Indri sengaja pergi dari ruangan sempit itu sebelum akhirnya sang mertua datang. Ia pura-pura ke kamar mandi dan menyalakan air ke dalam ember. Selang beberapa menit, ia keluar dengan tangan bas*ah.
"Ada apa, Ma?" tanya Indri mendekati mertuanya yang berwajah merah seperti bara api.
"Kamu lihat ini!" Alma membentak. Tangannya mengangkat sebuah gaun mahal yang baru dua hari mendiami lemari kamarnya. Padahal, gaun itu akan digunakan sebentar lagi.
"Tadi aku sudah matikan setrikannya, kok, Ma. Itu buktinya." Indri menunjuk kabel yang sudah terputus dari stop kontak.
Alma semakin mer*dang. Napasnya naik turun sehingga membuatnya seperti orang hilang kewar*san. Bak teko uap yang sudah mendidih.
Dalam hati Indri, ia mengumpat. Sebenarnya uang bulanan dari Rasya adalah untuknya. Kenapa bisa hilang? Ya, Indri menyimpannya dalam lemari lalu ia melihat tanpa sengaja, Alma mengambil secara diam-diam. Mengendap dan mungkin telah dibelikan gaun itu.
"Indri! Kamu harus ganti rugi! Mama, enggak mau tahu, kamu ganti senilai harga gaun ini!"
Pertengkaran masih berlanjut, wanita dengan roll di rambut itu mel*tot pada menantu satu-satunya.
"Maaf, Ma. Uang bulanan Indri, kan, sudah Mama ambil. Bagaimana Indri bisa mengganti?" Indri menarik satu sudut bibirnya.
Alma terkejut dalam hati. Kenapa Indri bisa tahu. Wanita itu tak berkata lagi. Ia segera enyah dari hadapan Indri.
Alma telah tenggel*m dalam kamarnya. Indri pun mengembus napas dengan penyesalan. Bukan maksudnya berbuat durh*ka, tetapi perbuatan Alma sudah keterlaluan.
Baru kali ini Indri berbuat nekat. Berulangkali mengucap istighfar dan mendo'akan ampunan untuk dirinya dan Alma. Jika suatu saat ia mempunyai pekerjaan, ia berniat untuk mengganti rugi atas perbuatannya.
Indri kembali melihat Angga di kamar dengan perut berat. Sesekali menahan tendangan dari dalam ditambah lelah dengan pekerjaan yang baru saja ia selesaikan.
"Astaghfirullah, Angga." Indri memekik. Ia panik bukan main ketika baru saja ingin merebahkan diri sambil menyentuh lengan putra pertamanya yang tiba-tiba demam.
"Sabar, Nak, ya!" Indri segera menelpon Rasya. Tangannya gemetaran disertai jantung berdegup kencang. Keringat dingin tiba-tiba mengucur deras dari keningnya.
"Mas, angkat, dong!" Indri terus bergumam sendiri.
Panggilan sama sekali tidak ada jawaban, Indri segera menata tas dan memasukkan dua stel baju Angga. Ia menggendong Angga lalu keluar untuk mencari taksi.
***
Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" Indri bertanya dengan perasaan campur aduk. Ia menunggu sang dokter yang tengah memeriksa putranya.
"Putra anda harus dirawat untuk sementara ini, Bu. Dia terkena cac*r dan demamnya tinggi sekali," balas dokter tadi. Sang dokter juga menunjukkan sikap keprihatinan.
"Astaghfirullah." Indri lemas. Ia bingung, bagaimana akan membayar semuanya. Apalagi sebentar lagi dia akan melahirkan.
"Baik, Dok. Saya telpon suami saya dulu."
Dokter mengangguk lalu keluar kamar pasien kecil itu. Sudah puluhan kali ia mencoba menghubungi dan mengirim pesan, tetapi satupun tak ada balasan.
