Ada apa dengan ekspresi terluka itu?
William bertanya-tanya apa yang terjadi hingga wajah Amanda jadi berekspresi seperti itu. Ia memutar setir mobil ke kiri dan mobil yang dikendarai berbelok ke arah yang sama. Mereka berhenti di sebuah rumah dengan desain minimalis. Seorang lelaki yang sama tuanya dengan Azzar berdiri di teras rumah menyambut mereka turun.
“Selamat datang, Nona,” sapanya pada Amanda.
Walau menyapa dengan cara yang hormat, William tak ayal menemukan tatapan mencemooh di dalam mata pria tua tersebut.
“Terima kasih sudah menyambut kami keluar, tunanganku sangat menghargai usahamu,” kata William sambil menarik Amanda ke dekatnya dan memeluk erat pinggang gadis itu.
William bisa merasakan ketidak tenangan Amanda atas perlakuannya. Namun, ia hanya melakukan segala cara untuk menunjukan tidak ada celah bagi pengacara yang tidak berhubungan dengannya dan juga keluarga besar untuk membuat surat perjanjian
Ini tidak benar! Begitu pikiran Amanda memberikan amaran padanya. Karena disodorkan langsung padanya, Amanda bisa melihat apa-apa saja yang telah dicantumkan pengacara ke dalam surat perjanjian. Seperti kata William, tidak ada satu pun isi perjanjian yang akan merugikannya. Namun, karena itulah ia merasa apa yang akan dijalaninya menjadi tidak benar.Jadi begitu ia selesai menandatangani berkas-berkasnya, Amanda berdiri dan pamit pada William. Ia ingin melarikan diri dari pria yang akan menjadi suaminya tersebut.“Apanya yang dia mencintaiku!” katanya pelan saat menarik pintu rumah hingga terbuka lebar.Dadanya terasa sesak kini. Ia ingin sekali berteriak dan mengumpat William. Kalau bisa memberikan pukulan pada pria tersebut tepat di wajahnya. Namun, untuk apa semua itu? Bagi William ia hanyalah pelengkap rencana yang sudah disusun sejak lama. Bukankah William telah mengatakan padanya kalau ia hanyalah pelengkap yang bisa di
Gaun yang akan dipakai Amanda telah diantar oleh Stefani ke kamar hotel di lantai empat sejak kemarin. Sebuah ruangan VVIP dengan dua kamar tidur dengarn sebuah ruangan lain yang digunakan untuk menerima tamu.Gaun tersebut di pajang di ruangan tempat menerima tamu, dengan kotak-kotak berisi hiasan-hiasan tambahan yang mungkin saja harus disematkan pada gaun ketika nanti terpasang pada tubuh Amanda dan masih ada kekurangan dalam penglihatan Stefani.“Kamu harus terlihat seperti ratu sungguhan hari ini!”Wanita itu datang sekitar pukul lima pagi dan menyuruh Amanda untuk berendam dengan beberapa wewanggian. Untungnya air yang digunakan adalah air hangat dan bukannya dingin. Setengah jam kemudian Prisilla datang dengan seorang pelayan hotel dengan membawa sarapan. Saat itu, Amanda hanya mengunakan tanktop dan celana pendek di atas lutut.“Sebaiknya makan dulu, ya, Sayang. Karena pada saat acar belum tentu kamu bisa mengisi perut,” ka
Amanda merasa bukan dirinya di depan cermin. Gadis yang berdiri di depan cermin ini terlalu cantik untuk disebut sebagai dirinya. Ia berdiri di depan pantulan bayangannya sendiri cukup lama sampai Prisilla menariknya ke belakang. “Jangan bengong!” tawa gadis itu sambil menyentil pipi Amanda yang telah merona merah dengan gemas. Gaun yang tadinya dipakai patung kini telah dilepaskan. Pelan-pelan mulai dipasangkan ditubuh Amanda. Bagian dalam gaun tersebut dilapisi chiffon, sehingga sangat lebut di kulit. “Sudah kuduga kamu akan terlihat cantik dengan gaun pengantin ini,” puji Stefani pada Amanda. Tak ayal pipi Amanda merona karena malu. Ia sendiri tak habis pikir kenapa ia jadi tampak berbeda kini. Pikirnya pasti karena kemampuan MOA yang mumpuni dalam mendandani. “Gadis yang sedang jatuh cinta memang selalu terlihat cantk,” kata Prisilla menambahkan. Suasana hati Amanda menjadi tidak baik kembali. Ia memang jatuh cinta, mungkin. Akan tetapi ia juga tahu kalau orang yang dic
