Aku melihat wajah Layla yang tampak pucat. Bekas air mata berada di pipinya. Memar di wajah semakin membesar. Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Mengapa dia begitu terluka? Pikirku.Sesampai di rumah sakit, aku menjelaskan kepada mas Reza tentang apa yang terjadi di minimarket. Mas Reza segera membawahnya ke ruang gawat darurat. Kami menunggu di luar.“Apa dia frustasi?” tanyaku. Aku menatap mas Reza yang sedang berdiri di sampingku.“Mas nggak percaya,” jawab mas Reza. Sesekali dia memandangi jam tangannya.“Bulan menganggu yah mas?” tanyaku.Mas Reza mengajakku untuk duduk di ruang tunggu. “Duduk sayang, kita bicara di sini!” ucapnya.Aku duduk berhadapan dengannya. Beberapa suster dan pasien memandangiku. Ada yang berbisik dan ada juga yang menyapa mas Reza. Mereka begitu hormat kepada suamiku.“Gini, aku nggak tahu apa yang terjadi kepada Layla. Jika dia punya masalah yang berat. Mas nggak bisa membantu banyak,” sahut mas Reza. Wajahnya terlihat serius memandangiku.Aku menger
Mas Reza selalu menghubungiku. Dia dan mas Gani serta Aisha berpisah di bandara. Mas Reza mengatakan jika dia akan bertemu dengan Aisha dan mas Gani nanti kalo mereka sudah mau pulang.“Kamu baik-baik kan sayang?” tanya mas Reza.Aku menganggukan kepala. Ku lihat wajahnya dari layar ponsel. Mas Reza sedang duduk dan menikmati teh.“Nggak usah dipikirkan tentang Layla yah. Layla itu bukan urusan kita sayang. Kamu fokus saja yah, insyallah 4 bulan lagi akan hadir bayi imut,” kekehnya mencoba menghibur.Sudah lama mas Reza mengatakan jika dia ingin memiliki bayi dariku. Aku sangat bahagia.“Kamu cantik!” ucapnya tiba-tiba saat suasana mendadak hening.“Ih gombal!” balasku.“Kalo Mardiah mau banget sama mas, seperti Layla, gimana coba?”Mas Reza tidak mahir untuk membuat lelucon. Dia terlalu kaku dan dingin. Namun wajahnya sangat mengemaskan.Pantas saja beberapa perempuan luluh dihadapannya. Termaksud Ratih dan paling parahnya, Layla begitu mengejarnya. Bagaimana aku tidak takut? Bisa sa
Aku tidak tenang. Pandanganku kosong ke depan. Aku takut, sangat takut. “Bulan, kamu masih di sana?” “Dari tadi aku bicara, kok kamu malah bengong sih?” Yuni masih terus menghubungiku. Aku tidak menjawab apapun pertanyaanya. Aku mencoba mengatur pernapasanku yang naik turun sejak tadi. Tengorokanku serasa kering. Jemariku perlahan menjadi dingin. “Are you oke, Bulan?” “Kamu baik-baik saja kan?” tanya Yuni lagi. “Aku baik-baik saja, nanti aku hubungi lagi yah!” jawabku. Aku segera memutuskan sambungan telepon. Mardiah di Turkey? Kalo begitu, mas Reza pasti tahu. Aku yakin, kedua manusia itu pasti bertemu. Bagaimana kalo mas Reza luluh? Bagaimana kalo pada akhirnya, mas Reza meninggalkanku? Pikiran buruk itu seakan menghantuiku dengan cepat. Aku bahkan tidak bisa berkata apapun lagi. Berkali-kali aku berusaha mengobati rasa traumaku, tapi itu selalu muncul diingatanku. Aku merasa gagal dan sakit lagi. Aku tidak berdaya. Ketakutan ini sangat kuat dan aku tidak bisa mengatasinya.
