Alfred berlari dengan cepat melewati satu persatu anak tangga yang sempit menuju lantai tiga, dia harus menahan Floryn agar tidak bertemu dengan ayahnya. Sayangnya, begitu pintu darurat terbuka, dia melihat Piper baru keluar dari kamar Nara. “Dimana Flo?” tanya Alfred degan napas tersenggal.Piper tersenyum sopan menutupi rasa penasarannya. “Flo sudah saya suruh pulang, saya yang mengantar nona Nara ke kamar. Mungkin, sekarang dia pergi mess untuk mengambil tasnya.”Alfred membuang napasnya dengan kasar, pria itu memaki di dalam hati, memarahi dirinya sendiri yang telah gagal menemukan Floryn.“Ada apa Tuan Muda? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Piper berhati-hati.“Siapa yang bertanggung jawab ballroom? Dia membawa handpone?”Masih dengan senyuman tiga jarinya, Piper menjawab, “Alexan yang berjaga disana. Tentu saja Tuan, pasti dia membawa_”“Hubungi dia sekarang! Aku ingin berbicara!” sela Alfred dengan tidak sabaran.Tanpa bertanya apapun, Piper langsung menghubungi Alexan yang d
Lorong panjang berpilar tinggi Alfred lewati, dia terus berjalan tidak berhenti mencari meski sudah hampir sepuluh menit lamanya dia meninggalkan ballroom.Derap langkah terdengar dari arah berlawanan, Alfred menarik napasnya dalam-dalam dengan tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, Alfred menahan tindakan bar-bar yang sangat ingin menghajar wajah Emier begitu dia melihatnya keluar dari belokan arah taman.Emier menurunkan handponenya, dengan ramah dia tersenyum begitu tahu siapa yang berpapasan dengannya. Suatu kebetulan yang menyenangkan untuknya, akhirnya memiliki kesempatan untuk menyapa orang penting secara pribadai.Tubuh Emier menegak memperbaiki postur berdirinya. “Tuan Alfred, senang bertemu Anda di sini,” sapa Emier dengan senyuman formal.Alfred sedikit mengangguk tanpa ekspresi, menyembunyikan badai kebencian yang begitu besar pada lelaki tidak tahu malu yang kini berdiri di hadapannya.Sebenarnya, Alfred ingin segera menemukan Floryn, berhubung Emier menya
“Kemana perginya Alfred? Aku tidak melihatnya setelah pesta berakhir,” tanya Steve.“Tuan Muda mengantar teman-temannya ke bandara.” Dengan sopan Piper mempersilahkan Steve untuk berjalan lebih dulu memasuki ruangan kerjanya.“Apa yang mau kau bicarakan Piper?” tanya Steve seraya menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Piper.“Ini tentang kejadian tadi siang Tuan,” jawab Piper menggantung, dalam satu tarikan napas panjangnya dia kembali berkata, “mungkin ini terdengar sederhana, namun karena ini menyangkut nona Nara, saya rasa Anda berhak tahu.”Steve mengangguk dengan tenang, dia mempersilahkan Piper untuk menceritakan apa yang ingin dia sampaikan, termasuk siapa dalang dari kejadian hilangnya anjing Nara yang bisa terluka di hutan.Piper tidak hanya sekadar bercerita, dia juga menyerahkan bukti rekaman saat menginterogasi Daisy untuk memperkuat pernyataanya.Ketenangan Steve perlahan berubah begitu mendengar nama Melisa disebutkan oleh Piper.Selama ini, Steve sudah bisa menduga b
“Arght.” Alfred terbangun memekik kesakitan.Dengan susah payah Floryn bangkit dari lantai, gadis itu terhuyung berdiri meneliti pakaiannya yang masih sama dengan semalam, dilihatnya Alfred kini duduk merenggut marah, tidur nyenyaknya yang baru tiga jam dibangunkan dengan tendangan. “Apa yang terjadi? Dimana ini?” tanya Floryn dengan napas memburu sampai tidak mempedulikan tangannya gemetar kesakitan.“Aku yang membawamu, sekarang kau sedang ada di hotel!” jawab Alfred menyelak marah.Floryn terbelalak. “Mengapa Anda membawa saya kesini? Seharusnya saya berada di rumah!” teriak Floryn mulai panik.Alfred melongo kaget. “Astaga, harga diriku bena-benar terluka. Bagaimana bisa setelah menendangku kau berani berteriak padaku? Kau pikir aku sopirmu?”Kaki Floryn bergerak gelisah, gadis itu tidak enak hati, dia terlalu panik hingga lupa mengontrol diri. “Kita tidak melakukan apa-apa kan?” tanya Floryn lagi dengan suara yang lebih pelan.“Memangnya apa yang kau pikirkan? Aku tidak suka mel
