikhtiar. Jalani, nikmati apapun yang sudah menjadi takdirmu.Wanita yang kini telah berganti pakaian serba hijau itu berlinang air mata. Menaham rasa ngilu pada perutnya. Ia harus beristirahat total tanpa beban pikiran.Tak lama setelah itu, pintu ruangan terbuka lebar. Membuatnya terperanjat dan menoleh cepat."Ndri!" Ali bergegas menghampiri."Mas." Indri membalas lirih."Ada apa denganmu? Suster memberitahu kami. Katanya kamu kontraksi. Bagaimana sekarang?" Ali menatap pilu pada adiknya.
Be your selfTetaplah menjadi dirimu sendiri, dengan versi terbaikmu.Janganlah menjelaskan apapun tentang dirimu, kepada siapapun. Karena yang membencimu tidak akan percaya kepadamu. Dan yang menyukaimu tidak butuh itu.Kembali menjejakkan kaki di lantai marmer rumah hasil dari kerja atas bantuan kakak kandung istrinya, Rasya membawa putra sulung mereka masuk ke dalam rumah."Ndri, kamu tidur aja setelah ini." Rasya meletakkan putranya di atas tempat tidur. Ia membantu Indri duduk karena sejak tadi istrinya itu susah berjalan."Iya, Mas. Makasih. Tapi, aku belum bisa masakin kamu." Indri merebahkan diri. "Belum bisa ngerjain apa-apa.""Tidak perlu kamu mikir terlalu jauh begitu. Hari ini kamu ngurusin Angga saja. Biar aku beli makan di luar." Rasya membalik badannya dan melangkah keluar kamar.Batin Indri sedikit lega. Mendapat aliran kesegaran setelah kemarin bertengkar dengan sang suami. Ia berharap, Rasya sudah berubah. Di luar sana, samar-samar wanita berbadan dua itu mendengar
"Siapa, sih, Ma?" Rasya mulai menengok. Di ruang tamu seorang wanita terlihat menopang kakinya. Gaun pendek berwarna marun dipadu dengan high heels lima senti menghiasi kaki mulus di sana. Wajahnya putih mulus, terlihat sekali perawatan teratur.Rasya tersenyum ke arahnya. Meski sang wanita memunggungi, tetapi lelaki itu sudah menduga akan ada hari yang indah. Suami dari Indri itu membenahi penampilannya meski sederhana. Meski hanya kaus oblong dan celana selutut, ia dengan percaya diri menghampiri. Senyumnya tak henti-hentinya bersinar."Ra," ucapnya lalu duduk di sebelah wanita itu. Berjarak hanya beberapa jengkal saja."Hai, Mas Rasya? Aku lagi bosan aja, jadi main ke sini. Boleh, enggak?" Laura, anak pengusaha kaya yang kini bekerjasama dengan perusahaan tempat Rasya bekerja mengulas senyuman."Boleh, dong. Main aja, masa enggak boleh." Lelaki itu terkekeh. Ada rasa kagum melihat wanita berkelas di hadapannya.Tak lama setelah itu, Alma datang dengan nampan dua gelas berisi air
Indri segera membuka dompet milik suami yang berada di atas tempat tidur, tepatnya di sebelah jas hitam Rasya.Isinya dua lembaran merah dan satu lembaran biru. Apalah daya, Indri menurut saja. Lima puluh ribu dia ambil lalu belanja di tukang sayur yang keliling depan rumah.Indri hanya menggunakan sebagian saja dari uang tadi. Meski isi dompet Rasya tidak banyak, ia tahu, ada beberapa ATM yang jelas isinya. Indri adalah wanita yang pantang meminta lebih. Dia wanita berprinsip, hanya meminta haknya sekadar untuk makan.Ia tidak sekaligus memasak semua bahan yang tadi dibeli. Hanya cukup untuk sarapan."Masak apa, Ndri?" tanya Alma seraya mendekati. "Bikin nasi goreng telur, Ma. Mama kalau mau, Indri siapin." Indri menoleh. Ia membawa satu wadah berisi nasi goreng yang dicampur telur serta timur dan tomat di piring lain."Enggak, ah. Mama tidak biasa pagi-pagi makan karbo." Alma dengan segera melengos dan pergi.Indri yang mendengar langkah kaki dari arah kamarnya segera mempercepat g
Wanita"Kadang diuji dengan sehebat-hebatnya ujian, fisiknya lemah tapi batinnya kuat.Itulah anugrah yang diberikan Allah kepada makhluk yang bernama wanita.""Kita bukan tidak tahu, menaruh harapan kepada manusia adalah awal dari patah hati. Kita bukan tidak mengerti bahwa mempercayai seutuhnya kepada manusia adalah awal kekecewaan. Hanya saja, kita itu terkadang memang suka sekali jatuh di tempat yang sama."Indri tak menoleh. Ia hanya menerima sapu tangan tadi lalu menggunakannya. Seseorang di belakang mereka hanya mengangkat dua alisnya saja melihat Indri tak acuh. Pintu lift terbuka. Indri bersama Ibunya pun meninggalkan tempat itu. Tak peduli dengan suara klakson yang memekik telinga serta teriakan keras saat mereka menyeberang tanpa melihat kanan kiri. "Ndri, jangan buru-buru! Awas ada mobil." Rumi tak bisa menghentikan langkah putrinya. Indri menghentikan taksi lalu mengajak Ibu dan putra kecilnya pulang..Semua pakaian sudah tertata. Keputusannya sudah bulat untuk berpis
"Mas, berikan aku kebebasan. Asal kamu tahu, jangan kira kamu tidak berdosa dalam hal ini. Semua yang kulakukan itu bersumber darimu. Kau berbuat baik padaku, aku akan membalasnya lebih baik lagi. Tapi, ternyata sebaliknya, kau tidak peduli denganku dan Angga."Kini Angga kecil pun menangis. Ingin ikut dengan Indri. Mereka masih diam mendengar ucapan Indri barusan. Sepoi angin menambah nelangsanya hati Indri."Ndri, harusnya kamu juga tahu diri. Tahu terima kasih. Rasya itu setiap hari pulang pergi cari uang buatmu." Tiba-tiba Alma datang dan langsung menjejali mereka semua dengan argumentasinya."Cukup, Ma! Selama ini yang pegang gaji Mas Rasya, kan, Mama. Aku hanya dikasih kalau minta," balas Indri. Ia tak terima. Semua orang harus tahu selama ini yang telah terjadi antara dia dan sang mertua."Ya, karena aku Ibunya. Aku berhak sepenuhnya atas putraku. Sampai kapanpun, dia itu milikku. Kamu harusnya nyadar, Ndri. Sudah baik dinafkahi."Indri dan Rumi mengurut dada karena ucapan Alma