Bulan Pov“Memang kamu nggak pernah takut?” Pertanyaan Sali menari-nari di dalam pikiranku.“Bulan!”“Hai, Bulan. Kamu menghayal yah?” panggil Sali. Dia mengagetkanku.Hari ini, kami sedang menikmati suasana di rumah kediaman Gani. Kata Sali, Aisha sedang merenung di kamar. Entah apa yang sedang dipikirkannya.Aisha cenderung tertutup. Berbeda dengan Sali.“Tapi kalo aku lihat, Reza sangat cinta sama kamu Bulan. Hanya saja, mungkin Layla terlalu ambisius. Aku pernah melihat perempuan seperti itu,” ucap Sali.Sekarang, perasaanku menjadi tidak tenang.“Reza kaya, tampan, baik dan setia. Semua wanita menyukainya. Semua wanita ingin bersamanya. Apa kamu nggak takut?” ucap Sali lagi.Aku mengambil sebotol air mineral dan segera meminumnya. Jantungku berdebar lebih cepat. Ya Tuhan, mengapa hari ini aku jadi gelisah?“Nggak Sali, insyallah Layla nggak mungkin sejahat itu. Dia seorang dokter, cantik dan kaya. Pasti dia hanya sahabatan saja,” jawabku. Meskipun jawaban itu sebenarnya berusaha
Bulan PovPerlahan, aku membuka mataku. Siluet cahaya lampur kamar menyilaukan. Apa yang terjadi? Mengapa tadi semuanya mendadak gelap. Aku bahkan tidak bisa melihat apapun. “Bulan, bulan sayang? Kamu sudah sadar?”Mas Reza tampak cemas di hadapanku. Berkali-kali dia mengengam tanganku dan berusaha membuatku bangun. Aku tidak tahu, apa yang terjadi. Namun di dalam kamar, ada Yuni, ada ibu Sandi dan bibi Niam. Mereka semua tampak panik. “Kamu baik-baik saja, kan sayang?” Aku menatap mas Reza. Wajahnya terlihat sangat cemas. Perlahan, aku menganggukan kepala. Rasanya sangat sakit menelan. Aku butuh air minum saat ini. “Apa yang terjadi, Mas?” tanyaku kepada mas Reza.“Kamu pingsan, mas langsung bawah kamu ke sini.”Ternyata aku pingsan tadi. “Bulan, apa aku bilang. Kamu nggak usah berlebihan memikirkan Layla,” ucap Yuni. Ibu Sandi spontan menghampiriku. “Ini gara-gara ibu yah? Makanya kamu seperti ini. Maafkan ibu yah.” Ibu Sandi mengengam tanganku. Wajahnya tampak menyesal. Aku
Dua minggu berada di rumah, aku merasa sedikit tenang. Ibu mertuaku sangat baik. Dia rajin membuat bubur untukku.Hari ini, mas Reza rapat di kantor. Dia berpamitan sejak tadi pagi. Aku menghubungi Aisha dan Sali. Dua minggu dalam perawatan, Sali dan Aisha tidak menemuiku.Kabar baiknya, paman Gufron sudah ada di Indonesia. Pernikahan akan dilangsungkan seminggu lagi. “Non, ada yang datang!” ucap bibi Nilam. Dia mengetuk pintu kamar.“Siapa?” tanyaku penasaran.“Nona Layla. Dia sudah di ruang tamu, lagi nunggu Non. Katanya ada yang mau dibahas!” ucapnya.Aku melangkah keluar untuk menemuinya. Saat berada di ruang tamu, wanita itu tersenyum melihatku.“Bulan!” ucapnya. Dia berjalan ke arahku. Memelukku dengan sangat lama. Tidak lupa, dia membawah bingkisan.“Sorry gue datang, nggak ngabarin kamu dulu,” ucapnya.Layla duduk di hadapanku, dia menatapku dengan serius. “Aku tahu Bulan, ini salahku. Tidak seharusnya aku berbuat seperti ini denganmu. Tapi, aku juga nggak bisa menahan peras
Bulan PovSeminggu sebelum pernikahan, Aisha banyak mengurung diri. Dia tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Dia juga tidak ingin ditemui oleh Sali.Aku datang di kediaman mas Gani untuk mengajaknya bercerita. Paman Gufron sedang diajak jalan-jalan oleh mas Gani. Sekaligus untuk bertemu dengan keluarga besarnya.Mas Gani memiliki keluarga di Solo dan Bandung. Mas Gani adalah anak dari salah satu pejabat di Bandung. Mas Gani memiliki beberapa cabang perusahaan. Dia juga adalah seorang dokter umum.Berbeda dengan mas Reza. Mas Gani lebih fokus kepada bisnisnya.“Aisha?” panggilku.Aku masuk ke dalam kamar tempat Aisha berada. Ruangan itu sangat gelap. Hanya ada lampu tidur yang tidak begitu terang.Aisha perlahan membuka selimut yang menutupi wajahnya. Dia berjalan ke arahku.“Keluar yuk, aku mau ajak kamu cerita!” ucapku.Aku mengengam tangan Aisha agar mengikutiku. Di balkon, kami duduk berdua. Angin di sore hari menyibakkan jilbab yang sedang kami gunakan.Aisha menatapku dengan san
