Esok harinya aku bangun kesiangan dalam keadaan badan seperti patah semua. Rupanya aku tertidur di dapur dalam kondisi duduk, sambil menggendong Yusril yang tertidur dalam gendongan karena kelelahan menangis. Dengan kilat kutunaikan shalat Subuh dan segera bersiap berjibaku di dapur.
“Lala mana sarapannya, Mas Doni udah lapar nih. Pake kesiangan segala.” Itu teriakan cempreng Yuni.
Heran, buat suami yang LDR bukannya bikinin sendiri sarapan spesial malah sibuk teriak-teriak. Biasanya aku bangun jauh sebelum Subuh, shalat tahajud dan berdoa panjang menjadi kesenanganku. Aku biasa mengadukan segala hal yang memenuhi hatiku baik itu ketakutan mau pun harapan saat tahajid. Menyenangkan sekali berbisik-bisik dalam sepi, rasanya seperti curhat pada sahabat terpercaya. Dan setelahnya aku akan memiliki energi yang besar untuk melalui hari seberat apa pun. Makanya sedih sekali saat momen spesial itu terlewat.
Aku memotong sayuran sambil mencuci di mesin cuci. Kompor sebelah tengah memasak bubur untuk Mama. Sambil menunggu sayur matang aku beres-beres di tengah rumah. Ikan yang tengah dimarinasi sudah menunggu untuk digoreng. Rasanya aku ingin membalah diri dan memiliki tangan seribu.
“Lala … cepetaan doong. Lapaar niih!” Yuni kembali berteriak.
“Lelet amat sih ngapain aja dia?” Saudara kembarnya menimpali. Lalu mereka meneruskan gosipnya.
“Sebentar lagi … mau goreng ikan.”
Aku hanya menggelengkan kepala, dulu kadang aku mengajak mereka bekerja sama tapi tak pernah berhasil. Akhirnya dari pada cape hati mending cape fisik kukerjakan semuanya sendiri. Mama mertua suatu hari pernah bercerita, Mama dan Papa dulu orang berada dan mereka serba dilayani ART. Setelah tak memiliki ART pun semua pekerjaan rumah Mama yang mengerjakan dengan alasan tak mau membebani anak-anaknya. Walhasil semua anaknya manja dan serba ingin dilayani.
“Huuuhuuu … hiks hiks … huaaa ….” Itu suara Yusril terbangun. Kupikir biarlah ada Mas Agi ini. Aku meneruskan masak.
“Yusril bangun nih. Dia nggak mau sama aku.” Aku menghela napas dan menggendong anakku sambil menggoreng. Percuma saja berdebat. Aku meneruskan memasak dan melakukan pekerjaan lain sambil menggendong anak.
Beberapa saat kemudian Yani masuk dapur. Tumben, apa dia kasihan padaku? Syukurlah kalau begitu. “La, itu Mama bab, pengen cebok sekarang katanya udah nggak nyaman.” Ooh itu ternyata alasannya masuk dapur. Aku pura-pura tak mendengar, apa dia tak melihat bagaimana repotnya aku saat ini.
“Lala!” Yani berteriak di telingaku.
“Maaf, Yun. Ada apa? Aku lagi buru-buru nih katanya udah laper. Khawatir gosong bubur sama ikannya.” Kataku sambil membalik ikan dan mengaduk bubur.
“Sini Yusrilnya aku kasih ke Yuni. Masakan biar aku lanjutin. Kamu cebokin Mama aja.” Tumben. Aku segera menemui mama di kamarnya.
Rupanya kotoran Mama meluas karena sudah agak lama. Maka aku membereskan semuanya. Nyebokin Mama, menyeka seluruh badannya, membalur badannya dengan kayu putih supaya hangat dan wangi, juga mengganti seprei dan sarung bantal. Cukup lama aku di kamar Mama hingga terdengar ribut-ribut.
Asap membumbung tinggi di dapur dan masakanku gosong semua. Rupanya Yani yang berjanji meneruskan masakan malah meninggalkannya. Kami terbatuk-batuk. Yusril menangis keras.
“Lala … kamu mau bikin rumah kami kebakaran hah!”
“Kerjaan enggak pernah beres. Bikin sarapan aja sampe gosong!”
