PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIAR
Penulis : David Khanz(Bagian 5)Menengok beberapa tahun sebelumnya, Hamizan adalah seorang mahasiswa dari Jakarta yang melakukan PKL (Praktik Kerja Lapangan) di Tasikmalaya. Tepatnya Kampung Sukamenak, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari. Selama berada di sana, anak muda tersebut menginap di sebuah Pondok Pesantren Al Ardul Basyariyah milik seorang tokoh terkenal. Di tempat itu pula, dia bertemu dan mengenal seorang santriwati bernama Arumi Nasha Lazeta. Sosok gadis terakhir ini, tidak lain adalah putri kedua dari pemilik pondok pesantren tersebut, yakni KH. Bashori dan Umi Afifah.Bilur-bilur cinta pun mulai tersemai di hati muda-mudi tersebut. Sebagai mahasiswa yang berkuliah di Fakultas Tarbiyah, tentu saja aktivitas Hamizan lebih banyak berbaur dengan para santri-santriwati di sana, termasuk dengan Arumi sendiri.Kedekatan kedua anak muda tersebut, rupanya tercium oleh KH. Bashori. Maka dengan sangat terpaksa, setelah pelaksanaan praktikum perkuliahan itu usai, Hamizan dan Arumi dilarang melanjutkan hubungan mereka serta dilarang saling berkomunikasi.Rupanya, secara diam-diam Hamizan dan Arumi masih tetap melakukan percakapan jarak jauh. Bahkan sesekali mengunjungi pondok pesantren tersebut dengan alasan untuk bersilaturahim dengan kedua orangtua Arumi, KH. Bashori dan Umi Afifah, serta santri-santri di sana.“Bagaimana sekarang kabarmu, Nak?” tanya Umi Afifah sewaktu menerima kedatangan Hamizan di balai terbuka, ditemani oleh Arumi sendiri.“Alhamdulillah, Umi. Saya sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus. Walaupun … yaaa, tidak sesuai dengan jurusan yang dulu saya ambil waktu kuliah,” jawab Hamizan merasa senang sekali bisa diterima dengan ramah oleh ibu dari kekasihnya tersebut.Arumi yang duduk di sebelah Umi Afifah, hanya terdiam dengan wajah tertunduk. Namun sesekali perempuan itu melirik, mencuri-curi pandang dan tersenyum-senyum sendiri.“Alhamdulillah, kalau begitu. Saya ikut senang sekali, Nak Izan sudah bisa mencari penghidupan sendiri,” balas Umi Afifah. “Kalau masalah pekerjaan atau profesi, itu tidak harus selalu sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. Terpenting, ilmu agama yang sudah didapat, bisa bermanfaat. Baik untuk diri sendiri, maupun orang lain.”“Alhamdulillah, Umi. Terima kasih atas dukungan dan doanya selama ini. Hingga saya bisa seperti sekarang ini,” lanjut laki-laki muda itu berkata.Sejenak, wanita tua tersebut melirik pada secangkir minuman yang disajikan di depan Hamizan.“O, iya … silakan diminum dulu, Nak Izan. Kebetulan, hanya itu yang tersedia sekarang. Itu pun, Arumi sendiri yang membuatnya,” ucap Umi Afifah seraya menoleh pada putrinya di samping.“Iya, Umi. Terima kasih,” balas Hamizan, lantas mencoba mencicipi minuman tadi. “Masyaa Allah, nikmat sekali Umi,” pujinya. Tentu saja hal tersebut dialamatkan pada Arumi.Seketika gadis itu pun tersipu dengan wajah merona merah.Selama ini, Hamizan merasa bahwa hanya Umi Afifah yang selalu berkenan menerimanya dengan baik. Bahkan dari beberapa kalimat yang terucap, sepertinya istri KH. Bashori tersebut, merestui hubungan dirinya dengan Arumi Terbukti, kehadiran putri kedua wanita berusia 50’an tahun itu di sana, tidak pernah sekalipun diusik. Senantiasa menemani dan bersikap ramah.Sangat berbeda dengan sikap yang senantiasa ditunjukkan oleh KH. Bashori sendiri. Setiap kali Hamizan datang, Arumi tidak diperbolehkan menemui pemuda tersebut. Bahkan terkesan meminta agar dia segera pulang dan tidak lagi pernah berkunjung ke sana.