"Ndri, kamu tidur aja setelah ini." Rasya meletakkan putranya di atas tempat tidur. Ia membantu Indri duduk karena sejak tadi istrinya itu susah berjalan.
"Iya, Mas. Makasih. Tapi, aku belum bisa masakin kamu." Indri merebahkan diri. "Belum bisa ngerjain apa-apa."
"Tidak perlu kamu mikir terlalu jauh begitu. Hari ini kamu ngurusin Angga saja. Biar aku beli makan di luar." Rasya membalik badannya dan melangkah keluar kamar.
Batin Indri sedikit lega. Mendapat aliran kesegaran setelah kemarin bertengkar dengan sang suami. Ia berharap, Rasya sudah berubah.
Di luar sana, samar-samar wanita berbadan dua itu mendengar suara. Ia bangkit dari ranjang lalu membuka pintu perlahan.
"Ngapain kamu bawa dia lagi? Biarkan saja dia tinggal di rumah Ibunya. Kita tidak perlu repot-repot mengurusi dia. Tidak perlu capek-capek."
Indri memegangi dadanya yang sesak paska mendengar ucapan Alma barusan. Di ruang tamu mereka duduk menghadap ke luar. Alma dan putranya nampak berdiskusi.
"Indri itu istriku, Ma. Dia masih tanggung jawabku. Tidak usahlah, Mama, menyudutkan dia terus."
Ada senyuman yang kini merekah di bibir Indri. Ia yakin, Rasya sudah berubah. Tak pernah seumur-umur lelaki itu membelanya. Baru kali ini ia menjawab ucapan Mamanya begitu.
Indri lebih kuat. Hanya dengan satu kalimat belaan dari Rasya, ia tidak jadi larut dalam kesedihan. Dia yakin, suaminya telah berubah. Kelak, di hadapan Ibu dan Mas-nya, Indri bisa tersenyum puas.
"Sya, Mama, lagi butuh. Kemarin baju, Mama, yang beli dari uang tabungan udah bolong, kena strikaan." Alma berucap ketika Rasya masih asik dengan gawai di tangannya. Sama sekali tidak merespon. "Kamu tahu, siapa yang merusak baju, Mama?"
"Siapa?" tanya Rasya santai. Masih seru memencet tombol kanan kiri, lalu temb*k. Dir Dur D*r.
"Istrimu! Dia sengaja membiarkan baju, Mama, gosong. Sedangkan dia asik di kamar mandi." Dengan bibir maju dua senti, Alma bercerita layaknya bocah kecil yang baru saja kehilangan apa yang disukai.
Rasya tiba-tiba terdiam. Bahkan permainan tengah berjalan, ia matikan segera. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan. Bukan hanya itu, Alma juga menambah cerita yang baru ia karang.
"Ma, sudahlah! Aku pusing mendengar pertengkaran kalian. Apa kaum wanita itu kalau campur satu rumah memang begitu? Selalu saja saling tuding?"
Deru napas disertai degup tak beraturan dari jantung, Rasya meninggalkan Alma seorang diri. Indri segera kembali masuk ke kamar lagi dan menutup pintu rapat-rapat.
Wanita muda itu kembali menatap sang buah hati. Tangannya terayun menyentuh pipi gembul yang kini terlelap setelah meminum obat dari dokter. Bocah kecil dengan rambut ikal itu begitu suci untuk disalahkan. Berulangkali Alma mengumpat mengenai jarak kehamilan yang terlalu dekat.
Rasya masuk ke kamar. Masih dengan tangan fokus pada benda pipihnya. Lalu, menghentakkan bobot di sofa dalam. Ia tak melirik sekilas pun wanita yang kini mengharapkan kasih sayangnya.
"Mas, katanya mau beli makan? Ini sudah siang, kebetulan aku tadi belum sempat makan di rumah Ibu," ucap Indri seraya mendekati suaminya. Lalu, duduk dan tangannya mencoba memberikan sentuhan lembut pada pundak lelaki itu.
Rasya masih diam. Dia asik dengan per*arungan di medan laga dalam kotak layar di tangannya. Indri sudah menahan diri untuk tidak mengikuti isi hatinya yang seakan member*ntak. Akan tetapi, nyatanya Rasya masih sama saja.
"Mas," ucap Indri lagi. Bermaksud menarik perhatian kecil Rasya.
"Hem." Rasya menjawab sekenanya.
"Aku mau makan. Sudah jam dua siang. Dari pagi kebetulan ...."
"Duuh! Bikin kalah aja kamu!" Rasya memukul udara. Ia kesal karena kalah tarung. Selang sedetik kemudian, ia membanting ponselnya di sofa.
