Setelah Lina pulang aku kembali pada kesibukan yang tak ada habisnya dan melupakan tawarannya. Hingga seminggu kemudian sebuah kejadian menyentak kesadaranku bahwa aku harus berjuang secepatnya keluar dari rumah ini.
Malam itu aku terlelap lebih cepat karena badan yang teramat lelah setelah bekerja seharian. Perkerjaan rutin ditambah membuat makanan spesial permintaan Yani karena sang suami akan pulang. Seperti halnya suami Yuni, suami Yani pun bekerja di luar kota dan kabarnya meski dibujuk pun Yani tak mau ikut sang suami ke pedalaman Kalimantan. Alasannya tak bisa shopping kalau di sana.
“La, aku pesen kembang goyang kayak waktu itu, Mas Doni suka. Jangan lupa juga bikin rengginang rasa terasi pedas, Mas Doni suka banget. Bikin yang banyak. Nih uangnya, kamu sekalian belanja daging sapi. Nanti bikin rending yang pedas.” Perintah Yani tadi pagi. Aku menghela napas tanpa bisa membantah, sudah pasti seharian aku tak bisa istirahat.
Malam itu mas Agus nginap di rumah temannya yang kebetulan seorang duda, katanya ada info lowongan kerja. Entahlah kenapa harus nginap segala.
“Mas, tolonglah jangan sampai nginep, perasaanku tak enak ini.” Aku mencoba membujuk saat suamiku akan keluar malam tadi.
“Jangan manja kamu, kalau pekerjaannya dapat kan kamu juga yang seneng. Udah ah, aku pergi dulu.” Mas Agi tak menoleh lagi, meninggalkanku yang termangu.
Tengah malam aku terbangun karena kebelet pipis. Betapa kagetnya aku saat menyadari sebuah tangan kasar mengusap pipiku. Si pemilik tangan pun sama terkejutnya dan berdalih mengusir nyamuk di pipiku. Spontan aku menjerit tertahan dan suami Yuni langsung membekap mulutku dengan pandangan mengancam.
“Berani ngadu, awas kamu!”
Aku menangis tergugu saat lelaki itu kembali ke kamarnya.
Ya Allah, ujian apalagi ini? Apa yang harus kulakukan? Aku harus bicara dengan Mas Agi secepatnya! Dia harus tahu bahwa istrinya dalam bahaya. Kami harus mencari solusi secepatnya.
Pagi hari setelah sarapan rumah kembali sepi. Ibu tengah beristirahat sedangkan ipar kembar serta suami Yuni sedang jalan-jalan ke mall. Si kecil Yusril tertidur lagi setelah mimi ASI. Kesempatan bagus untuk mengajak Mas Agi bicara.
“Mas, aku mau bicara penting.”
Mas Agi mengalihkan matanya dari televisi. Matanya mengisyaratkan tanya, ‘Ada apa sih?’
“Mas, aku rasa kita sebaiknya numpang di rumah ibu selama ada suami Yuni, apalagi sebentar lagi ada suami Yani. Aku nggak enak tidur sembarangan di tengah rumah begini. Kurang baik rasanya.”
Suamiku menghela napas berat. “Terus yang ngurus Mama nanti siapa? Yuni Yani nggak bisa diandelin. Aku tak mau Mama kenapa-napa.”
“Mereka kan anak-anaknya, masa enggak mau sih ngurus ibunya sendiri.” Kupelankan suaraku khawatir Mama mendengar dan sedih.
Tak ada tanggapan. Mas Agi masih acuh tak acuh. Coba kalau kuungkap fakta semalam, apa dia tetap tak peduli.
“Sebenarnya ada sesuatu yang membuatku ingin secepatnya tinggal di rumah ibu.” Dengan mata berkaca-kaca aku menceritakan kejadian semalam. Mas Agi tersentak. Harga dirinya sebagai suami pasti tersinggung.
“Kamu jangan mengada-ada ya, bilang aja mau pergi dari rumah ini secepatnya. Jangan bikin fitnah!” Suara Mas Agi menekan. Aku kecewa sekali dengan responnya. Di matanya mungkin aku tak menarik, sehari-hari berdaster butut, siapa yang akan tertarik?
Sepanjang hari aku tak bisa konsentrasi. Apalagi bila tak sengaja bertemu pandang dengan Mas Doni suaminya Yuni, dia seperti sengaja menyeringai mengejekku. Kulihat Mas Agus sikapnya agak kaku saat berinteraksi dengan Mas Doni, berarti sebenarnya dia merasakan ada sesuatu yang aneh. Entahlah apa yang membuatnya seolah-olah tak mempercayai ucapanku.
