“Ya ampun Lala … kamu kemana aja sih? Rumah ini sepi tanpa kamu?” Teriakan kegirangan Yuni menyambut begitu kakiku menyentuh lantai teras.
“Iya ih kamu liburannya lama-lama amat sih. Uangku nyaris habis karena tiap hari harus makan di luar.”
“Kamarku udah nggak nyaman seminggu nggak dipel.”
“Ih kok sama sih, bajuku sampe habis lho seminggu nggak nyuci.”
“Itu belum seberapa, kamar Mama udah kayak kapal Titanic pecah plus ketumpahan air got. Ah untunglah kamu sekarang udah datang, La. Langsung aja ya, kami mau istirahat dulu. Dadah, Lalaa!”
Meriah sekali sambutan ipar kembarku itu. Mereka kegirangan karena pembantu gratisnya sudah kembali ke rumah ini. Aku hanya menarik napas panjang, sudah kebayang seberapa kacaunya rumah ini tanpa kehadiranku.
Mas Agi hanya menatapku dengan pandangan yang susah ditebak. Dia mengambil Yusril agar aku leluasa bekerja. Apa dia baru menyadari arti istrinya di mata saudari kembarnya? hanya seorang pembantu. Apa dia keberatan atau tak berdaya atau apa, aku tak bisa menebaknya.
Mas Doni keluar kamar karena kegaduhan istri dan saudarinya. Sudut bibirnya terangkat sedikit dengan sorot mata menyipit. Dalam hati aku beristighfar banyak-banyak. Nampaknya serigala itu masih penasaran karena mangsanya berhasil kabur. Tanpa sadar aku bergidik.
‘Sabar, Lala. Kamu tak boleh gentar. Kamu sudah dibekali ilmu beladiri sama Wak Haji. Lagi pula kamu di rumah ini hanya sebentar saja.’ Aku bicara pada diri sendiri. Tekadku sudah bulat untuk bicara sama Mas Agi secepatnya.
“Ngapain sih ngelamun, cepetan kerja sana. Pasti bingung kan mau mulai dari mana dulu? Haha ….”
“Makanya lain kali kalau mau liburan jangan kelamaan dong.”
Tak kuhiraukan ocehan ipar kembar. Aku segera menemui Mama di kamarnya.
Hampir saja aku muntah karena bau yang sangat menyengat, tapi kutahan saat melihat Mama tersenyum ke arahku sambil meneteskan air mata.
“Maafin Lala lama ninggalin Mama ya.” Air mataku mengalir melihat kondisi kamar dan badan Mama.
Tanpa banyak bicara aku segera membereskan kamar, memandikan Mama, lalu menyuapinya bubur sumsum yang kubikin secara kilat. Kata dokter seharusnya Mama mendapat perawatan khusus untuk memperbesar peluang sembuhnya. Tapi anak-anak Mama selalu beralasan tak ada uang.
“Uang dari mana buat nyewa perawat? Lagian kan Mama memang sudah tua, ya wajar aja kalau sakit.” Yani berargumentasi saat aku menyampaikan perkataan dokter.
“Dirawat sama kamu juga udah cukup kali, La. Nggak ada bedanya kan dengan dirawat sama perawat. Gitu-gitu juga.” Yuni menimpali. Aku hanya menghela napas berat. Andai aku memiliki uang, tak kan kubiarkan Mama tanpa perawatan memadai seperti ini.
Setelah Mama terlihat kenyang aku kembali ke dapur. Bingung harus mulai dari mana, wastapel penuh dengan wadah kotor yang sudah mengering. Lantai lengket campuran debu dan tumpahan makanan. Baju kotor menggunung di semua penjuru dapur. Tempat sampah mengeluarkan belatung. Parah.
Pukul Sembilan malam semua pekerjaan akhirnya selesai, saatnya istirahat. Besok pagi aku harus ke pasar dan masak spesial karena suami Yani akan pulang. Sepenuh hati aku berharap semoga suami Yani orangnya baik. Nggak kebayang kalau dia punya perangai buruk makin terancamlah diriku.
***
Selesai masak aku leyeh-leyeh di tengah rumah sambil ngajak main Yusril. Mas Agi juga ikutan ngajak main anaknya. Nampaknya ini waktuku untuk berbicara. Lebih cepat lebih baik.
