Indri segera membuka dompet milik suami yang berada di atas tempat tidur, tepatnya di sebelah jas hitam Rasya.
Isinya dua lembaran merah dan satu lembaran biru. Apalah daya, Indri menurut saja. Lima puluh ribu dia ambil lalu belanja di tukang sayur yang keliling depan rumah.Indri hanya menggunakan sebagian saja dari uang tadi. Meski isi dompet Rasya tidak banyak, ia tahu, ada beberapa ATM yang jelas isinya. Indri adalah wanita yang pantang meminta lebih. Dia wanita berprinsip, hanya meminta haknya sekadar untuk makan.Ia tidak sekaligus memasak semua bahan yang tadi dibeli. Hanya cukup untuk sarapan."Masak apa, Ndri?" tanya Alma seraya mendekati."Bikin nasi goreng telur, Ma. Mama kalau mau, Indri siapin." Indri menoleh. Ia membawa satu wadah berisi nasi goreng yang dicampur telur serta timur dan tomat di piring lain."Enggak, ah. Mama tidak biasa pagi-pagi makan karbo." Alma dengan segera melengos dan pergi.Indri yang mendengar langkah kaki dari arah kamarnya segera mempercepat gerakan tangannya yang kini sedang menyiapkan bekal untuk Rasya.Setelah ditengok dari pintu dapur, ternyata Rasya sudah sampai di luar. Indri segera berlari mengejar sang suami."Mas, ini bekalnya!" Indri sampai di dekat pintu mobil yang sudah tertutup. Ia berharap, Rasya akan menerima sarapan buatan istrinya yang penuh ikhlas itu."Enggak usah dibawain. Buat kamu aja." Mobil mundur dan pergi begitu saja. Tidak ada acara cium tangan apalagi kening seperti kebanyakan suami istri lainnya.Ada rasa kecewa, padahal itu adalah hal yang sangat dirindukan Indri sejak memiliki Angga kecil. Rasya sudah berubah. Tidak sama seperti dulu, yang selalu manis ketika mereka masih LDR sebelum menikah.Kini dia lain. Seperti ada jarak dan orang ketiga. Namun, Indri hanya diam. Masih belum menemukan bukti yang kuat jika suaminya itu telah mendua.Wanita dengan daster robek di ketiak itu kembali ke kamar. Ia mendesah pasrah. Duduk di tepi ranjang dan meraih Angga yang kini merangkak padanya."Ndri, ada tamu, tuh, di luar!"Indri terkejut dengan suara yang telah berada di ambang pintu."Siapa, Ma?""Lihat aja sendiri," balas Alma lalu pergi lagi. Penampilannya sudah rapi, dan memang sudah menjadi rutinitasnya setiap hari Rabu memanjakan diri ke salon.Indri menuntun Angga kecil dan melihat siapa yang datang."Bu ...."Rumi datang sendirian. Ia segera memeluk putrinya. Mereka tak tahu ada yang tengah mengumpat di balik dinding."Ibu, sendirian?" tanya Indri sambil mengajak Rumi duduk di sofa."Tadi Ali yang nganterin. Ibu khawatir sama kamu, makanya ke sini. Gimana kabarmu, Nak?" Wajah keriput itu terlihat gusar."Indri baik, Bu. Ibu ... kenapa?" Indri balik tanya. Bukan wanita namanya jika ia tak dapat membaca mimik wajah seseorang."Tidak apa-apa. Ibu, cuman ...." Rumi ragu-ragu ingin mengatakan. Ia melirik kanan kiri, takut ada yang mendengar."Apa kita bicara di luar aja, Bu?" tawar Indri. Ia tahu maksud lirikan mata Ibunya.Rumi tersenyum seraya mengangguk.Mereka kini sudah berada di dalam kendaraan beroda empat. Tidak ada percakapan selain rasa khawatir yang baru saja diucapkan Rumi saat taksi baru saja berjalan membawa mereka."Kamu boleh tidak percaya, Nak. Ibu sama Mas-mu, berharap kamu