Pagi hari saat menyiapkan sarapan, hp bututku yang hanya bisa buat nerima telpon berdering. Lalu suara Mas Agi dengan nada putus asa dan mengancam menyuruhku segera kembali ke rumah Mama.
“Aku tak mau tahu kamu harus nurut sama suami, kamu cepat kembali ke rumah Mama. Yuni sama Yani sama sekali tak bisa diandalkan untuk merawat Mama. Aku kasihan sama Mama.”
“Tapi Mas ….” ucapanku terpotong.
“Tak ada tapi-tapian. Kalau sampai sore nanti kamu tak datang, awas aja.” Mas Agi membentak.
Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Baru juga seminggu hidupku tenang sekarang harus kembali ke tempat sumber masalah.
“Telpon dari siapa, Teh?” Lina bertanya penasaran. Dia mengambil alih bawang yang tengah kukupas lalu membuat nasi goreng pete dengan cepat.
“Mas Agi. Dia ngancam Teteh supaya cepet pulang.”
“Bener-bener ngeselin ya. Baru juga istrinya tenang seminggu aja udah diancam-ancam. Masa anak tiga nggak bisa ngurus ibunya sendiri. Jangan mau dijadikan pembantu lagi, Teh!” Lina berkata geregetan.
Andai aku bisa mengikuti saran Lina. Tapi itu tak mungkin. Mas Agi masih suami sahku, keridoannya masih kunci surgaku. Terlepas dari segala kekurangannya, aku tak mau mengundang murka Allah karena tak menuruti perintah suami. Bila Allah murka sedikit saja, pada siapa lagi aku bisa berlindung.
Meski berat untuk kulakukan, tapi jelas ini bukan perintah untuk berbuat maksiat. Lagi pula aku terlanjur sayang sama Mama mertua. Saat sehat beliau selalu melimpahkan kasih sayangnya padaku, tak mungkin aku menelantarkannya saat beliau sakit.
“Tak apa, Teteh akan menuruti perintah Mas Agi. Tolong kamu antar Teteh untuk latihan silat sama Wak Haji Rozaq terakhir hari ini.”
“Siip.” Lina mengacungkan dua jempol.
“Bela diri itu sebenarnya penting banget ya, Teh, buat para wanita, supaya minimal bisa ngejaga diri sendiri. Kita tak tahu aja kapan ngebutuhin ilmu bela diri itu.”
Aku mengangguk-angguk mmebenarkan ucapan Lina. Setelah mengalami hal kurang menyenangkan aku baru menyadari pentingnya ilmu bela diri. Karena itulah saat sampai ke rumah Ibu aku langsung ngajak Lina menemui Wak Haji.
“Teh, boleh Ibu ngasih saran?” Ibu yang tengah menggendong Yusril masuk ke dapur.
Aku menghadap ke Ibu siap mendengar sarannya.
“Bila melihat kondisi kalian saat ini sepertinya Teteh tak akan bisa keluar dari rumah itu dengan cepat. Ibu sangat mengkhawatirkan kehormatan Teteh. Apalagi kata Teteh suami Yuni itu akan lama di rumah itu kan? Maka jalan terbaik saat ini Teteh menjadi TKW.” Ibu menjeda ucapannya, mengamati raut wajahku.
Lina menghidangkan nasi goreng pete di meja makan di depan kami.
Melihatku hanya diam menyimak Ibu melanjutkan ucapannya, “Semoga pekerjaan Teteh di sana lancar sehingga saat pulang bisa membangun rumah. Mungkin Teteh bisa mengatakan akan udunan untuk menyewa perawat buat Mama mertua, agar Agi dan Yuni Yani tak menghalangi niat Teteh. Tentang Yusril tak usah khawatir, Ibu sama Lina siap mengasuhnya.”
Dengan berat hati aku membenarkan pendapat Ibu. Tak ada yang bisa diandalkan saat ini untuk melindungi diriku selain diri sendiri. Mas Agi bahkan tak mempercayai bila kehormatan istrinya ini terancam. Sampai saat ini aku bergidik mengingat sorot mata Mas Doni malam itu.
“Aku setuju dua ratus persen sama Ibu. Aku akan pulang cepat tiap pulang sekolah, agar bisa membantu Ibu ngasuh Yusril. Teteh tenang aja.” Lina bicara setelah menelan nasi gorengnya. Aku sama Ibu pun menikmati nasi gorengnya dengan lahap. Lezat.
Aku memeluk Lina. Anak remaja SMU itu memang bisa diandalkan, mungkin karena kami terbiasa hidup sederhana dan mandiri.