“Anak muda itu bukan dari kalangan orang seperti Abah, Umi. Dia tidak pantas menjadi suami Arum,” ungkap KH. Bashori sewaktu mengobrol dengan istrinya. “Yang Abah inginkan itu, calon menantu yang bisa ikut membantu dan mengembangkan pondok pesantren kita ini. Bukan pekerja kantoran begitu.”“Loh, bukannya Nak Izan itu punya kemampuan juga di bidang ilmu agama, Abah. Dia ‘kan, kuliahnya di jurusan Tarbiyah. Berarti ilmu agamanya lumayan bagus,” balas Umi Afifah mencoba menjelaskan.KH. Bashori mendengkus, disertai delik tatapan mata seperti tidak menyukai pendapat istrinya baru saja.“Tarbiyah apa? Belum tentu juga dia bisa ngaji kitab kuning seperti Abah,” ucap laki-laki tua berjanggut panjang yang sudah memutih itu dengan nada sengit. “Buktinya, waktu dia PKL di sini dulu saja, pembahasan keilmuannya masih di bawah kemampuan Abah.”“Kalau masalah itu, ‘kan masih bisa sambil belajar, Bah,” timpal kembali Umi Afifah. “Lagipula, buat ukuran zaman sekarang, jika ingin mengkaji kitab kuning, bisa dicari buku-buku terjemahannya, kok. Tidak mesti harus mampu membaca huruf arab gundul. Begitu ‘kan, Bah?”Kembali KH. Bashori mendelik, cemberut.“Terus, kalau cuma mengandalkan dari buku terjemahannya dan buta huruf arab gundul, bagaimana mungkin bisa mengkaji keaslian ilmunya, Umi? Bagaimana juga nanti mengajari santri-santri yang lain? Belum pula, kalau ada guru dan murid sama-sama tidak paham kitab aslinya, ilmu apa yang mau dipelajari? Sama-sama bodoh, sama-sama tidak paham bahasa Arab!” rutuk orang tua tersebut bersungut-sungut sendiri. “Nih, menurut Imam Syafi’i saja; Ta’allim! (belajarlah!) Falais almar' (Karena tidak ada seorang pun), yualid a’alimaan (terlahir sebagai ulama), walais 'akhu (dan tidaklah sama) i’lm (orang yang berilmu), kaman hu jahil (dengan orang bodoh). Jadi, murid bodoh belajar pada guru bodoh, hasilnya yaa … jahal, kebodohan pula!”Kali ini, Umi Afifah tidak ingin menimpali. Terlalu berat bagi dia untuk mendebat, jika suaminya tersebut sudah berbicara tentang filsafat.“Lagipula, Abah yakin sekali, anak muda itu tidak bisa membaca kitab gundul. Kalau sudah begitu, sudah dipastikan … dia juga tidak paham bahasa Arab,” imbuh KH. Bashori disertai desah mengeluh.“Memang itu penting, Bah?” tanya istrinya disertai kelopak dan sorot mata menyipit.Menjawab ayah dari Arumi itu kembali, “Sebagai orang Islam, minimal bisa. Kalau tidak, ya harus.”“Loh, bukannya yang harus itu … bisa baca Al Qur’an, Bah? Bukan menitikberatkan kemampuan pada bahasa Arabnya?” Lagi-lagi Umi Afifah bertanya lebih lanjut.“Lah, bahasa Al Quran itu sendiri, ‘kan menggunakan bahasa Arab? Bagaimana sih, Umi ini?” KH. Bashori tidak mau kalah beradu pendapat.“Memang,” balas Umi Afifah terdengar santai menanggapi perdebatan dengan suaminya. “Konteksnya ‘kan, beda, Bah. Al Qur’an itu memang menggunakan bahasa Arab, tapi bukan berarti semua orang Arab mampu berbahasa layaknya bahasa Al Qur’an.”“Maksud Umi bagaimana, sih?” Laki-laki berjanggut panjang putih tersebut, sampai menggeser posisi duduknya. Serius menyimak ucapan sang istri.Umi Afifah menarik napas sejenak. Lalu kembali berkata, “Maksud Umi, kewajiban kita itu cuma sebatas kemampuan membaca Al Qur’an dan memahami maknanya, bukan semestinya bisa bicara bahasa Arab seperti halnya kita berbicara sehari-hari, Bah. Begitu maksud Umi.”