"Mas, kebutuhanku itu tanggung jawabmu. Apalagi makan. Kamu itu mampu dari segi manapun."
Mendengar ucapan Indri barusan, Rasya tak peduli. Ia malah merebahkan diri di atas ranjang dengan tangan menjadi bantalan.
Indri kembali kecewa. Diam-diam dia menghapus game online yang sudah lama mendiami ponsel sang suami. Ia tak tahan lagi, nafkah lahir batin yang sengaja terbengkalai membuatnya melakukan hal nekat.
****
Indri akhirnya membeli makan sendiri di warteg dekat rumahnya. Ia membeli nasi dengan lauk sederhana. Uang yang diambil dari dompet suaminya, sebab sepeserpun dia tak punya.
Sampai di rumah, dia langsung disuguhi dua mata yang melot*t hampir copot. Bibir merona yang komat-kamit milik mertuanya.
"Dari mana kamu?" Alma melirik benda yang terbungkus plastik putih.
"Dari warteg, Ma." Indri hendak melanjutkan langkah tetapi Alma kembali mengintrogasi.
"Beli apa? Kenapa cuman satu bungkus aja? Mana buat Rasya? Masa kamu tega makan sendiri sementara suamimu ...."
Indri memejamkan matanya sekilas. Ia tak menoleh pada mertuanya karena tak tahan kedua matanya memanas.
"Ada apa, sih, ribut-ribut lagi?" Rasya baru saja keluar kamar. Masih terlihat jelas jejak bangun tidur di wajahnya.
"Tuh, si Indri. Beli makan cuman satu bungkus. Buat Mama, mana? Buatmu juga enggak ada."
Rasya menghampiri dua wanita itu. "Ndri, kamu beli sendiri?"
Indri mengangguk. Lidahnya kelu tak bisa menjawab. Seakan kehilangan seluruh tenaganya. Seluruh kekuatannya, sudah lenyap. Ia masih menghormati Alma sebagai orangtua, dan dimaklumi.
Indri sadar, Alma satu-satunya orangtua suaminya yang masih tersisa. Apalagi, Rasya lah yang selama ini menjadi tumpuan harapannya.
"Kenapa beli cuman satu, Ndri? Mama kayaknya juga belum makan. Eh, kamu dapat duit dari mana?" tanya Rasya.
Indri mulai bingung. Kenapa tiba-tiba semua apa yang ada dalam isi kepalanya hilang padahal sebelumnya sudah ia siapkan semua jawaban jika nanti Raysa bertanya.
"Jawab, Ndri!" tekan Rasya.
"Ak ... aku ngambil dari dompet kamu."
Rasya terkejut. "Kenapa tidak bilang?" Lelaki itu mulai kesal karena sikap berani Indri. "Namanya kamu lancang, Ndri."
"Maaf, Mas. Kamu tidak memberiku uang belanja. Bahkan biaya perawatan Angga saja, Mas Ali yang harus turun tangan. Kamu tidak mau tahu." Napas Indri naik turun. Bibirnya bergetar menahan diri.
"Siapa yang menyuruhmu membawa Angga ke rumah sakit? Lagipula kamu tidak mendapat izinku."
"Cukup, Mas!" Indri langsung kembali ke kamar.
Alma menyeringai taj*m. Menarik satu sudut bibirnya lalu berkata, "Kamu harus tegas, Sya. Dia mulai berani."
Rasya mengikuti Indri ke kamar. Setelah sampai di sana, Indri terlihat menangis sambil mendekap tubuh mungil putranya.
"Kalau mau apa-apa itu harus izin suami. Jika aku tidak ridho, kamu bakal dil*knat malaikat sampai kembali. Sampai aku ridho! Ingat itu, Ndri. Kukira kamu wanita shalihah makanya aku dulu menikahimu. Tapi, ternyata sifat aslimu begini."
Indri tidak menjawab. Ia hanya sibuk mengusap wajahnya. Rasa lapar pun berubah mual. Ia langsung bergegas ke kamar mandi. Mengeluarkan semua isi dalam perutnya.
"Sya!" teriak Alma dari luar.
Rasya yang masih tergugu duduk di tepi ranjang segera keluar menghampiri Mamanya.
"Ada apa, Ma? tanya Rasya.
"Tuh, ada yang nyariin kamu." Alma tersenyum semringah.
