Gani mengatakan jika dia akan ke Turkey secara khusus untuk menemui mas Burhan dan paman Gufron. Gani akan menjemput lelaki tua itu. Pernikahan akan dilaksanakan di Indonesia. Gani sudah memikirkan rencana ini jauh-jauh hari.Aku juga menjelaskan kepada Gani jika mas Burhan bukan lelaki yang baik. Dia punya tipu daya yang sangat hebat. Beruntung, Gani adalah orang cerdas. Dia sudah pernah menghadapi lelaki seperti mas Burhan.“Hati-hati yah mas,” ucap Sali.Gani hadir di rumah karena dia tahu jika Aisha dan Sali berada di rumah. Dia ingin bertemu dengan Aisha terlebih dahulu. Wajah Aisha tampak cemas. Dia ketakutan jika mas Burhan berbuat jahat kepada Gani.Semakin hari aku melihat Sali menjadi gadis yang baik. Dia memberikan perhatian kepada Aisha setelah mendiaminya cukup lama. Sali cemburu, perasaan cemburu masih terlihat di wajahnya saat Gali memberikan perhatian kepada Aisha.Sali hanya berpura-pura menutupinya agar orang-orang tidak melihat hal itu. Tapi, aku melihatnya. “Aku
Bulan Pov“Memang kamu nggak pernah takut?” Pertanyaan Sali menari-nari di dalam pikiranku.“Bulan!”“Hai, Bulan. Kamu menghayal yah?” panggil Sali. Dia mengagetkanku.Hari ini, kami sedang menikmati suasana di rumah kediaman Gani. Kata Sali, Aisha sedang merenung di kamar. Entah apa yang sedang dipikirkannya.Aisha cenderung tertutup. Berbeda dengan Sali.“Tapi kalo aku lihat, Reza sangat cinta sama kamu Bulan. Hanya saja, mungkin Layla terlalu ambisius. Aku pernah melihat perempuan seperti itu,” ucap Sali.Sekarang, perasaanku menjadi tidak tenang.“Reza kaya, tampan, baik dan setia. Semua wanita menyukainya. Semua wanita ingin bersamanya. Apa kamu nggak takut?” ucap Sali lagi.Aku mengambil sebotol air mineral dan segera meminumnya. Jantungku berdebar lebih cepat. Ya Tuhan, mengapa hari ini aku jadi gelisah?“Nggak Sali, insyallah Layla nggak mungkin sejahat itu. Dia seorang dokter, cantik dan kaya. Pasti dia hanya sahabatan saja,” jawabku. Meskipun jawaban itu sebenarnya berusaha
Bulan PovPerlahan, aku membuka mataku. Siluet cahaya lampur kamar menyilaukan. Apa yang terjadi? Mengapa tadi semuanya mendadak gelap. Aku bahkan tidak bisa melihat apapun. “Bulan, bulan sayang? Kamu sudah sadar?”Mas Reza tampak cemas di hadapanku. Berkali-kali dia mengengam tanganku dan berusaha membuatku bangun. Aku tidak tahu, apa yang terjadi. Namun di dalam kamar, ada Yuni, ada ibu Sandi dan bibi Niam. Mereka semua tampak panik. “Kamu baik-baik saja, kan sayang?” Aku menatap mas Reza. Wajahnya terlihat sangat cemas. Perlahan, aku menganggukan kepala. Rasanya sangat sakit menelan. Aku butuh air minum saat ini. “Apa yang terjadi, Mas?” tanyaku kepada mas Reza.“Kamu pingsan, mas langsung bawah kamu ke sini.”Ternyata aku pingsan tadi. “Bulan, apa aku bilang. Kamu nggak usah berlebihan memikirkan Layla,” ucap Yuni. Ibu Sandi spontan menghampiriku. “Ini gara-gara ibu yah? Makanya kamu seperti ini. Maafkan ibu yah.” Ibu Sandi mengengam tanganku. Wajahnya tampak menyesal. Aku