“Tanggungjawab kamu, beliin kami makanan pake uang kamu sendiri!”
Aku terduduk lemas menggelosor di lantai. Lelah jiwa raga secara bersamaan. Aku ini sebenarnya istri atau pembantu? Mas Agi tak membelaku sedikit pun saat saudara-saudaranya menyakitiku. Dia malah menatapku tajam seolah aku ini biang masalah. Katanya sabar itu tak ada batasnya, tapi sampai kapan aku harus bertahan dalam lelahnya jiwa raga?
Aku sungguh ikhlas melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga di rumah ini. Tapi setidaknya perlalukan aku dengan manusiawi. Katanya seorang istri berkewajiban mengabdi dan mentaati semua perintah suaminya. Aku sudah berusaha melakukannya tanpa mengeluh. Lalu tak bolehkah aku berharap hakku sebagai istri dipenuhi, untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin. Bukankah pembelaan, perlindungan, dan perasaan disayangi itu merupakan nafkah batin juga?
Kapan pula suamiku akan memberiku uang belanja, agar memiliki harga diri karena tak terus menumpang makan pada sudara-saudaranya? Berapa lama lagi aku akan kuat bertahan, ataukah sudah saatnya aku menyerah pada keadaan? Aku merasa berjuang sendirian, tanpa teman berbagi karena suami susah diajak berdiskusi.
***
Sore hari adikku datang dengan menjinjing martabak manis kesukaanku. Sungguh ini merupakan oase di padang pasir. Aku mengajaknya berbincang di teras samping. Dia menatapku iba saat melihat mataku yang sembab. Hanya pada Lina aku bisa curhat. Ibu tak boleh tahu penderitaan anaknya ini.
“Teh Lala belum makan ya?” selidik Lina. Aku menghentikan kunyahanku dengan malu. Lina yang tengah menggendong Yusril mengusap-usap punggungku dengan lembut, membuat air mataku nyaris tumpah lagi.
“Teh, aku ada tawaran jadi TKW dari teman. Majikannya butuh sekali perawat, gajinya besar sekali. Aku pikir siapa tahu Teh Lala mau nyoba. Siapa tahu ini jalan keluar masalah Teteh.” Lina berkata hati-hati.
Aku terdiam. Di daerah kami memang sudah lumrah perempuan berangkat menjadi TKW. Tapi itu tak ada dalam rencana masa depanku. Bagaimana pula dengan Yusril yang masih sangat kecil? Tapi betul juga kata Lina mungkin saja ini solusi dari masalahku saat ini. Tak ada salahnya kalau aku mempertimbangkannya.
Aku tak mengira bila di kemudian hari jalan ini mengantarkan ku pada kehidupan yang sangat berbeda di kemudian hari.
Setelah Lina pulang aku kembali pada kesibukan yang tak ada habisnya dan melupakan tawarannya. Hingga seminggu kemudian sebuah kejadian menyentak kesadaranku bahwa aku harus berjuang secepatnya keluar dari rumah ini. Malam itu aku terlelap lebih cepat karena badan yang teramat lelah setelah bekerja seharian. Perkerjaan rutin ditambah membuat makanan spesial permintaan Yani karena sang suami akan pulang. Seperti halnya suami Yuni, suami Yani pun bekerja di luar kota dan kabarnya meski dibujuk pun Yani tak mau ikut sang suami ke pedalaman Kalimantan. Alasannya tak bisa shopping kalau di sana.“La, aku pesen kembang goyang kayak waktu itu, Mas Doni suka. Jangan lupa juga bikin rengginang rasa terasi pedas, Mas Doni suka banget. Bikin yang banyak. Nih uangnya, kamu sekalian belanja daging sapi. Nanti bikin rending yang pedas.” Perintah Yani tadi pagi. Aku menghela napas tanpa bisa membantah, sudah pasti seharian aku tak bisa istirahat.Malam itu mas Agus nginap di rumah temannya yang keb