“Kamu kenapa Mama perhatikan hari ini banyak melamun? Cerita dong, Sayang.” Mama mertua menatapku lekat.
Kasih sayangnya kurasakan tulus sejak aku menjadi bagian dari keluarganya. Tak jarang Mama menjadikan aku sebagai contoh yang harus diteladani oleh Yani dan Yuni, membuat si kembar membenciku. Dulu, sebelum Mama terserang stroke, kami sering menghabiskan waktu bersama karena kontrakanku dan Mas Agi tak jauh dari rumah Mama. Memasak, membereskan rumah, merawat tanaman, mengikuti pengajian, atau berbelanja ke pasar. Mama tak ubahnya ibu bagiku, mereka berdua sama-sama spesial di hatiku.
Kedekatan dan perasaan sayang itu yang membuatku rela hati merawatnya saat beliau terkena stroke. Untunglah syaraf bicaranya tidak terkena sehingga beliau masih bisa bicara normal, tapi nyaris seluruh badannya lemas tak bisa digerakkan. Mama juga yang membuatku bertahan tinggal di rumah ini dengan segala perjuangannya.
Tetapi kini, sepertinya aku harus mengedepankan keselamatan diriku dari musibah yang bisa terjadi kapan saja. Insya Allah Mama akan baik-baik saja dengan dikelilingi anak-anaknya.
“Kok malah ngelamun lagi, anak-anak Mama keterlaluan ya sama kamu? Atas nama mereka mama minta maaf ya, La.” Mata Mama berkaca-kaca.
“Mama, Lala mohon izinnya untuk tinggal di rumah Ibu sementara waktu ya. Sebenarnya Lala berat ninggalin Mama, tapi sepertinya ini harus dilakukan.” Aku memengang kedua tangan Mama dan bicara dengan pelan khawatir beliau tersinggung.
“Mama tak usah khawatir, ini bukan karena ada masalah dengan anak-anak Mama. Lala hanya merasa nggak enak tidur di tengah rumah sementara ada laki-laki lain di rumah ini selain Mas Agi.” Aku buru-buru menambahkan.
Mama menghela napas berat. “Maafkan Mama ya, La, memperlakukan kamu kurang baik. Sampai kamu tak punya kamar sendiri. Mama sudah berkali-kali meminta si kembar berbagi kamar sama kamu saat suami mereka di luar kota, tapi mereka keras kepala. Mama izinkan kamu pergi, jangan khawatir Mama akan baik-baik saja di sini. Keselamatanmu lebih penting saat ini.”
Sebenarnya aku bertanya-tanya dengan kalimat terakhir mama. Beliau seperti mengetahui musibah yang nyaris menimpaku. Aku berterima kasih dan memeluk tubuh Mama erat. Mas Agi yang baru masuk kamar terheran-heran melihat kami berpelukan dan bertangisan.
“Agi, Lala sudah bicara sama Mama. Mama mengizinkan kalian tinggal di rumah ibunya Lala demi kebaikan bersama. Sekarang panggil Yuni dan Yani kemari,” kata Mama tegas.
Yuni dan Yani masuk kamar beberapa saat kemudian. Mereka spontan berteriak menentang keputusan Mama.
“Aku tak setuju. Siapa yang akan merawat Mama kalau Lala pergi? Aku nggak biasa megang kotoran orang lain,” jawab Yuni panik tanpa perasaan.
“Aku juga nggak setuju. Siapa yang akan memasak dan mengurus rumah? Aku sibuk. Lagi pula aku udah nyumbang paling banyak untuk kebutuhan rumah ini. Lala jangan lari dari tanggung jawab dong.” Yani bicara dengan ketus. Tanggung jawab katanya, nggak salah tuh?
Aku menunduk. Sudah kutebak mereka akan menentang keras keinginanku. Dan ucapan mereka tadi menegaskan posisiku di mata mereka selama ini. Seorang pembantu.
