“Mas, kayaknya Rahmah tuh nggak baik deh,” ucapku kepada mas Reza yang sedang menyetir mobil. “Usst, nggak baik bilang gitu. Dia putri dari ustad Abdullah. Putri kyai. Nggak bisa kita bilang dia nggak baik. Kita baru kenal Rahmah sekali,” tegur mas Reza. Aku terdiam. “Tapi apa yang Bulan katakan benar loh Reza. Kalo wanita itu baik, dia pasti sudah menolong Sali. Nggak nuduh dia. Lagi pula, Sali tuh sedang patah hati. Kita nggak tahu apa yang sedang dipikirkannya,” ucap ibu Sandi mendukungku. “Kayaknya ustad Ahmad ada hati sama Sali. Kayaknya dia suka deh,” sambung ibu Sandi lagi. Aku semakin yakin jika ustad Ahmad menyukai Sali. Mungkin saja dia menutupi perasaanya. “Nggak tahu lah, kita lihat saja nanti, Bu,” jawab mas Reza. Kami kembali ke rumah. Mas Reza mengatakan jika dia akan melakukan perjalan ke Turkey bersama mas Gani. Tidak lupa, Aisha ikut bersama mereka. “Kok nggak ajak aku sih?” protesku. Mas Reza mengatakan jika dia tidak akan mengajakku. Aku kesal. Seharusnya di
Aku mengunjungi Aisha yang sedang bertemu dengan orang tua mas Gani. Sebelumnya, mas Gani menjelaskan kepada aku dan mas Reza jika dia sedikit deg-degan jika Aisha bertemu dengan ibunya. Ibu mas Gani kurang setuju jika Aisha sebagai istri mas Gani. Aku tidak tahu alasannya secara jelas. Yang aku dengar, mereka tidak ingin menantu yang bisu. Aisha menyambutku dengan senyuman manis. Dia mengusap perutku dan tersenyum menawan. “Apa sudah bertemu?” tanyaku dengan cepat. Aku malas berbasa-basi. Segera mungkin aku bertanya kepada Aisha mengenai pertemuannya dengan ibu mas Gani. Aisha menunduk malu. “Gimana?” tanyaku. Kami sedang berjalan masuk ke dalam rumah. Mas Gani dan mas Reza sedang bekerja. Jadi hanya kami berdua di rumah megah ini. Ada beberapa pelayan khusus yang menemani Aisha. “Aku yakin, Aisha. Mas Gani akan membelamu. Jadi, jangan takut yah,” bisikku. Wanita cantik itu menganggukan kepala. “Mbak Bulan yah?” Seorang wanita bersuara. Aku menoleh ke belakang untuk mel
Aku melihat wajah Layla yang tampak pucat. Bekas air mata berada di pipinya. Memar di wajah semakin membesar. Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Mengapa dia begitu terluka? Pikirku.Sesampai di rumah sakit, aku menjelaskan kepada mas Reza tentang apa yang terjadi di minimarket. Mas Reza segera membawahnya ke ruang gawat darurat. Kami menunggu di luar.“Apa dia frustasi?” tanyaku. Aku menatap mas Reza yang sedang berdiri di sampingku.“Mas nggak percaya,” jawab mas Reza. Sesekali dia memandangi jam tangannya.“Bulan menganggu yah mas?” tanyaku.Mas Reza mengajakku untuk duduk di ruang tunggu. “Duduk sayang, kita bicara di sini!” ucapnya.Aku duduk berhadapan dengannya. Beberapa suster dan pasien memandangiku. Ada yang berbisik dan ada juga yang menyapa mas Reza. Mereka begitu hormat kepada suamiku.“Gini, aku nggak tahu apa yang terjadi kepada Layla. Jika dia punya masalah yang berat. Mas nggak bisa membantu banyak,” sahut mas Reza. Wajahnya terlihat serius memandangiku.Aku menger
Mas Reza selalu menghubungiku. Dia dan mas Gani serta Aisha berpisah di bandara. Mas Reza mengatakan jika dia akan bertemu dengan Aisha dan mas Gani nanti kalo mereka sudah mau pulang.“Kamu baik-baik kan sayang?” tanya mas Reza.Aku menganggukan kepala. Ku lihat wajahnya dari layar ponsel. Mas Reza sedang duduk dan menikmati teh.“Nggak usah dipikirkan tentang Layla yah. Layla itu bukan urusan kita sayang. Kamu fokus saja yah, insyallah 4 bulan lagi akan hadir bayi imut,” kekehnya mencoba menghibur.Sudah lama mas Reza mengatakan jika dia ingin memiliki bayi dariku. Aku sangat bahagia.“Kamu cantik!” ucapnya tiba-tiba saat suasana mendadak hening.“Ih gombal!” balasku.“Kalo Mardiah mau banget sama mas, seperti Layla, gimana coba?”Mas Reza tidak mahir untuk membuat lelucon. Dia terlalu kaku dan dingin. Namun wajahnya sangat mengemaskan.Pantas saja beberapa perempuan luluh dihadapannya. Termaksud Ratih dan paling parahnya, Layla begitu mengejarnya. Bagaimana aku tidak takut? Bisa sa
Aku tidak tenang. Pandanganku kosong ke depan. Aku takut, sangat takut. “Bulan, kamu masih di sana?” “Dari tadi aku bicara, kok kamu malah bengong sih?” Yuni masih terus menghubungiku. Aku tidak menjawab apapun pertanyaanya. Aku mencoba mengatur pernapasanku yang naik turun sejak tadi. Tengorokanku serasa kering. Jemariku perlahan menjadi dingin. “Are you oke, Bulan?” “Kamu baik-baik saja kan?” tanya Yuni lagi. “Aku baik-baik saja, nanti aku hubungi lagi yah!” jawabku. Aku segera memutuskan sambungan telepon. Mardiah di Turkey? Kalo begitu, mas Reza pasti tahu. Aku yakin, kedua manusia itu pasti bertemu. Bagaimana kalo mas Reza luluh? Bagaimana kalo pada akhirnya, mas Reza meninggalkanku? Pikiran buruk itu seakan menghantuiku dengan cepat. Aku bahkan tidak bisa berkata apapun lagi. Berkali-kali aku berusaha mengobati rasa traumaku, tapi itu selalu muncul diingatanku. Aku merasa gagal dan sakit lagi. Aku tidak berdaya. Ketakutan ini sangat kuat dan aku tidak bisa mengatasinya.
