"Maaf, Bu Dita. Tuan Dave mencari anda. Katanya disuruh cepetan," ujar salah seorang karyawan yang kini terlihat gusar."Oh, iya, Mbak. Aku akan segera datang." Dita mengangguk segera. Lalu, mengajak Fabian agar buru-buru kembali.Sesampainya di kantor, ruangan Dita sudah diduduki oleh lelaki berwajah tegas itu. Tampak sekali gurat ketegangan di lehernya. Apalagi saat memegang bolpoin di tangan kanannya, wanita yang kini dipanggil Dita itu takut jika sewaktu-waktu benda itu terlempar ke arahnya."Maafkan saya, Tuan." Dita menoleh sekilas pada jam dinding. Belum telat, masih lima menit lagi waktu kembali seharusnya."Dari mana saja kamu?" tanya Dave ketus. Kedua kakinya saling menopang. "Ya, makan siang, Pak. Kan, memang jam istirahat."Detik selanjutnya, Fabian muncul dari belakang Dita. "Maaf, Pak. Saya yang mengajaknya makan di luar. Kalau ada kesalahan, salahkan saja saya."Dita menoleh terkejut. Ia tampak tak enak dengan Fabian."Mulai sekarang, kamu kalau mau keluar harus izin s
Tidak, Tuan. Hanya kelilipan saja," bohong Indri. "Dave membukakan pintu mobil untuk Indri. Mereka lantas lenyap dari pandangan mata Ali dengan cepat. Lelaki itu masih berdiri menatap penuh harap dan selalu melantunkan doa untuk sang adik. Belum usai melihat ke arah jauh, Fabian datang dengan berlari kecil. Sontak membuat Ali menoleh. Ali pun tahu, jika Fabian juga menaruh hati pada adiknya."Yah, ketinggalan, Bian. Dita sudah diantar Tuan Dave," ucap Ali pada lelaki seumurannya itu. Jika di luar jam kantor begini, Ali lebih santai memanggil Fabian dengan nama langsung. "Hah, telat aku, Mas? Bener-bener Tuan Dave jadi saingan aku." Fabian terkekeh. "Jangan khawatir, kalau janur kuning belum melengkung, kau masih bisa kejar dia. Ingat, bertarunglah dengan cara yang baik. Langitkan doa di sepertiga malam, oke?" Ali memeluk Fabian bak saudaranya sendiri."Tapi, sainganku itu berat, Mas." Mereka tertawa bersamaan.."Mas, kamu sudah siap, kan?" Laura memainkan ujung rambutnya seraya
"Tunggu!" Semua orang menoleh pada sumber suara keras di ujung pintu. Wanita tua yang menenteng banyak barang berbungkus paper bag itu mendekat dengan segera. Ia tampak kebingungan."Ada apa ini? Kenapa rumah saya ramai sekali?" tanya wanita tua tadi. Kini, dadanya bergemuruh tak tenang. Fabian kembali menghela napas berat. Sesungguhnya ia malu menjelaskan ulang apalagi ada Pak RT dan tetangga. Seperti mencoret arang berulangkali pada kening sendiri. Meskipun bukan dia yang melakukan hal tak senonoh tadi."Ma, ceritanya nanti dulu, ya?! Sini duduk!" Fabian menarik tangan Alma dengan pelan. Mengajaknya duduk berdampingan di sofa."Bisa kita mulai?" tanya penghulu lagi."Bisa, Pak," jawab Fabian. Lalu, diikuti Rasya mengangguk.Rasya mulai mendengarkan setiap ucapan penghulu dengan detil. Begitu pula dengan Alma. Ia baru sadar kalau anaknya akan menikahi Laura, gadis yang sudah direncanakan sebelumnya.Fabian memberi isyarat pada Alma dengan telunjuknya agar tidak bersuara. "Bagaiman
"Sya, kamu gimana, sih? Dia itu, kan, sudah jadi istri kamu!" Alma menggedor pintu kamar mandi agar putranya itu sadar. Rasya yang baru tersadar saat guyuran air hangat menerpa rambutnya, langsung menepuk jidatnya sendiri. "Kok, bisa aku lupa!" Lelaki itu lantas mempercepat ritual mandinya. Ia menabrak Alma yang sejak tadi menunggunya di luar. Sampai tak melihat ada manusia berbadan gendut itu, Rasya berbalik arah dan meminta maaf."Makanya, lain kali jangan main hape terus. Punya bini dianggurin, ya, dia pergi," celotehan Alma lagi. Rasya tidak segera menghubungi Laura. Ia segera menyalakan mesin mobil dan ke kantor setelah semua siap. Di jalan, dia bergumam menyalahkan mobil-mobil yang memadati jalanan. terus begitu dengan hidupnya yang kacau.Akhirnya, ia sampai juga. Rasya berjalan sambil membenahi kemejanya yang belum disetrika. Juga resleting celana yang lupa ditarik ke atas."Pagi, Pak," sapa salah seorang karyawan bagian resepsionis.Rasya tak menjawab. Ia langsung pergi ke