kuat jika semua terbukti nanti."Indri semakin tak tenang ketika Rumi mengatakan hal itu. "Bu, jangan begitu. Indri harus tahu yang sebenarnya dulu.""Iya, Ibu tahu. Makanya Ibu ajak kamu ke sana."Mereka sampai di tempat tujuan. Indri menatap ke atas pada bangunan besar itu lalu lanjut melangkah bersama Ibu dan putranya. Hatinya tak tenang ketika baru saja masuk ke dalam lift.Sampai di depan ruangan suaminya tanpa basa-basi atau ketuk pintu, Indri membuka pintu dengan kasar.Kotak bekal makan siang yang ia bawa terjatuh seketika. Wanita dengan gamis panjang dan jilbab segitiga menutup dada itu terperangah melihat seorang wanita duduk di atas meja kerja suaminya.Ada menu istimewa di depan Rasya. Bukan hanya itu, Indri semakin perih melihat bekas lipstik di pipi putih Rasya."Ndri!" pekik Rasya. Ia tak kalah terkejut. Dengan segera, wanita bernama Laura itu turun dari atas meja. Lalu, merapikan rambutnya yang sempat acak-acakan."Sedang apa kalian?" Air mata Indri pecah.Rasya menghela napas kasar. Dia tak mampu menjawab. Indri tak kuat berdiri lama-lama, seperti ingin terjatuh.Ia segera menoleh pada Rumi lalu mengangguk. Indri menggandeng Ibunya, mengajak kembali.Langkahnya cepat, tak peduli saat Ali yang memang sekantor dengan Rasya memanggilnya."Bu ... Ndri ...!"Indri dan Ibunya memasuki lift lagi. Ada seorang lelaki yang melirik mereka. Terutama pada Indri yang tengah terisak hebat dalam pundak Rumi.Seseorang tersebut mengulurkan sapu tangan putih miliknya. Indri pun tak sadar telah menerimanya. Ia mengusap wajahnya dengan rasa perih bagai dialiri cairan cuka.Wanita"Kadang diuji dengan sehebat-hebatnya ujian, fisiknya lemah tapi batinnya kuat.Itulah anugrah yang diberikan Allah kepada makhluk yang bernama wanita.""Kita bukan tidak tahu, menaruh harapan kepada manusia adalah awal dari patah hati. Kita bukan tidak mengerti bahwa mempercayai seutuhnya kepada manusia adalah awal kekecewaan. Hanya saja, kita itu terkadang memang suka sekali jatuh di tempat yang sama."Indri tak menoleh. Ia hanya menerima sapu tangan tadi lalu menggunakannya. Seseorang di belakang mereka hanya mengangkat dua alisnya saja melihat Indri tak acuh. Pintu lift terbuka. Indri bersama Ibunya pun meninggalkan tempat itu. Tak peduli dengan suara klakson yang memekik telinga serta teriakan keras saat mereka menyeberang tanpa melihat kanan kiri. "Ndri, jangan buru-buru! Awas ada mobil." Rumi tak bisa menghentikan langkah putrinya. Indri menghentikan taksi lalu mengajak Ibu dan putra kecilnya pulang..Semua pakaian sudah tertata. Keputusannya sudah bulat untuk berpis
"Mas, berikan aku kebebasan. Asal kamu tahu, jangan kira kamu tidak berdosa dalam hal ini. Semua yang kulakukan itu bersumber darimu. Kau berbuat baik padaku, aku akan membalasnya lebih baik lagi. Tapi, ternyata sebaliknya, kau tidak peduli denganku dan Angga."Kini Angga kecil pun menangis. Ingin ikut dengan Indri. Mereka masih diam mendengar ucapan Indri barusan. Sepoi angin menambah nelangsanya hati Indri."Ndri, harusnya kamu juga tahu diri. Tahu terima kasih. Rasya itu setiap hari pulang pergi cari uang buatmu." Tiba-tiba Alma datang dan langsung menjejali mereka semua dengan argumentasinya."Cukup, Ma! Selama ini yang pegang gaji Mas Rasya, kan, Mama. Aku hanya dikasih kalau minta," balas Indri. Ia tak terima. Semua orang harus tahu selama ini yang telah terjadi antara dia dan sang mertua."Ya, karena aku Ibunya. Aku berhak sepenuhnya atas putraku. Sampai kapanpun, dia itu milikku. Kamu harusnya nyadar, Ndri. Sudah baik dinafkahi."Indri dan Rumi mengurut dada karena ucapan Alma