Mondar-mandir di depan kamar rawat sang putra, ada gurat ketakutan. Karena selama ini yang selalu membantu adalah kakak laki-lakinya, terpaksa kali ini Indri menghubungi untuk meminta bantuannya lagi.
Malamnya, Ali datang bersama Ibunya. Sang kakak menggandeng Ibunya menghampiri wanita yang kini sendirian menanti sebuah keajaiban. Wanita muda itu terlihat stre es, menutup wajah sesekali dan gelisah. Indri yang melihat dari kejauhan, segera berdiri.
Air matanya pecah lagi. Dia wanita itu kini berpelukan saling melepas kegundahan. Rumi menepuk-nepuk lembut punggung putrinya. Ia tahu betul bagaimana keadaan rumah tangga Indri.
"Ndri, bagaimana keadaan Angga?" Ali membuka suara. Melepas embusan napas berat tak tega melihat adiknya begitu pilu.
"Angga ...." Indri tak kuasa mengatakan perkembangan kondisi putranya.
"Katakan saja! Kami akan selalu ada buatmu," kata Ali lagi.
"Benar, Ndri. Jangan takut, oiya, mana Rasya?" Sesaat Rumi teringat pada menantunya. Menoleh kanan kiri hingga menatap ke ujung juga tak terlihat batang hidungnya.
"Mas Rasya ... dia belum datang, Bu. Mungkin sibuk." Indri berusaha menutupi. Meski dalam hatinya ia tahu, jam segini biasanya Rasya sudah santai di rumah.
"Jangan bohong, Ndri! Ibu dan Mas-mu sudah tahu." Rumi beralih pandang pada sosok lelaki berperawakan tinggi tegap di sampingnya. Yang merupakan pebisnis muda dengan jabatan manager.
"Tidak, Bu. Mas Rasya memang sibuk biasanya jam segini." Indri menunduk. Ia tak mau raut wajahnya kembali terbaca oleh mereka.
Dokter berjalan beriringan dengan suster melewati mereka. Lalu, masuk ke dalam membuat mereka bertiga mengalihkan perhatian pada jendela kaca yang sedikit terbuka.
"Ndri, coba telpon si Rasya lagi! Siapa tahu dia sudah pulang. Masa jam segini belum pulang? Ini sudah setengah sembilan, Ndri." Ali terlihat gusar.
"Biarkan saja, Mas. Aku sudah pasrah. Tolong, kuatkan aku saja." Indri kembali mengintip putranya.
***
"Al, coba kamu temui Rasya! Ibu punya firasat buruk tentang rumah tangga adikmu. Dia pasti menyimpan semuanya sendirian. Tapi, jangan bilang-bilang Indri kalau kamu menemui Rasya," ucap Rumi ketika menjelang subuh.
Mereka bertiga menginap di ruangan Angga di rawat. Indri baru saja terlelap karena semalaman menangisi Angga yang belum juga sadar.
Ali segera keluar dari kamar itu. Sebelumnya ia akan pulang dulu untuk ganti baju dan membersihkan diri. Di koridor rumah sakit, tak sengaja ia menabrak seorang wanita yang juga berjalan terburu-buru.
"Maaf," kata Ali sambil membantu wanita dengan jilbab hitam itu memunguti barang-barangnya.
"Saya juga minta maaf, karena kurang hati-hati." Wanita tadi terus menunduk dan berjalan terburu-buru. Beberapa detik tatapan Ali mengunci langkah wanita tadi hingga lenyap.
Jam enam pagi Ali sudah berada di depan rumah Rasya. Ia masih di dalam mobil sambil menyiapkan segala kata yang akan ia sampaikan pada iparnya itu.
Baru saja membuka pintu mobil, sebuah sedan hitam keluaran terbaru masuk melewati pagar rumah Rasya. Ali mengurungkan niatnya. Sayang, ia tak dapat melihat siapa yang baru saja masuk.