"Kamu enggak apa-apa?" Lelaki itu dengan sejuta kasih sayangnya mengayunkan tangan ke atas pundak sang adik."Aku masih kesal, Mas. Dia enggak berubah sama sekali. Mudah tergoda dengan yang baru." Indri menatap jauh di tengah gedung pencakar langit. Menahan luapan yang hampir saja tumpah membasahi pipi."Sudah jangan dipikirkan! Besok adalah persidangan kamu dengan dia. Kamu harus siapkan mental dan jangan terpengaruh."Sekilas, wanita muda itu menoleh pada Ali yang memastikan keadaan sekitar. Ia mengangguk setelahnya.Rutinitas kantor membuat mereka kelelahan. Saat Indri hendak memasuki mobil Ali, seorang lelaki menekan klakson dan menghentikan kendaraan besinya di dekat mereka."Indri biar pulang sama saya," kata Dave seraya membuka kaca mobil mewahnya. Biasanya ia pulang dengan sopir, tetapi kali ini dia sendiri yang mengemudi. Entah, itu hanya siasatnya agar bisa berduaan dengan Indri atau tidak, yang jelas Dave ingin mengantarnya."Gimana?" tanya Indri dengan membisik. Ia meminta
"Sorry, i am not! Pergi kamu beli sendiri!" Kata-kata ketus itu keluar lagi. Akan tetapi, nampaknya Indri alias Dita memohon lagi dan lagi. Sehingga lelaki itu mendesah pasrah dan menoleh ke belakang. Kebetulan ada mini market yang masih buka.Lelaki berjas hitam dengan kemeja putih itu masuk. Memutari rak yang berjejer aneka produk berkualitas. Ia mulai kebingungan. Bergumam sendiri karena tak tahu, apa yang biasanya Dita gunakan. Dave sesekali berdecak dan menggaruk ujung kepalanya karena pusing memilih diantara banyaknya merek dagang. Tangannya mulai terulur menyentuh benda kotak berwarna biru muda. Ia pikir, Dita wanita kurus dan tidak butuh yang besar.Namun, di sampingnya malah terdengar dua wanita yang tertawa cekikikan. Saling membisik tetapi kedua bola mata mereka mengarah pada Dave. Lelaki berjambang tipis itu mulai jengah. Ingin rasanya menutup wajah dengan bantal di kamarnya. Dave menarik satu bungkus tadi, tetapi saat sampai di dekat kasir, pikirannya malah melayang. Ia
"Byuuurrr." Minuman yang sempat membasahi tenggorokan Indri mendadak keluar. Tumpah di bagian pakaian depan dan jilbabnya. Ia tersedak gara-gara mendengar ucapan lelaki yang selalu mengatur melebihi seorang bapak kepada anaknya. "Astaga." Kalau minum hati-hati!" Lelaki di sampingnya itu menggerutu. Indri hanya bisa terdiam sambil mengelap bajunya yang basah dengan tisu. Sungguh, sebenarnya dia malu dan ingin menjawab pernyataan lelaki itu untuk menolaknya. Akan tetapi, untuk saat ini ia membutuhkan banyak dana agar urusan persidangan segera kelar.Indri yang sejak tadi murung karena merasa dimarahi terus oleh bos-nya itu sudah malas berbicara. Namun, ternyata ia tak dapat mencegah lisannya mengatup rapat. Perhatiannya beralih pada sebuah gedung besar menjulang tinggi. "Kok, kita malah ke sini, Pak?" tanya Indri sambil menatap luar. "Katanya mau melihat restoran milik, Bapak.""Mau ditaruh di mana wajahku kalau mengajakmu ke sana dengan penampilan seperti itu?" Dave berdecak sambil
"Pak, kita bakalan lama?" tanya Indri setelah mereka masuk ke dalam."Dave diam tanpa menjawab pertanyaan wanita itu. Memang sengaja, agar Indri tak banyak tanya."Selamat malam, Tuan. Silakan!" Indri terkejut seketika. Ia tak menyangka akan mendapat sambutan luar biasa itu ketika berjalan beriringan dengan Dave. Semua karyawan tunduk dan menyambut. Mereka siap mendengarkan tugas saat itu juga, meski pengunjung sangat banyak.Dave memang berperawakan sebagai pemimpin yang disegani. Semua orangnya selalu menunjukkan sikap sebagai bawahan. Akan tetapi, Indri malah tidak nyaman seandainya ia yang menjadi bos-nya. Menggantikan posisi Dave. Pikirannya mulai berandai-andai."Heh.""Dit.""Dita!"Indri terkejut. Ia sudah tertinggal di belakang karena melamun. Dengan segera, wanita itu mempercepat laju kakinya mengejar lelaki di depan sana."Iya, Pak."Selama mengikuti Dave berjalan memantau keadaan di restonya, kini mereka berhenti di sebuah meja kosong dengan ruangan privat. Hanya ada dua