“Tampaknya, Alfred tidak cukup tertarik padamu Melisa,” ucap Poppy membuka percakapan ditengah sarapan pagi yang sedang berlangsung.“Mengapa Ibu bisa berkesimpulan seperti itu?” tanya Melisa.“Diamnya Alfred yang tidak menanggapi rencana pernikahan yang ibu bahas, sudah bisa dipastikan dia tidak menyukainya.”Melisa menelan makanannya dengan kesulitan, kejadian di malam pesta sepertinya sudah membuat Poppy cukup banyak tahu tentang seberapa anehnya hubungan Alfred dan Melisa. Tidak ada tatapan mesra, tidak ada yang melakukan kontak fisik dengan alami untuk menunjukan keterikatan, bahkan Alfred Morgan tidak mengenakan cincin pertunangannya.Alfred memang tidak banyak berbicara dengan kedua orang tua Melisa, namun tatapannya yang tidak bersahabat dapat disadari jika pria itu menciptakan pembatas yang tidak dapat dihilangkan.Saat ini hubungannya dengan Alfred memang rentan hancur, Alfred sudah berencana membatalkan pertunangan mereka berdua. Meskipun begitu, Melisa tetap ingin bertahan
“Dimana pakaian saya?” tanya Floryn berdiri di sudut ruangan, menjaga jarak sejauh mungkin dari Alfred Morgan.Alfred menunjuk satu set pakaian di atas ranjang. “Pakailah dulu itu.”“Saya mau pakaian yang saya gunakan semalam, saya tidak butuh pakaian baru,” jawab Floryn mempertagas ucapannya.Alfred berdecak pinggang menahan senyuman gelinya, dia sangat menikmati kewaspadaan Floryn. Ekspresinya yang takut terlihat lucu, terutama dengan sepasang matanya yang indah itu selalu berkilauan ketika panik. Sayang sekali, waktu mereka terbatas, tidak ada waktu untuk Alfred bermain-main.“Kau ingin menghabiskan pagi kita hanya untuk memperdebatkan pakaian?” tanya Alfred dengan serius. Floryn menelan salivanya dengan kesulitan, jika dipikir-pikir, sebaiknya dia berhenti bersikap keras kepala. Urusan pakaian yang dia pinjam dari Julliet akan menjadi urusan nanti, hal yang terpenting untuk Floryn saat ini adalah pergi secepatnya dari hotel dan pergi ke rumah dinas pertama Emier untuk mencari ke
Floryn mematung di tempat, dia selalu terkejut dengan keberanian Alfred Morgan yang bicara blak-blakan tentang perasaannya.Floryn tidak tahu harus mendefiniskan sikap blak-blakan Alfred adalah keberanian atau tidak tahu malu.“Apa perlu aku menggelar karpet merah agar kau mau berjalan dan duduk disini?” tanya Alfred menyentak keterdiaman Floryn.Ragu-ragu Floryn mendekat dan duduk, sepasang matanya yang hijau itu bergerak mengawasi Alfred yang membukakan tudung saji dan hingga memotongkan beberapa bagian makanan di piring sebelum mendorongnya untuk Floryn makan.Floryn menjilat bibirnya yang mendadak kering, ada debaran kencang di dalam dadanya melihat Alfred Morgan yang terbiasa hidup dilayani dari hal-hal yang paling dasar hingga bagian tersulitan. Kini, justru pria itu tengah memberikan pelayanan padanya.Sejujurnya, Floryn ingin meraguan perasaan Alfred padanya karena Floryn tahu, Alfred Morgan adalah pria bermulut pedas dan arogan. Floryn juga tahu diri, dia hanya manta narpid
Floryn meninggalkan kamar hotel seorang diri.Langkah kakinya gontai dan sorot matanya terlihat kosong karena pikirannya sedang berada di tempat.Perkataan Alfred terus terngiang didalam pikiran, semakin Floryn mengingatnya dia menjadi semakin ragu untuk menolak tawaran itu meski tahu hal buruk apa yang akan terjadi bila masuk ke dalam jerat pria berkuasa itu.Didunia ini tidak ada yang gratis, dan Floryn sadar betul mungkin hanya Alfred satu-satunya orang yang mau menawarkan kekuatan untuk membantunya.‘Haruskah aku mengorbankan kehormatanku untuk menghancurkan mereka ibu?’ batin Floryn bertanya-tanya.Floryn tidak rela, Issabel dan Emier hidup damai lebih lama lagi setelah membuat ibunya meninggal bunuh diri, dan Floryn tidak rela, Rachel semakin bersinar setelah memfitnahnya hingga mendekam di penjara.Tidak akan Floryn biarkan dirinya hancur untuk yang kedua kalinya sebelum melihat musuh-musuhnya bersujud menangis dalam penyesalan yang tidak akan pernah bisa perbaiki sedikitpun.L