Hampir enam jam berdiri dan hanya duduk selama beberapa menit ketika tidak ada tamu yang menghampiri mereka di pelaminan sukses membuat seluruh tubuh Amanda pegal. Ia bertanya-tanya bagaimana orang-orang yang lebih dulu menjadi pengantin dan melaksanan akad serta resepsi secara terpisah. “Merasa tidak enak bandan?” William muncul dengan segelas minuman yang telihat segar di mata Amanda. Ia menelan ludah dan berharap kalau minumam tersebut memang diambil William untuknya. Kalau pun tidak, ia akan segera meminta seseorang yang bisa dimintai tolong untuk mengambilkan bagiannya. Tak tanggung-tanggung langsung beberapa gelas dan akan diteguk habis segera. “Amanda?” William memanggil namanya sekali lagi. “Aku hanya ingin duduk dan minum-minuman dingin,” jawab Amanda lemah. Dipukul-pukulnya pelan lututnya sedikit sambil menunduk. Beberapa tamu undangan bergerombol di bawah panggung tempat duduk pengantin men
William sudah biasa memaksa dirinya sendiri untuk bekerja keras sampai batas maksimal. Namun, hari ini ia mengakui kalau pekerjaan yang dilakukan tidak bisa dibandingkan dengan perasaan lelah menjadi seorang pengantin dalam sebuah pernikahan. “Aku bisa paham kenapa para pekerja meninginkan tambahan cuti padahal resepsi pernikahannya sudah lewat seminggu,” katanya pelan. Ia melonggarkan ikatan dasi dengan dua jari dan mulai memijat tengkuknya yang terasa pegal setelahnya. Rahannya juga terasa keram karena harus terus-terusan mengumar senyum pada semua orang. Ia salut pada Amanda yang secara terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap susunan acara. Ini pernikahanku, kenapa rasanya aku yang disiksa William mengingat sepengal perkataan Amanda di tengah proses resepsi tadi. Ia tersenyum kembali. Amanda hampir selalu bisa menghilangkan ketegangan yang dirasakan William. Ketika ia merasa cukup kesal harus berhadapan d
Seluruh tubuh Amanda terasa nyaman. Samar-samar ia bisa mencium bau mawar segar dan merasa sangat rileks. Ia bertanya-tanya jam berapa sekarang. Namun keinginannya dalam membuka mata sangatlah kecil. Ia masih mau memejamkan mata beberapa menit lagi. Lagi pula ia tidak pergi ke tempat kerja hari ini. Ia tengah liburan bersama Alex di Bali. “Aaaa!” Amanda berteriak kesal. Ia melempar bantal tidak bersalah keras-keras dan tidak tahu ke arah mana. Ia menyembunyikan kepalanya ke bawah bantal lain untuk meredam teriakan selanjutnya. Hanya saja, ia bisa melihat sesuatu yang terbuat dari kaca berdentang dan pecah di lantai. “Jangan pikirkan! Jangan pikirkan!” perintah Amanda berulang kali. Otaknya untung mematuhi perintah Amanda. Sebab ia tak lagi memikirkan Alex. Namun, beralih pada William. Bahkan pikirannya secara tidak senonoh membayangkan hal yang tidak-tidak. William yang tengah memeluknya. Lelaki tersebut yang tengah mengulum bibir
Kamar William adalah yang paling besar di rumah besarnya. Kamar itu terletak di tengah-tengah, dikepung ruangan-ruangan dengan berbagai fungsi."Wah!" Prisilla berseru kegirangan begitu masuk ke dalam kamar William dan Amanda.Ranjang berkanopi terletak di tengah kamar. Di sisinya ada dua lampu yang masih menyala. Ada satu set sofa yang bisa digunakan bersantai di sebelah kanan ranjang. Di sebelah kanan ada karpet bulu dengan perapian otomatis. Di belakang kepala tempat tidur terdapat pintu menuju kamar mandi yang besarnya sama dengan kamar Amanda sebelumnya."Tempatnya menyeramkan," gumam Amanda tidak merasa bangga dengan kamar yang di miliki.Prisilla yang mendengar gumaman tersebut mencubit pinggang Amanda hingga terpekik."Kadang-kadang aku heran padamu, kenapa sama sekali tidak bersyukur dengan apa yang sedang didapat!"Amanda mencebik. Ia tidak mendapatkan apa-apa. William memang berada dengannya di kamar yang sama tapi, sama sekali ti
William cukup kaget dengan kemarahan yang ditunjukan Amanda padanya. Ia sebenarnya sama sekali tak masalah jikalau seadainya Amanda mengatakan sesuatu semacam kemandulan padanya. Ia memang belum ingin memiliki anak. Tidak saat ini, di mana nyawanya sendiri kesulitan untuk diselamatkan.Usianya sekarang tiga puluh tahun. Pada usia yang sama yang Ayah telah mengalami kecelakaan dan meninggal. Sejak saat itu William telah mewarisi semua kekayaan keluarga Derrian. William percaya kecelakaan ayahnya merupakan sebuah konspirasi. Ia mulai menyadari itu saat ibunya pelan-pelan menjauh darinya. Wanita itu bukannya mempercayai William yang merupakan anaknya, malah menyerahkan saham perusahaan miliknya dikelola orang lain. Orang lain yang datang tiba-tiba dan mengambil hati ibunya dengan cepat. Saham itu akhirnya diambil alih oleh William sendiri untuk keamanan sang ibu. Butuh kerja keras untuk merebut saham tersebut.“Kalau begitu aku akan pergi!” Amand