Setelah kejadian malam itu, esok harinya aku kembali ke rumah Ibu. Kupeluk Mama mertua yang menangis sesenggukan. Kami saling mencurahkan rasa hati melalui pelukan. Tak ada kata yang keluar, tapi hati kami berbicara banyak sekali. Kucium punggung tangannya dengan takzim, dan beliau mencium keningku lama sekali. Lalu beralih mencium ubun-ubun cucunya sangat lama dengan bibir bergerak pelan. Kuyakin jutaan doa dilangitkan Mama mertua untuk anakku. Setelah dari kamar Mama kuambil tas lusuh yang berisi sedikit bajuku dan anakku.“Cepetan pergi. Jangan harap bisa kembali ke rumah ini. Dasar mura**n!” Yuni menatapku sinis. Mas Agi mengantarkan kami hingga ke rumah Ibu lalu segera pamitan setelah minum sebentar. Sepeninggal Mas Agi aku menghambur ke pelukan Ibu dan menumpahkan tangis di sana. Lina mengajak Yusril menjauh untuk memberiku waktu bersama Ibu. Untung saja hari ini dia libur sekolah.“Apa yang terjadi, Teh? Ibu senang Teteh bisa tinggal di sini tapi juga sedih melihat wajah sembab
Hari ini cuaca panas sekali. Yusril tidak mau memakai baju dan minta dikipasin, dia agak rewel karena kegerahan. Lina berinisiatif mengajak ponakannya jajan es krim. Pulang dari warung Bi Teti anakku tertawa kesenengan dengan mulut belepotan es krim. Di tangan Lina ada keresek yang sepertinya isinya lumayan berat. Dia mengeluarkan isinya.Ada mangga muda, jambu air, mentimun, bengkoang, dan nanas. Kulihat Ibu langsung menelan saliva saat melihatnya. Aku tak kalah sumringahnya. Waktu yang tepat buat ngerujak, tahu saja adik semata wayangku ini.“Bumbu rujak bikinan Teh Lala paling jempolan, jadi kuserahkan jabatan kehormatan bikin bumbu buat Tetehku tersayang. Bikinnya yang banyak ya, soalnya para tetangga yang ketemu di warung sama Wak Yati sekeluarga mau ikut ngerujak. Buah itu pun mereka yang beliin. Hehehe.” Lina cengengesan.“Pantesan, perasaan tadi cuman bawa uang marebu, kok bisa bawa buah segambreng hahaha.” Dengan semangat 45 aku bikin bumbu rujak. Ah, baru membayangkan saja
“Ya ampun pantesan dicari ke mana-mana nggak ketemu, ternyata kalian nyantei-nyantei di sini? Mama ditinggalin sendirian di rumah.” suara cempreng Yuni tiba-tiba terdengar di halaman rumah. Tumben dia mau datang ke mari. Ternyata dia boncengan sama kembarannya.“Kamu itu Mas diajak jalan ke mall nggak mau eh malah nongkrong di sini. Hati-hati aja kamu ada yang ngegoda setelah gagal ngegoda Mas Doni.” Suara Yuni terdengar lebih lembut tapi isinya penuh bisa. Ibu mengelus punggungku berusaha menenangkan hatiku yang meradang.Setelah ngerujak tadi memang Mas Agi dan iparnya asik main sama Yusril. Ketiganya terlihat menikmati sekali kebersamaannya. Lagi pula saat kutanya tentang Mama tadi, Mas Agi bilang sudah ada orang yang dibayar untuk menjaganya. Makanya Ibu mengajak mereka makan siang di sini dan mereka mau. Kulihat suamiku dan iparnya makan dengan lahap meski dengan menu Sunda alakadarnya. Asin, tempe goreng, tahu goreng, sambal terasi dan lal
Rasanya seperti mimpi hari ini aku bisa terbang menggunakan pesawat Saudia Airlines. Mataku berkeliling mengagumi kemegahan teknologi hasil kecerdasan otak manusia ini. Dan terkagum-kagum melihat kecantikan para pramugari berwajah Timur Tengah yang lalu lalang di sekitar kami. Kucari nomor kursiku ternyata ada di bagian belakang. Tak jauh dari tempat duduk sepertinya ada toilet, amanlah kalau kebelet. Kuanggukan kepala pada seorang wanita paruh baya yang menduduki kursi sebelah. Dia tersenyum dengan ramah. “Umroh, De?” sapanya.Aku tersipu. “Bukan, Bu. Aku calon TKW. Ibu mau umroh ya?”“Iya, itu rombongan kami,” katanya sambil menunjuk pada orang-orang yang memakan pakaian seragam.Aku baru menyadari ternyata mereka rombongan jamaah umroh. Semoga Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk ibadah umroh. Hal itu pula salah satu motivasiku untuk menerima tawaran menjadi perawat di Kota Madinah.“Doakan saya supaya Allah berikan kesempa