“Loh, ‘kan sudah jelas, bahasa Al Qur’an itu bahasa Arab. Kalau tidak paham bahasa Arab, bagaimana mungkin paham makna tulisan di Al Qur’an? Jadi bingung Abah.” Kening orang tua tersebut sampai berkerut hebat. Berusaha mencerna apa yang disampaikan oleh sosok yang sedang bersamanya saat itu.“Iya, Umi paham maksud Abah tadi,” timpal Umi Afifah merasa kesulitan untuk menjelaskan secara terperinci. “Maksud Umi ini begini loh, Bah, apa yang Abah bicarakan tadi terkait kemampuan berbahasa Arab, cuma sebatas berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab, ‘kan? Bukan ketidakmampuan memaknai bahasa Arabnya ayat-ayat yang ada di Al Qur’an. Begitu, bukan? Apa itu keharusan, bisa cas-cis-cus seperti bicara menggunakan bahasa asing lainnya?”Jawab KH. Bashori, “Sudah Abah bilang, minimal. Tidak berarti harus.”“Lah, iya!” balas lagi Umi Afifah. “Lagipula, ada juga kok, orang yang bisa membaca kitab Arab gundul, tapi ternyata tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Arab. Karena, kebanyakan … yang mereka miliki itu, berdasarkan hafalan atau kemampuan menghafal kata per kata. Bukan kemampuan pada segi berkomunikasinya. Abah sendiri, sudah lancar ngomong bahasa Arab, belum?”Ditanya demikian, KH. Bashori langsung tergagap-gagap. Tidak menyangka sama sekali jika istrinya tersebut akan bertanya seperti itu. Lantas, sosok laki-laki tua berjanggut panjang memutih ini pun langsung bangkit dari duduk.“Abah lupa, hari ini kita bakal kedatangan tamu istimewa,” katanya tampak kebingungan.“Siapa, Bah?” tanya Umi Afifah.“Kiai Anam,” jawab KH. Bashori.“Kiai Anam yang dari Kampung Leuwisari itu?” tanya kembali istrinya. Sang suami mengiyakan. “Ada hal penting ya, Bah?”Sejenak, orang tua pimpinan Pondok Pesantren Al Ardul Basyariyah tersebut melihat-lihat ke sekeliling ruangan. Lantas menjawab dengan suara perlahan, “Tentu saja penting, Umi. Abah ingin melamar anaknya teman Abah itu. Kalau tidak salah … namanya … Basil. Ya, Basil Basyiruddin.”“Melamar?” Seketika hati wanita tua itu merasa tidak enak. Baru saja hendak menduga-duga, sang suami sudah menjawabnya.“Iya, melamar. Untuk calon suami anak kita, Arumi.”‘Ya, Allah ….,’ desah Umi Afifah terkejut.BERSAMBUNGPEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 6)Rencana perjodohan Arumi memang bukan sebuah gertakan belaka. KH. Bashori membuktikan dengan mengundang seorang teman semasa mereka —sama-sama— mendalami ilmu agama di pondok pesantren dulu, yaitu KH. Anam Al Fathoni, berserta putranya, Basil Basyiruddin.“Bagaimana kabarmu sekarang, Nak Basil?” tanya KH. Bashori di tengah-tengah perbincangan di acara pertemuan antar keluarga mereka di lingkungan Pondok Pesantren Al Ardul Basyariyah. “Saya dengar, Nak Basil sudah dipercaya Abimu untuk mengelola pondok pesantren di sana. Betulkan itu, Nak?” Orang tua berjanggut putih memanjang tersebut hanya ingin sekadar berbasa-basi, sekaligus mengenal lebih jauh anak muda yang kelak akan menjadi menantunya tersebut.“Ah … alhamdulillah, Abah. Tapi, bukan sebagai pengelola utama. Hanya diperbantukan untuk mengurus pondok pesantren punya Abi itu, Abah,” jawab Basil seraya melirik ke arah ayahnya, KH. Anam.“Wah, berarti … ilmu agamamu sud