“Kalau begitu Teteh akan bicara sama Mas Agi secepatnya. Kalau dia sudah oke nanti kamu bantu Teteh mengurus keperluannya ya, Lin. Tolong kontak dulu teman kamu itu, minta waktu beberapa hari untuk bersiap. Mereka belum dapat perawat kan?”
“Katanya sih belum. Entah kenapa mereka seperti menunggu Teh Lala. Mungkin terkesan dengan ceritaku soal Teteh biasa merawat mertua dengan sabar.” Lina terkekeh.
“Untuk beberapa hari Teteh yang sabar dulu di rumah itu. Insya Allah aman kalau hanya beberapa hari. Ilmu dari Wak Haji cukup buat bikin Teteh bisa menghindar ya.”
Aku tersenyum. Sebenarnya waktu gadis dulu aku ikut latihan silat bersama Wak Haji Rozaq, lumayanlah jurusku sudah banyak. Tapi karena lama nggak latihan jadinya lupa-lupa ingat dan kaku lagi. Selama di rumah Ibu, atas saran Lina aku kembali latihan dengan lebih intensif. Targetannya bisa melindungi diri sendiri.
***
“Assalamualaikum, Shifu!” Lina meletakan tangan di dahi seperti tengah menghormat pada atasan, saat bertemu Wak Haji di belakang rumahnya yang dijadikan sanggar silat. Wak Haji terkekeh melihat kelakuan muridnya itu.
Menjelang siang kami mulai latihan bertiga. Murid silat lainnya tengah beristirahat karena mereka latihan dari pagi. Khusus hari ini kami akan berlatih lebih lama dari biasanya karena sore nanti aku harus kembali ke rumah Mama. Wak Haji mengetahui masalahku dan beliau memberikan teknik-teknik khusus untuk melindungi diri saat darurat.
“Kuda-kudamu udah mantap lagi, La. Pukulan kamu juga penuh tenaga. Wak Haji harap kamu bisa melatih jurusmu secara rutin meski sebentar-sebentar. Buat ngejaga reflek dan kegesitannya.” Wak Haji menasihatiku. Aku mengiyakan dengan penuh rasa terima kasih.
Ada gunanya juga sering angkat galon, gas 12kg, naik atap membetulkan genteng yang bocor, membuat tubuhku fit dan kuat meski lama tak latihan silat. Jadi sekarang aku tinggal berlatih supaya jurus-jurusnya enggak lupa dan refleknya bagus saat melindungi diri.
Mulai sekarang aku akan curi-curi waktu buat latihan di belakang rumah saat orang rumah pergi. Siang hari rumah sering sepi dan Mama biasanya tidur siang. Aku tersenyum membayangkan rencanaku nanti. Wak Haji bilang tak perlu lama-lama yang penting rutin latihannya.
“Kamu yang kuat ya, La. Wak Haji tahu kamu menuruni sifat Bapakmu yang pemberani. Wak Haji juga bantu doa dari jauh, semoga kamu dijauhkan dari segala marabahaya. Sesekali coba ajak suami kamu ngobrol sama Wak Haji.”
Mataku berkaca-kaca mendapat perhatian dari guruku. Rasanya ingin menghambur menumpahkan rasa sesak dan tangis dalam pelukan kokohnya. Tapi itu tak mungkin, beliau bukan mahromku. Ah, andai Bapak masih ada.
“Makasih banyak Wak Haji. Makasih untuk semuanya.” Aku tak bisa berkata banyak karena tenggorokanku tercekat oleh bahan tangisan.
***
Setelah Ashar aku berangkat kembali dengan si Kecil Yusril menuju rumah Mama mertua. Ibu dan Lina mengiringi langkahku dengan tatapan yang sulit dilukiskan. Aku yakin, doa Ibu selalu menyertai dalam setiap langkahku. Aku merasa lebih siap menghadapi segala cobaan dengan senjata doa dari ibu serta bekal ilmu bela diri dari Wak Haji. Semoga Allah selalu melindungiku.