Aku tidak tahu apa maksud dari kedatangan Mardiah kembali. Dia sangat aneh.“Bulan, lebih baik telepon aja deh. Kan bisa tuh di telepon,” saran dari Yuni.Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera. Namun nihil, wanita itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Sepertinya dia sengaja membuatku marah.Yuni menginap dua hari di rumah. Malam ini, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat aku mencoba untuk menutup mataku, tiba-tiba saja aku teringat mengenai Hannah.Apa mas Reza punya rencana khusus ke sana?Aku bertanya-tanya.Yuni mengatakan jika mas Reza tidak mungkin bertemu dengan Mardiah, namun beberapa menit kemudian, dia mengatakan jika gambar tangan yang berada di foto itu adalah milik Mas Reza.Sejujurnya, Yuni hanya sedang menenangkanku saja.Aku keluar dari dalam kamar. Aku terkejut melihat mertuaku, ibu sandi duduk di depan piano.Dia menyeka air matanya saat aku mendekat ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalo aku memperhatikannya dari tadi.“Bulan, dari tadi yah?” tanya
Aku belum mendapatkan kabar dari mas Gani. Dan mas Reza belum membalas pesanku. Aku sangat bingung sekarang.“Bulan.”Aku terpaksa menceritakan masalahku kepada ibu Sandi dan ibu di kampung. Aku katakan kepadanya kalo mas Reza tiba-tiba hilang kontak.Ibu Sandi gugup dan ingin segera terbang ke Turkey. Tapi, aku mencoba menenangkannya. Ku katakan kepadanya untuk menunggu informasi dari mas Gani.Kita bisa saja panik, tapi lebih baik berpikir tenang.“Ibu yakin loh, ini ulah si Mardiah. Dia tuh ular! Ibu nggak pernah percaya dengan wanita ular itu. Nggak pernah percaya!”Ibu Sandi sudah mulai hilang kesabarannya.Aku tidak mengenal Mardiah, aku tidak mengenal bagaimana sifatnya. Tapi beberapa kali dia membohongiku, aku jadi paham bagaimana Mardiah berpikir.“Apa dia berusaha merebut mas Reza kembali?” Aku bertanya-tanya.Ibu Sandi terdiam beberapa saat.Ketakutanku tiba-tiba muncul kembali.“Dia wanita angkuh dan sulit di tebak, berulang kali aku katakan kepadamu, Bulan. Dia akan menga
Pagi hari, Sali dan Aisha mengajakku untuk menenangkan diri di taman. Hotel tempat kami tinggal berdekatan dengan masjid biru. Di sana, ada taman indah. Lebih tepatnya spot untuk menikmati teh. Lokasinya tidak begitu luas. Ada beberapa kursi dan meja berjejeran dan dipenuhi oleh orang-orang yang menginap di sekitar hotel.“Are you oke?” tanya Sali. Dia menatapku.Semalam, aku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis sampai berteriak.Aisha dan Sali ketakutan melihatku. Aku tahu kalo aku sangat merepotkan. Bahkan sekarang, aku berniat untuk terus menangis saja.Apakah aku wanita pembawah sial, mengapa semua orang yang aku cintai pergi? Mengapa mereka meninggalkanku begitu saja.Hatiku sangat sakit dan aku rasanya tidak mampu lagi.“Kamu tahu Bulan, Allah itu maha adil. Dia tidak akan memberikan beban kepada umatnya di luar batas kemampuan umatnya,” ucap Sali.Dia memberikanku bunga. Angin lembut menyapu hijabku. Suasana sangat ramai karena ini adalah musim semi.“Aku yaki