“Ehem, Mas, aku mau bicara.”
“Apa?”
“Ada tawaran jadi TKW, gajinya bagus.”
“Terus?”
“Kalau kamu ngasih izin aku mau berangkat. Kerjanya jadi perawat orang sakit.”
“Jauh-jauh ngerawat orang tapi mertua sendiri ditinggalin. Aku nggak ngizinin. Lagi pula Yusril siapa yang jaga nanti? aku nggak sanggup.” Mas Agi berkata ketus.
“Ibu sudah menyanggupi buat jaga Yusril, Mas. Aku bisa ikut nyumbang untuk nyewa perawat buat Mama. Gajiku nanti kamu tabung biar kita bisa punya tempat tinggal sendiri, Mas. Masa Mas tega sih kita selamanya tak punya kamar. Biar semuanya aku yang urus, aku hanya meminta izin dan restu darimu.” Aku mencoba membujuk suamiku.
“Yah, kalau seperti itu bolehlah aku kasih izin. Tapi kamu harus penuhi janjimu ya untuk menyewakan perawat untuk Mama.”
Di antara anak-anak Mama sepertinya Mas Agi yang paling perhatian pada kondisi Mama. Sayang sekali dia laki-laki jadi tak bisa telaten seperti perempuan.
“Makasih ya, Mas. Kalau gitu aku akan bicara sama Mama terus mempersiapkan semuanya secepatnya. Menjadi TKW dua tahun untuk kebahagiaan yang lebih lama aku rasa sanggup.”
“Apa? Siapa yang mau jadi TKW?” entah kapan masuk rumahnya tiba-tiba Yani dan Yuni kompak berteriak.
Mas Agi menjelaskan semuanya termasuk janjiku untuk menyewa perawat untuk Mama.
“Aku tetep tak setuju, perawat hanya akan merawat Mama. Dia tak mungkin masak dan beres-beres rumah juga kan?”
“Kan bisa sama-sama dikerjakannya, Yun. Kalau dikerjakan tiap hari nggak akan berat, kok.” Aku berusaha menyabar-nyabarkan diri. Enak aja nganggap aku pembantu.
“Aku nggak mau, bisa kasar tanganku kalau mengerjakan pekerjaan kasar macam babu.”
“Aku juga nggak mau. Aku sibuk sama bisnis online. Apalagi kalau Mas Adil pulang besok, aku pasti sibuk nemenin dia jalan-jalan.” Yani sama saja.
“Pokoknya kami nggak ngasih izin Lala buat jadi TKW, titik.”
Memangnya siapa yang minta izin sama kalian, batinku gemas. Lebih gemas lagi saat melihat mulut Mas Agi yang baru bicara beberapa kata langsung mingkem lagi karena disindir adik kembarnya sebagai benalu di rumah Mama.
“Kami cuma mau ngsih izin kalau Lala mau nyewakan perawat sama pembantu, titik lagi!”
Enak aja, habis dong gajiku kalau begitu.
Saat istikharah aku diberi kemantapan hati oleh Allah untuk mengambil keputusan ini. Jika Dia meridloi jalanku ini pasti Dia sendiri yang akan membukakan jalan keluarnya. Dengan pemikiran seperti ini hatiku menjadi lebih tenang. Aku akan bicara sama Mama pelan-pelan.
Saat aku menyuapi sarapan untuk Mama, aku sempat berbicara mengenai rencanaku untuk menjadi TKW. Mama tersenyum dan beliau mendukung rencanaku.
“Pergilah, Sayang. Doa Mama selalu menyertaimu. Kamu sungguh orang yang sangat baik, insya Allah akan dipertemukan dengan orang baik pula.” Kami berpelukan sambil bertangisan.
Mataku berkaca-kaca. Tak mengira akan semudah itu Mama mengizinkan.
“Lala janji akan mencarikan perawat yang baik dan telaten untuk merawat Mama. Lala punya teman sekolah yang sekarang sudah jadi perawat. Dia orangnya lembut dan baik hati.”
“Alhamdulillah. Dia pasti selembut dan sebaik temannya yang merawat Mama sekarang.” Kata Mama sambil mengerling padaku.
