PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIAR
Penulis : David Khanz(Bagian 6)Rencana perjodohan Arumi memang bukan sebuah gertakan belaka. KH. Bashori membuktikan dengan mengundang seorang teman semasa mereka —sama-sama— mendalami ilmu agama di pondok pesantren dulu, yaitu KH. Anam Al Fathoni, berserta putranya, Basil Basyiruddin.“Bagaimana kabarmu sekarang, Nak Basil?” tanya KH. Bashori di tengah-tengah perbincangan di acara pertemuan antar keluarga mereka di lingkungan Pondok Pesantren Al Ardul Basyariyah. “Saya dengar, Nak Basil sudah dipercaya Abimu untuk mengelola pondok pesantren di sana. Betulkan itu, Nak?” Orang tua berjanggut putih memanjang tersebut hanya ingin sekadar berbasa-basi, sekaligus mengenal lebih jauh anak muda yang kelak akan menjadi menantunya tersebut.“Ah … alhamdulillah, Abah. Tapi, bukan sebagai pengelola utama. Hanya diperbantukan untuk mengurus pondok pesantren punya Abi itu, Abah,” jawab Basil seraya melirik ke arah ayahnya, KH. Anam.“Wah, berarti … ilmu agamamu sudah lumayan banyak ya, Nak Basil? Sampai-sampai … Nak Basil sudah dipercaya untuk diperbantukan,” imbuh kembali KH. Bashori sambil manggut-manggut, mengagumi sosok anak lelaki dari temannya tersebut.Kembali Basil melirik sejenak pada ayahnya yang sedang tersenyum-senyum, lantas lanjut menjawab, “He-he, kalau untuk mengajar bidang ilmu-ilmu yang ringan, Insyaa Allah … saya sudah siap, Abah.”KH. Bashori pun berseru senang. “Masyaa Allah … rendah hati sekali anakmu ini, Anam,” katanya kemudian, sembari menoleh ke arah KH. Anam, disertai rasa kagum yang semakin bertambah pada sosok Basil. “Saya percaya, kamu pasti telah mendidik anakmu ini dengan baik. Sebagaimana dulu, kita dididik dengan keras oleh mendiang guru kita, KH. Mustafa. He-he.”KH. Anam turut terkekeh. Dia mengetukkan ujung nyala batang rokoknya yang sudah mengabu panjang ke dalam asbak, lantas mengisap asap putih lama dengan penuh kenikmatan.“Alhamdulillah, Bas. Saya memang telah mempersiapkan regenerisasi calon pengganti saya kelak pada Basil. Karena cuma dia yang pantas mewarisi kepemilikan pondok pesantren kami itu. Sebagaimana dulu, almarhum kakeknya menitipkannya pada saya. He-he,” balas KH. Anam di antara kepulan asap rokok yang keluar dari mulut serta lobang hidungnya.“Terus … bagaimana dengan anakmu yang lain. Siapa itu namanya? Saya lupa lagi ….,” ujar KH. Bashori sembari berpikir, mengingat-ingat dengan keras.“Si Sodik?” KH. Anam menyebutkan nama anak yang dimaksud oleh temannya baru saja.“Aahhh, iya … itu! Sodik!” seru KH. Bashori disertai gerakan menjetikkan jari tangan. “Bagaimana kabar dia sekarang, Nam?”Raut wajah KH. Anam sontak berubah masam, begitu KH. Bashori mempertanyakan tentang anaknya yang dimaksud. Sejenak dia melirik pada Basil sebelum menjawab.“Si Sodik itu ….,” ucap KH. Anam dengan nada suara pelan, “dia lebih memilih usaha lain, ketimbang menuruti keinginan saya untuk turut mengurus pesantren.”“Usaha apa?” tanya KH. Bashori tergelitik untuk mengetahui.“Dagang di pasar,” jawab KH. Anam. ”Jadi juragan daging hayam.”Hampir saja KH. Bashori tertawa jika tidak lekas tersadar. ‘Sekelas anak kiai, kok malah dagang ayam. Bukannya mengikuti jejak bapaknya yang jadi alim ulama. Percuma saja ikut mondok bertahun-tahun, kalau ujung-ujungnya jadi orang biasa,’ bisik lelaki tua berjanggut putih memanjang tersebut di dalam hati.