Pagi ini aku sama Lina memetik sayuran di kebun yang tak jauh dari rumah. Si Kecil Yusril masih tidur lelap dijaga Ibu di rumah. Nampak senyum sumringah Ibu saat aku mengatakan akan menginap di rumahnya untuk waktu yang lama. Ibu pasti kangen sekali sama cucu kesayangannya, kami memang jarang memiliki kesempatan untuk mengunjunginya karena kesibukanku yang tak ada habisnya di rumah mertua. “Lalapannya banyak banget, pasti nikmat banget kalau kita bikin sambel sama goreng ikan asin,” kataku sambil asyik memetik pucuk daun singkong.“Mantap banget itu, apalagi kalau dimakan sama nasi liwet panas, eco tiada dua,” Lina terkekeh. Aku mengangkat dua jempol. Alamat nganan timbanganku kalau lama di rumah Ibu.“Eh, geuning aya Teh Lala. Iraha kadieu? ” Uwa Yati kakaknya Ibu yang kebetulan lewat menyapa kami, menanyakan kapan aku datang ke rumah Ibu.“Iya, Uwa. Lala kemaren sore ke sininya. Mungkin mau nginep agak lama.”“Memangnya ibu mertua kamu sudah sembuh?”“Belum, Wa. Tapi di rumah Mama
Pagi hari saat menyiapkan sarapan, hp bututku yang hanya bisa buat nerima telpon berdering. Lalu suara Mas Agi dengan nada putus asa dan mengancam menyuruhku segera kembali ke rumah Mama. “Aku tak mau tahu kamu harus nurut sama suami, kamu cepat kembali ke rumah Mama. Yuni sama Yani sama sekali tak bisa diandalkan untuk merawat Mama. Aku kasihan sama Mama.” “Tapi Mas ….” ucapanku terpotong. “Tak ada tapi-tapian. Kalau sampai sore nanti kamu tak datang, awas aja.” Mas Agi membentak. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Baru juga seminggu hidupku tenang sekarang harus kembali ke tempat sumber masalah. “Telpon dari siapa, Teh?” Lina bertanya penasaran. Dia mengambil alih bawang yang tengah kukupas lalu membuat nasi goreng pete dengan cepat. “Mas Agi. Dia ngancam Teteh supaya cepet pulang.” “Bener-bener ngeselin ya. Baru juga istrinya tenang seminggu aja udah diancam-ancam. Masa anak tiga nggak bisa ngurus ibunya sendiri. Jangan mau dijadikan pembantu lagi, Teh!” Lina berkata
“Ya ampun Lala … kamu kemana aja sih? Rumah ini sepi tanpa kamu?” Teriakan kegirangan Yuni menyambut begitu kakiku menyentuh lantai teras. “Iya ih kamu liburannya lama-lama amat sih. Uangku nyaris habis karena tiap hari harus makan di luar.”“Kamarku udah nggak nyaman seminggu nggak dipel.”“Ih kok sama sih, bajuku sampe habis lho seminggu nggak nyuci.”“Itu belum seberapa, kamar Mama udah kayak kapal Titanic pecah plus ketumpahan air got. Ah untunglah kamu sekarang udah datang, La. Langsung aja ya, kami mau istirahat dulu. Dadah, Lalaa!”Meriah sekali sambutan ipar kembarku itu. Mereka kegirangan karena pembantu gratisnya sudah kembali ke rumah ini. Aku hanya menarik napas panjang, sudah kebayang seberapa kacaunya rumah ini tanpa kehadiranku.Mas Agi hanya menatapku dengan pandangan yang susah ditebak. Dia mengambil Yusril agar aku leluasa bekerja. Apa dia baru menyadari arti istrinya di mata saudari kembarnya? hanya seorang pembantu. Apa dia keberatan atau tak berdaya atau apa, aku
Aku semakin yakin dengan keputusanku, telah kukantongi tiga restu yang paling penting. Ibu kandung, suami, serta Mama mertua. Maka aku segera mengabari Lina. Dia yang akan membantuku mempersiapkan banyak hal yang bisa diwakilkan. Kadang aku merasa heran dengan anak SMU itu, dibalik segala kesederhanaannya dia punya banyak kemampuan. Mungkin kerasnya kehidupan telah menempanya sedemikian rupa. Siang hari suami Yani tiba. Semua menikmati hidangan di meja makan dengan disemarakkan senda gurau. Aku duduk lesehan di pojok ruangan sambil mengajak main Yusril. Tak ada yang ingat mengajakku bergabung di meja makan. Sudah biasa. Syukurlah ternyata suami Yani berbanding terbalik dari suami Yuni. Lelaki itu terlihat ramah dan menyenangkan. Meski terlihat mapan tapi tak kudengar sekali pun dia menyombongkan dirinya. Selesai beristirahat di sore hari dia ikut ngajak main Yusril yang tengah main sama ayahnya. Terlihat dia sangat menyukai anak kecil. Mas Agi pun tampaknya lebih nyaman saat berinter