Aku tersenyum menanggapi godaan Mama. Ah, sebenarnya berat hatiku untuk meninggalkan mertua baik hati seperti ini. Tapi aku tak punya pilihan kan?
Aku semakin yakin dengan keputusanku, telah kukantongi tiga restu yang paling penting. Ibu kandung, suami, serta Mama mertua. Maka aku segera mengabari Lina. Dia yang akan membantuku mempersiapkan banyak hal yang bisa diwakilkan. Kadang aku merasa heran dengan anak SMU itu, dibalik segala kesederhanaannya dia punya banyak kemampuan. Mungkin kerasnya kehidupan telah menempanya sedemikian rupa. Siang hari suami Yani tiba. Semua menikmati hidangan di meja makan dengan disemarakkan senda gurau. Aku duduk lesehan di pojok ruangan sambil mengajak main Yusril. Tak ada yang ingat mengajakku bergabung di meja makan. Sudah biasa. Syukurlah ternyata suami Yani berbanding terbalik dari suami Yuni. Lelaki itu terlihat ramah dan menyenangkan. Meski terlihat mapan tapi tak kudengar sekali pun dia menyombongkan dirinya. Selesai beristirahat di sore hari dia ikut ngajak main Yusril yang tengah main sama ayahnya. Terlihat dia sangat menyukai anak kecil. Mas Agi pun tampaknya lebih nyaman saat berinter
Malam ini Mas Agi menginap di rumah temannya, katanya ada keperluan penting. Meski merasa was-was tapi aku tak bisa melarangnya. Saat makan malam Mas Adil menyuruhku tidur di kamar bersama Yani dan dia tidur di tengah rumah. Tapi istrinya menolak mentah-mentah. Siapa yang tahan berdepat dengan ipar kembar cerewet itu. Mereka selalu punya banyak alasan untuk memenangkan perdebatan, hingga akhirnya Mas Adil mengalah.Malam ini hujan lebat mengguyur bumi. Suasana rumah sangat sepi. Kurapatkan selimut pada tubuh anakku lalu mengecup pipinya. Aku beranjak ke kamar mandi saat merasa kantung kemih penuh. Saat membuka pintu kamar mandi jantungku nyaris melompat mendapati Mas Doni berdiri menghalangi jalan dengan seringai jahatnya. Aku mundur selangkah. Lelaki tak ada akhlak pun ikut maju. Meski gemetar tapi aku harus tenang. Suami Yuni itu hendak membekap mulutku, aku menghindar. Aku tak mungkin mengadu tenaga, sudah pasti kalah. Dia semakin penasaran dan beringas dan berhasil membekap mulutk
Setelah kejadian malam itu, esok harinya aku kembali ke rumah Ibu. Kupeluk Mama mertua yang menangis sesenggukan. Kami saling mencurahkan rasa hati melalui pelukan. Tak ada kata yang keluar, tapi hati kami berbicara banyak sekali. Kucium punggung tangannya dengan takzim, dan beliau mencium keningku lama sekali. Lalu beralih mencium ubun-ubun cucunya sangat lama dengan bibir bergerak pelan. Kuyakin jutaan doa dilangitkan Mama mertua untuk anakku. Setelah dari kamar Mama kuambil tas lusuh yang berisi sedikit bajuku dan anakku.“Cepetan pergi. Jangan harap bisa kembali ke rumah ini. Dasar mura**n!” Yuni menatapku sinis. Mas Agi mengantarkan kami hingga ke rumah Ibu lalu segera pamitan setelah minum sebentar. Sepeninggal Mas Agi aku menghambur ke pelukan Ibu dan menumpahkan tangis di sana. Lina mengajak Yusril menjauh untuk memberiku waktu bersama Ibu. Untung saja hari ini dia libur sekolah.“Apa yang terjadi, Teh? Ibu senang Teteh bisa tinggal di sini tapi juga sedih melihat wajah sembab
