“Mau kemana, Yu?” tanyaku pada Ayu yang terlihat sibuk berganti pakaian saat bada Isya.“Nemenin Madam nengok temannya yang baru punya cucu. Pergi dulu ya, Madam udah nungguin.”Kebetulan sekali aku lagi perlu nelpon Ibu tanpa terdengar oleh Ayu.Setelah salam dan basa basi sebentar Ibu menawarkan bicara sama Yusril. Sungguh aku merindukan suara khas anak-anaknya, tapi saat ini diskusi dengan Ibu lebih penting, khawatir Ayu keburu pulang. “Ada apa, Teh? Sepertinya ada hal penting. Tak biasanya menolak bicara dulu sama Yusril.” Firasat seorang ibu memang tajam. “Mmhh iya, Bu. Ada hal penting yang ingin Teteh diskusikan sama Ibu. Teteh bingung harus mulai dari mana, tapi yang jelas hanya nasihat Ibu yang Teteh perlukan saat ini.” Kutarik napas panjang, lalu dengan terbata-bata menceritakan obrolan dengan Ummi Maimunah tadi pagi. Ibu mendengarkan tanpa memotong pembicaraanku. Setelah selesai bicara aku menghembuskan napas berat. Rasanya seperti habis mel
Dua minggu sejak diskusi dengan Bu Mulia di pasar kurma itu, Lala nelpon via aplikasi hijau dengan nada ceria penuh semangat.“Teteh ya Allah Teteh, Lina nggak mengira respon pasar pada kurma kita sangat luar biasa. Padahal kita pemula banget. Sekarang saja yang PO kurma ajwa sepuluh kilo, medjoul 10 kilo, dan sukari 20 kilo. Padahal kurma yang teteh kirim saja nggak sebanyak itu kan? Lina jadi antara bahagia sama panik takut mengecewakan.”“Masya Allah, adik Teh Lala hebat sekali. Kamu promosi di mana saja bisa secepat itu mendapat pesanan?”“Aku hanya promosi di IG sama WA sesuai saran Bu Mulia waktu itu. Sepertinya mereka tertarik karena melihat foto-foto Teteh di pasar kurma sama kebun kurma itu. Jadi mereka yakin kurma kita masih fresh.”“Ya ampun Lina, kamu majang foto Teteh di mana-mana. Malu atuuh. Mana lagi caludih (Kusam) wajahnya penuh keringat.” Aku menutup muka membayangkan foto-fotoku tersebar di media sosial, meski sebagian tertutup niqab.“Nggak kok, Teh, justru muka T
Selesai masak ponselku bordering, dari Bu Mulia. Beliau minta maaf karena tadi lagi di kamar mandi. Ah, untung saja punya mentor, nggak kebayang kalau apa-apa dipikirin sendiri, karena aku memang nol besar di dunia bisnis. Bisa kacau seperti tadi kalau semua dipikir sendiri. Dengan penuh semangat kuceritakan laporan dari Lina pada Bu Mutia. Beliau terkekeh membuatku bingung apa ada yang lucu.“Masya Allah, Lala, Ibu bahagia sekali mendengar suara kamu yang penuh semangat dan ceria begini. Beda jauh dari cara bicara kamu waktu pertama kita ketemu di pesawat. Alhamdulillah Allah membukakan pintu rejekinya untuk keluargamu dari jalan bisnis kurma. Jangan ditutup, lanjutkan aja PO nya sampai menjelang Ramadhan. Insya Allah ada jalan keluarnya.” Bu Mulia memuji kecerdasan dan kecakapan Lina mempelajari sesuatu yang baru, padahal usianya masih remaja.“Ini semua berkat bimbingan sama doa orang sebaik Bu Mulia. Hanya Allah yang bisa membalas semua kebaikan Ibu.” Aku tak kuasa menahan keharu