“Tapi itu juga bagus kok, Nam. Berarti anakmu itu jadi seorang pengusaha,” imbuh ayahnya Arumi itu kembali, menambahkan. “Bukannya usaha Rasulullah juga dulu, berdagang? Memperjual-belikan barang-barang milik Siti Khadijah. Karena Al Amin, dipercaya, beliau pun sampai dilamar oleh janda kaya raya itu. Siapa tahu saja, anakmu, Sodik itu … dilirik janda pirang juga. Ha-ha.”Gelegak tawa KH. Bashori hanya sesaat terdengar dan seketika terhenti dengan cepat, begitu melirik pada istrinya. Sorot mata Umi Afifah yang turut hadir di sana, mendadak menajam disertai bias wajah seram.‘Dari dulu, Abah kalau membicarakan perihal perempuan janda, selalu tampak semangat berapi-api,’ membatin Umi Afifah dengan kelopak mata menyipit ke arah suaminya. ‘Apakah itu berarti keinginannya dulu untuk berpoligami, masih tetap ada? Padahal sudah kuwanti-wanti, aku tidak akan pernah meridhoi Abah untuk menikah lagi, selama aku masih hidup.’“O, iya … kamu belum menanggapi omongan saya tadi, Nam,” ujar KH. Bashori mendadak mempertanyakan respons temannya, terkait ucapannya tadi. Padahal yang sebenarnya, dia hanya ingin mengalihkan diri dari tatapan dingin mata istrinya, Umi Afifah.KH. Anam mendesah panjang, lantas terbatuk-batuk dengan mengeluarkan sisa asap rokok yang masih ada di dalam saluran pernapasannya.“Apanya yang harus saya tanggapi?” timpal ayah Basil tersebut usai batuknya reda. “Yang saya inginkan itu, si Sodik berkecimpung di dalam pendidikan pondok pesantren. Yaaa …, seperti adiknya inilah.” Dia menunjuk pada sosok Basil yang tampak gelisah di antara duduknya di atas kursi, menantikan kemunculan Arumi, calon istri yang dikabarkan memiliki paras cantik jelita, bak seorang bidadari dari surga. “Makanya, saya sampai bela-belain membiayai pendidikan si Sodik, nyantrèn ke sana-sini. Maksud saya dulu, biar dia bisa melanjutkan tongkat kepemimpinan pondok pesantren saya. Eehhh, ujung-ujungnya malah dagang hayam.”Timpal KH. Bashori bermaksud menenangkan rasa gundah sahabatnya tersebut, “Ya, mau bagaimana lagi atuh, Nam. Namanya juga anak-anak. Pasti pada punya keinginan dan pilihannya sendiri-sendiri. Istilahnya mah, ‘kalapa samangar, moal sarua kabèh.’ Pasti ada saja, satu-dua, yang berbeda. Yang terpenting mah, ilmu yang telah dia dapat, bisa berguna buat dia dan bermanfaat juga untuk orang lain. Bukannya begitu, Nam?”Diam-diam, Umi Afifah bergumam di dalam hati mendengar ucapan suaminya baru saja. Katanya, ‘Iya. Kalau menasehati orang lain mah, meuni pinter da ari si Abah. Giliran anak sama sendiri mah, meuni keukeuh, tidak mau mengalah. Padahal mah da, apa kurangnya coba si Ujang Izan. Sama-sama anak muda berilmu, seperti halnya Jang Basil ini.’“Eh, Umi. Si Enèng Arum mana? Kok, belum muncul juga? Bilang kituh, ada Basil di sini ingin bertemu dia,” kata KH. Bashori pada istrinya. Sekadar menyamarkan perasaan angker tadi atas tatapan mata Umi Afifah.“Ah, biarkan saja atuh, Abah. Mungkin Nèng Arum-nya sedang sibuk mengaji. Tidak usah diganggulah,” sela Basil pura-pura. Padahal saat-saat seperti inilah yang senantiasa dia tunggu-tunggu sejak lama tadi.