“Ya ampun Lala … kamu kemana aja sih? Rumah ini sepi tanpa kamu?” Teriakan kegirangan Yuni menyambut begitu kakiku menyentuh lantai teras. “Iya ih kamu liburannya lama-lama amat sih. Uangku nyaris habis karena tiap hari harus makan di luar.”“Kamarku udah nggak nyaman seminggu nggak dipel.”“Ih kok sama sih, bajuku sampe habis lho seminggu nggak nyuci.”“Itu belum seberapa, kamar Mama udah kayak kapal Titanic pecah plus ketumpahan air got. Ah untunglah kamu sekarang udah datang, La. Langsung aja ya, kami mau istirahat dulu. Dadah, Lalaa!”Meriah sekali sambutan ipar kembarku itu. Mereka kegirangan karena pembantu gratisnya sudah kembali ke rumah ini. Aku hanya menarik napas panjang, sudah kebayang seberapa kacaunya rumah ini tanpa kehadiranku.Mas Agi hanya menatapku dengan pandangan yang susah ditebak. Dia mengambil Yusril agar aku leluasa bekerja. Apa dia baru menyadari arti istrinya di mata saudari kembarnya? hanya seorang pembantu. Apa dia keberatan atau tak berdaya atau apa, aku
Aku semakin yakin dengan keputusanku, telah kukantongi tiga restu yang paling penting. Ibu kandung, suami, serta Mama mertua. Maka aku segera mengabari Lina. Dia yang akan membantuku mempersiapkan banyak hal yang bisa diwakilkan. Kadang aku merasa heran dengan anak SMU itu, dibalik segala kesederhanaannya dia punya banyak kemampuan. Mungkin kerasnya kehidupan telah menempanya sedemikian rupa. Siang hari suami Yani tiba. Semua menikmati hidangan di meja makan dengan disemarakkan senda gurau. Aku duduk lesehan di pojok ruangan sambil mengajak main Yusril. Tak ada yang ingat mengajakku bergabung di meja makan. Sudah biasa. Syukurlah ternyata suami Yani berbanding terbalik dari suami Yuni. Lelaki itu terlihat ramah dan menyenangkan. Meski terlihat mapan tapi tak kudengar sekali pun dia menyombongkan dirinya. Selesai beristirahat di sore hari dia ikut ngajak main Yusril yang tengah main sama ayahnya. Terlihat dia sangat menyukai anak kecil. Mas Agi pun tampaknya lebih nyaman saat berinter
Malam ini Mas Agi menginap di rumah temannya, katanya ada keperluan penting. Meski merasa was-was tapi aku tak bisa melarangnya. Saat makan malam Mas Adil menyuruhku tidur di kamar bersama Yani dan dia tidur di tengah rumah. Tapi istrinya menolak mentah-mentah. Siapa yang tahan berdepat dengan ipar kembar cerewet itu. Mereka selalu punya banyak alasan untuk memenangkan perdebatan, hingga akhirnya Mas Adil mengalah.Malam ini hujan lebat mengguyur bumi. Suasana rumah sangat sepi. Kurapatkan selimut pada tubuh anakku lalu mengecup pipinya. Aku beranjak ke kamar mandi saat merasa kantung kemih penuh. Saat membuka pintu kamar mandi jantungku nyaris melompat mendapati Mas Doni berdiri menghalangi jalan dengan seringai jahatnya. Aku mundur selangkah. Lelaki tak ada akhlak pun ikut maju. Meski gemetar tapi aku harus tenang. Suami Yuni itu hendak membekap mulutku, aku menghindar. Aku tak mungkin mengadu tenaga, sudah pasti kalah. Dia semakin penasaran dan beringas dan berhasil membekap mulutk
Setelah kejadian malam itu, esok harinya aku kembali ke rumah Ibu. Kupeluk Mama mertua yang menangis sesenggukan. Kami saling mencurahkan rasa hati melalui pelukan. Tak ada kata yang keluar, tapi hati kami berbicara banyak sekali. Kucium punggung tangannya dengan takzim, dan beliau mencium keningku lama sekali. Lalu beralih mencium ubun-ubun cucunya sangat lama dengan bibir bergerak pelan. Kuyakin jutaan doa dilangitkan Mama mertua untuk anakku. Setelah dari kamar Mama kuambil tas lusuh yang berisi sedikit bajuku dan anakku.“Cepetan pergi. Jangan harap bisa kembali ke rumah ini. Dasar mura**n!” Yuni menatapku sinis. Mas Agi mengantarkan kami hingga ke rumah Ibu lalu segera pamitan setelah minum sebentar. Sepeninggal Mas Agi aku menghambur ke pelukan Ibu dan menumpahkan tangis di sana. Lina mengajak Yusril menjauh untuk memberiku waktu bersama Ibu. Untung saja hari ini dia libur sekolah.“Apa yang terjadi, Teh? Ibu senang Teteh bisa tinggal di sini tapi juga sedih melihat wajah sembab
