Share

Bab 3

Dengan perasaan tak baik, Ali mengemudikan mobilnya hingga kecepatan penuh. Meski ia bukan seorang wanita, tetapi melihat Rasya berkhianat pada adiknya, rasanya ia ingin mengh*ntam kembali wajah lelaki itu tanpa ampun. 

Sampai di rumah sakit, Ali bergegas masuk. Menyusuri lorong dan bertemu kembali dengan Indri dan Ibunya. 

"Bagaimana keadaan Angga?" tanya Ali setelah ia sampai di dekat mereka. 

"Kamu kenapa, Al? Wajahmu ...." Rumi menghentikan ucapannya. Ia mengerutkan dahinya ketika melihat Ali terengah-engah dengan raut tak tenang.

Lelaki itu duduk di kursi depan ruangan. Ia menyandarkan kepalanya berusaha menetralisir rasa panas dalam dada. Berusaha mengumpulkan tenaganya untuk memberitahu dua wanita yang ia cintai.

"Ndri, ceraikan Rasya!" Ali menoleh pada adiknya yang tengah berdiri.

Indri sudah tak kaget lagi. Ia sudah paham maksud perkataan kakaknya. Pasti Ali sudah tahu semuanya, batin Indri. Indri sendiri masih diam. Ia tak tahu harus bilang apa. 

"Kenapa, Al? Apa yang sudah terjadi?" Kecemasan mulai tampil pada wajah Rumi. Ia menggenggam tangan putra sulungnya agar Ali segera menceritakan.

"Rasya ... Rasya sudah bermain g*la di belakang Indri. Dia sudah menghina keluarga kita, Bu."

Awalnya, Indri kira Mas-nya itu hanya mendapat penolakan atas ajakan ke rumah sakit. Akan tetapi, setelah mendengar kalimat terakhir Ali, Indri pun penasaran.

"Maksud, Mas, apa?" Indri mendekat.

"Rasya jalan sama seorang wanita. Aku jijik melihat wanita itu dengan pakaian kurang bahan. Aku sempat berkelahi dengannya. Sorry, Ndri. Aku tak tahan melihat suami adikku berkhianat."

"Astaghfirullah," lirih Indri. Ia terduduk dengan isakan yang tak begitu kencang dan wajah ditutup kedua tangan. "Mas, tidak sedang bercanda, kan?"

Lengkap sudah penderitaan wanita itu. Sudah hamil tua, anak pertama masih belum sadar, sekarang malah suaminya yang bermain api di belakangnya.

"Buat apa aku bercanda pada keadaan seperti ini? Aku akan bantu kamu sewa pengacara, Ndri. Lepas Angga pulih, kita pulang ke rumah Ibu. Aku antar kamu ke pengacara kenalanku." Ali tak sabar lagi. Ia menghubungi salah seorang rekannya dan meminta menyiapkan berkas.

*

Malam larut hanya terdengar suara jangkrik, Indri meletakkan kepalanya di pi vgir ranjang tempat putranya terbaring lemah. Ia menatap sendu pada balita mungil yang kini suhu badannya di atas rata-rata. Selang infus tertancap di tangannya dan cup oksigen menutupi hidung Angga. 

Perih semakin mengiris luka yang masih menganga, Indri tak bisa berhenti menangis. Ia terus saja meratapi dunianya yang seakan ingin runtuh. Nasib malang melintang pada rumah tangganya.

Lagi-lagi hanya dua orang itu yang senantiasa menemaninya. Siang malam masih belum ada perkembangan kondisi Angga, Indri sampai lupa dengan dirinya sendiri. Ia tidak bisa menelan satu suap makanan pun. 

"Ndri, kamu harus makan. Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga Angga? Kasihan juga bayi dalam kandunganmu," tutur Rumi, mendekati putrinya. 

"Bu, apakah aku kuat? Apakah dengan perpisahan, tidak akan ada lagi kesedihan?" Indri mengusap wajahnya.

"Semua jawaban akan kamu temukan di dalam salat. Pergilah, ke mushalla! Temukan jawaban semua permasalahan rumah tanggamu sekarang," balas Rumi dengan tenang. 

Indri mengangguk. "Titip Angga, ya, Bu." 

"Tentu. Ibu akan jagain dia." Rumi mengulas senyum tipis. Hanya dia satu-satunya yang lebih tabah.

Indri mulai berjalan ke arah mushalla di rumah sakit itu. Ia sudah pasrah, tetapi sebagaimana kata Ibunya, ia akan taat. 

"Indri ...." 

Langkah kaki wanita itu bergetar. Lalu, berhenti tepat di depan raga seorang pria tampan yang kesehariannya mendapat pelayanan darinya.

Indri berusaha tidak menanggapi. Ia melewati begitu saja lelaki yang baru saja menyebut namanya. Namun, lelaki tersebut tidak terima.

"Aku sedang berbicara denganmu!" Lengan Indri dicekal lalu ditarik kuat-kuat dan membentur dinding. 