Pagi ini aku sama Lina memetik sayuran di kebun yang tak jauh dari rumah. Si Kecil Yusril masih tidur lelap dijaga Ibu di rumah. Nampak senyum sumringah Ibu saat aku mengatakan akan menginap di rumahnya untuk waktu yang lama. Ibu pasti kangen sekali sama cucu kesayangannya, kami memang jarang memiliki kesempatan untuk mengunjunginya karena kesibukanku yang tak ada habisnya di rumah mertua. “Lalapannya banyak banget, pasti nikmat banget kalau kita bikin sambel sama goreng ikan asin,” kataku sambil asyik memetik pucuk daun singkong.“Mantap banget itu, apalagi kalau dimakan sama nasi liwet panas, eco tiada dua,” Lina terkekeh. Aku mengangkat dua jempol. Alamat nganan timbanganku kalau lama di rumah Ibu.“Eh, geuning aya Teh Lala. Iraha kadieu? ” Uwa Yati kakaknya Ibu yang kebetulan lewat menyapa kami, menanyakan kapan aku datang ke rumah Ibu.“Iya, Uwa. Lala kemaren sore ke sininya. Mungkin mau nginep agak lama.”“Memangnya ibu mertua kamu sudah sembuh?”“Belum, Wa. Tapi di rumah Mama
Pagi hari saat menyiapkan sarapan, hp bututku yang hanya bisa buat nerima telpon berdering. Lalu suara Mas Agi dengan nada putus asa dan mengancam menyuruhku segera kembali ke rumah Mama. “Aku tak mau tahu kamu harus nurut sama suami, kamu cepat kembali ke rumah Mama. Yuni sama Yani sama sekali tak bisa diandalkan untuk merawat Mama. Aku kasihan sama Mama.” “Tapi Mas ….” ucapanku terpotong. “Tak ada tapi-tapian. Kalau sampai sore nanti kamu tak datang, awas aja.” Mas Agi membentak. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Baru juga seminggu hidupku tenang sekarang harus kembali ke tempat sumber masalah. “Telpon dari siapa, Teh?” Lina bertanya penasaran. Dia mengambil alih bawang yang tengah kukupas lalu membuat nasi goreng pete dengan cepat. “Mas Agi. Dia ngancam Teteh supaya cepet pulang.” “Bener-bener ngeselin ya. Baru juga istrinya tenang seminggu aja udah diancam-ancam. Masa anak tiga nggak bisa ngurus ibunya sendiri. Jangan mau dijadikan pembantu lagi, Teh!” Lina berkata
“Ya ampun Lala … kamu kemana aja sih? Rumah ini sepi tanpa kamu?” Teriakan kegirangan Yuni menyambut begitu kakiku menyentuh lantai teras. “Iya ih kamu liburannya lama-lama amat sih. Uangku nyaris habis karena tiap hari harus makan di luar.”“Kamarku udah nggak nyaman seminggu nggak dipel.”“Ih kok sama sih, bajuku sampe habis lho seminggu nggak nyuci.”“Itu belum seberapa, kamar Mama udah kayak kapal Titanic pecah plus ketumpahan air got. Ah untunglah kamu sekarang udah datang, La. Langsung aja ya, kami mau istirahat dulu. Dadah, Lalaa!”Meriah sekali sambutan ipar kembarku itu. Mereka kegirangan karena pembantu gratisnya sudah kembali ke rumah ini. Aku hanya menarik napas panjang, sudah kebayang seberapa kacaunya rumah ini tanpa kehadiranku.Mas Agi hanya menatapku dengan pandangan yang susah ditebak. Dia mengambil Yusril agar aku leluasa bekerja. Apa dia baru menyadari arti istrinya di mata saudari kembarnya? hanya seorang pembantu. Apa dia keberatan atau tak berdaya atau apa, aku
Aku semakin yakin dengan keputusanku, telah kukantongi tiga restu yang paling penting. Ibu kandung, suami, serta Mama mertua. Maka aku segera mengabari Lina. Dia yang akan membantuku mempersiapkan banyak hal yang bisa diwakilkan. Kadang aku merasa heran dengan anak SMU itu, dibalik segala kesederhanaannya dia punya banyak kemampuan. Mungkin kerasnya kehidupan telah menempanya sedemikian rupa. Siang hari suami Yani tiba. Semua menikmati hidangan di meja makan dengan disemarakkan senda gurau. Aku duduk lesehan di pojok ruangan sambil mengajak main Yusril. Tak ada yang ingat mengajakku bergabung di meja makan. Sudah biasa. Syukurlah ternyata suami Yani berbanding terbalik dari suami Yuni. Lelaki itu terlihat ramah dan menyenangkan. Meski terlihat mapan tapi tak kudengar sekali pun dia menyombongkan dirinya. Selesai beristirahat di sore hari dia ikut ngajak main Yusril yang tengah main sama ayahnya. Terlihat dia sangat menyukai anak kecil. Mas Agi pun tampaknya lebih nyaman saat berinter