Agak berbeda dengan hari-hari biasa ternyata majikan kami memiliki agenda khusus selama bulan Ramadhan. Beberapa hari menjelang Ramadhan aku dan Ayu diajak menghadiri tarhib Ramadhan di masjid Nabawi. Masya Allah akhirnya akan kesampaian juga impianku untuk berdoa di Raudhah. Aku mencatat apa saja yang akan didoakan saat di Raudhah sesuai saran Ayu.“Raudhah itu tempatnya sempit sementara orang yang ingin masuk sangat banyak. Jadi kalau bisa masuk ke sana berdoa dengan lebih cepat karena kamu punya waktu sedikit sekali. Itu di tempat perempuan, denger-denger di tempat laki-laki lebih leluasa.”Pagi ini langit cerah secerah hatiku yang tak henti bersalawat tanpa suara. Kami bermobil menuju Masjid Nabawi yang tak terlalu jauh dari rumah. Tentu saja bila ditempuh dengan kendaraan. Sepanjang perjalanan kulihat banyak burung bergerombol tengah bermain dan mencari makan di taman-taman. Kadang mereka terbang rendah menggoda kami untuk menangkapnya, tapi tentu saja itu tak boleh dilakukan mes
Seperti yang sudah diskusikan, aku dan Ayu berbicara pada majikan kami bahwa memiliki rencana membuat acara buka bersama di kampung. Majikan kami sangat terkejut mengetahui di daerah kami, Ramadhan pun banyak yang tak punya uang untuk membeli makanan bagus. Mereka kira di Indonesia yang mayoritas beragama Islam sedekah tajilnya melimpah seperti di Madinah.“Jauh sekali, Madam. Sebenarnya lembaga-lembaga Islam banyak yang mengadakan pembagian sembako untuk fakir miskin. Ada juga yang membagi uang untuk anak-anak yatim. Tapi di daerah kami hanya beberapa orang yang dapat, karena dananya terbatas.”Ayu membuka internet dan membuka berita Gebyar Ramadhan, yang di adakan di kota oleh sebuah lembaga yang memiliki nama. Ummi Maimunah dan Madam Hindun terlihat antusias menyimak penjelasan Ayu.“Kalian bisa menyelenggarakan yang seperti itu di kampung?”“Sudah lama pengurus masjid ingin menyelenggarakannya, Ummi. Hanya masalahnya dana kami sedikit sekali.” Aku teringat s
Selama Ramadhan kami punya tugas khusus menyiapkan makanan untuk ta’jil. Ramadhan hari pertama kami memasukkan berkardus-kardus makanan ke dalam mobil. Aku bersama Ayu dibantu Ahmad sang sopir meluncur menuju tempat membagikan ta’jil. Ahmad menghentikan mobil di dekat sebuah taman.“Kok berhenti di sini, bukannya kita mau ke masjid?” tanyaku pada Ayu yang ditanggapinya dengan tawa.“Siapa bilang kita mau ke masjid? Kita ngebagi ta’jilnya di sini. Yuk ah mulai khawatir kemaghriban di jalan.Aku mengedarkan pandangan, mana orang yang mau dibagi ta’jilnya. Hanya beberapa orang saja yang kulihat di sekitar taman. Sekeliling taman dipasang terpal berwarna biru. Pada sebagian terpal sudah terlihat makanan dan minuman untuk ta’jil, ditata berjajar. Aku mulai mengerti, saat ta’jil nanti orang-orang akan duduk berjajar. Kami pun menyimpan kurma, susu, dan pisang di sepanjang terpal hingga semua makanan dalam dus habis. Kulihat beberapa mobil pun mendekat, mereka melakukan ha
Malam nanti kami akan buka bersama di rumah Baba Hasan. Beliau bisa dibilang saudara Ummi yang paling kaya raya dan juga dermawan. Sejak pagi aku dan Ayu diantar Ahmad ke rumahnya, bergabung bersama ART lain untuk memasak banyak makanan. Ayu terlihat riang sekali, momen berkumpul bersama para TKW yang selalu dinantikan akan segera tiba. Akan banyak obrolan seru dan tawa berderai-derai. Aku pun mulai menikmati momen seperti itu meski lebih sering jadi pendengar. Obrolan paling seru tentu saja menyangkut ART yang belum lama jadi madam. Komentar biasa hingga komentar iri bermunculan.“Eh, kamu sudah cari tahu belum strategi majikan kamu bisa sampe bisa jadi madam?” Minah bertanya pada ART nya Madam Dewi. Kontan semua mata tertuju pada Tina dan menunggu jawabannya.Aku tiba-tiba teringat obrolan dengan Ummi beberapa waktu lalu tentang kemungkinan menjadi madam. Kalau sampai terjadi, pasti aku pun akan jadi bahan gosip tak ada habisnya. Aduh mikir apa sih aku ini, suami aja