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 7)Arumi berlari sambil menangis, melewati sebuah ruangan, tempat dimana saat itu Azizah sedang mengawasi santriwati mengaji. Sontak perempuan yang merupakan kakak kandung dari gadis tersebut, menoleh dan memperhatikan adiknya hingga masuk ke dalam kamar.'Astaghfirullahal'adziim ….,' ucap Azizah di dalam hati, lantas benaknya pun diliputi tanda tanya. 'Ada apa dengan Arum, ya? Kulihat tadi, sepertinya dia menangis.'Dera dilema pun seketika menggayuti segenap dada. Azizah, istri dari Ustaz Muzakir, bingung untuk mengambil sikap. Tetap berada di sana atau menghampiri adik kandungnya?Sejenak perempuan beranak dua itu, memutar kepala ke arah sekumpulan santriwati di depannya. Mereka sedang fokus melaksanakan murajaah secara bersama-sama. Kemudian kembali menoleh ke kamar dimana Arumi tadi terlihat masuk."Anisa ….," panggil Azizah —akhirnya— pada salah seorang santriwati yang duduk paling dekat dengannya.Sosok yang dipanggil
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 8)Setelah keadaan hati kedua perempuan itu tenang, Azizah dan Arumi pun melanjutkan kembali percakapan mereka. Terjeda oleh luapan emosi, melalui ungkapan lirih dalam sebuah tangisan mengiris kalbu.“Entahlah, Kak. Aku merasa seperti sedang diperjual-belikan oleh Abah,” ucap Arumi di tengah-tengah perbincangan, disertai isak yang masih tersisa. “Abah menjodohkanku dengan anaknya Kiai Haji Anam itu, berdasarkan alasan tertentu, disamping karena beliau adalah sahabat Abah sewaktu mondok dulu.”Azizah menoleh dan memperhatikan adiknya dengan tatapan lekat. “Apa maksudmu berkata merasa diperjual-belikan itu, Dik? Kamu berpikir kalau Abah bermaksud menukarmu dengan Basil?”Arumi menarik napas panjang. Rasa kesal setelah acara pertemuan dua keluarga tadi, masih juga belum sirna, menyesak di dalam hatinya. Sebal pula dengan sikap serta perilaku Basil yang terus memandanginya, laksana seekor serigala sedang mengincar mangsa.Menja
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 9)Upaya penolakan Arumi terhadap rencana perjodohannya dengan Basil Basyiruddin oleh KH. Bashori, tidak membuahkan hasil. Semakin melawan, kian kuat pula orang tua tersebut bersikeras untuk menyegerakan pernikahan anak perempuan bungsunya.Arumi putus asa dan mengadu pada ibunya, Umi Afifah. Namun wanita tua itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak berdaya menghadapi kekerasan sikap suaminya tersebut, terkecuali hanya bisa pasrah dan meminta Arumi untuk bersabar.Di tengah kekalutan yang sedang dirasakannya, gadis tersebut menghubungi Hamizan melalui ponsel. Meminta kejelasan akan status hubungan mereka selama ini.“Insyaa Allah … aku akan datang menemui Abah besok, Neng,” ucap lelaki muda itu berjanji. “Aku akan membicarakan tentang hubungan kita ini sama beliau. Insyaa Allah. Doakan saja.”Rencana kedatangan Hamizan untuk menemui KH. Bashori, sedikit mampu membuat Arumi tenang dan berharap banyak.“Tunaikan beberapa raka
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 10)Keesokan harinya, Hamizan menepati janji untuk menghadap ayah Arumi, KH. Bashori. Tiba agak agak siang, karena faktor perjalanan yang cukup jauh; Jakarta-Tasikmalaya. Di sana, dia disambut pula oleh seseorang yang sudah tiba terlebih dahulu, yakni Basil Basyiruddin.“Kenalkan, ini Nak Basil. Calon suami Arumi,” kata orang tua berjanggut putih memanjang tersebut pada Hamizan, seraya menunjuk anak sahabatnya, KH. Anam Al Fathoni.Hamizan pun tersenyum, berusaha tenang, lantas menyalaminya usai mengucap salam terlebih dahulu.“Calon suami Neng Arum?” tanya Hamizan pada Basil setelah dipersilakan duduk, agak menjauh dari posisi KH. Bashori dan Basil di sana.Yang menjawab, malah ayahnya sang kekasih. Ucap KH. Bashori diiringi senyuman penuh makna, “Benar, Anak Muda. Basil ini anaknya teman saya. Sudah lama —bertahun-tahun— dia mondok di banyak pondok pesantren dan sekarang dipercaya mengelola pondok pesantren milik ayahnya s