"Siapa, sih, Ma?" Rasya mulai menengok. Di ruang tamu seorang wanita terlihat menopang kakinya. Gaun pendek berwarna marun dipadu dengan high heels lima senti menghiasi kaki mulus di sana. Wajahnya putih mulus, terlihat sekali perawatan teratur.Rasya tersenyum ke arahnya. Meski sang wanita memunggungi, tetapi lelaki itu sudah menduga akan ada hari yang indah. Suami dari Indri itu membenahi penampilannya meski sederhana. Meski hanya kaus oblong dan celana selutut, ia dengan percaya diri menghampiri. Senyumnya tak henti-hentinya bersinar."Ra," ucapnya lalu duduk di sebelah wanita itu. Berjarak hanya beberapa jengkal saja."Hai, Mas Rasya? Aku lagi bosan aja, jadi main ke sini. Boleh, enggak?" Laura, anak pengusaha kaya yang kini bekerjasama dengan perusahaan tempat Rasya bekerja mengulas senyuman."Boleh, dong. Main aja, masa enggak boleh." Lelaki itu terkekeh. Ada rasa kagum melihat wanita berkelas di hadapannya.Tak lama setelah itu, Alma datang dengan nampan dua gelas berisi air
Indri segera membuka dompet milik suami yang berada di atas tempat tidur, tepatnya di sebelah jas hitam Rasya.Isinya dua lembaran merah dan satu lembaran biru. Apalah daya, Indri menurut saja. Lima puluh ribu dia ambil lalu belanja di tukang sayur yang keliling depan rumah.Indri hanya menggunakan sebagian saja dari uang tadi. Meski isi dompet Rasya tidak banyak, ia tahu, ada beberapa ATM yang jelas isinya. Indri adalah wanita yang pantang meminta lebih. Dia wanita berprinsip, hanya meminta haknya sekadar untuk makan.Ia tidak sekaligus memasak semua bahan yang tadi dibeli. Hanya cukup untuk sarapan."Masak apa, Ndri?" tanya Alma seraya mendekati. "Bikin nasi goreng telur, Ma. Mama kalau mau, Indri siapin." Indri menoleh. Ia membawa satu wadah berisi nasi goreng yang dicampur telur serta timur dan tomat di piring lain."Enggak, ah. Mama tidak biasa pagi-pagi makan karbo." Alma dengan segera melengos dan pergi.Indri yang mendengar langkah kaki dari arah kamarnya segera mempercepat g
Wanita"Kadang diuji dengan sehebat-hebatnya ujian, fisiknya lemah tapi batinnya kuat.Itulah anugrah yang diberikan Allah kepada makhluk yang bernama wanita.""Kita bukan tidak tahu, menaruh harapan kepada manusia adalah awal dari patah hati. Kita bukan tidak mengerti bahwa mempercayai seutuhnya kepada manusia adalah awal kekecewaan. Hanya saja, kita itu terkadang memang suka sekali jatuh di tempat yang sama."Indri tak menoleh. Ia hanya menerima sapu tangan tadi lalu menggunakannya. Seseorang di belakang mereka hanya mengangkat dua alisnya saja melihat Indri tak acuh. Pintu lift terbuka. Indri bersama Ibunya pun meninggalkan tempat itu. Tak peduli dengan suara klakson yang memekik telinga serta teriakan keras saat mereka menyeberang tanpa melihat kanan kiri. "Ndri, jangan buru-buru! Awas ada mobil." Rumi tak bisa menghentikan langkah putrinya. Indri menghentikan taksi lalu mengajak Ibu dan putra kecilnya pulang..Semua pakaian sudah tertata. Keputusannya sudah bulat untuk berpis
"Mas, berikan aku kebebasan. Asal kamu tahu, jangan kira kamu tidak berdosa dalam hal ini. Semua yang kulakukan itu bersumber darimu. Kau berbuat baik padaku, aku akan membalasnya lebih baik lagi. Tapi, ternyata sebaliknya, kau tidak peduli denganku dan Angga."Kini Angga kecil pun menangis. Ingin ikut dengan Indri. Mereka masih diam mendengar ucapan Indri barusan. Sepoi angin menambah nelangsanya hati Indri."Ndri, harusnya kamu juga tahu diri. Tahu terima kasih. Rasya itu setiap hari pulang pergi cari uang buatmu." Tiba-tiba Alma datang dan langsung menjejali mereka semua dengan argumentasinya."Cukup, Ma! Selama ini yang pegang gaji Mas Rasya, kan, Mama. Aku hanya dikasih kalau minta," balas Indri. Ia tak terima. Semua orang harus tahu selama ini yang telah terjadi antara dia dan sang mertua."Ya, karena aku Ibunya. Aku berhak sepenuhnya atas putraku. Sampai kapanpun, dia itu milikku. Kamu harusnya nyadar, Ndri. Sudah baik dinafkahi."Indri dan Rumi mengurut dada karena ucapan Alma