Hari ini cuaca panas sekali. Yusril tidak mau memakai baju dan minta dikipasin, dia agak rewel karena kegerahan. Lina berinisiatif mengajak ponakannya jajan es krim. Pulang dari warung Bi Teti anakku tertawa kesenengan dengan mulut belepotan es krim. Di tangan Lina ada keresek yang sepertinya isinya lumayan berat. Dia mengeluarkan isinya.Ada mangga muda, jambu air, mentimun, bengkoang, dan nanas. Kulihat Ibu langsung menelan saliva saat melihatnya. Aku tak kalah sumringahnya. Waktu yang tepat buat ngerujak, tahu saja adik semata wayangku ini.“Bumbu rujak bikinan Teh Lala paling jempolan, jadi kuserahkan jabatan kehormatan bikin bumbu buat Tetehku tersayang. Bikinnya yang banyak ya, soalnya para tetangga yang ketemu di warung sama Wak Yati sekeluarga mau ikut ngerujak. Buah itu pun mereka yang beliin. Hehehe.” Lina cengengesan.“Pantesan, perasaan tadi cuman bawa uang marebu, kok bisa bawa buah segambreng hahaha.” Dengan semangat 45 aku bikin bumbu rujak. Ah, baru membayangkan saja
“Ya ampun pantesan dicari ke mana-mana nggak ketemu, ternyata kalian nyantei-nyantei di sini? Mama ditinggalin sendirian di rumah.” suara cempreng Yuni tiba-tiba terdengar di halaman rumah. Tumben dia mau datang ke mari. Ternyata dia boncengan sama kembarannya.“Kamu itu Mas diajak jalan ke mall nggak mau eh malah nongkrong di sini. Hati-hati aja kamu ada yang ngegoda setelah gagal ngegoda Mas Doni.” Suara Yuni terdengar lebih lembut tapi isinya penuh bisa. Ibu mengelus punggungku berusaha menenangkan hatiku yang meradang.Setelah ngerujak tadi memang Mas Agi dan iparnya asik main sama Yusril. Ketiganya terlihat menikmati sekali kebersamaannya. Lagi pula saat kutanya tentang Mama tadi, Mas Agi bilang sudah ada orang yang dibayar untuk menjaganya. Makanya Ibu mengajak mereka makan siang di sini dan mereka mau. Kulihat suamiku dan iparnya makan dengan lahap meski dengan menu Sunda alakadarnya. Asin, tempe goreng, tahu goreng, sambal terasi dan lal
Rasanya seperti mimpi hari ini aku bisa terbang menggunakan pesawat Saudia Airlines. Mataku berkeliling mengagumi kemegahan teknologi hasil kecerdasan otak manusia ini. Dan terkagum-kagum melihat kecantikan para pramugari berwajah Timur Tengah yang lalu lalang di sekitar kami. Kucari nomor kursiku ternyata ada di bagian belakang. Tak jauh dari tempat duduk sepertinya ada toilet, amanlah kalau kebelet. Kuanggukan kepala pada seorang wanita paruh baya yang menduduki kursi sebelah. Dia tersenyum dengan ramah. “Umroh, De?” sapanya.Aku tersipu. “Bukan, Bu. Aku calon TKW. Ibu mau umroh ya?”“Iya, itu rombongan kami,” katanya sambil menunjuk pada orang-orang yang memakan pakaian seragam.Aku baru menyadari ternyata mereka rombongan jamaah umroh. Semoga Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk ibadah umroh. Hal itu pula salah satu motivasiku untuk menerima tawaran menjadi perawat di Kota Madinah.“Doakan saya supaya Allah berikan kesempa
“Sudah Zuhur, Ade mau salat sambil duduk atau di mushala?” Tepukan lembut Bu Mulia di lengan menyadarkanku. Rupanya pesawat sudah mengudara dengan stabil. Pramugari berlalu lalang membagikan makan siang para penumpang. “Ikan atau ayam?” tawar pramugari padaku dan Bu Mulia.“Ikan,” aku mengikuti jawaban bu Mutia karena agak kikuk belum terbiasa dengan pesawat.Pramugari cantik itu memberikan sebaki makanan dengan lauk utama ikan.“Aku mau salat di mushola, wudlunya di mana, Bu?”“Wudlunya tayamum aja, De. Kalau mau ke toilet itu tapi nggak bisa wudlu. Kamu lihat sendiri aja biar nggak penasaran.”Aku menuju toilet yang tak jauh dari tempat duduk. Seperti bukan toilet, kering nyaris tak ada air dan tempatnya bagus banget. Pantesan kata Bu Mulia tak bisa wudlu, pipis aja terbatas buat bersih-bersihnya. Lalu aku menuju mushola yang tak jauh dari toilet. Rupanya tempat ini difungsikan sebagai mushola hanya saat masuk w