Dua minggu berada di rumah, aku merasa sedikit tenang. Ibu mertuaku sangat baik. Dia rajin membuat bubur untukku.Hari ini, mas Reza rapat di kantor. Dia berpamitan sejak tadi pagi. Aku menghubungi Aisha dan Sali. Dua minggu dalam perawatan, Sali dan Aisha tidak menemuiku.Kabar baiknya, paman Gufron sudah ada di Indonesia. Pernikahan akan dilangsungkan seminggu lagi. “Non, ada yang datang!” ucap bibi Nilam. Dia mengetuk pintu kamar.“Siapa?” tanyaku penasaran.“Nona Layla. Dia sudah di ruang tamu, lagi nunggu Non. Katanya ada yang mau dibahas!” ucapnya.Aku melangkah keluar untuk menemuinya. Saat berada di ruang tamu, wanita itu tersenyum melihatku.“Bulan!” ucapnya. Dia berjalan ke arahku. Memelukku dengan sangat lama. Tidak lupa, dia membawah bingkisan.“Sorry gue datang, nggak ngabarin kamu dulu,” ucapnya.Layla duduk di hadapanku, dia menatapku dengan serius. “Aku tahu Bulan, ini salahku. Tidak seharusnya aku berbuat seperti ini denganmu. Tapi, aku juga nggak bisa menahan peras
Bulan PovSeminggu sebelum pernikahan, Aisha banyak mengurung diri. Dia tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Dia juga tidak ingin ditemui oleh Sali.Aku datang di kediaman mas Gani untuk mengajaknya bercerita. Paman Gufron sedang diajak jalan-jalan oleh mas Gani. Sekaligus untuk bertemu dengan keluarga besarnya.Mas Gani memiliki keluarga di Solo dan Bandung. Mas Gani adalah anak dari salah satu pejabat di Bandung. Mas Gani memiliki beberapa cabang perusahaan. Dia juga adalah seorang dokter umum.Berbeda dengan mas Reza. Mas Gani lebih fokus kepada bisnisnya.“Aisha?” panggilku.Aku masuk ke dalam kamar tempat Aisha berada. Ruangan itu sangat gelap. Hanya ada lampu tidur yang tidak begitu terang.Aisha perlahan membuka selimut yang menutupi wajahnya. Dia berjalan ke arahku.“Keluar yuk, aku mau ajak kamu cerita!” ucapku.Aku mengengam tangan Aisha agar mengikutiku. Di balkon, kami duduk berdua. Angin di sore hari menyibakkan jilbab yang sedang kami gunakan.Aisha menatapku dengan san
Yuni mengabariku jika Sali kembali ke rumah pukul empat sore. Yuni mengatakan bahwa dia mengikutinya dari belakang. Kata Yuni, seorang lelaki menjemputnya. Umurnya cukup tua.Aku yakin jika lelaki itu adalah paman Gufron. Siapa lagi? Sali tidak memiliki kenalan di Jakarta.“Bulan, kayaknya dia cemburu deh sama adiknya. Dari tadi aku lihat, dia diam saja. Seperti orang bingung gitu,” ucap Yuni dari sambungan telepon.Sali tidak baik-baik saja.“Besok aku akan menemui Sali. Tapi sekarang, kayaknya aku mau istirahat dulu,” ucapku.Aku berbaring di atas tempat tidur. Mas Reza lagi tidur pulas.“Kabari aku kalo kamu mau bertemu dengan Sali yah, aku mau menemuinya juga,” ucap Yuni.Sambungan telepon berakhir. Mas Reza perlahan membuka matanya. Dia menatapku.“Mas nggak tidur yah?” cetusku.Mas Reza malah tersenyum.“Tadi, lagi bicara sama siapa?” tanyanya.Aku menghela napas panjang. “Yuni Mas, tadi aku minta tolong sama dia untuk pantau Sali. Kasihan Sali, mungkin dia merasa sedih.”Mas Re
Ustad Ahmad dan ustadzah Rahmah menemani kami selama kunjungan di pondok. Sali lebih banyak diamnya selama bertemu dengan mas Ahmad.Sali mengatakan jika dia ingin tinggal di pondok. Segera mungkin, aku meminta izin kepada ibu mertuaku. Ibu Sandi setuju, apalagi Sali butuh teman.“Nggak apa-apa kamu di sini?” tanyaku lagi.Aku menarik tangan Sali agar dia mendekat ke arahku.“Nggak apa-apa, Bulan. Aku suka di sini!” jawabnya.Ibu Sandi meminta izin kepada kyai Abdullah agar mengizinkan Sali tinggal. Semua orang menyambutnya dengan respon positif. Sali mahir berbahasa Arab, mungkin dia akan menjadi guru di sini. Itu yang dikatakan ibu Sandi.Aku tidak memaksa Sali untuk ikut kembali ke rumah. Aku membiarkan dia memilih jalannya sendiri.“Tapi Sali, jika kamu lama menetap di Indonesia. Bagaimana dengan tokoh pakaianmu di Ankara? Apa ada yang mengurusnya?”Aku hampir melupakan hal itu.“Aisha yang akan mengelolahnya. Ku pikir, Gani akan menetap di Turkey?” jawab Sali.Aku belum mendengar