Rasanya nikmat sekali tidur siang ini, aku bangun dengan badan segar siap kembali bekerja. Kulihaat sahabatku tengah menerima telpon sambil marah-marah. Duh, ada apa lagi dengannya? Semoga tak ada masalah besar.“Mbak enggak bisa seenaknya gitu dong. Kalau enggak bisa bantu seenggaknya jangan nambahin beban lah,” Suara Ayu ketus. Dia bicara sama siapa? “Kalau Mbak mau silahkan aku kasih dengan senang hati Mbak yang nikah sama Juragan Joko. Enak aja ngorbanin aku buat kepentingan kalian. Dengar ya, Mbak kalau itu Juragan Joko lelaki terakhir di dunia ini, aku tetap tak mau nikah sama dia. Ngeri aku kalau nikah sama dia tiap hari makan riba.” Ayu misuh-misuh.“Lebih baik sok suci dari pada sok najis. Terserah kata Mbak aja lah, capek aku. Assalamualaikum.” Ayu membanting ponselnya ke kasur lalu menutup mukanya. Mengambil bantal untuk menutup mukanya dan berteriak tertahan. Tangannya memukul-mukul kasur sekuat tenaga.“Hei, kenapa?” Aku tak tahan lagi.“Kesel banget sama kakakku. Enak b
“Aku enggak butuh tanah seluas ini, ya Habibi. Aku tahu uangmu tak berseri. Tapi jangan hamburkan untuk sesuatu yang sia-sia.” Suamiku mengusap-usap tanganku yang memegang lengannya.“Kalau aku tetap mau membelinya, gimana?” senyumnya dengan alis dinaik-turunkan untuk menggodaku.Ah, kadang-kadang sultan Arab ini nyebelin juga. Eh, tapi masa mau dibeliin tanah sepuluh hektar dibilang nyebelin. Tapi buat apa tanah seluas itu coba? Siapa yang mau ngurus?Aku menyimpan nomor ponsel yang tertera atas perintah suamiku tercinta sambil cemberut. Dia malah tertawa sambil mengecup bibirku dan membuat mataku melotot. Kan malu kalau ada orang yang melihat.“Bagaimana menurutmu bila di tempat ini kita bangun sebuah pesantren? Anak-anak akan belajar di sini dengan fasilitas yang baik tanpa dipungut bayaran sepeser pun?”Aku menatap matanya lekat. Itu adalah impian selintasku dulu sekali yang bahkan tak pernah berani kukatakan pada siapa pun. Impian yang muncul saat membaca tentang pesantren tahfidz
Setelah walimah kami memutuskan tinggal di rumah baru kami dengan status visa suami sebagai wisatawan. Setelah masa berlaku bisa hampir habis baru akan kami pikirkan rencana selanjutnya, apakah memperpanjang visa suami atau kami kembali ke kota Madinah. Beliau tak perlu khawatir dengan bisnisnya karena punya beberapa orang kepercayaan. Ada orang yang khusus mengelola hotel, juga ada yang khusus mengelola kebun kurma. Istilahnya mungkin bisnis jalan tapi ownernya jalan-jalan. Ibu, Lina dan Yusril senang sekali bisa berkumpul setiap hari setelah berpisah sekian lama. Rumah kami sekarang selalu hangat dengan kasih sayang dan gelak tawa.“Ucil senang sekali sekarang Ucil bisa main sama Bubu tiap hari. Sama Baba juga Ucil suka main kuda-kudaan.”Anakku selalu riang gembira. Berpindah-pindah dari pangkuanku, ke pangkuan ayah sambungnya, lalu ke pangkuan Ibu, juga ke pangkuan Lina. Dia seolah sedang memuaskan dirinya bermain bersama semua orang yang menyayanginya. Setiap waktu salat dia aka
