Sali dan Aisha menginap di rumah milik Gani. Gani memiliki satu unit rumah di pondok Indah. Dia memberikannya kepada Aisha untuk ditempati. Semua perabotan sudah ada. Gani sepertinya sangat jatuh cinta kepada Aisha.Namun sampai sekarang, Gani belum memberanikan diri untuk mempertemukan Aisha dengan ibunya. Sepertinya Gani sedikit ragu. Namun dia malu-malu untuk mengatakannya kepadaku. “Mas? Kok bengong sih?”Bulan mengagetkanku. Sepulang dari rumah sakit, aku segera ke kamar. Duduk sejenak di depan jendela sambil membaca buku. Kata-kata Layla seakan menari-nari di kepalaku. Entah mengapa, aku jadi memikirkannya sekarang.“Mas?” ulang Bulan. Dia menyentuh tanganku dan sedikit mengagetkanku.“Ada apa masalah yah?” tanyanya. Aku menatapnya dan tersenyum.“Nggak ada sayang,” ucapku sambil mengecup pipinya.“Aku ketemu mas Gani tadi mas. Mas Gani lagi jemput Aisha. Kata mas Gani, mas Rez dulunya itu idola para perempuan yah. Kok aku jadi takut gini,” kekeh Bulan. Dia menatapkua sambil m
Gani mengatakan jika dia akan ke Turkey secara khusus untuk menemui mas Burhan dan paman Gufron. Gani akan menjemput lelaki tua itu. Pernikahan akan dilaksanakan di Indonesia. Gani sudah memikirkan rencana ini jauh-jauh hari.Aku juga menjelaskan kepada Gani jika mas Burhan bukan lelaki yang baik. Dia punya tipu daya yang sangat hebat. Beruntung, Gani adalah orang cerdas. Dia sudah pernah menghadapi lelaki seperti mas Burhan.“Hati-hati yah mas,” ucap Sali.Gani hadir di rumah karena dia tahu jika Aisha dan Sali berada di rumah. Dia ingin bertemu dengan Aisha terlebih dahulu. Wajah Aisha tampak cemas. Dia ketakutan jika mas Burhan berbuat jahat kepada Gani.Semakin hari aku melihat Sali menjadi gadis yang baik. Dia memberikan perhatian kepada Aisha setelah mendiaminya cukup lama. Sali cemburu, perasaan cemburu masih terlihat di wajahnya saat Gali memberikan perhatian kepada Aisha.Sali hanya berpura-pura menutupinya agar orang-orang tidak melihat hal itu. Tapi, aku melihatnya. “Aku
Bulan Pov“Memang kamu nggak pernah takut?” Pertanyaan Sali menari-nari di dalam pikiranku.“Bulan!”“Hai, Bulan. Kamu menghayal yah?” panggil Sali. Dia mengagetkanku.Hari ini, kami sedang menikmati suasana di rumah kediaman Gani. Kata Sali, Aisha sedang merenung di kamar. Entah apa yang sedang dipikirkannya.Aisha cenderung tertutup. Berbeda dengan Sali.“Tapi kalo aku lihat, Reza sangat cinta sama kamu Bulan. Hanya saja, mungkin Layla terlalu ambisius. Aku pernah melihat perempuan seperti itu,” ucap Sali.Sekarang, perasaanku menjadi tidak tenang.“Reza kaya, tampan, baik dan setia. Semua wanita menyukainya. Semua wanita ingin bersamanya. Apa kamu nggak takut?” ucap Sali lagi.Aku mengambil sebotol air mineral dan segera meminumnya. Jantungku berdebar lebih cepat. Ya Tuhan, mengapa hari ini aku jadi gelisah?“Nggak Sali, insyallah Layla nggak mungkin sejahat itu. Dia seorang dokter, cantik dan kaya. Pasti dia hanya sahabatan saja,” jawabku. Meskipun jawaban itu sebenarnya berusaha
Bulan PovPerlahan, aku membuka mataku. Siluet cahaya lampur kamar menyilaukan. Apa yang terjadi? Mengapa tadi semuanya mendadak gelap. Aku bahkan tidak bisa melihat apapun. “Bulan, bulan sayang? Kamu sudah sadar?”Mas Reza tampak cemas di hadapanku. Berkali-kali dia mengengam tanganku dan berusaha membuatku bangun. Aku tidak tahu, apa yang terjadi. Namun di dalam kamar, ada Yuni, ada ibu Sandi dan bibi Niam. Mereka semua tampak panik. “Kamu baik-baik saja, kan sayang?” Aku menatap mas Reza. Wajahnya terlihat sangat cemas. Perlahan, aku menganggukan kepala. Rasanya sangat sakit menelan. Aku butuh air minum saat ini. “Apa yang terjadi, Mas?” tanyaku kepada mas Reza.“Kamu pingsan, mas langsung bawah kamu ke sini.”Ternyata aku pingsan tadi. “Bulan, apa aku bilang. Kamu nggak usah berlebihan memikirkan Layla,” ucap Yuni. Ibu Sandi spontan menghampiriku. “Ini gara-gara ibu yah? Makanya kamu seperti ini. Maafkan ibu yah.” Ibu Sandi mengengam tanganku. Wajahnya tampak menyesal. Aku