Malam ini Mas Agi menginap di rumah temannya, katanya ada keperluan penting. Meski merasa was-was tapi aku tak bisa melarangnya. Saat makan malam Mas Adil menyuruhku tidur di kamar bersama Yani dan dia tidur di tengah rumah. Tapi istrinya menolak mentah-mentah. Siapa yang tahan berdepat dengan ipar kembar cerewet itu. Mereka selalu punya banyak alasan untuk memenangkan perdebatan, hingga akhirnya Mas Adil mengalah.Malam ini hujan lebat mengguyur bumi. Suasana rumah sangat sepi. Kurapatkan selimut pada tubuh anakku lalu mengecup pipinya. Aku beranjak ke kamar mandi saat merasa kantung kemih penuh. Saat membuka pintu kamar mandi jantungku nyaris melompat mendapati Mas Doni berdiri menghalangi jalan dengan seringai jahatnya. Aku mundur selangkah. Lelaki tak ada akhlak pun ikut maju. Meski gemetar tapi aku harus tenang. Suami Yuni itu hendak membekap mulutku, aku menghindar. Aku tak mungkin mengadu tenaga, sudah pasti kalah. Dia semakin penasaran dan beringas dan berhasil membekap mulutk
Setelah kejadian malam itu, esok harinya aku kembali ke rumah Ibu. Kupeluk Mama mertua yang menangis sesenggukan. Kami saling mencurahkan rasa hati melalui pelukan. Tak ada kata yang keluar, tapi hati kami berbicara banyak sekali. Kucium punggung tangannya dengan takzim, dan beliau mencium keningku lama sekali. Lalu beralih mencium ubun-ubun cucunya sangat lama dengan bibir bergerak pelan. Kuyakin jutaan doa dilangitkan Mama mertua untuk anakku. Setelah dari kamar Mama kuambil tas lusuh yang berisi sedikit bajuku dan anakku.“Cepetan pergi. Jangan harap bisa kembali ke rumah ini. Dasar mura**n!” Yuni menatapku sinis. Mas Agi mengantarkan kami hingga ke rumah Ibu lalu segera pamitan setelah minum sebentar. Sepeninggal Mas Agi aku menghambur ke pelukan Ibu dan menumpahkan tangis di sana. Lina mengajak Yusril menjauh untuk memberiku waktu bersama Ibu. Untung saja hari ini dia libur sekolah.“Apa yang terjadi, Teh? Ibu senang Teteh bisa tinggal di sini tapi juga sedih melihat wajah sembab
Hari ini cuaca panas sekali. Yusril tidak mau memakai baju dan minta dikipasin, dia agak rewel karena kegerahan. Lina berinisiatif mengajak ponakannya jajan es krim. Pulang dari warung Bi Teti anakku tertawa kesenengan dengan mulut belepotan es krim. Di tangan Lina ada keresek yang sepertinya isinya lumayan berat. Dia mengeluarkan isinya.Ada mangga muda, jambu air, mentimun, bengkoang, dan nanas. Kulihat Ibu langsung menelan saliva saat melihatnya. Aku tak kalah sumringahnya. Waktu yang tepat buat ngerujak, tahu saja adik semata wayangku ini.“Bumbu rujak bikinan Teh Lala paling jempolan, jadi kuserahkan jabatan kehormatan bikin bumbu buat Tetehku tersayang. Bikinnya yang banyak ya, soalnya para tetangga yang ketemu di warung sama Wak Yati sekeluarga mau ikut ngerujak. Buah itu pun mereka yang beliin. Hehehe.” Lina cengengesan.“Pantesan, perasaan tadi cuman bawa uang marebu, kok bisa bawa buah segambreng hahaha.” Dengan semangat 45 aku bikin bumbu rujak. Ah, baru membayangkan saja