Tak terasa sudah seminggu aku menjadi perawat di kota Madinah. Salah satu kota impianku juga impian berjuta-juta kaum muslimin di dunia. Sebenarnya aku tak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan sama sekali. Hanya modal pengalaman merawat Mama mertua beberapa bulan ini. Ditambah tekad kuat untuk mengubah tarap hidup agar lebih baik.Sebelumnya kudengar dari informasi yang disampaikan melalui adikku, para perawat sebelumnya tidak betah karena mulut tajam majikan kami. Biarlah akan kutahan semua ujian itu agar aku bisa bertahan. Toh aku juga sudah biasa menghadapi mulut tajam ipar kembarku. Semoga Allah melipatgandakan kesabaranku dalam menghadapinya.Saat melihat rumah majikanku dari luar terlihat biasa saja, kotak dengan warna coklat susu seperti yang lainnya. Tapi saat masuk masya Allah buatku seperti masuk istana. Karpet tebal terhampar hampir di seluruh ruang tamu dan ruang keluarga. Gordennya tinggi-tinggi dan sangat bergaya. Saat itu aku malah berpikir bagaimana cara members
“Aku enggak butuh tanah seluas ini, ya Habibi. Aku tahu uangmu tak berseri. Tapi jangan hamburkan untuk sesuatu yang sia-sia.” Suamiku mengusap-usap tanganku yang memegang lengannya.“Kalau aku tetap mau membelinya, gimana?” senyumnya dengan alis dinaik-turunkan untuk menggodaku.Ah, kadang-kadang sultan Arab ini nyebelin juga. Eh, tapi masa mau dibeliin tanah sepuluh hektar dibilang nyebelin. Tapi buat apa tanah seluas itu coba? Siapa yang mau ngurus?Aku menyimpan nomor ponsel yang tertera atas perintah suamiku tercinta sambil cemberut. Dia malah tertawa sambil mengecup bibirku dan membuat mataku melotot. Kan malu kalau ada orang yang melihat.“Bagaimana menurutmu bila di tempat ini kita bangun sebuah pesantren? Anak-anak akan belajar di sini dengan fasilitas yang baik tanpa dipungut bayaran sepeser pun?”Aku menatap matanya lekat. Itu adalah impian selintasku dulu sekali yang bahkan tak pernah berani kukatakan pada siapa pun. Impian yang muncul saat membaca tentang pesantren tahfidz
Setelah walimah kami memutuskan tinggal di rumah baru kami dengan status visa suami sebagai wisatawan. Setelah masa berlaku bisa hampir habis baru akan kami pikirkan rencana selanjutnya, apakah memperpanjang visa suami atau kami kembali ke kota Madinah. Beliau tak perlu khawatir dengan bisnisnya karena punya beberapa orang kepercayaan. Ada orang yang khusus mengelola hotel, juga ada yang khusus mengelola kebun kurma. Istilahnya mungkin bisnis jalan tapi ownernya jalan-jalan. Ibu, Lina dan Yusril senang sekali bisa berkumpul setiap hari setelah berpisah sekian lama. Rumah kami sekarang selalu hangat dengan kasih sayang dan gelak tawa.“Ucil senang sekali sekarang Ucil bisa main sama Bubu tiap hari. Sama Baba juga Ucil suka main kuda-kudaan.”Anakku selalu riang gembira. Berpindah-pindah dari pangkuanku, ke pangkuan ayah sambungnya, lalu ke pangkuan Ibu, juga ke pangkuan Lina. Dia seolah sedang memuaskan dirinya bermain bersama semua orang yang menyayanginya. Setiap waktu salat dia aka