Ali memutuskan untuk menunggu saja di depan rumah lagi. Sampai waktu menunjukkan jam delapan pagi dalam ponsel miliknya. Tak ada satupun penghuni rumah yang keluar. Ali mulai lelah.
"Hallo, katakan pada direktur. Saya izin telat karena harus mengurus keponakan yang sakit." Ali menutup panggilan. Ia menghubungi pihak kantor.
Ia melihat mobil keluar tetapi dari pantulan jendela kaca, Rasya ada di dalam sana. Buru-buru Ali menghidupkan lagi mesin mobilnya dan mengikuti ke mana mobil tadi pergi.
Mobil di depannya mengarah pada sebuah supermarket. Ali masih memantau ketika benar, Rasya keluar dari sana bersama seorang wanita berpakaian kurang bahan.
Lelaki dengan rahang kokoh itu mengepal kan tangannya membentur setir. Ia semakin meradang ketika melihat Rasya menggandeng wanita tadi memasuki sebuah pusat perbelanjaan.
Dengan kemar*han yang sudah memunc*k, Ali turun dari mobil dan langsung membalik pundak Rasya. Ali dengan tangan mengepal melayangkan tinj*nya tepat mengenai wajah suami dari adiknya.
Sontak wanita tadi berteriak kencang. Ia meminta tolong dengan segera.
Ali terus memukuli Rasya tanpa henti. Baru setelah beberapa orang melerai, Ali mengatakan semua sesak dalam dadanya. "Das*r, lelaki tidak berguna! Anakmu sakit di rumah sakit, kau malah enak-enakan sama wanita lain. Istrimu berjuang sendirian dengan perut besar di sana, kau malah bermain gi*a di belakang!"
Rasya meringis menahan per*h pada pipi dan perutnya yang tadi terkena hant*man keras.
Dengan perasaan tak baik, Ali mengemudikan mobilnya hingga kecepatan penuh. Meski ia bukan seorang wanita, tetapi melihat Rasya berkhianat pada adiknya, rasanya ia ingin mengh*ntam kembali wajah lelaki itu tanpa ampun. Sampai di rumah sakit, Ali bergegas masuk. Menyusuri lorong dan bertemu kembali dengan Indri dan Ibunya. "Bagaimana keadaan Angga?" tanya Ali setelah ia sampai di dekat mereka. "Kamu kenapa, Al? Wajahmu ...." Rumi menghentikan ucapannya. Ia mengerutkan dahinya ketika melihat Ali terengah-engah dengan raut tak tenang.Lelaki itu duduk di kursi depan ruangan. Ia menyandarkan kepalanya berusaha menetralisir rasa panas dalam dada. Berusaha mengumpulkan tenaganya untuk memberitahu dua wanita yang ia cintai."Ndri, ceraikan Rasya!" Ali menoleh pada adiknya yang tengah berdiri.Indri sudah tak kaget lagi. Ia sudah paham maksud perkataan kakaknya. Pasti Ali sudah tahu semuanya, batin Indri. Indri sendiri masih diam. Ia tak tahu harus bilang apa. "Kenapa, Al? Apa yang sudah
Part4Tak peduliPernah sengaja tidur lebih awal, untuk melupakan beban pikiran. Dan ketika larut malam dia terbangun, seketika air mata keluar tanpa aba-aba. Lalu dia terlelap dengan sendirinya. Sesakit inikah menjadi dewasa, dia dituntut untuk bijaksana sedangkan dunia mengajaknya bercanda.Indri belajar mendidik hatinya sendiri, agar bisa menerima kenyataan. Karena ada banyak hal yang bisa diterima tetapi tidak bisa diubah. Bersabarlah akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah ikhtiar. Jalani, nikmati apapun yang sudah menjadi takdirmu.Wanita yang kini telah berganti pakaian serba hijau itu berlinang air mata. Menaham rasa ngilu pada perutnya. Ia harus beristirahat total tanpa beban pikiran.Tak lama setelah itu, pintu ruangan terbuka lebar. Membuatnya terperanjat dan menoleh cepat."Ndri!" Ali bergegas menghampiri."Mas." Indri membalas lirih."Ada apa denganmu? Suster memberitahu kami. Katanya kamu kontraksi. Bagaimana sekarang?" Ali menatap pilu pada adiknya.