Malam ini Mas Agi menginap di rumah temannya, katanya ada keperluan penting. Meski merasa was-was tapi aku tak bisa melarangnya. Saat makan malam Mas Adil menyuruhku tidur di kamar bersama Yani dan dia tidur di tengah rumah. Tapi istrinya menolak mentah-mentah. Siapa yang tahan berdepat dengan ipar kembar cerewet itu. Mereka selalu punya banyak alasan untuk memenangkan perdebatan, hingga akhirnya Mas Adil mengalah.Malam ini hujan lebat mengguyur bumi. Suasana rumah sangat sepi. Kurapatkan selimut pada tubuh anakku lalu mengecup pipinya. Aku beranjak ke kamar mandi saat merasa kantung kemih penuh. Saat membuka pintu kamar mandi jantungku nyaris melompat mendapati Mas Doni berdiri menghalangi jalan dengan seringai jahatnya. Aku mundur selangkah. Lelaki tak ada akhlak pun ikut maju. Meski gemetar tapi aku harus tenang. Suami Yuni itu hendak membekap mulutku, aku menghindar. Aku tak mungkin mengadu tenaga, sudah pasti kalah. Dia semakin penasaran dan beringas dan berhasil membekap mulutk
Setelah kejadian malam itu, esok harinya aku kembali ke rumah Ibu. Kupeluk Mama mertua yang menangis sesenggukan. Kami saling mencurahkan rasa hati melalui pelukan. Tak ada kata yang keluar, tapi hati kami berbicara banyak sekali. Kucium punggung tangannya dengan takzim, dan beliau mencium keningku lama sekali. Lalu beralih mencium ubun-ubun cucunya sangat lama dengan bibir bergerak pelan. Kuyakin jutaan doa dilangitkan Mama mertua untuk anakku. Setelah dari kamar Mama kuambil tas lusuh yang berisi sedikit bajuku dan anakku.“Cepetan pergi. Jangan harap bisa kembali ke rumah ini. Dasar mura**n!” Yuni menatapku sinis. Mas Agi mengantarkan kami hingga ke rumah Ibu lalu segera pamitan setelah minum sebentar. Sepeninggal Mas Agi aku menghambur ke pelukan Ibu dan menumpahkan tangis di sana. Lina mengajak Yusril menjauh untuk memberiku waktu bersama Ibu. Untung saja hari ini dia libur sekolah.“Apa yang terjadi, Teh? Ibu senang Teteh bisa tinggal di sini tapi juga sedih melihat wajah sembab
Hari ini cuaca panas sekali. Yusril tidak mau memakai baju dan minta dikipasin, dia agak rewel karena kegerahan. Lina berinisiatif mengajak ponakannya jajan es krim. Pulang dari warung Bi Teti anakku tertawa kesenengan dengan mulut belepotan es krim. Di tangan Lina ada keresek yang sepertinya isinya lumayan berat. Dia mengeluarkan isinya.Ada mangga muda, jambu air, mentimun, bengkoang, dan nanas. Kulihat Ibu langsung menelan saliva saat melihatnya. Aku tak kalah sumringahnya. Waktu yang tepat buat ngerujak, tahu saja adik semata wayangku ini.“Bumbu rujak bikinan Teh Lala paling jempolan, jadi kuserahkan jabatan kehormatan bikin bumbu buat Tetehku tersayang. Bikinnya yang banyak ya, soalnya para tetangga yang ketemu di warung sama Wak Yati sekeluarga mau ikut ngerujak. Buah itu pun mereka yang beliin. Hehehe.” Lina cengengesan.“Pantesan, perasaan tadi cuman bawa uang marebu, kok bisa bawa buah segambreng hahaha.” Dengan semangat 45 aku bikin bumbu rujak. Ah, baru membayangkan saja
“Ya ampun pantesan dicari ke mana-mana nggak ketemu, ternyata kalian nyantei-nyantei di sini? Mama ditinggalin sendirian di rumah.” suara cempreng Yuni tiba-tiba terdengar di halaman rumah. Tumben dia mau datang ke mari. Ternyata dia boncengan sama kembarannya.“Kamu itu Mas diajak jalan ke mall nggak mau eh malah nongkrong di sini. Hati-hati aja kamu ada yang ngegoda setelah gagal ngegoda Mas Doni.” Suara Yuni terdengar lebih lembut tapi isinya penuh bisa. Ibu mengelus punggungku berusaha menenangkan hatiku yang meradang.Setelah ngerujak tadi memang Mas Agi dan iparnya asik main sama Yusril. Ketiganya terlihat menikmati sekali kebersamaannya. Lagi pula saat kutanya tentang Mama tadi, Mas Agi bilang sudah ada orang yang dibayar untuk menjaganya. Makanya Ibu mengajak mereka makan siang di sini dan mereka mau. Kulihat suamiku dan iparnya makan dengan lahap meski dengan menu Sunda alakadarnya. Asin, tempe goreng, tahu goreng, sambal terasi dan lal