“Sudah Zuhur, Ade mau salat sambil duduk atau di mushala?” Tepukan lembut Bu Mulia di lengan menyadarkanku. Rupanya pesawat sudah mengudara dengan stabil. Pramugari berlalu lalang membagikan makan siang para penumpang. “Ikan atau ayam?” tawar pramugari padaku dan Bu Mulia.“Ikan,” aku mengikuti jawaban bu Mutia karena agak kikuk belum terbiasa dengan pesawat.Pramugari cantik itu memberikan sebaki makanan dengan lauk utama ikan.“Aku mau salat di mushola, wudlunya di mana, Bu?”“Wudlunya tayamum aja, De. Kalau mau ke toilet itu tapi nggak bisa wudlu. Kamu lihat sendiri aja biar nggak penasaran.”Aku menuju toilet yang tak jauh dari tempat duduk. Seperti bukan toilet, kering nyaris tak ada air dan tempatnya bagus banget. Pantesan kata Bu Mulia tak bisa wudlu, pipis aja terbatas buat bersih-bersihnya. Lalu aku menuju mushola yang tak jauh dari toilet. Rupanya tempat ini difungsikan sebagai mushola hanya saat masuk w
Tak terasa sudah seminggu aku menjadi perawat di kota Madinah. Salah satu kota impianku juga impian berjuta-juta kaum muslimin di dunia. Sebenarnya aku tak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan sama sekali. Hanya modal pengalaman merawat Mama mertua beberapa bulan ini. Ditambah tekad kuat untuk mengubah tarap hidup agar lebih baik.Sebelumnya kudengar dari informasi yang disampaikan melalui adikku, para perawat sebelumnya tidak betah karena mulut tajam majikan kami. Biarlah akan kutahan semua ujian itu agar aku bisa bertahan. Toh aku juga sudah biasa menghadapi mulut tajam ipar kembarku. Semoga Allah melipatgandakan kesabaranku dalam menghadapinya.Saat melihat rumah majikanku dari luar terlihat biasa saja, kotak dengan warna coklat susu seperti yang lainnya. Tapi saat masuk masya Allah buatku seperti masuk istana. Karpet tebal terhampar hampir di seluruh ruang tamu dan ruang keluarga. Gordennya tinggi-tinggi dan sangat bergaya. Saat itu aku malah berpikir bagaimana cara members
Ayu memperlihatkan foto kalung dan beberapa buah cincin. Kutaksir semuanya bisa sampai 20 gram. Sungguh beruntung Ayu mampu mengambil hati majikan. Dari obrolan para tetangga yang pernah jadi TKW aku menyimpulkan tipe majikan itu sangat beragam. Ada yang bicaranya baik tapi tak pernah ngasih hadiah dan ada pula yang sebaliknya, mulutnya tajam tapi suka ngasih hadiah. Yang paling apes tentu saja sudah pelit, bermulut tajam pula.“Dari cerita kamu mengurus ibu mertua selama itu aku yakin kok kamu bakal mudah menjadi kesayangan Ummi sama Madam.” Ayu membesarkan hatiku.“Doakan ya. Saat ini aku masih terkendala Bahasa. Kadang nggak ngerti majikanku bilang apa. Akhirnya dia ngomel-ngomel sambil nunjuk-nunjuk.” Aku menunduk sedih menceritakan kendala yang kualami saat ini.“Yang sabar ya. Lama-lama juga telinga kamu terbiasa dengan Bahasa mereka. Aku juga dulu sama kayak kamu. Nanti malam kita latihan percakapan yang biasa majikan kita ucapkan ya.” Aku sangat berterima kasih pada perhatian t
Saat turun dari taksi aku melihat seorang balita laki-laki tengah bermain bersama teman-temannya di depan rumah Ibu. Dia tertawa dengan riang. Tawanya menular padaku membuat hatiku hangat. Dia pasti Yusril anak kesayanganku. Kurentangkan tangan sambil menyapanya.“Ucil, sini Sayang. Ini Ibu, Nak!”Dia menghentikan tawanya dan menatapku tak suka. Semakin kudekati semakin menghindar. Ibu dan Lina keluar rumah untuk membujuknya tapi dia tak mau mendengarkan. Dia malah menangis dan menjerit-jerit. Kami menjadi tontonan para tetangga dan anak-anak yang tengah bermain. Aku menangis sesenggukkan, rasanya sakit sekali ditolak anak sendiri. Aku masih sesenggukan saat seseorang mengguncang-guncang badanku.“Kamu mimpi buruk, La?’Syukurlah ternyata hanya mimpi. Rasanya sesakit itu, seperti nyata. Ayu menatapku dengan khawatir. Dia mengusap-usap punggungku. Bukannya tenang, aku malah makin meledakkan tangis dalam pelukan kawan baruku yang baik hati itu.Setelah tenang kuceritakan mimpiku. Meski