Menjelang Ashar tamu masih berdatangan satu-satu. Tapi kami sudah terlalu lelah dan pamit masuk ke rumah untuk beristirahat. Di tenda luar dan ruang tamu masih ada Ibu dan Uwa yang bisa mewakili kami menerima tamu. Kecuali tamu spesial maka kami akan menemuinya sebentar.Saat masuk kamar mataku membola melihat ke arah tempat tidur kami. Besar sekali ukuran kasur ini. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, suamiku yang berbadan lebih tinggi dari orang Indonesia pasti merasa tak nyaman saat tidur di kasurku. aku merasa bersalah tetapi dia tak protes. Subhanallah, manisnya suamiku."Ekhem, sudah tak sabar menunggu malam, ya Habibati? Lihat kasur terus." Sebuah suara dengan nada menggoda berbisik di telingaku membuat wajahku memerah. "Apaan sih, enggak kok. Aku hanya baru sadar kasur di kamarku kecil banget buatmu. Maaf ya, Habibi, aku kurang peka." Suamiku hanya tersenyum. Dia memang selalu tidur lebih akhir dan bangun lebih awal sehingga aku tak menyadarinya."Mari kubantu melepas baju
Akhirnya tiba juga hari ini. Menjadi ratu sehari dalam pernikahan kedua. Kami duduk di pelaminan yang didekorasi indah di halaman rumah kami yang luas. Aku mengenakan gaun pengantin putih cantik yang dikirim memakai cargo dari Arab sana. Suamiku yang gagah terlihat makin memesona dalam balutan baju pengantin warna putih senada dengan gaunku. Aku di-make up minimalis saja. Ibu dan Wak Endo duduk mendampingi kami. Yusril bergabung bersama kami sebentar tapi kemudian bosan dan memilih main bersama sepupunya."Istriku cantik sekali, Masya Allah. Inginnya kusembunyikan saja di kamar," komentar suamiku saat melihatku selesai didandani."Aku juga malu sekali buat duduk di pelaminan. Betul katamu, sebaiknya aku ngumpet di kamar.""Haha aku bercanda, ya Habibati. Kita harus tetap duduk untuk menyalami tamu. Seperti adat di sini. Lagi pula kelihatannya tamu-tamu di sini sopan-sopan pakaian dan perilakunya."Panggung hiburan berdiri kokoh di sebelah kanan gerbang. Siapa pun boleh ikut berpartisi
Hari ini merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidup Ibuku, dan melihat kebahagiaan beliau adalah salah satu kebahagiaan terbesarku. Sebenarnya aku malu bila harus dipajang lagi di pelaminan sebagai mempelai. Tetapi Ibu ingin berbagi kebahagiaan kami dengan seluruh warga kampung dan kerabat kami, maka aku pun memenuhi keinginannya dengan mengadakan walimah yang meriah untuk ukuran kami.Dua hari sebelum hari-H Alhamdulillah rumah baru kami sudah selesai dibangun dan siap digunakan untuk resepsi. Masjid kampung kami pun meski belum selesai dibangun tapi sudah nampak bangunan utuhnya yang megah. Sehingga kami tidak terlalu merasa bersalah bila memiliki rumah megah tapi masjid diabaikan.Kami memilih tidak memakai jasa catering, dan memberikan kesempatan pada para tetangga untuk berpartisifasi. Para tetangga pun dengan senang hati berkumpul di dapur Ibu untuk membantu memasak. Kue-kue tradisional yang lezat-lezat memenuhi ruang keluarga rumah kontrakan Ibu sejak malam. Sementara
Entah berapa lama aku terjebak di sini hingga tiba-tiba semua orang terdiam dan melihat ke arah yang sama. Aku yang tengah menunduk jadi bingung dan ikut melihat arah tatapan mereka.“Masya Allah Nabi Yusuf lewat.”“Masya Allah ada malaikat di kampung kita.”"Lihat punggungnya, jangan-jangan dia punya sayap."Pria macho dengan wajah ganteng itu kaget sebentar saat melihat gerombolan ibu-ibu, tapi kemudian dengan tenang melewati mereka. Tanpa memandang dan tanpa senyum hanya mengucapkan assalamualaikum dengan suara tegas penuh kharisma. Di Arab sana pasti tak pernah ditemuinya gerombolan ibu-ibu nangkring sore-sore. Aku geleng-geleng kepala saat para ABG putri diam-diam mengambil foto Mister Halim.Menjelang Jum'atan aku sudah siap berangkat bersama Lina menuju rumah mantan mertua. Mengantarkan kartu undangan sebagai alasanku untuk bersilaturahim dengan beliau. Sebenarnya aku kangen sekali dengan mantan mertua yang baik hati itu. Tapi hati selalu bimbang setiap mengingat kemungkinan aka