Menjelang Ashar tamu masih berdatangan satu-satu. Tapi kami sudah terlalu lelah dan pamit masuk ke rumah untuk beristirahat. Di tenda luar dan ruang tamu masih ada Ibu dan Uwa yang bisa mewakili kami menerima tamu. Kecuali tamu spesial maka kami akan menemuinya sebentar.Saat masuk kamar mataku membola melihat ke arah tempat tidur kami. Besar sekali ukuran kasur ini. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, suamiku yang berbadan lebih tinggi dari orang Indonesia pasti merasa tak nyaman saat tidur di kasurku. aku merasa bersalah tetapi dia tak protes. Subhanallah, manisnya suamiku."Ekhem, sudah tak sabar menunggu malam, ya Habibati? Lihat kasur terus." Sebuah suara dengan nada menggoda berbisik di telingaku membuat wajahku memerah. "Apaan sih, enggak kok. Aku hanya baru sadar kasur di kamarku kecil banget buatmu. Maaf ya, Habibi, aku kurang peka." Suamiku hanya tersenyum. Dia memang selalu tidur lebih akhir dan bangun lebih awal sehingga aku tak menyadarinya."Mari kubantu melepas baju
Akhirnya tiba juga hari ini. Menjadi ratu sehari dalam pernikahan kedua. Kami duduk di pelaminan yang didekorasi indah di halaman rumah kami yang luas. Aku mengenakan gaun pengantin putih cantik yang dikirim memakai cargo dari Arab sana. Suamiku yang gagah terlihat makin memesona dalam balutan baju pengantin warna putih senada dengan gaunku. Aku di-make up minimalis saja. Ibu dan Wak Endo duduk mendampingi kami. Yusril bergabung bersama kami sebentar tapi kemudian bosan dan memilih main bersama sepupunya."Istriku cantik sekali, Masya Allah. Inginnya kusembunyikan saja di kamar," komentar suamiku saat melihatku selesai didandani."Aku juga malu sekali buat duduk di pelaminan. Betul katamu, sebaiknya aku ngumpet di kamar.""Haha aku bercanda, ya Habibati. Kita harus tetap duduk untuk menyalami tamu. Seperti adat di sini. Lagi pula kelihatannya tamu-tamu di sini sopan-sopan pakaian dan perilakunya."Panggung hiburan berdiri kokoh di sebelah kanan gerbang. Siapa pun boleh ikut berpartisi
Hari ini merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidup Ibuku, dan melihat kebahagiaan beliau adalah salah satu kebahagiaan terbesarku. Sebenarnya aku malu bila harus dipajang lagi di pelaminan sebagai mempelai. Tetapi Ibu ingin berbagi kebahagiaan kami dengan seluruh warga kampung dan kerabat kami, maka aku pun memenuhi keinginannya dengan mengadakan walimah yang meriah untuk ukuran kami.Dua hari sebelum hari-H Alhamdulillah rumah baru kami sudah selesai dibangun dan siap digunakan untuk resepsi. Masjid kampung kami pun meski belum selesai dibangun tapi sudah nampak bangunan utuhnya yang megah. Sehingga kami tidak terlalu merasa bersalah bila memiliki rumah megah tapi masjid diabaikan.Kami memilih tidak memakai jasa catering, dan memberikan kesempatan pada para tetangga untuk berpartisifasi. Para tetangga pun dengan senang hati berkumpul di dapur Ibu untuk membantu memasak. Kue-kue tradisional yang lezat-lezat memenuhi ruang keluarga rumah kontrakan Ibu sejak malam. Sementara
Entah berapa lama aku terjebak di sini hingga tiba-tiba semua orang terdiam dan melihat ke arah yang sama. Aku yang tengah menunduk jadi bingung dan ikut melihat arah tatapan mereka.“Masya Allah Nabi Yusuf lewat.”“Masya Allah ada malaikat di kampung kita.”"Lihat punggungnya, jangan-jangan dia punya sayap."Pria macho dengan wajah ganteng itu kaget sebentar saat melihat gerombolan ibu-ibu, tapi kemudian dengan tenang melewati mereka. Tanpa memandang dan tanpa senyum hanya mengucapkan assalamualaikum dengan suara tegas penuh kharisma. Di Arab sana pasti tak pernah ditemuinya gerombolan ibu-ibu nangkring sore-sore. Aku geleng-geleng kepala saat para ABG putri diam-diam mengambil foto Mister Halim.Menjelang Jum'atan aku sudah siap berangkat bersama Lina menuju rumah mantan mertua. Mengantarkan kartu undangan sebagai alasanku untuk bersilaturahim dengan beliau. Sebenarnya aku kangen sekali dengan mantan mertua yang baik hati itu. Tapi hati selalu bimbang setiap mengingat kemungkinan aka