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 11)Pada pertemuan dengan KH. Bashori dan Basil hari itu, Hamizan sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membicarakan perihal niatnya melamar Arumi. Bahkan di hampir setiap kesempatan, hanya menjadi bulan-bulanan keangkuhan orang tua tersebut, dengan menyanjung-nyanjung calon menantunya itu.Hamizan terpaksa kembali ke Jakarta tanpa hasil apa pun. Tidak sempat pula berpamitan dengan Arumi. Kecewa? Sudah tentu. Namun dengan kondisi tersebut, justru tidak mematahkan semangatnya untuk tetap mendapatkan restu serta menghalalkan hubungannya dengan sang kekasih.“ … Mohon maaf, Neng,” kata Hamizan melalui pesan suara pada nomor kontak Arumi, “aku belum bisa mewujudkan impian kita. Aku belum bisa mengambil hati Abah. Tapi Insyaa Allah, aku akan selalu berusaha semampu diri ini. Tetaplah mengucap doa di setiap sujud kita, Neng. Insyaa Allah, jalan terbaik pasti akan terbuka di suatu waktu. Insyaa Allah … Insyaa Allah … Insyaa All
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 12)Rencana perjodohan Arumi dan Basil Basyiruddin bukan hanya gertak biasa. Pihak KH. Bashori memajukan tanggal pernikahan anak perempuannya menjadi jauh lebih cepat. Hal itu, tentu saja membuat kekasih Hamizan tersebut semakin bersedih dan tidak memiliki cara lain, terkecuali …."Maasss ….," sebut Arumi merengek dalam tangis, melalui panggilan telepon pada Hamizan."Wa'alaikumsalaam, Neng," balas laki-laki itu, walaupun Arumi sampai lupa mengucapkan salam saat panggilan diterima. "Ada apa? Neng lagi nangis? Astaghfirullah." Terdengar suara kekasihnya itu bergetar khawatir."Abah, Mas. Abah …." Arumi masih belum kuat untuk berucap lebih banyak."I-iya. Ada apa lagi dengan Abah?" Kembali Hamizan bertanya risau. "Istighfar dulu Eneng-nya. Ayo, ucapkan istighfar," pintanya lagi mencoba menenangkan sang kekasih.Arumi menurut. Dia segera melafalkan kalimat istighfar beberapa kali hingga hatinya terasa sedikit lebih tenang. Sete
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 13)"Tidak, Arum. Kali ini, aku tidak bisa membantumu. Maafin Kakak ya, Dik," ucap Azizah saat diminta meminjaminya ponsel oleh Arumi. "Aku sudah berjanji pada Abi Zakir, selama urusanmu berkaitan dengan Hamizan, aku tidak mau membantu."Jawaban kakaknya tersebut membuat hati Arumi semakin merasa bersedih. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan untuk menolongnya kini. Bahkan untuk sebuah ponsel untuk menghubungi sang kekasih.Arumi kian merana. Sendiri, kesepian, dan seakan-akan tidak lagi memiliki pegangan bagi hatinya yang tengah terkoyak-koyak. Semula berharap, sang kakak adalah benteng terakhir untuk mengadukan nasib, nyatanya kini tidak ubahnya seperti KH. Bashori."Kamu tahu, sejak menemanimu menjenguk Hamizan dulu, Abi Zakir sudah tidak lagi percaya padaku," ungkap Azizah sendu. "Terpaksa aku mengakui, kalau saat itu … bukan temanmu yang kita datangi di Jakarta, tapi Hamizan kekasihmu."— o0o —Ustaz Muzakir marah dan me