Hari ini cuaca panas sekali. Yusril tidak mau memakai baju dan minta dikipasin, dia agak rewel karena kegerahan. Lina berinisiatif mengajak ponakannya jajan es krim. Pulang dari warung Bi Teti anakku tertawa kesenengan dengan mulut belepotan es krim. Di tangan Lina ada keresek yang sepertinya isinya lumayan berat. Dia mengeluarkan isinya.Ada mangga muda, jambu air, mentimun, bengkoang, dan nanas. Kulihat Ibu langsung menelan saliva saat melihatnya. Aku tak kalah sumringahnya. Waktu yang tepat buat ngerujak, tahu saja adik semata wayangku ini.“Bumbu rujak bikinan Teh Lala paling jempolan, jadi kuserahkan jabatan kehormatan bikin bumbu buat Tetehku tersayang. Bikinnya yang banyak ya, soalnya para tetangga yang ketemu di warung sama Wak Yati sekeluarga mau ikut ngerujak. Buah itu pun mereka yang beliin. Hehehe.” Lina cengengesan.“Pantesan, perasaan tadi cuman bawa uang marebu, kok bisa bawa buah segambreng hahaha.” Dengan semangat 45 aku bikin bumbu rujak. Ah, baru membayangkan saja
“Ya ampun pantesan dicari ke mana-mana nggak ketemu, ternyata kalian nyantei-nyantei di sini? Mama ditinggalin sendirian di rumah.” suara cempreng Yuni tiba-tiba terdengar di halaman rumah. Tumben dia mau datang ke mari. Ternyata dia boncengan sama kembarannya.“Kamu itu Mas diajak jalan ke mall nggak mau eh malah nongkrong di sini. Hati-hati aja kamu ada yang ngegoda setelah gagal ngegoda Mas Doni.” Suara Yuni terdengar lebih lembut tapi isinya penuh bisa. Ibu mengelus punggungku berusaha menenangkan hatiku yang meradang.Setelah ngerujak tadi memang Mas Agi dan iparnya asik main sama Yusril. Ketiganya terlihat menikmati sekali kebersamaannya. Lagi pula saat kutanya tentang Mama tadi, Mas Agi bilang sudah ada orang yang dibayar untuk menjaganya. Makanya Ibu mengajak mereka makan siang di sini dan mereka mau. Kulihat suamiku dan iparnya makan dengan lahap meski dengan menu Sunda alakadarnya. Asin, tempe goreng, tahu goreng, sambal terasi dan lal
Rasanya seperti mimpi hari ini aku bisa terbang menggunakan pesawat Saudia Airlines. Mataku berkeliling mengagumi kemegahan teknologi hasil kecerdasan otak manusia ini. Dan terkagum-kagum melihat kecantikan para pramugari berwajah Timur Tengah yang lalu lalang di sekitar kami. Kucari nomor kursiku ternyata ada di bagian belakang. Tak jauh dari tempat duduk sepertinya ada toilet, amanlah kalau kebelet. Kuanggukan kepala pada seorang wanita paruh baya yang menduduki kursi sebelah. Dia tersenyum dengan ramah. “Umroh, De?” sapanya.Aku tersipu. “Bukan, Bu. Aku calon TKW. Ibu mau umroh ya?”“Iya, itu rombongan kami,” katanya sambil menunjuk pada orang-orang yang memakan pakaian seragam.Aku baru menyadari ternyata mereka rombongan jamaah umroh. Semoga Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk ibadah umroh. Hal itu pula salah satu motivasiku untuk menerima tawaran menjadi perawat di Kota Madinah.“Doakan saya supaya Allah berikan kesempa
“Sudah Zuhur, Ade mau salat sambil duduk atau di mushala?” Tepukan lembut Bu Mulia di lengan menyadarkanku. Rupanya pesawat sudah mengudara dengan stabil. Pramugari berlalu lalang membagikan makan siang para penumpang. “Ikan atau ayam?” tawar pramugari padaku dan Bu Mulia.“Ikan,” aku mengikuti jawaban bu Mutia karena agak kikuk belum terbiasa dengan pesawat.Pramugari cantik itu memberikan sebaki makanan dengan lauk utama ikan.“Aku mau salat di mushola, wudlunya di mana, Bu?”“Wudlunya tayamum aja, De. Kalau mau ke toilet itu tapi nggak bisa wudlu. Kamu lihat sendiri aja biar nggak penasaran.”Aku menuju toilet yang tak jauh dari tempat duduk. Seperti bukan toilet, kering nyaris tak ada air dan tempatnya bagus banget. Pantesan kata Bu Mulia tak bisa wudlu, pipis aja terbatas buat bersih-bersihnya. Lalu aku menuju mushola yang tak jauh dari toilet. Rupanya tempat ini difungsikan sebagai mushola hanya saat masuk w