Aku tidak tahu apa maksud dari kedatangan Mardiah kembali. Dia sangat aneh.“Bulan, lebih baik telepon aja deh. Kan bisa tuh di telepon,” saran dari Yuni.Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera. Namun nihil, wanita itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Sepertinya dia sengaja membuatku marah.Yuni menginap dua hari di rumah. Malam ini, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat aku mencoba untuk menutup mataku, tiba-tiba saja aku teringat mengenai Hannah.Apa mas Reza punya rencana khusus ke sana?Aku bertanya-tanya.Yuni mengatakan jika mas Reza tidak mungkin bertemu dengan Mardiah, namun beberapa menit kemudian, dia mengatakan jika gambar tangan yang berada di foto itu adalah milik Mas Reza.Sejujurnya, Yuni hanya sedang menenangkanku saja.Aku keluar dari dalam kamar. Aku terkejut melihat mertuaku, ibu sandi duduk di depan piano.Dia menyeka air matanya saat aku mendekat ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalo aku memperhatikannya dari tadi.“Bulan, dari tadi yah?” tanya
Aku belum mendapatkan kabar dari mas Gani. Dan mas Reza belum membalas pesanku. Aku sangat bingung sekarang.“Bulan.”Aku terpaksa menceritakan masalahku kepada ibu Sandi dan ibu di kampung. Aku katakan kepadanya kalo mas Reza tiba-tiba hilang kontak.Ibu Sandi gugup dan ingin segera terbang ke Turkey. Tapi, aku mencoba menenangkannya. Ku katakan kepadanya untuk menunggu informasi dari mas Gani.Kita bisa saja panik, tapi lebih baik berpikir tenang.“Ibu yakin loh, ini ulah si Mardiah. Dia tuh ular! Ibu nggak pernah percaya dengan wanita ular itu. Nggak pernah percaya!”Ibu Sandi sudah mulai hilang kesabarannya.Aku tidak mengenal Mardiah, aku tidak mengenal bagaimana sifatnya. Tapi beberapa kali dia membohongiku, aku jadi paham bagaimana Mardiah berpikir.“Apa dia berusaha merebut mas Reza kembali?” Aku bertanya-tanya.Ibu Sandi terdiam beberapa saat.Ketakutanku tiba-tiba muncul kembali.“Dia wanita angkuh dan sulit di tebak, berulang kali aku katakan kepadamu, Bulan. Dia akan menga
Pagi hari, Sali dan Aisha mengajakku untuk menenangkan diri di taman. Hotel tempat kami tinggal berdekatan dengan masjid biru. Di sana, ada taman indah. Lebih tepatnya spot untuk menikmati teh. Lokasinya tidak begitu luas. Ada beberapa kursi dan meja berjejeran dan dipenuhi oleh orang-orang yang menginap di sekitar hotel.“Are you oke?” tanya Sali. Dia menatapku.Semalam, aku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis sampai berteriak.Aisha dan Sali ketakutan melihatku. Aku tahu kalo aku sangat merepotkan. Bahkan sekarang, aku berniat untuk terus menangis saja.Apakah aku wanita pembawah sial, mengapa semua orang yang aku cintai pergi? Mengapa mereka meninggalkanku begitu saja.Hatiku sangat sakit dan aku rasanya tidak mampu lagi.“Kamu tahu Bulan, Allah itu maha adil. Dia tidak akan memberikan beban kepada umatnya di luar batas kemampuan umatnya,” ucap Sali.Dia memberikanku bunga. Angin lembut menyapu hijabku. Suasana sangat ramai karena ini adalah musim semi.“Aku yaki
Aku segera berlari ke arah gadis kecil itu. Aku yakin, Hannah melihatku tadi. Aku yakin, dia menungguku.“Hannah!”“Hannah!” teriakku.Beberapa orang memandangiku. Beberapa di antara mereka mengatakan kepadaku untuk berhati-hati.Aku terus memanggil nama Hannah. Gadis kecil itu di sini!“Bulan!”“Bulan!” teriak Sali dari belakang.Aku menoleh ke belakang. Rupanya Sali berlari ke arahku. Wajahnya mendadak panik. “Are you oke?” tanyanya. Dia memegang kedua tanganku dan menatapku dengan cemas.“Sali, aku melihat Hannah di sini. Tapi dia tiba-tiba menghilang. Aku tidak melihatnya lagi. Dimana dia? Kita harus mencarinya, Sali!” ucapku.Aku melepaskan gengaman tangan Sali dan berlari. Sali terus mengejarku dari belakang.“Bulan, stop. Kita akan mencari Hannah. Tapi hati-hati. Jangan berlari!” panggil Sali.Aku tidak bisa berdiam diri. Hannah di dekatku sekarang. Aku yakin, dia ingin menemuiku.Aku berdiri di sebuah danau yang dikelilingi bunga tulip. Aku memegang sebuah pagar kayu yang meng
Aku memeluk tubuh mas Reza. Sali berusaha menahanku namun mas Gani berseru.“Biarkan saja!”Pandanganku mulai kabur. Aku sangat kelelahan. Dengan pelan, aku menyentuh tangan mas Reza. Beberapa alat medis memenuhi tubuhnyaApa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku bertanya-tanya.“Bulan, hanya ada satu orang yang bisa berada di ruangan ini. Sebaiknya, kita keluar dulu. Aku akan menjelaskan kepadamu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucap mas Gani.Aku menganggukan kepala mengikutinya.Aku segera keluar dari ruangan dibantu oleh Sali. Tubuhku lemas. Air mata terus terjatuh di pipiku.Kami menuju ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien. Aisha dan mas Ahmad sudah duduk lebih dahulu. Saat aku berada di ruang itu, dokter masuk ke ruangan mas Reza.Sepertinya mereka ingin memeriksa keadaan mas Reza.“Gini,” ucap mas Gani memulai pembicaraan. Dia menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskan dengan pelan.“Reza ditemukan oleh tim di rumah sakit ini. Sampai sekarang, orang-orang belum tahu