Share

BAB 6: Biar Aku yang Wujudkan

Haruto kembali ke ruangan pertemuannya dengan Akira pagi itu, tapi tidak ia temukan Akira di mana pun. Bertanya dengan Bibi Sur pun tidak mendapat jawaban yang pasti. Ia memutuskan untuk menunggu. 

Ada banyak hal berkecamuk di benak Haruto, dan yang paling membuatnya tidak habis pikir adalah bagaimana interaksi dengan Anna, membuat degup jantungnya lebih cepat. Benar-benar perempuan yang ia temukan sebagai pribadi yang berbeda dari kebanyakan perempuan di luar sana. Tapi yang jelas, dia ingin sekali membebaskan Anna dari jeratan Akira, membiarkan gadis cantik itu meraih mimpinya selayaknya orang biasa di luar sana.

Bersama orang asing yang tidak ia kenal dengan banyak rencana hidup yang telah ia bangun membuat Haruto merasa kasihan. Di dalam pengaruh obat, Anna menangis padanya betapa ia merindukan rumah. Ya, rumah yang tidak berpenghuni namun menyimpan banyak kenangan yang selalu ingin ia renungi setiap malam. Dia hanya gadis low profile luar biasa yang berani tinggal di negeri yang jauh menimba ilmu dan dengan besar hari bersedia kembali ke kampung halaman melanjutkan hidup. 

"Ada banyak kenangan ayah dan ibu yang harus aku jaga. Ada banyak mimpi yang mau aku kejar. Aku mau pulang, tolong bantu aku keluar dari tempat ini..." lirihnya sambil berurai air mata.

...

Ia memperbaiki posisi kacamatanya. Mencoba berpikir lebih waras dan fokus pada pekerjaannya. Dalam proses berpikir itu, Bibi Sur datang memberitahu bahwa Tuan Muda Akira sedang menunggunya di ruang kerja. Tanpa menunggu lebih lama, Haruto segera menuju ruang yang diberitahukan.

Dari kejauhan, ia melihat Akira duduk sembari memandangi luar jendela. Pandangan yang ia tahu begitu jauh sebanding dengan apa yang ada di dalam kepalanya saat itu. Dia terus mendekat, menemukan satu kursi yang ditaksirkan memang telah dipersiapkan untuknya. 

"Kamu harus lepaskan perempuan itu!" ini adalah kalimat pembuka yang sudah diduga oleh Akira. Ia tersenyum getir. 

"Kamu benar-benar harus melepaskan Anna, dia bukan perempuan yang kamu cari! Tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa dia mengenal dan mengingat apa pun tentang kamu."

Akira dengan tenang menunggu Haruto selesai dengan penjelasannya, sembari memandangi dengan angkuh segelas wine di dalam gelas yang sedai tadi di genggamannya. Melihat Akira yang masih belum angkat bicara, "Apa yang kau pikirkan sekarang?"

Akira tersenyum getir sekali lagi, menaruh segelas wine dan kembali duduk menyilangkan kakinya, menatap lurus ke arah Haruto dengan wajah datar.

"Kamu pikir, aku peduli dengan hasil pemeriksaanmu yang konyol itu,"

Haruto mengernyitkan dahi, "Apa maksudmu?"

"Cihhh! Aku tidak peduli, Haruto." Pandangannya berubah menjadi tajam.

"Aku muak dengan semua dugaan berdasarkan science yang terus kamu bahas kepadaku. Kamu adalah teman masa kecilku. Hampir semua tentangku kamu tahu, aku bahkan lebih percaya kamu daripada penilaian diriku sendiri. Kamu bilang aku impoten, kubeli banyak pelacur, mengosumsi banyak obat, serta melakukan olahraga kekuatan sebanyak mungkin. Lantas ketika semuanya tidak ada yang bekerja, kamu mulai menganggapku gila dan melakukan terapi yang tidak jelas muaranya. Dan ketika semua hal tidak masuk akal yang aku ceritakan itu ada di depan matamu, kau menyuruhku apa? Melepaskannya? Membebaskannya?????"

"Hei, bukan itu maksudku...."

Sebelum Haruto sempat menjelaskan, Akira mengangkat tangan, memotong pembicaraan, "Dengar, aku sama sekali tidak peduli dengan semua itu sekarang. Penantian belasan tahun ini sudah harus berakhir. Bertahun-tahun, kau tahu aku telah melakukan banyak hal untuk menemukan dia, tidak penting dia mengenalku atau tidak, yang terpenting bagiku, kenyataan bahwa dia akan terus berada di sisiku mulai saat ini. AKAN AKU SINGKIRKAN SEMUA HAL YANG MENCOBA MENGHALANGIKU,"

"Hasil pemeriksaanmu hanya memperjelas posisiku untuk mulai dari mana, jika dia tidak mengenalku, maka akan aku mulai dengan memperkenalkan diri, membuatnya terus bersama denganku, aku tidak peduli jika aku harus menghalalkan segala cara untuk melakukannya."

Akira bangkit dari duduknya, "kau pergilah, aku sudah tidak membutuhkanmu sekarang. Berhenti berpura-pura bahwa kau selalu membantuku!"

"Apa pun yang terjadi, biar aku yang wujudkan, semua mimpi malam yang menghantuiku selama belasan tahun."

Akira meninggalkan ruangan, membiarkan Haruto diam seribu bahasa, memberinya ruang untuk memikirkan kalimat yang didengarnya barusan. 

...

Akira menuju ruang tidur Anna. Di sana, masih terbaring Anna yang sedang tertidur dengan mata sembab. Dilihatnya lamat-lamat wajah yang selalu ia rindukan, wajah yang di kehidupan nyata tidak pernah seteduh ketika bertemu di mimpi-mimpi malamnya. Wajah yang selalu ketakutan melihatnya. Ada bekas memerah di pergelangan tangan Anna, sepertinya ia berusaha sangat keras melepaskan diri, tidak peduli jika itu menyakiti dirnya sendiri. 

Akira mendekat, menyentuh lembut wajah Anna. Raut wajah yang terlihat lelah dan tidak bertenaga, seingatnya, dia belum mau makan apa pun sejak dua hari lalu. Ia bahkan tidak berniat membersihkan dirinya. Ia menghidup napas panjang, menghembuskannya kuat. Berpikir rencana apa yang akan dilakukannya.

Bibi Sur perlahan mendekatinya, "Tuan Muda, adakah yang perlu Bibi bantu, Nak?"

Sembari terus memandangi Anna, "Apa yang kira-kira harus aku lakukan untuk meluluhkannya, Bi? Aku tidak tahu cara memperlakukan perempuan dengan baik..."

Bibi Sur diam, tidak tahu harus menjawab apa. 

"Paksa dia makan, aku tidak suka melihatnya kurus... bersihkan juga tubuhnya, dan borgol ini.... jangan berikan lagi, dia menyakiti diri sendiri..."

"Baik, Tuan Muda,"

Akira segera meninggalkan ruangan, menuju kamar pribadinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status