“Ah, atuh biar kalian berdua bisa saling kenal. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita, terus siapa lagi,” balas KH. Bashori terdengar mengutip jargon politik masa kampanye beberapa tahun terlewat. “Bukannya begitu, Jang Basil?”“Muhun atuh kalau begitu mah, Abah. He-he-he,” ujar Basil tersipu-sipu disertai hati berdebar-debar.Umi Afifah bangkit dan pamit terlebih dahulu pada kedua tamunya sebelum bergegas pergi. “Punten, dikantun dulu sebentar ya, Abah Kiai dan Jang Basil.” ucap wanita berusia 50’an tahun tersebut.“Mangga, Umi, mangga,” jawab KH. Anam Al Fathoni dan Basil Basyiruddin berbarengan.Sambil menunggu kemunculan Arumi, KH. Bashori pun mempersilakan tamu-tamunya untuk menikmati hidangan yang ada. Satu meja memanjang, lengkap dan penuh tersaji, mulai dari ranginang, rangining, dapros, wajit, serta tidak lupa minuman khas kaum pria, air kopi hitam.Mereka mengobrol ‘ngalor-ngidul’ dengan topik-topik yang cukup ringan. Sampai kemudian, dengung suara-suara bariton itu pun sontak terhenti, begitu Arumi muncul dengan balutan busana syar’i.Bola mata Basil seperti mau mencelat dari rongganya, melihat kecantikan calon istrinya yang begitu kabina-bina.‘Subhanallah, ternyata cantik sekali anaknya Abah Abas ini ….,’ ujar Basil memuji-muji. ‘Melebihi cantiknya selebriti Inaha Qursyi, yang buka cadar di depan kamera tivi.’Menyadari tatapan nanar seorang lelaki yang akan diperkenalkan padanya sebagai calon suami, Arumi lekas mengait ujung kain jilbab ke atas, dijadikan sebagai nikab.‘Jaga mata dong, Mas. Tundukkan kepala. Jangan mentang-mentang pandangan pertama itu rezeki, sampai lupa untuk berkedip dan memalingkan wajah sendiri. Astaghfirullahal’adziim ….,’ membatin gadis tersebut, mendadak merasa jengah.BERSAMBUNGPEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 7)Arumi berlari sambil menangis, melewati sebuah ruangan, tempat dimana saat itu Azizah sedang mengawasi santriwati mengaji. Sontak perempuan yang merupakan kakak kandung dari gadis tersebut, menoleh dan memperhatikan adiknya hingga masuk ke dalam kamar.'Astaghfirullahal'adziim ….,' ucap Azizah di dalam hati, lantas benaknya pun diliputi tanda tanya. 'Ada apa dengan Arum, ya? Kulihat tadi, sepertinya dia menangis.'Dera dilema pun seketika menggayuti segenap dada. Azizah, istri dari Ustaz Muzakir, bingung untuk mengambil sikap. Tetap berada di sana atau menghampiri adik kandungnya?Sejenak perempuan beranak dua itu, memutar kepala ke arah sekumpulan santriwati di depannya. Mereka sedang fokus melaksanakan murajaah secara bersama-sama. Kemudian kembali menoleh ke kamar dimana Arumi tadi terlihat masuk."Anisa ….," panggil Azizah —akhirnya— pada salah seorang santriwati yang duduk paling dekat dengannya.Sosok yang dipanggil
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 8)Setelah keadaan hati kedua perempuan itu tenang, Azizah dan Arumi pun melanjutkan kembali percakapan mereka. Terjeda oleh luapan emosi, melalui ungkapan lirih dalam sebuah tangisan mengiris kalbu.“Entahlah, Kak. Aku merasa seperti sedang diperjual-belikan oleh Abah,” ucap Arumi di tengah-tengah perbincangan, disertai isak yang masih tersisa. “Abah menjodohkanku dengan anaknya Kiai Haji Anam itu, berdasarkan alasan tertentu, disamping karena beliau adalah sahabat Abah sewaktu mondok dulu.”Azizah menoleh dan memperhatikan adiknya dengan tatapan lekat. “Apa maksudmu berkata merasa diperjual-belikan itu, Dik? Kamu berpikir kalau Abah bermaksud menukarmu dengan Basil?”Arumi menarik napas panjang. Rasa kesal setelah acara pertemuan dua keluarga tadi, masih juga belum sirna, menyesak di dalam hatinya. Sebal pula dengan sikap serta perilaku Basil yang terus memandanginya, laksana seekor serigala sedang mengincar mangsa.Menja
