PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIAR
Penulis : David KhanzBagian (121)Episode : Arumi TerancamHamizan tidak pernah tahu, ada persoalan apa di antara Bella dan Pak Waluyo. Sementara orang tua itu sendiri belum mau terbuka padanya.Timbul pertanyaan baru, jika saja benar seorang Bella telah berubah, lantas mengapa hubungan dengan bapaknya sendiri justru terkesan tidak harmonis? Bukankah sebelum itu mereka berdua terlihat akur. Setidaknya itulah yang dinilai di mata Hamizan. Namun suami Arumi tersebut tidak ingin mencampuri urusan internal keluarga Pak Waluyo. Terpenting sekarang, sikap Bella sendiri memang tidak seperti beberapa bulan sebelumnya.Baru saja babak kedamaian itu dirasakan oleh keluarga Hamizan, suatu ketika dia menerima sebuah panggilan telepon."Pak Waluyo ….," gumam Hamizan begitu memperhatikan nomor kontak yang tertera di layar. "Assalaamu'alaikum, Pak," ucapnya usai menekan ikon berwarna hijau."Wa'alaikPEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (122)Episode : Arumi MelahirkanBelum habis memikirkan kejadian misteri penabrakan tadi, tiba-tiba Arumi meringis kesakitan. Perempuan cantik berkulit putih bersih itu menyeringai sembari pegangi perut."M-maasss ….," lenguh Arumi memanggil suaminya.Hamizan menoleh dari arah pandangan pada sosok kendaraannya yang ditabrak tadi."Sayang? A-ada apa, Sayang?" tanya lelaki itu gelagapan. Dia memperhatikan raut wajah Arumi dan elusan di perut buncitnya. "Yaa Allah … k-kamu mau melahirkan?"Arumi menggelengkan kepala dengan bibir tidak berhenti mendesis. "Gak tahu, Mas. Perutku mules banget ini. Aduuhh … aashhh!" jawab Arumi kian menghebat serangan rasa sakit yang mendera perut. Seketika raut wajah perempuan itu berubah memucat disertai keringat mengilap di wajah."Yaa Allah ….!" seru Hamizan mulai panik dan segera memanggil Muzakir. "Kang, s-
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (123) Episode : Akhir Dari Sebuah MisteriBeberapa hari setelah Arumi melahirkan, Hamizan kedatangan seorang tamu spesial. Dia tiba di sana menjelang siang, bersama dua orang lelaki berbadan tegap, untuk menemui menantu Abah Bashori tersebut sambil membawa sesosok bayi mungil di dalam dekapan. Sosok khusus itu tidak lain adalah Pak Waluyo, bapak kandung Bella Aurora."Pak?" ucap Hamizan kaget bercampur heran. Seolah-olah tidak percaya melihat ketibaan orang tua tersebut di Tasikmalaya. Yang lebih menarik perhatian adalah tentang bayi mungil itu. 'Anak Bella-kah dia?' tanyanya seketika menduga-duga. "Silakan masuk, Pak."Hamizan menyalami ketiganya dan mengajak Pak Waluyo serta kedua orang itu tadi masuk ke dalam rumah."Ada apa ini, Pak? Bagaimana bisa tahu kalo saya ada di sini?" tanya Hamizan masih merasa heran dan bingung dengan kedatangan Pak Waluyo. Lanjut bert
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 1)Petang itu, Hamizan baru saja usai melaksanakan kewajiban ibadah salat Isya, tiba-tiba terdengar suara bel rumah berdentang. Lekas lelaki tersebut melipat sajadah dan bergegas keluar dari kamar.Namun baru saja membuka pintu, Bi Inah pembantu di rumah itu, sudah mendahului menuju ruang depan. “Biar saya yang bukain, Den,” ujar wanita tua berusia sekitar 60’an tahun tersebut seraya menahan gerak langkah Hamizan.“Oh, baiklah, Bi. Terima kasih, ya,” kata anak muda itu sembari melemparkan senyuman. “O, iya … Mang Karta di mana, Bi?” tanyanya lebih lanjut, tentang sosok lelaki yang merupakan suami dari Bu Inah tadi.“Ada di belakang, Den. Nanti saya panggilkan setelah saya ke depan,” jawab Bi Inah disertai jari jempol menunjuk ke arah ruangan depan tadi. Maksudnya terlebih dahulu akan memeriksa siapa orang yang bertamu sepetang itu ke rumah, kemudian membantu memanggilkan suaminya.“Ah, tidak usah, Bi,” timpal Hamizan dengan
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 2)Hamizan, Arumi, Bi Inah, dan Mang Karta, duduk berkumpul di atas sofa, melingkar di ruangan depan. Ditambah lagi dengan kehadiran dua orang lainnya, yaitu Pak RT beserta istrinya. Pihak laki-laki dan perempuan, sengaja memilih berada agak berjauhan, menyisakan celah tersendiri di antara dua kelompok tersebut. Sementara, keempat sosok tadi, baru saja menyantap makan malam bersama-sama sebelumnya.“Baik …..” Hamizan memulai membuka suara sebagai pihak tuan rumah. Menatap lurus ke depan dan terkadang ke bawah, tanpa mau beradu tatap dengan Arumi. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.”Serempak, ucapan pembuka Hamizan baru saja tersebut, dijawab oleh kelima sosok yang hadir di sana secara berjamaah. Setelah menghaturkan terima kasih pada Pak RT dan istrinya, atas pemenuhan undangan kedatangan mereka ke rumah, Hamizan pun lanjut membuka pertemuan tersebut.“Mang Karta, Bi Inah, Pak RT, serta Ibu RT ….,” ujar Hamizan
