Yuni mengabariku jika Sali kembali ke rumah pukul empat sore. Yuni mengatakan bahwa dia mengikutinya dari belakang. Kata Yuni, seorang lelaki menjemputnya. Umurnya cukup tua.Aku yakin jika lelaki itu adalah paman Gufron. Siapa lagi? Sali tidak memiliki kenalan di Jakarta.“Bulan, kayaknya dia cemburu deh sama adiknya. Dari tadi aku lihat, dia diam saja. Seperti orang bingung gitu,” ucap Yuni dari sambungan telepon.Sali tidak baik-baik saja.“Besok aku akan menemui Sali. Tapi sekarang, kayaknya aku mau istirahat dulu,” ucapku.Aku berbaring di atas tempat tidur. Mas Reza lagi tidur pulas.“Kabari aku kalo kamu mau bertemu dengan Sali yah, aku mau menemuinya juga,” ucap Yuni.Sambungan telepon berakhir. Mas Reza perlahan membuka matanya. Dia menatapku.“Mas nggak tidur yah?” cetusku.Mas Reza malah tersenyum.“Tadi, lagi bicara sama siapa?” tanyanya.Aku menghela napas panjang. “Yuni Mas, tadi aku minta tolong sama dia untuk pantau Sali. Kasihan Sali, mungkin dia merasa sedih.”Mas Re
Ustad Ahmad dan ustadzah Rahmah menemani kami selama kunjungan di pondok. Sali lebih banyak diamnya selama bertemu dengan mas Ahmad.Sali mengatakan jika dia ingin tinggal di pondok. Segera mungkin, aku meminta izin kepada ibu mertuaku. Ibu Sandi setuju, apalagi Sali butuh teman.“Nggak apa-apa kamu di sini?” tanyaku lagi.Aku menarik tangan Sali agar dia mendekat ke arahku.“Nggak apa-apa, Bulan. Aku suka di sini!” jawabnya.Ibu Sandi meminta izin kepada kyai Abdullah agar mengizinkan Sali tinggal. Semua orang menyambutnya dengan respon positif. Sali mahir berbahasa Arab, mungkin dia akan menjadi guru di sini. Itu yang dikatakan ibu Sandi.Aku tidak memaksa Sali untuk ikut kembali ke rumah. Aku membiarkan dia memilih jalannya sendiri.“Tapi Sali, jika kamu lama menetap di Indonesia. Bagaimana dengan tokoh pakaianmu di Ankara? Apa ada yang mengurusnya?”Aku hampir melupakan hal itu.“Aisha yang akan mengelolahnya. Ku pikir, Gani akan menetap di Turkey?” jawab Sali.Aku belum mendengar
Ada kabar yang kurang enak dari Rahmah di pondok. Dia mengatakan jika Sali sedang mengoda ustad Ahmad. Mendengarkan hal itu, aku segera menceritakannya kepada mas Reza.Mas Reza mengatakan jika Rahmah sejak dulu tidak suka jika ada wanita yang mendekati ustad Ahmad. Mereka sudah dijodohkan. Namun ustad Ahmad tidak kunjung melamar Rahmah.Mungkin karena kehadiran Sali lah membuat ketegangan terjadi diantara mereka.“Jadi gimana dong mas?” tanyaku kepada mas Reza.Kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumah.“Besok kita ke pondok aja. Lagi pula, besok aku libur. Gimana sayang?” tanya mas Reza. Aku menganggukan kepala setuju. Tentu saja, aku ingin bertemu dengan Sali.Sali menghubungiku dan mengatakan jika masalahnya baik-baik saja. Aku cukup penasaran, apa yang terjadi. Dia baru saja dua hari di pondok. Mengapa masalah ini terjadi tiba-tiba?“Ada apa sebenarnya?” tanyaku.“Wanita bernama Rahmah datang ke kamarku dan mengatakan jika dia tidak ingin aku berada di sini. Aku tidak tahu, Bu
“Mas, kayaknya Rahmah tuh nggak baik deh,” ucapku kepada mas Reza yang sedang menyetir mobil. “Usst, nggak baik bilang gitu. Dia putri dari ustad Abdullah. Putri kyai. Nggak bisa kita bilang dia nggak baik. Kita baru kenal Rahmah sekali,” tegur mas Reza. Aku terdiam. “Tapi apa yang Bulan katakan benar loh Reza. Kalo wanita itu baik, dia pasti sudah menolong Sali. Nggak nuduh dia. Lagi pula, Sali tuh sedang patah hati. Kita nggak tahu apa yang sedang dipikirkannya,” ucap ibu Sandi mendukungku. “Kayaknya ustad Ahmad ada hati sama Sali. Kayaknya dia suka deh,” sambung ibu Sandi lagi. Aku semakin yakin jika ustad Ahmad menyukai Sali. Mungkin saja dia menutupi perasaanya. “Nggak tahu lah, kita lihat saja nanti, Bu,” jawab mas Reza. Kami kembali ke rumah. Mas Reza mengatakan jika dia akan melakukan perjalan ke Turkey bersama mas Gani. Tidak lupa, Aisha ikut bersama mereka. “Kok nggak ajak aku sih?” protesku. Mas Reza mengatakan jika dia tidak akan mengajakku. Aku kesal. Seharusnya di