“Jodoh kan takdir. Yang namanya takdir kan kita bisa berikhtiar enggak pasrah gitu aja. Kayaknya enggak mungkin sultan Arab itu tiba-tiba jatuh hati pada, maaf ya, seorang pembantu.”Jleb! Meski benar aku pembantu di negeri orang, tapi tak usahlah sampai ditegaskan begitu. Pembantu juga manusia yang punya hati. Rasanya malas sekali menghadapi tamu tak diundang ini. Sudah mah minta tips yang aneh-aneh eh malah menghina yang diminta tipsnya pula.“Eh, ada de Linda sama Melin, tumben ke mari. Ada hal penting ya?” Ibu masuk dari warung dan langsung menyapa. “Iya nih, Teh, ada yang mau ditanyakan sama Lala, tapi Lalanya kayak enggak mau berbagi ilmu yang dia punya.” Eh, Bi Linda malah ngadu.“Ooh mau minta ilmu jualan kurma mungkin ya? Kasih tahu atuh, Teh.” Aku jadi ingin ketawa lihat ekspresi melongo Bi Linda.“Sebentar ya, Uwa ambilin rujak, Melin suka rujak, kan?’ Ah, ibu yang selalu baik sama semua orang meski orang itu tak pernah menganggapnya.Setelah Ibu ke warung, Bi Linda dan
“Anak Ibu sama ponakan Ibu sama-sama cantiknya. Apalagi cantiknya keluar dari hati, makinlah keluar aura cantiknya.” Ibu menepuk-nepuk lengan kami. Kulihat Wak Yati tertawa dengan wajah berseri meski juga tak dapat menyembunyikan kelelahan setelah seharian keliling kota.Ucil yang tertidur dalam pelukan Wak Yati menggeliat-geliat. Sepertinya dia kelelahan dan merasa kurang nyaman tidurnya. Akhirnya kami memutuskan untuk segera pulang. Tak lupa mampir sebentar membeli ikan bakar untuk makan malam di rumah. Rasanya hari ini banyak orang bertingkah lucu. Dimulai dengan pagi-pagi ada tamu teman sekolahku. Sebenarnya kami dulu tidak bisa dibilang dekat, dia yang lumayan kaya bergaul dengan teman selevelnya. Entah angina apa yang membawanya kemari. Dia tak sendiir, membawa dua orang temannya yang tinggal di desa sebelah juga katanya. Dan kedua temannya itu masing-masing membawa dua temannya juga. Jadilah pagi ini aku menerima tamu rombongan dadakan yang sebenarnya tak kukenal. Ibu yang men
Kami sepakat untuk menggunakan jasa WO temannya Lina. Setelah itu kami mengobrolkan banyak hal seputar persiapan walimah. Sebenarnya aku malu harus walimahan yang kedua kali, cukup syukuran keluarga. Tapi suamiku tetap pada pendiriannya ingin mengadakan walimahan sekalian mengenal handai tolan kami katanya. Betul juga sih, kalau mengunjungi satu-satu kapan waktunya. Hari ini kami akan berbelanja kebutuhan walimah ke kota. Aku, Ibu, Lina, Yusril, Wak Yati, dan Imah, Kami menggunakan jasa rental mobil plus sopirnya. Sengaja kami menggunakan mobil yang agak besar karena nanti akan berbelanja cukup banyak. Suamiku yang kaya dan baik hati itu memberikan uang rupiah dalam kartu ATM-ku.“Ajak Ibu dan siapa pun yang Adik mau untuk berbelanja ke kota. Terserah mau belanja apa pun yang Adik inginkan dan butuhkan terutama untuk walimah kita. Kalian bersenang-senanglah sesekali. Makan di restoran, perawatan di salon, apa pun. Abang ingin Adik bahagia dengan keluarga. Seharian ini Abang akan sibu