“Jodoh kan takdir. Yang namanya takdir kan kita bisa berikhtiar enggak pasrah gitu aja. Kayaknya enggak mungkin sultan Arab itu tiba-tiba jatuh hati pada, maaf ya, seorang pembantu.”Jleb! Meski benar aku pembantu di negeri orang, tapi tak usahlah sampai ditegaskan begitu. Pembantu juga manusia yang punya hati. Rasanya malas sekali menghadapi tamu tak diundang ini. Sudah mah minta tips yang aneh-aneh eh malah menghina yang diminta tipsnya pula.“Eh, ada de Linda sama Melin, tumben ke mari. Ada hal penting ya?” Ibu masuk dari warung dan langsung menyapa. “Iya nih, Teh, ada yang mau ditanyakan sama Lala, tapi Lalanya kayak enggak mau berbagi ilmu yang dia punya.” Eh, Bi Linda malah ngadu.“Ooh mau minta ilmu jualan kurma mungkin ya? Kasih tahu atuh, Teh.” Aku jadi ingin ketawa lihat ekspresi melongo Bi Linda.“Sebentar ya, Uwa ambilin rujak, Melin suka rujak, kan?’ Ah, ibu yang selalu baik sama semua orang meski orang itu tak pernah menganggapnya.Setelah Ibu ke warung, Bi Linda dan
“Anak Ibu sama ponakan Ibu sama-sama cantiknya. Apalagi cantiknya keluar dari hati, makinlah keluar aura cantiknya.” Ibu menepuk-nepuk lengan kami. Kulihat Wak Yati tertawa dengan wajah berseri meski juga tak dapat menyembunyikan kelelahan setelah seharian keliling kota.Ucil yang tertidur dalam pelukan Wak Yati menggeliat-geliat. Sepertinya dia kelelahan dan merasa kurang nyaman tidurnya. Akhirnya kami memutuskan untuk segera pulang. Tak lupa mampir sebentar membeli ikan bakar untuk makan malam di rumah. Rasanya hari ini banyak orang bertingkah lucu. Dimulai dengan pagi-pagi ada tamu teman sekolahku. Sebenarnya kami dulu tidak bisa dibilang dekat, dia yang lumayan kaya bergaul dengan teman selevelnya. Entah angina apa yang membawanya kemari. Dia tak sendiir, membawa dua orang temannya yang tinggal di desa sebelah juga katanya. Dan kedua temannya itu masing-masing membawa dua temannya juga. Jadilah pagi ini aku menerima tamu rombongan dadakan yang sebenarnya tak kukenal. Ibu yang men
Kami sepakat untuk menggunakan jasa WO temannya Lina. Setelah itu kami mengobrolkan banyak hal seputar persiapan walimah. Sebenarnya aku malu harus walimahan yang kedua kali, cukup syukuran keluarga. Tapi suamiku tetap pada pendiriannya ingin mengadakan walimahan sekalian mengenal handai tolan kami katanya. Betul juga sih, kalau mengunjungi satu-satu kapan waktunya. Hari ini kami akan berbelanja kebutuhan walimah ke kota. Aku, Ibu, Lina, Yusril, Wak Yati, dan Imah, Kami menggunakan jasa rental mobil plus sopirnya. Sengaja kami menggunakan mobil yang agak besar karena nanti akan berbelanja cukup banyak. Suamiku yang kaya dan baik hati itu memberikan uang rupiah dalam kartu ATM-ku.“Ajak Ibu dan siapa pun yang Adik mau untuk berbelanja ke kota. Terserah mau belanja apa pun yang Adik inginkan dan butuhkan terutama untuk walimah kita. Kalian bersenang-senanglah sesekali. Makan di restoran, perawatan di salon, apa pun. Abang ingin Adik bahagia dengan keluarga. Seharian ini Abang akan sibu