PERGINYA ISTRIKU 8Air dari langit begitu deras menghantam bumi. Rumi duduk di dekat jendela kaca dalam ruangan Indri. Tangannya terus bergerak memutar butiran tasbih. Selama dua hari, Indri belum juga menunjukkan tanda-tanda kondisi membaik. Selang infus dengan cup oksigen masih menempel di tubuhnya. Wanita muda itu sangat memprihatinkan."Maaf, Bu. Mbak Indri sangat lemah saat ini. Bahkan denyut nadinya ... kita sama-sama berdo'a saja. Hanya dengan kuasa Allah lah yang mampu mengembalikan kebahagiaan." Air mata Rumi tumpah lagi. Ia mengingat pesan-pesan dokter tadi. Wanita tua itu hanya tidur beberapa jam saja selama Indri tak sadarkan diri. Di manapun berada, seorang ibu pasti akan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Paling banyak berkorban karena sampai kapanpun seorang anak adalah anak, meskipun sudah menikah. Mereka akan tetap dianggap anak kecil oleh makhluk bernama ibu.."Mas, kapan kamu mau datang ke rumah bertemu Papa?" tanya Laura. Dia duduk di pangkuan lelaki berkeme
Rasya tertunduk malu. Bibirnya mengatup rapat, ia sama sekali tak berani mendongak.Ali yang sejak tadi juga diam kini mulai berdiri. "Masih baik kau diberi kesempatan, lain kali tidak akan ada ampunan lagi." Dia langsung keluar setelah menunduk pada bos barunya.Rasya mengepalkan tangannya. Ia menahan rasa kesalnya pada mantan kakak ipar yang jabatannya jauh di atasnya itu.Malam itu, cuaca sangat mendukung bagi Rasya. Bintang bertaburan di langit gelap. Ia sudah siap dengan kemeja putih dan jas hitam termahal yang pernah ia beli, tak lupa dasi kupu-kupu agar tampilan semakin paripurna.Ia mengemudikan mobilnya, mengarah pada sebuah restoran Jepang bernuansa khas negeri bunga sakura itu. Ia juga sengaja datang lebih awal agar kedua orang tua Laura terkesan. Meski kini hatinya agak kurang baik akibat hal pelik di kantor tadi pagi.Binar bola mata Rasya terlihat jelas. Bibirnya merekah melihat bidadari jelita datang bersama lelaki tua dan satu wanita paruh baya. Mereka memang terlihat
PERGINYA ISTRIKU 9Rasya mengantar calon istrinya sampai di depan rumah. Namun, ia tidak ikut turun. Mereka saling melepas kepergian, tak lupa cipika-cipiki yang menjadi rutinitas.Lelaki dengan wajah berseri-seri itu melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Jalanan yang kian sepi membuat dia menekan pedal gas cukup kencang. Ditambah dengan alunan musik yang memenuhi satu mobil, Rasya terbuai.Sayang, ia tak begitu memperhatikan jalanan. Sebuah truk pengangkut barang-barang pengiriman membelok arah dan Rasya baru menyadarinya. Alhasil, ia telat menginjak rem.Mobil pun menubruk bagian ekor truk hingga terguling. Tak lama setelah itu, beberapa orang berkerumun. Membantu mengeluarkan Rasya yang setengah kesadarannya sudah hilang.Riuh suara sirine dan klakson mobil. Rasya mendengar suara wanita yang tak asing. Namun, ia seperti kenal dengan suara itu. Suara khas yang biasanya selalu membangunkan kala itu."Pak, tolong! Saya kenal dengan lelaki ini."Bibir yang hendak ia angkat untuk seka
