Mereka tak tahu, kalau dari balik dinding seorang lelaki dengan kruk penyangga kaki tengah menatap sinis. Ia tak suka melihat kedekatan antara ibu dan anak di sana."Kenapa susah? Memangnya cewek di sana tidak ada yang mau dinikahi?" Alma mulai berargumentasi. "Sayang, banget, ya? Padahal, Mama, juga mau punya mantu bule." "Orang Indo aja, Ma. Gampang, penurut juga lemah lembut apalagi orang Jawa." Fabian tertawa lalu melipat koran tadi dan mulai menyeduh kopinya. "Oh, kamu mau cari istri orang Jawa? Boleh-boleh, tapi jangan yang kampungan. Kayak mantan istrinya Rasya, tuh," ujar Alma. Ia memajukan pucuk bibirnya mengarah ke samping. Bibirnya yang merona membuat Fabian sedikit geli. Pasalnya, usia Alma sudah tak lagi muda tetapi gayanya melebihi sosialita."Mantan istri? Memangnya, Rasya sudah berpisah dengan istrinya?" Putra Alma itu terkejut. Ia hampir saja tersedak.Rasya yang sejak tadi mengepalkan tangannya kini ia pukulkan pada tembok. Gigi-giginya beradu hingga menimbulkan su
Pagi yang seharusnya menjadi awal kesegaran dirinya menghidu udara sejuk, kini berubah menntaman kepalan tangan. Seperti hancurnya hati Rasya saat ini."Kalian jahat!" teriak lelaki itu. Ia memukul kakinya yang cedera itu sambil menahan sakit. Tak lama setelah itu, dia meraih ponselnya lalu memainkan pertempuran di sana. Semua ia lampi4skan pada adegan peperangan di dalam ponselnya. Hingga tengah hari pun lelaki itu betah duduk dengan gawainya, terkadang sampai tertidur.jadi lautan amarah. Cermin hias dan lemari kayu dengan ukiran semuanya hancur akibat ha"Sya, kamu enggak makan?" teriak Alma dari luar. Wanita tua itu mengetuk pintu agak keras. Rasya yang terbangun karena teriakan Alma, membalas hal yang serupa. "Tidak usah pedulikan aku!""Sya, jangan kayak anak kecil kamu! Sudah, buka pintunya!" Entah dorongan dari mana, Rasya bangkit lalu membuka pintu kamarnya. Kalau sudah mendengar celotehan Alma, semarah apapun dia, pasti kalah juga."Nih, makan! Jangan kayak anak kecil kam
Derap sepatu terdengar beriringan. Si pemilik wajah tampan dengan dagu halus dan wajah mulus, putih berseri tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya saat ini. Fabian berjalan bersama seorang wanita muda dengan high heels yang cukup tinggi. Mereka tampak serasi. Bahkan jika tidak tahu, mereka pasti dianggap suami istri. Sayang, ada yang kurang suka dengan kedekatan mereka berdua. Direktur utama bernama Dave, sejak tadi memasang wajah kecut. Mereka memasuki ruangan meeting. Semua kursi penuh berisi jajaran pengusaha dan direksi perusahaan. Setelah semua duduk tenang, Dave mulai mengenalkan sosok penghuni baru di perusahaannya. "Pak Fabian akan bekerja di sini mulai hari ini. Beliau akan memegang bagian design produk bersama Ibu Pradita Haryawan," jelas Dave. Semua orang di dalam sana mulai bertepuk tangan. Memberikan selamat dan meeting berlangsung satu jam. Dave menerima saran dan masukan dari Fabian mengenai produk baru yang akan diluncurkan awal bulan nanti.Dave tidak meragukan
"Maaf, Bu Dita. Tuan Dave mencari anda. Katanya disuruh cepetan," ujar salah seorang karyawan yang kini terlihat gusar."Oh, iya, Mbak. Aku akan segera datang." Dita mengangguk segera. Lalu, mengajak Fabian agar buru-buru kembali.Sesampainya di kantor, ruangan Dita sudah diduduki oleh lelaki berwajah tegas itu. Tampak sekali gurat ketegangan di lehernya. Apalagi saat memegang bolpoin di tangan kanannya, wanita yang kini dipanggil Dita itu takut jika sewaktu-waktu benda itu terlempar ke arahnya."Maafkan saya, Tuan." Dita menoleh sekilas pada jam dinding. Belum telat, masih lima menit lagi waktu kembali seharusnya."Dari mana saja kamu?" tanya Dave ketus. Kedua kakinya saling menopang. "Ya, makan siang, Pak. Kan, memang jam istirahat."Detik selanjutnya, Fabian muncul dari belakang Dita. "Maaf, Pak. Saya yang mengajaknya makan di luar. Kalau ada kesalahan, salahkan saja saya."Dita menoleh terkejut. Ia tampak tak enak dengan Fabian."Mulai sekarang, kamu kalau mau keluar harus izin s