Yuni mengabariku jika Sali kembali ke rumah pukul empat sore. Yuni mengatakan bahwa dia mengikutinya dari belakang. Kata Yuni, seorang lelaki menjemputnya. Umurnya cukup tua.Aku yakin jika lelaki itu adalah paman Gufron. Siapa lagi? Sali tidak memiliki kenalan di Jakarta.“Bulan, kayaknya dia cemburu deh sama adiknya. Dari tadi aku lihat, dia diam saja. Seperti orang bingung gitu,” ucap Yuni dari sambungan telepon.Sali tidak baik-baik saja.“Besok aku akan menemui Sali. Tapi sekarang, kayaknya aku mau istirahat dulu,” ucapku.Aku berbaring di atas tempat tidur. Mas Reza lagi tidur pulas.“Kabari aku kalo kamu mau bertemu dengan Sali yah, aku mau menemuinya juga,” ucap Yuni.Sambungan telepon berakhir. Mas Reza perlahan membuka matanya. Dia menatapku.“Mas nggak tidur yah?” cetusku.Mas Reza malah tersenyum.“Tadi, lagi bicara sama siapa?” tanyanya.Aku menghela napas panjang. “Yuni Mas, tadi aku minta tolong sama dia untuk pantau Sali. Kasihan Sali, mungkin dia merasa sedih.”Mas Re
Ustad Ahmad dan ustadzah Rahmah menemani kami selama kunjungan di pondok. Sali lebih banyak diamnya selama bertemu dengan mas Ahmad.Sali mengatakan jika dia ingin tinggal di pondok. Segera mungkin, aku meminta izin kepada ibu mertuaku. Ibu Sandi setuju, apalagi Sali butuh teman.“Nggak apa-apa kamu di sini?” tanyaku lagi.Aku menarik tangan Sali agar dia mendekat ke arahku.“Nggak apa-apa, Bulan. Aku suka di sini!” jawabnya.Ibu Sandi meminta izin kepada kyai Abdullah agar mengizinkan Sali tinggal. Semua orang menyambutnya dengan respon positif. Sali mahir berbahasa Arab, mungkin dia akan menjadi guru di sini. Itu yang dikatakan ibu Sandi.Aku tidak memaksa Sali untuk ikut kembali ke rumah. Aku membiarkan dia memilih jalannya sendiri.“Tapi Sali, jika kamu lama menetap di Indonesia. Bagaimana dengan tokoh pakaianmu di Ankara? Apa ada yang mengurusnya?”Aku hampir melupakan hal itu.“Aisha yang akan mengelolahnya. Ku pikir, Gani akan menetap di Turkey?” jawab Sali.Aku belum mendengar
Ada kabar yang kurang enak dari Rahmah di pondok. Dia mengatakan jika Sali sedang mengoda ustad Ahmad. Mendengarkan hal itu, aku segera menceritakannya kepada mas Reza.Mas Reza mengatakan jika Rahmah sejak dulu tidak suka jika ada wanita yang mendekati ustad Ahmad. Mereka sudah dijodohkan. Namun ustad Ahmad tidak kunjung melamar Rahmah.Mungkin karena kehadiran Sali lah membuat ketegangan terjadi diantara mereka.“Jadi gimana dong mas?” tanyaku kepada mas Reza.Kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumah.“Besok kita ke pondok aja. Lagi pula, besok aku libur. Gimana sayang?” tanya mas Reza. Aku menganggukan kepala setuju. Tentu saja, aku ingin bertemu dengan Sali.Sali menghubungiku dan mengatakan jika masalahnya baik-baik saja. Aku cukup penasaran, apa yang terjadi. Dia baru saja dua hari di pondok. Mengapa masalah ini terjadi tiba-tiba?“Ada apa sebenarnya?” tanyaku.“Wanita bernama Rahmah datang ke kamarku dan mengatakan jika dia tidak ingin aku berada di sini. Aku tidak tahu, Bu
“Mas, kayaknya Rahmah tuh nggak baik deh,” ucapku kepada mas Reza yang sedang menyetir mobil. “Usst, nggak baik bilang gitu. Dia putri dari ustad Abdullah. Putri kyai. Nggak bisa kita bilang dia nggak baik. Kita baru kenal Rahmah sekali,” tegur mas Reza. Aku terdiam. “Tapi apa yang Bulan katakan benar loh Reza. Kalo wanita itu baik, dia pasti sudah menolong Sali. Nggak nuduh dia. Lagi pula, Sali tuh sedang patah hati. Kita nggak tahu apa yang sedang dipikirkannya,” ucap ibu Sandi mendukungku. “Kayaknya ustad Ahmad ada hati sama Sali. Kayaknya dia suka deh,” sambung ibu Sandi lagi. Aku semakin yakin jika ustad Ahmad menyukai Sali. Mungkin saja dia menutupi perasaanya. “Nggak tahu lah, kita lihat saja nanti, Bu,” jawab mas Reza. Kami kembali ke rumah. Mas Reza mengatakan jika dia akan melakukan perjalan ke Turkey bersama mas Gani. Tidak lupa, Aisha ikut bersama mereka. “Kok nggak ajak aku sih?” protesku. Mas Reza mengatakan jika dia tidak akan mengajakku. Aku kesal. Seharusnya di