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 9)Upaya penolakan Arumi terhadap rencana perjodohannya dengan Basil Basyiruddin oleh KH. Bashori, tidak membuahkan hasil. Semakin melawan, kian kuat pula orang tua tersebut bersikeras untuk menyegerakan pernikahan anak perempuan bungsunya.Arumi putus asa dan mengadu pada ibunya, Umi Afifah. Namun wanita tua itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak berdaya menghadapi kekerasan sikap suaminya tersebut, terkecuali hanya bisa pasrah dan meminta Arumi untuk bersabar.Di tengah kekalutan yang sedang dirasakannya, gadis tersebut menghubungi Hamizan melalui ponsel. Meminta kejelasan akan status hubungan mereka selama ini.“Insyaa Allah … aku akan datang menemui Abah besok, Neng,” ucap lelaki muda itu berjanji. “Aku akan membicarakan tentang hubungan kita ini sama beliau. Insyaa Allah. Doakan saja.”Rencana kedatangan Hamizan untuk menemui KH. Bashori, sedikit mampu membuat Arumi tenang dan berharap banyak.“Tunaikan beberapa raka
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 10)Keesokan harinya, Hamizan menepati janji untuk menghadap ayah Arumi, KH. Bashori. Tiba agak agak siang, karena faktor perjalanan yang cukup jauh; Jakarta-Tasikmalaya. Di sana, dia disambut pula oleh seseorang yang sudah tiba terlebih dahulu, yakni Basil Basyiruddin.“Kenalkan, ini Nak Basil. Calon suami Arumi,” kata orang tua berjanggut putih memanjang tersebut pada Hamizan, seraya menunjuk anak sahabatnya, KH. Anam Al Fathoni.Hamizan pun tersenyum, berusaha tenang, lantas menyalaminya usai mengucap salam terlebih dahulu.“Calon suami Neng Arum?” tanya Hamizan pada Basil setelah dipersilakan duduk, agak menjauh dari posisi KH. Bashori dan Basil di sana.Yang menjawab, malah ayahnya sang kekasih. Ucap KH. Bashori diiringi senyuman penuh makna, “Benar, Anak Muda. Basil ini anaknya teman saya. Sudah lama —bertahun-tahun— dia mondok di banyak pondok pesantren dan sekarang dipercaya mengelola pondok pesantren milik ayahnya s
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 11)Pada pertemuan dengan KH. Bashori dan Basil hari itu, Hamizan sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membicarakan perihal niatnya melamar Arumi. Bahkan di hampir setiap kesempatan, hanya menjadi bulan-bulanan keangkuhan orang tua tersebut, dengan menyanjung-nyanjung calon menantunya itu.Hamizan terpaksa kembali ke Jakarta tanpa hasil apa pun. Tidak sempat pula berpamitan dengan Arumi. Kecewa? Sudah tentu. Namun dengan kondisi tersebut, justru tidak mematahkan semangatnya untuk tetap mendapatkan restu serta menghalalkan hubungannya dengan sang kekasih.“ … Mohon maaf, Neng,” kata Hamizan melalui pesan suara pada nomor kontak Arumi, “aku belum bisa mewujudkan impian kita. Aku belum bisa mengambil hati Abah. Tapi Insyaa Allah, aku akan selalu berusaha semampu diri ini. Tetaplah mengucap doa di setiap sujud kita, Neng. Insyaa Allah, jalan terbaik pasti akan terbuka di suatu waktu. Insyaa Allah … Insyaa Allah … Insyaa All