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz (Bagian 3)“Jadi bagaimana sekarang, Neng?” Tiba-tiba suara pertanyaan dari pihak Bu RT, membuyarkan lamunan Arumi tentang keluarganya di kampung.Sejenak perempuan itu terdiam dengan tatapan hampa. Lantas bertanya lirih pada sosok istri Pak RT tadi, “Bagaimana tentang apa, Bu?”Bu RT menoleh pada suaminya dan Hamizan. Dia bingung dengan sikap Arumi, apakah mesti mengulang kembali pembicaraan? Bahasan tentang obrolan bersama tadi, sebelumnya, atau bagaimana.Akhirnya Hamizan pun —terpaksa— mengambil alih dan angkat bicara untuk menjelaskan. “Eneng tidak ikut nyimak pembicaraan kita tadi ?” tanya lelaki tersebut dan langsung digelengi oleh Arumi. “Baiklah, jadi begini ….,” lanjut lelaki itu berkata, setelah mendengkus sebelumnya, “buat mencegah timbulnya fitnah, sebaiknya malam ini … Eneng ikut Pak RT dan Bu RT. Nginep di sana. Jangan di sini. Di rumah ini.”Arumi menunduk dan terdiam. Mendengar penjelasan yang dituturkan oleh kekas
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz (Bagian 4)Usai melakukan obrolan jarak jauh melalui ponsel, Arumi menangis pilu di dalam pelukan Bi Inah dan ikut ditenangkan pula oleh Bu RT. Sementara Hamizan serta Pak RT sendiri, sibuk berbicara secara empat mata di ruangan lain.“Tidak perlu khawatir, Pak,” ujar Pak RT mencoba berbicara dengan nada santai. “Kalaupun benar keluarga si Eneng itu bakal datang bersama pihak kepolisian, dalam hal ini … Pak Izan sama sekali tidak bersalah. Pak Izan sudah melakukan hal yang benar dan saya … yang menjadi saksinya.”Hamizan tersenyum tipis, lantas lanjut menimpali, “Saya tahu, Pak. Saya sama sekali tidak merasa takut. Paling-paling, nanti polisi hanya akan minta keterangan dari saya. Maka dari itu, sengaja saya undang Bapak serta Ibu RT ke rumah, salah satunya … yaaa, buat beginilah. Menjadi salah satu saksi yang bisa membantu saya nanti.”Pak RT mengangguk-angguk sambil mempermainkan bibirnya menggunakan jari telunjuk. Sesekali lelak
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 5)Menengok beberapa tahun sebelumnya, Hamizan adalah seorang mahasiswa dari Jakarta yang melakukan PKL (Praktik Kerja Lapangan) di Tasikmalaya. Tepatnya Kampung Sukamenak, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari. Selama berada di sana, anak muda tersebut menginap di sebuah Pondok Pesantren Al Ardul Basyariyah milik seorang tokoh terkenal. Di tempat itu pula, dia bertemu dan mengenal seorang santriwati bernama Arumi Nasha Lazeta. Sosok gadis terakhir ini, tidak lain adalah putri kedua dari pemilik pondok pesantren tersebut, yakni KH. Bashori dan Umi Afifah.Bilur-bilur cinta pun mulai tersemai di hati muda-mudi tersebut. Sebagai mahasiswa yang berkuliah di Fakultas Tarbiyah, tentu saja aktivitas Hamizan lebih banyak berbaur dengan para santri-santriwati di sana, termasuk dengan Arumi sendiri.Kedekatan kedua anak muda tersebut, rupanya tercium oleh KH. Bashori. Maka dengan sangat terpaksa, setelah pelaksanaan praktikum perkuli
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 6)Rencana perjodohan Arumi memang bukan sebuah gertakan belaka. KH. Bashori membuktikan dengan mengundang seorang teman semasa mereka —sama-sama— mendalami ilmu agama di pondok pesantren dulu, yaitu KH. Anam Al Fathoni, berserta putranya, Basil Basyiruddin.“Bagaimana kabarmu sekarang, Nak Basil?” tanya KH. Bashori di tengah-tengah perbincangan di acara pertemuan antar keluarga mereka di lingkungan Pondok Pesantren Al Ardul Basyariyah. “Saya dengar, Nak Basil sudah dipercaya Abimu untuk mengelola pondok pesantren di sana. Betulkan itu, Nak?” Orang tua berjanggut putih memanjang tersebut hanya ingin sekadar berbasa-basi, sekaligus mengenal lebih jauh anak muda yang kelak akan menjadi menantunya tersebut.“Ah … alhamdulillah, Abah. Tapi, bukan sebagai pengelola utama. Hanya diperbantukan untuk mengurus pondok pesantren punya Abi itu, Abah,” jawab Basil seraya melirik ke arah ayahnya, KH. Anam.“Wah, berarti … ilmu agamamu sud