Dua minggu berada di rumah, aku merasa sedikit tenang. Ibu mertuaku sangat baik. Dia rajin membuat bubur untukku.Hari ini, mas Reza rapat di kantor. Dia berpamitan sejak tadi pagi. Aku menghubungi Aisha dan Sali. Dua minggu dalam perawatan, Sali dan Aisha tidak menemuiku.Kabar baiknya, paman Gufron sudah ada di Indonesia. Pernikahan akan dilangsungkan seminggu lagi. “Non, ada yang datang!” ucap bibi Nilam. Dia mengetuk pintu kamar.“Siapa?” tanyaku penasaran.“Nona Layla. Dia sudah di ruang tamu, lagi nunggu Non. Katanya ada yang mau dibahas!” ucapnya.Aku melangkah keluar untuk menemuinya. Saat berada di ruang tamu, wanita itu tersenyum melihatku.“Bulan!” ucapnya. Dia berjalan ke arahku. Memelukku dengan sangat lama. Tidak lupa, dia membawah bingkisan.“Sorry gue datang, nggak ngabarin kamu dulu,” ucapnya.Layla duduk di hadapanku, dia menatapku dengan serius. “Aku tahu Bulan, ini salahku. Tidak seharusnya aku berbuat seperti ini denganmu. Tapi, aku juga nggak bisa menahan peras
Bulan PovSeminggu sebelum pernikahan, Aisha banyak mengurung diri. Dia tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Dia juga tidak ingin ditemui oleh Sali.Aku datang di kediaman mas Gani untuk mengajaknya bercerita. Paman Gufron sedang diajak jalan-jalan oleh mas Gani. Sekaligus untuk bertemu dengan keluarga besarnya.Mas Gani memiliki keluarga di Solo dan Bandung. Mas Gani adalah anak dari salah satu pejabat di Bandung. Mas Gani memiliki beberapa cabang perusahaan. Dia juga adalah seorang dokter umum.Berbeda dengan mas Reza. Mas Gani lebih fokus kepada bisnisnya.“Aisha?” panggilku.Aku masuk ke dalam kamar tempat Aisha berada. Ruangan itu sangat gelap. Hanya ada lampu tidur yang tidak begitu terang.Aisha perlahan membuka selimut yang menutupi wajahnya. Dia berjalan ke arahku.“Keluar yuk, aku mau ajak kamu cerita!” ucapku.Aku mengengam tangan Aisha agar mengikutiku. Di balkon, kami duduk berdua. Angin di sore hari menyibakkan jilbab yang sedang kami gunakan.Aisha menatapku dengan san
Yuni mengabariku jika Sali kembali ke rumah pukul empat sore. Yuni mengatakan bahwa dia mengikutinya dari belakang. Kata Yuni, seorang lelaki menjemputnya. Umurnya cukup tua.Aku yakin jika lelaki itu adalah paman Gufron. Siapa lagi? Sali tidak memiliki kenalan di Jakarta.“Bulan, kayaknya dia cemburu deh sama adiknya. Dari tadi aku lihat, dia diam saja. Seperti orang bingung gitu,” ucap Yuni dari sambungan telepon.Sali tidak baik-baik saja.“Besok aku akan menemui Sali. Tapi sekarang, kayaknya aku mau istirahat dulu,” ucapku.Aku berbaring di atas tempat tidur. Mas Reza lagi tidur pulas.“Kabari aku kalo kamu mau bertemu dengan Sali yah, aku mau menemuinya juga,” ucap Yuni.Sambungan telepon berakhir. Mas Reza perlahan membuka matanya. Dia menatapku.“Mas nggak tidur yah?” cetusku.Mas Reza malah tersenyum.“Tadi, lagi bicara sama siapa?” tanyanya.Aku menghela napas panjang. “Yuni Mas, tadi aku minta tolong sama dia untuk pantau Sali. Kasihan Sali, mungkin dia merasa sedih.”Mas Re
Ustad Ahmad dan ustadzah Rahmah menemani kami selama kunjungan di pondok. Sali lebih banyak diamnya selama bertemu dengan mas Ahmad.Sali mengatakan jika dia ingin tinggal di pondok. Segera mungkin, aku meminta izin kepada ibu mertuaku. Ibu Sandi setuju, apalagi Sali butuh teman.“Nggak apa-apa kamu di sini?” tanyaku lagi.Aku menarik tangan Sali agar dia mendekat ke arahku.“Nggak apa-apa, Bulan. Aku suka di sini!” jawabnya.Ibu Sandi meminta izin kepada kyai Abdullah agar mengizinkan Sali tinggal. Semua orang menyambutnya dengan respon positif. Sali mahir berbahasa Arab, mungkin dia akan menjadi guru di sini. Itu yang dikatakan ibu Sandi.Aku tidak memaksa Sali untuk ikut kembali ke rumah. Aku membiarkan dia memilih jalannya sendiri.“Tapi Sali, jika kamu lama menetap di Indonesia. Bagaimana dengan tokoh pakaianmu di Ankara? Apa ada yang mengurusnya?”Aku hampir melupakan hal itu.“Aisha yang akan mengelolahnya. Ku pikir, Gani akan menetap di Turkey?” jawab Sali.Aku belum mendengar