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 12)Rencana perjodohan Arumi dan Basil Basyiruddin bukan hanya gertak biasa. Pihak KH. Bashori memajukan tanggal pernikahan anak perempuannya menjadi jauh lebih cepat. Hal itu, tentu saja membuat kekasih Hamizan tersebut semakin bersedih dan tidak memiliki cara lain, terkecuali …."Maasss ….," sebut Arumi merengek dalam tangis, melalui panggilan telepon pada Hamizan."Wa'alaikumsalaam, Neng," balas laki-laki itu, walaupun Arumi sampai lupa mengucapkan salam saat panggilan diterima. "Ada apa? Neng lagi nangis? Astaghfirullah." Terdengar suara kekasihnya itu bergetar khawatir."Abah, Mas. Abah …." Arumi masih belum kuat untuk berucap lebih banyak."I-iya. Ada apa lagi dengan Abah?" Kembali Hamizan bertanya risau. "Istighfar dulu Eneng-nya. Ayo, ucapkan istighfar," pintanya lagi mencoba menenangkan sang kekasih.Arumi menurut. Dia segera melafalkan kalimat istighfar beberapa kali hingga hatinya terasa sedikit lebih tenang. Sete
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 13)"Tidak, Arum. Kali ini, aku tidak bisa membantumu. Maafin Kakak ya, Dik," ucap Azizah saat diminta meminjaminya ponsel oleh Arumi. "Aku sudah berjanji pada Abi Zakir, selama urusanmu berkaitan dengan Hamizan, aku tidak mau membantu."Jawaban kakaknya tersebut membuat hati Arumi semakin merasa bersedih. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan untuk menolongnya kini. Bahkan untuk sebuah ponsel untuk menghubungi sang kekasih.Arumi kian merana. Sendiri, kesepian, dan seakan-akan tidak lagi memiliki pegangan bagi hatinya yang tengah terkoyak-koyak. Semula berharap, sang kakak adalah benteng terakhir untuk mengadukan nasib, nyatanya kini tidak ubahnya seperti KH. Bashori."Kamu tahu, sejak menemanimu menjenguk Hamizan dulu, Abi Zakir sudah tidak lagi percaya padaku," ungkap Azizah sendu. "Terpaksa aku mengakui, kalau saat itu … bukan temanmu yang kita datangi di Jakarta, tapi Hamizan kekasihmu."— o0o —Ustaz Muzakir marah dan me
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 14)Pagi-pagi buta, Arumi pergi meninggalkan kompleks Pondok Pesantren Al Ardul Basyariyah di Kampung Sukamenak Desa Linggawangi - Leuwisari, Tasikmalaya. Tanpa berbekal apa pun, terkecuali sejumlah uang terbatas dan pakaian yang melekat di badan.Dari rumah, sengaja Arumi memilih jalan kecil untuk menghindari diri bertemu dengan warga sekitar. Menyusuri kebun dan pematang sawah, bergelap-gelapan, tanpa mengenal rasa takut. Hatinya sudah membulat, hari itu ingin meninggalkan keluarga guna menemui sang kekasih pujaan, Hamizan. Walaupun dia sendiri bingung dan tidak tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya.Tiba di pinggiran jalan umum, Arumi menunggu seseorang yang lewat. Mungkin yang hendak ke pasar atau pergi ke kota membawa kendaraan pribadi. Lumayan, bisa untuk menghemat serta mempercepat perjalanan.Doa gadis itu pun, Alhamdulillah, terkabul, setelah beberapa waktu menanti-nanti di dalam kegelapan janari. Sebuah sepeda mo