PERGINYA ISTRIKU 8Air dari langit begitu deras menghantam bumi. Rumi duduk di dekat jendela kaca dalam ruangan Indri. Tangannya terus bergerak memutar butiran tasbih. Selama dua hari, Indri belum juga menunjukkan tanda-tanda kondisi membaik. Selang infus dengan cup oksigen masih menempel di tubuhnya. Wanita muda itu sangat memprihatinkan."Maaf, Bu. Mbak Indri sangat lemah saat ini. Bahkan denyut nadinya ... kita sama-sama berdo'a saja. Hanya dengan kuasa Allah lah yang mampu mengembalikan kebahagiaan." Air mata Rumi tumpah lagi. Ia mengingat pesan-pesan dokter tadi. Wanita tua itu hanya tidur beberapa jam saja selama Indri tak sadarkan diri. Di manapun berada, seorang ibu pasti akan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Paling banyak berkorban karena sampai kapanpun seorang anak adalah anak, meskipun sudah menikah. Mereka akan tetap dianggap anak kecil oleh makhluk bernama ibu.."Mas, kapan kamu mau datang ke rumah bertemu Papa?" tanya Laura. Dia duduk di pangkuan lelaki berkeme
Rasya tertunduk malu. Bibirnya mengatup rapat, ia sama sekali tak berani mendongak.Ali yang sejak tadi juga diam kini mulai berdiri. "Masih baik kau diberi kesempatan, lain kali tidak akan ada ampunan lagi." Dia langsung keluar setelah menunduk pada bos barunya.Rasya mengepalkan tangannya. Ia menahan rasa kesalnya pada mantan kakak ipar yang jabatannya jauh di atasnya itu.Malam itu, cuaca sangat mendukung bagi Rasya. Bintang bertaburan di langit gelap. Ia sudah siap dengan kemeja putih dan jas hitam termahal yang pernah ia beli, tak lupa dasi kupu-kupu agar tampilan semakin paripurna.Ia mengemudikan mobilnya, mengarah pada sebuah restoran Jepang bernuansa khas negeri bunga sakura itu. Ia juga sengaja datang lebih awal agar kedua orang tua Laura terkesan. Meski kini hatinya agak kurang baik akibat hal pelik di kantor tadi pagi.Binar bola mata Rasya terlihat jelas. Bibirnya merekah melihat bidadari jelita datang bersama lelaki tua dan satu wanita paruh baya. Mereka memang terlihat
PERGINYA ISTRIKU 9Rasya mengantar calon istrinya sampai di depan rumah. Namun, ia tidak ikut turun. Mereka saling melepas kepergian, tak lupa cipika-cipiki yang menjadi rutinitas.Lelaki dengan wajah berseri-seri itu melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Jalanan yang kian sepi membuat dia menekan pedal gas cukup kencang. Ditambah dengan alunan musik yang memenuhi satu mobil, Rasya terbuai.Sayang, ia tak begitu memperhatikan jalanan. Sebuah truk pengangkut barang-barang pengiriman membelok arah dan Rasya baru menyadarinya. Alhasil, ia telat menginjak rem.Mobil pun menubruk bagian ekor truk hingga terguling. Tak lama setelah itu, beberapa orang berkerumun. Membantu mengeluarkan Rasya yang setengah kesadarannya sudah hilang.Riuh suara sirine dan klakson mobil. Rasya mendengar suara wanita yang tak asing. Namun, ia seperti kenal dengan suara itu. Suara khas yang biasanya selalu membangunkan kala itu."Pak, tolong! Saya kenal dengan lelaki ini."Bibir yang hendak ia angkat untuk seka
"Oh, oke. Aku akan ajak kamu jalan-jalan." Laura segera membantu lelaki itu berpindah.Mereka mulai menyusuri lorong dan berakhir di taman rumah sakit. Rasya menghirup udara segar pagi itu. Ia rindu dengan suasana di luar. Namun, saat tengah menikmati pemandangan hijau di sana, kedua matanya tak sengaja melihat seorang wanita yang mirip sekali dengan mantan istrinya. "Ra, tolong bawa aku ke sana!" pinta Rasya sambil menunjuk ke suatu arah. "Ke mana? Duh, enggak usah jauh-jauh, Mas! Kamu ....""Udah, buruan! Nanti keburu hilang," sahut Rasya cepat.Laura masih tak mengerti. Namun, ia tetap menuruti kemauan Rasya. Mereka berjalan menuju ke arah luar tetapi segera dihadang oleh petugas."Maaf, mau ke mana?" tanya seorang petugas, lengkap dengan masker dan sebuah alat komunikasi di tangan kirinya. Laura diam.Rasya bingung. Ia tak punya alasan untuk menjawab. Ia menoleh pada Laura yang juga menatapnya."Cuman mau cari udara segar di depan sana, Pak," bohong Rasya. Wajahnya terlihat ge
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k