Ada kabar yang kurang enak dari Rahmah di pondok. Dia mengatakan jika Sali sedang mengoda ustad Ahmad. Mendengarkan hal itu, aku segera menceritakannya kepada mas Reza.Mas Reza mengatakan jika Rahmah sejak dulu tidak suka jika ada wanita yang mendekati ustad Ahmad. Mereka sudah dijodohkan. Namun ustad Ahmad tidak kunjung melamar Rahmah.Mungkin karena kehadiran Sali lah membuat ketegangan terjadi diantara mereka.“Jadi gimana dong mas?” tanyaku kepada mas Reza.Kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumah.“Besok kita ke pondok aja. Lagi pula, besok aku libur. Gimana sayang?” tanya mas Reza. Aku menganggukan kepala setuju. Tentu saja, aku ingin bertemu dengan Sali.Sali menghubungiku dan mengatakan jika masalahnya baik-baik saja. Aku cukup penasaran, apa yang terjadi. Dia baru saja dua hari di pondok. Mengapa masalah ini terjadi tiba-tiba?“Ada apa sebenarnya?” tanyaku.“Wanita bernama Rahmah datang ke kamarku dan mengatakan jika dia tidak ingin aku berada di sini. Aku tidak tahu, Bu
Sebulan lebih di Turkey untuk perawatan lanjutan, akhirnya kami diizinkan untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, Mas Reza sudah lebih baik. Mertuaku sudah pulang lebih dahulu dan kami akan menyusulnya dua hari lagi. Mas Reza menatapku dengan sangat lama. Suasana di taman terasa sejuk. Sejak tadi, kami duduk di taman berdua saja. “Bulan?” panggilnya. Tangan mas Reza bergerak dengan sangat lambat menyentuh pipiku. Aku tersenyum. Pandangan kami bertemu. “Kamu capek?” Suaranya hampir tidak terdengar. “Nggak sayang,” jawabku. Demi dia, aku tidak pernah merasakan capek sedikit pun. Mas Reza adalah suamiku, dia adalah harapanku. Aku tidak pernah lelah untuk merawatnya. Aku meletakkan secangkir air mineral di samping kursi roda miliknya. “Bulan, a-aku mau tinggal di Jerman selama setahun. Aku ingin menenangkan pikiranku dan beristirahat sejenak di sana, bagaimana?”Aku menganggukan kepala setuju. “Mau Mas,” seruku. Swiss adalah kota impian kami berdua. Pertama kali bertemu mas R
Satu bulan berada di Turkey, tidak ada yang berubah. Aktivitas kami masih saja sama. Berada di rumah sakit dan berusaha untuk merawat mas Reza. Meskipun harapan itu semakin hari semakin redup dan sangat nyata. Dokter mengatakan kepadaku jika mas Reza kemungkinan tidak akan bangun lagi. Jika dilihat dari bulan pertama dia koma, kondisinya semakin menurun. Beruntung, Mas Reza kuat dan dia masih bertahan hingga dua bulan ini. Aku tidak bisa berbuat apapun kecuali berdoa untuknya.“Mas?” bisikku. “Bangun sayang, Bulan sebentar lagi lahiran. Masa mas nggak ada di sini.”Sama seperti hari-hari sebelumnya, mas Reza tidak meresponku. Aku hanya bisa menangis lagi dan lagi. Setelah puas berbicara dengannya, aku keluar dari ruangan. Ibu Sandi mengajakku makan siang di restoran samping rumah sakit. Hal ini menjadi aktivitas kami selama satu bulan ini. “Dua bulan lagi kamu lahiran. Apa sudah menyiapkan mentalnya?”Ibu Sandi menatapku. “Insyallah Bu!” jawabku. Untuk sementara ini, kami tin