"Lepaskan aku, Mas! Aku sudah cukup bersabar selama ini. Hampir lima tahun aku bersabar dengan kelakuanmu. Pergi saja dengan wanita barumu. Jangan pedulikan aku lagi." Indri sesenggukan. 

Bukannya sadar, kini Rasya semakin geram. Ia men*mpar wajah istrinya sendiri di lorong rumah sakit. "Tutup mu*utmu! Kau tidak tahu permasalahannya. Pasti Mas-mu itu yang sudah ngadu yang tidak-tidak agar kita berpisah. Itu tidak akan pernah terkabul, Indri Pradita Haryawan! Kau tidak usah bermimpi!" 

Indri masih menumpahkan rasa sakitnya dengan tangisan. Beberapa orang melihat kejadian tersebut dan segera melerai Rasya yang sudah memuncak kemar*hannya.

"Awas kau, Indri. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kita tidak akan berc*rai!" 

Rasya akhirnya pergi. Namun, Indri yang kini mendapat tekanan batin bertubi-tubi, lemas seketika. Ia dibantu suster duduk di kursi tunggu. Lalu, suster memberikan minum. 

"Sabar, ya, Bu. Semua rumah tangga pasti mengalami ujian." 

"Makasih, Sus. Tapi, saya sudah lelah rasanya. Saya ingin hidup tenang dan ikhlas menjalani rumah tangga."

Wanita mana yang tahan dengan sikap semena-mena seorang suami. Setiap masalah datang menghadang, wanita lebih cenderung menggunakan perasaannya. Apalagi, lima tahun menahan sikap Rasya yang tak begitu peduli dengan nafkah batin istrinya. 

Rasya datang ketika dia butuh hajat. Ketika sudah terlamp*askan, dia pergi tanpa bertanya apakah istrinya sudah bahagia. 

Luka di atas luka yang mengang* lalu dialiri cairan cuka. Indri tiba-tiba merasakan perutnya sakit luar biasa. Suster pun panik dan memanggil bantuan. Indri dibopong ke kamar lain untuk diperiksa.

Rumi yang menanti putrinya tak kunjung datang, mulai was-was. Ia menelpon Ali agar segera kembali karena sejak tadi tak kunjung datang juga setelah meminta izin untuk membeli minuman.

Rumi tidak berhenti berdo'a. Dia terus melantunkan dzikirnya agar Indri kembali dengan selamat. Hatinya tenang dan lapang, lalu menemuinya.

"Ada apa, Bu?" Ali masuk ke ruangan Angga. Melihat komat-kamit Ibunya dengan wajah gelisah duduk di sofa.

"Adikmu, Al. Dia sudah dua jam tidak kembali. Ibu khawatir. Tadi niatnya mau salat di musholla tapi kenapa sampai sekarang tidak kembali juga?" 

"Astaghfirullah, dua jam? Ibu, tunggu di sini! Ali akan mencari Indri."

Lelaki dengan alis tebal itu mencium tangan Ibunya lalu bergegas keluar ruangan. Bolak-balik menoleh kanan kiri tidak bertemu juga dengan sosok yang ia cari. 

Sampai di depan mushalla dan masuk ke dalam, Indri juga tak ditemukan. Ia bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. Lelah bekerja seharian, kini harus bingung mencari keberadaan Indri. Yang ia khawatirkan bukan hanya wanita itu saja melainkan janin yang terkandung dalam perut.

"Ndri, kamu di mana, sih?" Ali memijat pangkal hidungnya. 

Mencoba bertanya pada orang yang lewat dan suster-suster juga satupun tak ada yang tahu. Raga mulai lelah, batin mulai terguncang, dengan pasrah ia kembali ke kamar menemui Ibunya.

"Bagaimana, Al?" Rumi berdiri lalu menghampiri putranya. 

Ali menghempaskan tubuhnya pada sofa. Memejamkan mata sesaat, berharap Indri akan kembali secepatnya. Namun, yang ada malah pikiran buruk. Khawatir jika adiknya itu pulang dan menemui Rasya. 

"Bu, apa tadi Rasya ke sini?" tanya Ali.

"Tidak. Tidak ada dia ke sini, Al. Ibu yakin, dia juga sudah tidak peduli lagi. Ibu menyesal merestui Indri menikah dengannya." Rumi mulai tak tahan dengan alur takdir yang menimpa putrinya.

"Sabar, Bu. Semua sudah menjadi bagian dari kehendak Allah. Yang penting sekarang, kita temukan Indri dulu. Baru kita pikirkan jalan ke depan. Masalahnya, sekarang Indri di mana? Kita tidak ada yang tahu."

"Apa kita akan menunggu terus sampai dia datang?" tanya Rumi lagi.

Comments (7)
goodnovel comment avatar
mayank adrian
suami dajal istri hamil tua kok di pukuli
goodnovel comment avatar
D'naya
Kasihan Indri
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
Malang nasibmu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status