Aku mengunjungi Aisha yang sedang bertemu dengan orang tua mas Gani. Sebelumnya, mas Gani menjelaskan kepada aku dan mas Reza jika dia sedikit deg-degan jika Aisha bertemu dengan ibunya. Ibu mas Gani kurang setuju jika Aisha sebagai istri mas Gani. Aku tidak tahu alasannya secara jelas. Yang aku dengar, mereka tidak ingin menantu yang bisu. Aisha menyambutku dengan senyuman manis. Dia mengusap perutku dan tersenyum menawan. “Apa sudah bertemu?” tanyaku dengan cepat. Aku malas berbasa-basi. Segera mungkin aku bertanya kepada Aisha mengenai pertemuannya dengan ibu mas Gani. Aisha menunduk malu. “Gimana?” tanyaku. Kami sedang berjalan masuk ke dalam rumah. Mas Gani dan mas Reza sedang bekerja. Jadi hanya kami berdua di rumah megah ini. Ada beberapa pelayan khusus yang menemani Aisha. “Aku yakin, Aisha. Mas Gani akan membelamu. Jadi, jangan takut yah,” bisikku. Wanita cantik itu menganggukan kepala. “Mbak Bulan yah?” Seorang wanita bersuara. Aku menoleh ke belakang untuk mel
Aku melihat wajah Layla yang tampak pucat. Bekas air mata berada di pipinya. Memar di wajah semakin membesar. Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Mengapa dia begitu terluka? Pikirku.Sesampai di rumah sakit, aku menjelaskan kepada mas Reza tentang apa yang terjadi di minimarket. Mas Reza segera membawahnya ke ruang gawat darurat. Kami menunggu di luar.“Apa dia frustasi?” tanyaku. Aku menatap mas Reza yang sedang berdiri di sampingku.“Mas nggak percaya,” jawab mas Reza. Sesekali dia memandangi jam tangannya.“Bulan menganggu yah mas?” tanyaku.Mas Reza mengajakku untuk duduk di ruang tunggu. “Duduk sayang, kita bicara di sini!” ucapnya.Aku duduk berhadapan dengannya. Beberapa suster dan pasien memandangiku. Ada yang berbisik dan ada juga yang menyapa mas Reza. Mereka begitu hormat kepada suamiku.“Gini, aku nggak tahu apa yang terjadi kepada Layla. Jika dia punya masalah yang berat. Mas nggak bisa membantu banyak,” sahut mas Reza. Wajahnya terlihat serius memandangiku.Aku menger
Mas Reza selalu menghubungiku. Dia dan mas Gani serta Aisha berpisah di bandara. Mas Reza mengatakan jika dia akan bertemu dengan Aisha dan mas Gani nanti kalo mereka sudah mau pulang.“Kamu baik-baik kan sayang?” tanya mas Reza.Aku menganggukan kepala. Ku lihat wajahnya dari layar ponsel. Mas Reza sedang duduk dan menikmati teh.“Nggak usah dipikirkan tentang Layla yah. Layla itu bukan urusan kita sayang. Kamu fokus saja yah, insyallah 4 bulan lagi akan hadir bayi imut,” kekehnya mencoba menghibur.Sudah lama mas Reza mengatakan jika dia ingin memiliki bayi dariku. Aku sangat bahagia.“Kamu cantik!” ucapnya tiba-tiba saat suasana mendadak hening.“Ih gombal!” balasku.“Kalo Mardiah mau banget sama mas, seperti Layla, gimana coba?”Mas Reza tidak mahir untuk membuat lelucon. Dia terlalu kaku dan dingin. Namun wajahnya sangat mengemaskan.Pantas saja beberapa perempuan luluh dihadapannya. Termaksud Ratih dan paling parahnya, Layla begitu mengejarnya. Bagaimana aku tidak takut? Bisa sa
Aku tidak tenang. Pandanganku kosong ke depan. Aku takut, sangat takut. “Bulan, kamu masih di sana?” “Dari tadi aku bicara, kok kamu malah bengong sih?” Yuni masih terus menghubungiku. Aku tidak menjawab apapun pertanyaanya. Aku mencoba mengatur pernapasanku yang naik turun sejak tadi. Tengorokanku serasa kering. Jemariku perlahan menjadi dingin. “Are you oke, Bulan?” “Kamu baik-baik saja kan?” tanya Yuni lagi. “Aku baik-baik saja, nanti aku hubungi lagi yah!” jawabku. Aku segera memutuskan sambungan telepon. Mardiah di Turkey? Kalo begitu, mas Reza pasti tahu. Aku yakin, kedua manusia itu pasti bertemu. Bagaimana kalo mas Reza luluh? Bagaimana kalo pada akhirnya, mas Reza meninggalkanku? Pikiran buruk itu seakan menghantuiku dengan cepat. Aku bahkan tidak bisa berkata apapun lagi. Berkali-kali aku berusaha mengobati rasa traumaku, tapi itu selalu muncul diingatanku. Aku merasa gagal dan sakit lagi. Aku tidak berdaya. Ketakutan ini sangat kuat dan aku tidak bisa mengatasinya.