“Bagaimana kalo mas Reza pada akhirnya tidak bisa bangun?”“Kamu bicara apa sih?” tegurku dengan cepat.Sali memberikanku satu buku dan dia mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar masjid biru. Kami sedang duduk di pelantaran masjid. Aku memandangi wajahnya dengan terheran.“Kamu nggak lagi berdoa agar mas Reza nggak bangun kan?”Sali menepuk pundakku dengan lembut.“Kamu mikir apa sih Bulan? Nggak lah. Aku hanya nanya saja. Tadi aku dengar beberapa pembicaraan dari tim medis mas Reza. Ya, mereka kayak menyerah gitu. Aku nggak lagi nakut-nakutin mu loh.”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Empat bulan lagi aku akan melahirkan. Jika mas Reza belum sadarkan diri. Maka hariku akan sangat menyedihkan.Ibu Sandi berencana akan datang seminggu lagi. Dia ingin menemaniku di sini. Aku setuju, aku butuh dia. Lagi pula, jika dia berada di Turkey. Maka ibu Sandi bisa bertemu dengan Hannah. Dia akan bahagia.Kami berjalan keluar dari masjid.“Aku yakin, Mardiah sudah tidak peduli
“Apa kamu merencanakan semua ini? Maksudku, mengapa menganti nama mas Reza sebagai Hufo?”Aku memberanikan diri bertanya. Mardiah mengambil lipstick merah dari dalam tasnya. Dia membenarkan lipstick di bibirnya yang berantakan. Mardiah lalu tersenyum ke arahku.Beberapa saat, dia mengambil ponselnya lagi. Sepertinya dia baru saja selesai memperbaiki nail artnya.Aku masih menunggu jawabannya.Dia terlihat sombong sekarang, seakan dia mampu untuk melukaiku. Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan dia melukaiku seperti ini. Tidak, dia tidak akan bisa melakukannya!“Aku tidak merencanakan ini. Mas Reza sendiri yang ingin berlibur bertiga denganku. Yah, mungkin saja sebelum anakmu lahir,” ucapnya terasa ringan.Dia tampak tidak peduli dengan semua kekhawatiranku. Sama seperti yang dikatakan ibu Sandi. Mardiah licik. Dia sangat licik. Orang-orang tidak akan pernah tahu bagaimana sifatnya sebelum kita berbicara dengannya.Aku mengelus perutku dengan pelan.Mas Reza masih berada di ruang ICU,
Aku memeluk tubuh mas Reza. Sali berusaha menahanku namun mas Gani berseru.“Biarkan saja!”Pandanganku mulai kabur. Aku sangat kelelahan. Dengan pelan, aku menyentuh tangan mas Reza. Beberapa alat medis memenuhi tubuhnyaApa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku bertanya-tanya.“Bulan, hanya ada satu orang yang bisa berada di ruangan ini. Sebaiknya, kita keluar dulu. Aku akan menjelaskan kepadamu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucap mas Gani.Aku menganggukan kepala mengikutinya.Aku segera keluar dari ruangan dibantu oleh Sali. Tubuhku lemas. Air mata terus terjatuh di pipiku.Kami menuju ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien. Aisha dan mas Ahmad sudah duduk lebih dahulu. Saat aku berada di ruang itu, dokter masuk ke ruangan mas Reza.Sepertinya mereka ingin memeriksa keadaan mas Reza.“Gini,” ucap mas Gani memulai pembicaraan. Dia menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskan dengan pelan.“Reza ditemukan oleh tim di rumah sakit ini. Sampai sekarang, orang-orang belum tahu
Aku segera berlari ke arah gadis kecil itu. Aku yakin, Hannah melihatku tadi. Aku yakin, dia menungguku.“Hannah!”“Hannah!” teriakku.Beberapa orang memandangiku. Beberapa di antara mereka mengatakan kepadaku untuk berhati-hati.Aku terus memanggil nama Hannah. Gadis kecil itu di sini!“Bulan!”“Bulan!” teriak Sali dari belakang.Aku menoleh ke belakang. Rupanya Sali berlari ke arahku. Wajahnya mendadak panik. “Are you oke?” tanyanya. Dia memegang kedua tanganku dan menatapku dengan cemas.“Sali, aku melihat Hannah di sini. Tapi dia tiba-tiba menghilang. Aku tidak melihatnya lagi. Dimana dia? Kita harus mencarinya, Sali!” ucapku.Aku melepaskan gengaman tangan Sali dan berlari. Sali terus mengejarku dari belakang.“Bulan, stop. Kita akan mencari Hannah. Tapi hati-hati. Jangan berlari!” panggil Sali.Aku tidak bisa berdiam diri. Hannah di dekatku sekarang. Aku yakin, dia ingin menemuiku.Aku berdiri di sebuah danau yang dikelilingi bunga tulip. Aku memegang sebuah pagar kayu yang meng