"Oh, oke. Aku akan ajak kamu jalan-jalan." Laura segera membantu lelaki itu berpindah.Mereka mulai menyusuri lorong dan berakhir di taman rumah sakit. Rasya menghirup udara segar pagi itu. Ia rindu dengan suasana di luar. Namun, saat tengah menikmati pemandangan hijau di sana, kedua matanya tak sengaja melihat seorang wanita yang mirip sekali dengan mantan istrinya. "Ra, tolong bawa aku ke sana!" pinta Rasya sambil menunjuk ke suatu arah. "Ke mana? Duh, enggak usah jauh-jauh, Mas! Kamu ....""Udah, buruan! Nanti keburu hilang," sahut Rasya cepat.Laura masih tak mengerti. Namun, ia tetap menuruti kemauan Rasya. Mereka berjalan menuju ke arah luar tetapi segera dihadang oleh petugas."Maaf, mau ke mana?" tanya seorang petugas, lengkap dengan masker dan sebuah alat komunikasi di tangan kirinya. Laura diam.Rasya bingung. Ia tak punya alasan untuk menjawab. Ia menoleh pada Laura yang juga menatapnya."Cuman mau cari udara segar di depan sana, Pak," bohong Rasya. Wajahnya terlihat ge
PERGINYA ISTRIKU 10"Ada apa, Mas, pulang ke Indo?" tanya Rasya ketus. Ia menyipitkan matanya lalu berpaling. Rasya sempat melirik penampilan Fabian dari atas sampai bawah. Sudah sangat lain, lebih elegan dan gagah."Aku memang sengaja kembali untuk melihat keadaan kalian. Sekalian cari istri orang Indo aja." Fabian Hanggara Putra terkekeh. Alma ikut tertawa tetapi tidak bersuara. "Bagus. Nanti biar urus Mama kalau sudah tua.""Bukannya sekarang pun sudah tua?" celetuk Rasya. Seketika membuat ruangan itu terasa hening."Bian, kata dokter, Rasya sudah boleh pulang hari ini. Kamu bisa, kan, ngantar? Biar tidak usah pakai taksi." Alma berkata sambil mengemasi barang-barang milik Rasya selama dirawat."Aku baru saja datang, Ma. Aku belum ambil mobil. Mana mungkin bisa mengantarkan?" Fabian beralih ke sofa. "Aku juga lelah, Ma, kalau harus nyetir sendiri.""Ya, sudah." Alma terlihat kecewa. "Kamu bantuin dorong Rasya, biar Mama yang bawa barang." Wanita tua itu mulai menenteng tas sedang
Mereka tak tahu, kalau dari balik dinding seorang lelaki dengan kruk penyangga kaki tengah menatap sinis. Ia tak suka melihat kedekatan antara ibu dan anak di sana."Kenapa susah? Memangnya cewek di sana tidak ada yang mau dinikahi?" Alma mulai berargumentasi. "Sayang, banget, ya? Padahal, Mama, juga mau punya mantu bule." "Orang Indo aja, Ma. Gampang, penurut juga lemah lembut apalagi orang Jawa." Fabian tertawa lalu melipat koran tadi dan mulai menyeduh kopinya. "Oh, kamu mau cari istri orang Jawa? Boleh-boleh, tapi jangan yang kampungan. Kayak mantan istrinya Rasya, tuh," ujar Alma. Ia memajukan pucuk bibirnya mengarah ke samping. Bibirnya yang merona membuat Fabian sedikit geli. Pasalnya, usia Alma sudah tak lagi muda tetapi gayanya melebihi sosialita."Mantan istri? Memangnya, Rasya sudah berpisah dengan istrinya?" Putra Alma itu terkejut. Ia hampir saja tersedak.Rasya yang sejak tadi mengepalkan tangannya kini ia pukulkan pada tembok. Gigi-giginya beradu hingga menimbulkan su