Tidak, Tuan. Hanya kelilipan saja," bohong Indri. "Dave membukakan pintu mobil untuk Indri. Mereka lantas lenyap dari pandangan mata Ali dengan cepat. Lelaki itu masih berdiri menatap penuh harap dan selalu melantunkan doa untuk sang adik. Belum usai melihat ke arah jauh, Fabian datang dengan berlari kecil. Sontak membuat Ali menoleh. Ali pun tahu, jika Fabian juga menaruh hati pada adiknya."Yah, ketinggalan, Bian. Dita sudah diantar Tuan Dave," ucap Ali pada lelaki seumurannya itu. Jika di luar jam kantor begini, Ali lebih santai memanggil Fabian dengan nama langsung. "Hah, telat aku, Mas? Bener-bener Tuan Dave jadi saingan aku." Fabian terkekeh. "Jangan khawatir, kalau janur kuning belum melengkung, kau masih bisa kejar dia. Ingat, bertarunglah dengan cara yang baik. Langitkan doa di sepertiga malam, oke?" Ali memeluk Fabian bak saudaranya sendiri."Tapi, sainganku itu berat, Mas." Mereka tertawa bersamaan.."Mas, kamu sudah siap, kan?" Laura memainkan ujung rambutnya seraya
"Tunggu!" Semua orang menoleh pada sumber suara keras di ujung pintu. Wanita tua yang menenteng banyak barang berbungkus paper bag itu mendekat dengan segera. Ia tampak kebingungan."Ada apa ini? Kenapa rumah saya ramai sekali?" tanya wanita tua tadi. Kini, dadanya bergemuruh tak tenang. Fabian kembali menghela napas berat. Sesungguhnya ia malu menjelaskan ulang apalagi ada Pak RT dan tetangga. Seperti mencoret arang berulangkali pada kening sendiri. Meskipun bukan dia yang melakukan hal tak senonoh tadi."Ma, ceritanya nanti dulu, ya?! Sini duduk!" Fabian menarik tangan Alma dengan pelan. Mengajaknya duduk berdampingan di sofa."Bisa kita mulai?" tanya penghulu lagi."Bisa, Pak," jawab Fabian. Lalu, diikuti Rasya mengangguk.Rasya mulai mendengarkan setiap ucapan penghulu dengan detil. Begitu pula dengan Alma. Ia baru sadar kalau anaknya akan menikahi Laura, gadis yang sudah direncanakan sebelumnya.Fabian memberi isyarat pada Alma dengan telunjuknya agar tidak bersuara. "Bagaiman
"Sya, kamu gimana, sih? Dia itu, kan, sudah jadi istri kamu!" Alma menggedor pintu kamar mandi agar putranya itu sadar. Rasya yang baru tersadar saat guyuran air hangat menerpa rambutnya, langsung menepuk jidatnya sendiri. "Kok, bisa aku lupa!" Lelaki itu lantas mempercepat ritual mandinya. Ia menabrak Alma yang sejak tadi menunggunya di luar. Sampai tak melihat ada manusia berbadan gendut itu, Rasya berbalik arah dan meminta maaf."Makanya, lain kali jangan main hape terus. Punya bini dianggurin, ya, dia pergi," celotehan Alma lagi. Rasya tidak segera menghubungi Laura. Ia segera menyalakan mesin mobil dan ke kantor setelah semua siap. Di jalan, dia bergumam menyalahkan mobil-mobil yang memadati jalanan. terus begitu dengan hidupnya yang kacau.Akhirnya, ia sampai juga. Rasya berjalan sambil membenahi kemejanya yang belum disetrika. Juga resleting celana yang lupa ditarik ke atas."Pagi, Pak," sapa salah seorang karyawan bagian resepsionis.Rasya tak menjawab. Ia langsung pergi ke
"Kamu enggak apa-apa?" Lelaki itu dengan sejuta kasih sayangnya mengayunkan tangan ke atas pundak sang adik."Aku masih kesal, Mas. Dia enggak berubah sama sekali. Mudah tergoda dengan yang baru." Indri menatap jauh di tengah gedung pencakar langit. Menahan luapan yang hampir saja tumpah membasahi pipi."Sudah jangan dipikirkan! Besok adalah persidangan kamu dengan dia. Kamu harus siapkan mental dan jangan terpengaruh."Sekilas, wanita muda itu menoleh pada Ali yang memastikan keadaan sekitar. Ia mengangguk setelahnya.Rutinitas kantor membuat mereka kelelahan. Saat Indri hendak memasuki mobil Ali, seorang lelaki menekan klakson dan menghentikan kendaraan besinya di dekat mereka."Indri biar pulang sama saya," kata Dave seraya membuka kaca mobil mewahnya. Biasanya ia pulang dengan sopir, tetapi kali ini dia sendiri yang mengemudi. Entah, itu hanya siasatnya agar bisa berduaan dengan Indri atau tidak, yang jelas Dave ingin mengantarnya."Gimana?" tanya Indri dengan membisik. Ia meminta