Be your selfTetaplah menjadi dirimu sendiri, dengan versi terbaikmu.Janganlah menjelaskan apapun tentang dirimu, kepada siapapun. Karena yang membencimu tidak akan percaya kepadamu. Dan yang menyukaimu tidak butuh itu.Kembali menjejakkan kaki di lantai marmer rumah hasil dari kerja atas bantuan kakak kandung istrinya, Rasya membawa putra sulung mereka masuk ke dalam rumah."Ndri, kamu tidur aja setelah ini." Rasya meletakkan putranya di atas tempat tidur. Ia membantu Indri duduk karena sejak tadi istrinya itu susah berjalan."Iya, Mas. Makasih. Tapi, aku belum bisa masakin kamu." Indri merebahkan diri. "Belum bisa ngerjain apa-apa.""Tidak perlu kamu mikir terlalu jauh begitu. Hari ini kamu ngurusin Angga saja. Biar aku beli makan di luar." Rasya membalik badannya dan melangkah keluar kamar.Batin Indri sedikit lega. Mendapat aliran kesegaran setelah kemarin bertengkar dengan sang suami. Ia berharap, Rasya sudah berubah. Di luar sana, samar-samar wanita berbadan dua itu mendengar
"Siapa, sih, Ma?" Rasya mulai menengok. Di ruang tamu seorang wanita terlihat menopang kakinya. Gaun pendek berwarna marun dipadu dengan high heels lima senti menghiasi kaki mulus di sana. Wajahnya putih mulus, terlihat sekali perawatan teratur.Rasya tersenyum ke arahnya. Meski sang wanita memunggungi, tetapi lelaki itu sudah menduga akan ada hari yang indah. Suami dari Indri itu membenahi penampilannya meski sederhana. Meski hanya kaus oblong dan celana selutut, ia dengan percaya diri menghampiri. Senyumnya tak henti-hentinya bersinar."Ra," ucapnya lalu duduk di sebelah wanita itu. Berjarak hanya beberapa jengkal saja."Hai, Mas Rasya? Aku lagi bosan aja, jadi main ke sini. Boleh, enggak?" Laura, anak pengusaha kaya yang kini bekerjasama dengan perusahaan tempat Rasya bekerja mengulas senyuman."Boleh, dong. Main aja, masa enggak boleh." Lelaki itu terkekeh. Ada rasa kagum melihat wanita berkelas di hadapannya.Tak lama setelah itu, Alma datang dengan nampan dua gelas berisi air
Indri segera membuka dompet milik suami yang berada di atas tempat tidur, tepatnya di sebelah jas hitam Rasya.Isinya dua lembaran merah dan satu lembaran biru. Apalah daya, Indri menurut saja. Lima puluh ribu dia ambil lalu belanja di tukang sayur yang keliling depan rumah.Indri hanya menggunakan sebagian saja dari uang tadi. Meski isi dompet Rasya tidak banyak, ia tahu, ada beberapa ATM yang jelas isinya. Indri adalah wanita yang pantang meminta lebih. Dia wanita berprinsip, hanya meminta haknya sekadar untuk makan.Ia tidak sekaligus memasak semua bahan yang tadi dibeli. Hanya cukup untuk sarapan."Masak apa, Ndri?" tanya Alma seraya mendekati. "Bikin nasi goreng telur, Ma. Mama kalau mau, Indri siapin." Indri menoleh. Ia membawa satu wadah berisi nasi goreng yang dicampur telur serta timur dan tomat di piring lain."Enggak, ah. Mama tidak biasa pagi-pagi makan karbo." Alma dengan segera melengos dan pergi.Indri yang mendengar langkah kaki dari arah kamarnya segera mempercepat g