Pagi hari, Sali dan Aisha mengajakku untuk menenangkan diri di taman. Hotel tempat kami tinggal berdekatan dengan masjid biru. Di sana, ada taman indah. Lebih tepatnya spot untuk menikmati teh. Lokasinya tidak begitu luas. Ada beberapa kursi dan meja berjejeran dan dipenuhi oleh orang-orang yang menginap di sekitar hotel.“Are you oke?” tanya Sali. Dia menatapku.Semalam, aku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis sampai berteriak.Aisha dan Sali ketakutan melihatku. Aku tahu kalo aku sangat merepotkan. Bahkan sekarang, aku berniat untuk terus menangis saja.Apakah aku wanita pembawah sial, mengapa semua orang yang aku cintai pergi? Mengapa mereka meninggalkanku begitu saja.Hatiku sangat sakit dan aku rasanya tidak mampu lagi.“Kamu tahu Bulan, Allah itu maha adil. Dia tidak akan memberikan beban kepada umatnya di luar batas kemampuan umatnya,” ucap Sali.Dia memberikanku bunga. Angin lembut menyapu hijabku. Suasana sangat ramai karena ini adalah musim semi.“Aku yaki
Aku belum mendapatkan kabar dari mas Gani. Dan mas Reza belum membalas pesanku. Aku sangat bingung sekarang.“Bulan.”Aku terpaksa menceritakan masalahku kepada ibu Sandi dan ibu di kampung. Aku katakan kepadanya kalo mas Reza tiba-tiba hilang kontak.Ibu Sandi gugup dan ingin segera terbang ke Turkey. Tapi, aku mencoba menenangkannya. Ku katakan kepadanya untuk menunggu informasi dari mas Gani.Kita bisa saja panik, tapi lebih baik berpikir tenang.“Ibu yakin loh, ini ulah si Mardiah. Dia tuh ular! Ibu nggak pernah percaya dengan wanita ular itu. Nggak pernah percaya!”Ibu Sandi sudah mulai hilang kesabarannya.Aku tidak mengenal Mardiah, aku tidak mengenal bagaimana sifatnya. Tapi beberapa kali dia membohongiku, aku jadi paham bagaimana Mardiah berpikir.“Apa dia berusaha merebut mas Reza kembali?” Aku bertanya-tanya.Ibu Sandi terdiam beberapa saat.Ketakutanku tiba-tiba muncul kembali.“Dia wanita angkuh dan sulit di tebak, berulang kali aku katakan kepadamu, Bulan. Dia akan menga
Aku tidak tahu apa maksud dari kedatangan Mardiah kembali. Dia sangat aneh.“Bulan, lebih baik telepon aja deh. Kan bisa tuh di telepon,” saran dari Yuni.Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera. Namun nihil, wanita itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Sepertinya dia sengaja membuatku marah.Yuni menginap dua hari di rumah. Malam ini, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat aku mencoba untuk menutup mataku, tiba-tiba saja aku teringat mengenai Hannah.Apa mas Reza punya rencana khusus ke sana?Aku bertanya-tanya.Yuni mengatakan jika mas Reza tidak mungkin bertemu dengan Mardiah, namun beberapa menit kemudian, dia mengatakan jika gambar tangan yang berada di foto itu adalah milik Mas Reza.Sejujurnya, Yuni hanya sedang menenangkanku saja.Aku keluar dari dalam kamar. Aku terkejut melihat mertuaku, ibu sandi duduk di depan piano.Dia menyeka air matanya saat aku mendekat ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalo aku memperhatikannya dari tadi.“Bulan, dari tadi yah?” tanya