Wanita"Kadang diuji dengan sehebat-hebatnya ujian, fisiknya lemah tapi batinnya kuat.Itulah anugrah yang diberikan Allah kepada makhluk yang bernama wanita.""Kita bukan tidak tahu, menaruh harapan kepada manusia adalah awal dari patah hati. Kita bukan tidak mengerti bahwa mempercayai seutuhnya kepada manusia adalah awal kekecewaan. Hanya saja, kita itu terkadang memang suka sekali jatuh di tempat yang sama."Indri tak menoleh. Ia hanya menerima sapu tangan tadi lalu menggunakannya. Seseorang di belakang mereka hanya mengangkat dua alisnya saja melihat Indri tak acuh. Pintu lift terbuka. Indri bersama Ibunya pun meninggalkan tempat itu. Tak peduli dengan suara klakson yang memekik telinga serta teriakan keras saat mereka menyeberang tanpa melihat kanan kiri. "Ndri, jangan buru-buru! Awas ada mobil." Rumi tak bisa menghentikan langkah putrinya. Indri menghentikan taksi lalu mengajak Ibu dan putra kecilnya pulang..Semua pakaian sudah tertata. Keputusannya sudah bulat untuk berpis
"Mas, berikan aku kebebasan. Asal kamu tahu, jangan kira kamu tidak berdosa dalam hal ini. Semua yang kulakukan itu bersumber darimu. Kau berbuat baik padaku, aku akan membalasnya lebih baik lagi. Tapi, ternyata sebaliknya, kau tidak peduli denganku dan Angga."Kini Angga kecil pun menangis. Ingin ikut dengan Indri. Mereka masih diam mendengar ucapan Indri barusan. Sepoi angin menambah nelangsanya hati Indri."Ndri, harusnya kamu juga tahu diri. Tahu terima kasih. Rasya itu setiap hari pulang pergi cari uang buatmu." Tiba-tiba Alma datang dan langsung menjejali mereka semua dengan argumentasinya."Cukup, Ma! Selama ini yang pegang gaji Mas Rasya, kan, Mama. Aku hanya dikasih kalau minta," balas Indri. Ia tak terima. Semua orang harus tahu selama ini yang telah terjadi antara dia dan sang mertua."Ya, karena aku Ibunya. Aku berhak sepenuhnya atas putraku. Sampai kapanpun, dia itu milikku. Kamu harusnya nyadar, Ndri. Sudah baik dinafkahi."Indri dan Rumi mengurut dada karena ucapan Alma
PERGINYA ISTRIKU 8Air dari langit begitu deras menghantam bumi. Rumi duduk di dekat jendela kaca dalam ruangan Indri. Tangannya terus bergerak memutar butiran tasbih. Selama dua hari, Indri belum juga menunjukkan tanda-tanda kondisi membaik. Selang infus dengan cup oksigen masih menempel di tubuhnya. Wanita muda itu sangat memprihatinkan."Maaf, Bu. Mbak Indri sangat lemah saat ini. Bahkan denyut nadinya ... kita sama-sama berdo'a saja. Hanya dengan kuasa Allah lah yang mampu mengembalikan kebahagiaan." Air mata Rumi tumpah lagi. Ia mengingat pesan-pesan dokter tadi. Wanita tua itu hanya tidur beberapa jam saja selama Indri tak sadarkan diri. Di manapun berada, seorang ibu pasti akan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Paling banyak berkorban karena sampai kapanpun seorang anak adalah anak, meskipun sudah menikah. Mereka akan tetap dianggap anak kecil oleh makhluk bernama ibu.."Mas, kapan kamu mau datang ke rumah bertemu Papa?" tanya Laura. Dia duduk di pangkuan lelaki berkeme